510

koantas-bima-510-1
sumber: geotimes.co.id

Dekil, kumal, agak bau, tapi dinanti, diminati, didambakan, bahkan dikejar-kejar. Koantas Bima 510 adalah primadona pada masanya.

Siapa pun yang pernah menetap atau sekadar singgah di wilayah Ciputat, Tangerang Selatan, rasanya tak dapat memungkiri bahwa bis 510 tidaklah pernah sepi dari penumpang. Bis trayek dari Ciputat menuju Kampung Rambutan ini benar-benar idola paling tidak sejak era 90-an.

Mudah-mudahan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada harapan sedikit pun untuk mendapatkan kursi di dalam bis itu jika menaikinya dari depan kampus UIN misalnya. Atau sebaliknya, tidak juga ada harapan mendapat kursi jika penumpang menaikinya di Pasar Rebo atau Kampung Rambutan sekalipun.

Kenyataan tersebut membuat para penumpang dari arah Pasar Rebo atau Kampung Rambutan misalnya yang benar-benar ingin duduk atau tidak mau berdesakan harus menaiki bis ini di pemberhentian lampu merah kemudian ikut masuk terminal Kampung Rambutan, menunggu penumpang asal Ciputat turun di Kampung Rambutan, Nah, barulah orang itu mendapat duduk, itu pun harus berebut dengan penumpang yang sudah menunggu di terminal Kampung Rambutan.

Ketika masa kuliah di UIN Ciputat, tahun 2002, hampir setiap harinya saya langganan mengisi saf paling luar alias berdiri di pintu dan hanya berpegangan satu tangan. Itu pun jika bis yang saya naiki tidak taat peraturan terutama saat masuk jalan tol. Beda ceritanya kalau saya mendapatkan bis yang taat peraturan. Sebelum masuk tol, para penumpang dipaksa berimpitan ke dalam agar kedua pintu masuk di depan dan belakang dapat ditutup rapat. Sang kondektur yang menutup pintu dari luar bis lalu masuk ke dalam bis lewat pintu supir. Ajib! Selanjutnya, sang kondektur mulai bermanuver di tengah lautan manusia menagih ongkos para penumpang.

Begitulah, 510 selalu punya cerita yang menyenangkan, terutama bagi mereka tentunya. Mereka benar-benar menikmati perannya sebagai idola. Hampir tak pernah saya melihat 510 disewa untuk hajatan demonstrasi misalnya. Mungkin bagi 510, job itu lebih pantas diambil oleh bis 509 (Ciputat-Kp. Rambutan via Cilandak) atau 102 (Ciputat-Tanah Abang) yang cenderung sepi penumpang.

Namun, kisah-kisah itu tinggallah cerita. Mobil bertubuh kuning yang belakangan baru saya tahu merupakan kepanjangan dari Koperasi Angkutan Lintas Bis Madya itu kini sepi dan dingin karena tergerus transportasi baru, murah, aman, dan nyaman bernama Transjakarta. Sejak raksasa biru nan manis ini mulai berekspansi ke trayek Ciputat-Kampung Rambutan tahun 2015, 510 perlahan mulai ditinggalkan penggemarnya. 510 kini terkapar terseok-seok di trayek sakral tempat mereka pernah membangun dinasti kerajaannya sejak lama.

Beberapa bulan lalu saya memutuskan naik 510 lantaran saya ketinggalan jadwal Transjakarta pukul 06:30.Pilihan ini jelas harus saya ambil karena saya tidak mau menunggu 30 sampai 40 menit untuk mendapatkan bis selanjutnya. Ada rasa haru sedikit saat saya menginjakkan kaki di lempengan besi bis ini, tiba-tiba ingatan masa lalu tentang bis ini melintas di kepala. Tak sulit mencari kursi di bis ini karena memang masih sepi. Saya penumpang ketiga yang naik. Bis ini begitu dingin, maksudnya karena sepi. Satu per satu penumpang pun mulai bertambah sambil menyusur kemacetan. Jumlah penumpang tak juga bertambah saat badan bis singgah di Pasar Jumat. Selintas saya melihat muka pak supir yang murung. Sepi! mungkin itu teriaknya.

Saya sendiri merasa sedih, jelas kondisi ini sangat jauh berbeda dengan waktu saya kuliah. Bis ini benar-benar sepi. Saat Pak Kondektur menagih ongkos, saya pun sodorkan Rp10000 sesaat ia mengembalikannya dengan uang Rp5000-an. Ongkos 510 yang saat ini bertarif Rp5000 rupiah jelas lebih mahal dibandingkan Transjakarta yang hanya bertafir Rp3500. Boleh jadi 510 semakin ditinggalkan.

Transjakarta. Atau banyak juga yang menyebutnya Baswe (Bus Way). Sejak kemunculannya sekitar Januari 2004, proyek yang dirancang oleh PT Pamintori Cipta dan ITDP (Institute for Transportation & Development Policy) ini memang menjadi angkutan pilihan warga Jakarta dan sekitarnya. Transjakarta dipilih karena memiliki banyak kelebihan. Dinilai lebih cepat karena memiliki lintasannya sendiri, nyaman karena dilengkapi dengan AC dan terdapat zona khusus perempuan juga tempat khusus bagi penyandang cacat, dan terjangkau, yaitu hanya Rp3500. Belakangan, Transjakarta juga berencana meluncurkan kendaraan baru bernama ‘Transmini’ untuk menggantikan bis-bis yang sudah lama dan usang. Kenyataan ini lambat laun akan membuat bis sejenis Koantas Bima, Koan Bisata, Metro Mini, dan Kopaja, disingkirkan. Kalaupun memaksa untuk bertahan, belum tentu mereka dapat bertahan karena jasa angkutan online saat ini sudah mengepung Jakarta, bahkan kota-kota besar lainnya. Jika hal ini benar terjadi, pemerintah Jakarta tentunya harus memiliki langkah khusus atau solusi untuk para pengusaha dan pelaku bisnis jasa angkutan umum swasta ke depan.

Bis yang mengantar saya kini tiba di Pasar Rebo. Beberapa penumpang turun. Tinggal beberapa saja yang bertahan, itu pun sudah ambil ancang-ancang untuk turun. Saya melirik ke bagian depan kaca yang tertempel tulisan di atas kertas ‘awas copet’. Rasanya imbauan tersebut sudah tidak terlalu relevan lagi karena nyatanya 510 kini sepi. Para pencopet tentu berpikir ulang untuk beroperasi di bis yang sepi.

Dulu, dosen Bahasa Belanda saya pernah bercerita ketika ia kuliah di sana. “Kalau di Belanda, Bus tidak akan menunggumu jika kamu terlambat. Enggak kayak di Indonesia. Saya ragu kita bisa seperti Belanda. Entah kapan kita akan kayak mereka?” Keraguan Pak Dosen tentu wajar adanya karena memang waktu itu wujud transportasi kita hampir tidak ada harapan. Ternyata waktu membuktikan lain. Revitalisasi angkutan umum sudah bukan wacana lagi. Semua sudah terjadi.

Di satu sisi tentu perubahan transportasi kita sangat membanggakan. Banyak hal positif yang tidak perlu disampaikan di sini. Namun, di sisi lain ada keharuan yang saya rasakan ketika sebuah bis yang paling diburu tiba-tiba begitu saja berakhir dengan kesepian. Terima kasih 510. Terima kasih kenangannya. Begitulah perubahan, selalu mengharukan. []

Seperti dimuat: geotimes.co.id


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *