Enakkah Berpuasa di Pulau Dewata?

Bagaimana rasanya menjadi muslim di Bali? Bagaimana rasanya menjalankan puasa Ramadan di tengah-tengah mayoritas pemeluk agama Hindu? Tentu bagi yang tidak mengalaminya hanya dapat menerka-nerka. Bahkan, mungkin saja ada yang langsung menyimpulkan ‘sulit’ lantaran membayangkan situasi yang tidak mendukung untuk berpuasa di Pulau Dewata tersebut. Lantas, seperti apakah rasa sebenarnya ketika berpuasa di Pulau Dewata itu? Baiklah akan kuceritakan.

Aku seorang muslimah yang sudah 10 tahun tinggal di Bali. Artinya, aku sudah 10 kali mengalami dan menjalani ibadah puasa di Bali. Banyak pengalaman yang kupetik selama berpuasa di tengah-tengah mayoritas pemeluk agama Hindu di Bali. Namun, dari sekian banyak pengalaman puasa, ada satu cerita yang paling tak terlupakan bagiku. Apa yang terjadi itu seolah menjawab isu intoleransi yang marak terdengar akhir-akhir ini.

Semua berawal dari undangan rapat di salah satu bimbingan belajar tempatku mengajar. Dalam undangan, waktu rapat telah ditetapkan pada pukul 4 sore. Tempatnya di kantor bimbel itu sendiri. Aku hadir tepat waktu. Hampir semua staf dan tenaga pengajar juga datang tepat waktu.

Rapat dihadiri oleh sekitar 15 orang. Dari jumlah itu, 3 orang adalah pemeluk agama Kristen, 2 orang adalah kaum muslim, termasuk aku, dan selebihnya adalah pemeluk agama Hindu. Kami yang muslim paling sedikit, bukan? Sebagai kaum minoritas, kami bersikap biasa saja saat berpuasa. Tidak ada keinginan untuk mengistimewakan diri jika tengah beribadah.

Waktu terus berlalu, sampai akhirnya kami merasa sudah tidak ada lagi hal yang perlu dibahas. Rapat pun hampir ditutup. Lantas kulihat jam di ponsel. Kulihat baru menunjukkan pukul 5. Aku lega karena berharap dapat pulang cepat, dan sempat berbuka puasa di rumah. Kebetulan waktu buka puasa tinggal satu jam lewat sedikit.

Hanya saja, ternyata semua di luar dugaanku. Salah seorang perserta rapat memberi informasi yang tidak kami ketahui sebelumnya.

“Rencananya kita akan buka puasa bersama, jadi rapat dilanjutkan sambil menunggu buka puasa,” kata staf senior yang beragama Kristen. Kebetulan beliau adalah orang terpenting di bimbel tersebut.

Rapat pun dilajutkan sambil menunggu waktu buka. Aku sendiri justru merasa bingung. Bagaimana mungkin diadakan berbuka puasa bersama, sedangkan yang berpuasa hanya dua orang peserta rapat? Dalam hati aku merasa tidak enak. Bukan karena tidak berterima kasih, melainkan kasihan dengan teman-teman nonmuslim yang harus menunggui kami berdua untuk berbuka puasa.

Rapat terus berjalan. Staf bimbel mulai menghidangkan kudapan di hadapan semua peserta rapat. Lagi-lagi rasa tidak enak menyeruak di hati. Aku benar-benar tidak enak jika mereka harus menahan makan kudapan yang terhidang demi kami. Rasanya ingin pulang saja, tetapi terlihat tidak etis. Mereka berniat baik berbuka dengan kami dan mau menunggu waktu buka, masa iya yang berpuasa malah pergi.

Akhirnya aku putuskan untuk bertahan. Rapat pun terus berlanjut, dan semakin seru. Tidak terlihat raut keberatan di wajah teman-temanku untuk menunggu waktu berbuka puasa. Semua tampak senang dan penuh toleransi. Melihat suasana damai ini, hatiku terharu. Bahagia rasanya dapat saling menghargai.

Waktu berbuka pun tiba. Kami makan bersama untuk menghilangkan lapar dan dahaga. Jujur, aku terenyuh dengan kebersamaan ini, terlebih ketika mengetahui di luaran sana banyak yang bermasalah dengan persoalan intoleransi. Alhamdulillah, kami di sini dapat membuktikan indahnya toleransi. Semoga pengalaman kecil ini dapat berdampak besar bagi persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Amin.

 

Nusa Dua, 8 Juni 2017

Oleh: Dwi Rahayu, S. Pd.
Kota: Nusa Dua

dwi-rahayu


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *