Berdakwah di “Kota Injil”

tatkala tiba pagi hari di ManokwriPerjalanan dakwah ke Papua Barat ini merupakan program tahunan dari Embassy of Saudi Arabia (Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta) bekerja sama dengan Kementerian Agama RI. Dari setiap ponpes dan institusi/lembaga keagamaan dimintai perwakilannya sebagai delegasi dai dan narasumber dalam safari dakwah Ramadhan ke seluruh pelosok dan seantero negeri ini. Sebelum berangkat ke Papua, ada seleksi ketat di internal pesantren kami, di Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Ciputat.

Tahukah para pembaca yang budiman persyaratan waktu itu untuk bisa disetujui guru kami, almarhum Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Ya’qub (yang waktu itu menjabat Imam Besar Masjid Istiqlal dan Advisor Darul ‘Ulum, Amerika Serikat)? Nah, ini dia kriteria yang harus dimiliki dan dikuasai mahasantri kalau ingin jadi dai di Papua.

  • Harus punya hafalan lima juz Al-Quran (kalau perlu Hafizh 30 juz Al-Qur’an penuh).
  • Bacaan Al-Qurannya harus bagus.
  • Memiliki attitude yang baik (alias punya akhlaqul karimah).
  • Mampu berpidato.
  • Berjiwa dakwah dan bermental kuat karena jauh dari orangtua di ujung Indonesia.

Alhamdulillah saya memenuhi semua persyaratan tersebut. Saya pun termasuk satu dari 57 peserta program pengiriman dai ke sejumlah wilayah terpencil di Indonesia yang terpilih pada Juli 2011. Alhasil saya pun berangkat ke Papua. Saya tiba di Bandara Rendani, Manokwari, Papua Barat, dari Soekarno Hatta International Airport, tepat pada pukul 08.30 WIT, tanggal 31 Juli 2011 atau sehari sebelum puasa Ramadhan 1432 H. Segera setelah itu, saya disambut hangat Ketua MUI Papua Barat, Drs. K.H. Musa Abdul Hakim. Untuk wilayah Papua, selain saya terdapat tujuh dai lain yang berdakwah di Bumi Cendrawasih ini yang tersebar di tempat yang berbeda-beda. Ada yang ditempatkan di Fakfak, Raja Ampat, Sorong, Nabire, dan lain-lain.

Satu hal yang menarik ketika tiba di Bumi Cenderawasih itu bukan hanya karena saya disambut oleh Ketua MUI, tetapi juga sambutan dalam baliho besar yang bertuliskan: “Selamat Datang di Kota Injil, Manokwari”. Baliho tersebut terpampang hanya beberapa meter selepas keluar dari Bandara Rendani. Cukup lama saya merenung, dan saya merasa inilah tantangan pertama kali berdakwah di pulau ujung timur Indonesia yang muslimnya minoritas. Dalam hati saya bergumam, “Masyaallah baru pertama datang ke sini saja langsung disapa papan baliho yang bikin gemetar. Gimana nanti ya kalau berdakwah dan menyampaikan pesan-pesan agama Islam yang luhur ini?”

Sebagaimana info yang saya dengar, di Manokwari banyak sekali persoalan, mulai dari gesekan social berlatar belakang SARA (Suku, Ras, Agama, dan Antargolongan), bencana alam seperti gempa bumi, juga wabah penyakit demam berdarah. Hal ini membuat suasana batin saya campur aduk. Apalagi mendapat kabar bahwa isu agama di sini sangat rentan dan sensitif, termasuk polemik mengenai Perda (Peraturan Daerah) yang menahbiskan Manokwari sebagai Kota Injil.

nasrullah nurdin 2 nasrullah nurdin 3 nasrullah nurdin 4

Meskipun begitu, tak berarti saya berkecil hati (takut). Justru saya iringi dengan doa dan zikir agar kegiatan dakwah yang akan saya lakukan berhasil dengan baik. Lagi pula, toh saya tidak berdakwah kepada kelompok Nasrani yang mayoritas di Manokwari, tetapi kepada kaum muslim yang saat itu memang masih membutuhkan bimbingan akidah dan tuntunan ibadah, lebih-lebih di bulan Ramadhan.

Dari Bandara Manokwari saya langsung menuju Sanggeng, sebuah kota kecil di Manokwari. Di sini saya diperkenalkan oleh Ketua MUI Papua Barat kepada para pengurus Masjid Ridwanul Bahri, Kompleks TNI Angkatan Laut, termasuk warga muslim sekitarnya. Di masjid ini pula, saya selama dua minggu bermukim dan memulai aktivitas dakwah. Saya mengajari anak-anak mengaji dan tata cara ibadah. Demikian pula kepada warga sekitar, saya ikut memberikan ceramah agama, seperti kultum sebelum shalat Tarawih dan seusai shalat Subuh.

Selama bermukim dan berdakwah, saya sendiri tak mengira akan disambut begitu hangat oleh warga sekitar, termasuk Bupati Manokwari Dr. (HC) Bastian Salabay dan Kapolsek setempat. Para pejabat di Manokwari justru very welcome dengan misi dakwah yang saya lakukan. Alhamdulillah, warga dan para pejabat serta pemuda di sana menerima saya dengan senang hati. Saya pun sempat berharap misi dakwah ini kelak berjalan lancar. Sejak itulah saya memulai aktivitas dakwah dari masjid ke masjid. Kegiatan saya pun hampir sama: ceramah, menjadi imam, khatib, azan, dan mengajari anak-anak mengaji.

nasrullah nurdin 5

Selain di kota Sanggeng,  saya juga menyambangi distrik Oransbari, sekitar 90 kilometer dari kota Manokwari. Daerah lain yang dikunjungi adalah distrik Ransiki, yang terpencil dan jauh dari keramaian. Untuk menuju ke lokasi, tak jarang saya harus melewati tepian jurang dan keluar-masuk hutan dengan berjalan kaki. Tak hanya itu, penerangan pun terbatas. Listrik di wilayah ini hanya menyala sekitar enam jam, mulai pukul 18.00-24.00 waktu setempat. Di distrik Ransiki ini cuma ada satu masjid dan satu mushalla. Sementara gereja, jumlahnya mencapai puluhan untuk satu kecamatan. Bahkan saya dengar, awal pembangunan masjid di wilayah tersebut sempat dilarang, termasuk mengumandangkan azan.

Jarak antara Masjid An-Nur dan Mushalla Al-Hidayah sekitar 4 kilometer. Untuk bisa menjangkau keduanya saya harus rela naik ojek, atau kadang-kadang diantar oleh pengurus masjid. Di kecamatan ini banyak santri mualaf. Mereka saya ajari membaca Al-Qur’an, doa-doa, dan kupasan hikmah  puasa.

Di desa-desa di mana saya berdakwah, yang tampak di mana-mana memang bangunan gereja. Bahkan jarak antara satu gereja dengan gereja lain cukup berdekatan, sehingga wajar jika masjid atau mushalla tidak menggunakan pengeras suara, baik untuk mengumandangkan azan maupun khutbah shalat Jumat. Bukan berarti mereka (kelompok Kristen) melarang, tetapi umat Islam sendiri yang merasa mengedepankan toleransi.

Saya merasakan suka-duka selama berdakwah sebulan penuh di bulan Ramadhan, di daerah terpencil di tengah-tengah mayoritas penduduk nonmuslim. Dari yang saya alami, selama tidak wilayah SARA, mayoritas penganut Katolik dan Kristen di Manokwari cukup toleran.

Saya berharap program safari dakwah yang pernah saya jalani di tahun 2011 silam itu  dapat dilanjutkan. Saya juga mengajak agar kita semua meneguhkan semangat berdakwah yang santun. Tunjukkan bahwa Islam itu agama ramah, bukan agama pemarah. Yuk, berdakwah yang merangkul, bukan memukul. Sebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil-‘alamin ini dengan argumen, bukan dengan sentimen.

 

Nama: Nasrullah Nurdin
Kota: Jakarta Barat


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *