The Temporary Winds

Keinan Ayu Bethari, gadis cantik dengan rambut pendek, mata coklat, dan berkulit putih. Dia adalah anak semata wayang dari orang tua tunggal bernama Bethar Permana.
Keinan berada di bangku kelas 11 SMA, sejauh ini kehidupan SMA nya baik bahkan lebih baik daripada kehidupannya waktu SMP.
“Cie yang bulan depan tambah umur.” Ucap Ayah Keinan yang dibalas senyuman oleh Keinan.
“Mau kado apa? Ayah mau nabung dari sekarang jadi kamu bisa minta yang mahal mahal.”
Keinan yang sedang sarapan itu terdiam, dia berfikir sejenak lalu menggeleng.
“Lho? Gak mau kado?”
Keinan menyelesaikan makannya lalu berkata, “Pengen punya Ibu.” Ujarnya sembari beranjak lalu menyimpan piringnya ke tempat cuci piring.
Ayah Keinan hanya bisa diam, permintaan ini lebih sulit dikabulkan dibandingkan putrinya minta dibelikan motor.
“Keinan berangkat, ya. Udah jam segini.” Ucap Keinan yang lalu mencium tangan Ayahnya dan pergi.

**

Keinan berjalan dari gerbang lalu melihat Dion sahabatnya yang berjalan dengan Panji dan Galang. Alih-alih menyapa Keinan berjalan dibelakang mereka dan mendengarkan obrolan mereka.
“Gila, bau banget parfum lo, Lang.” Ucap Panji.
“Jujur gua cocoknya pake minyak telon sih, tapi minyak telon belum ngeluarin versi roll on.” Jawab Galang.

“Lo cocoknya minyak subsidi sih.” Ledek Panji.
“Parah lo.”
“Itu parfum 90% alkohol kah?” tanya Dion.
“Lo berdua bener-bener ye perkara parfum doang.” Sahut Galang.
“Eh tapi serius alkoholnya nyengat.” Jawab Dion.
“Gak bisa dipake shalat Jum’at tuh.” Ucap Panji.
“Gua nonis anjay.” Jawab Galang.
Keinan yang mendengarnya tertawa, tapi mereka tidak menyadari Keinan dibelakang mereka.
“Jadi inget tahun kemarin Dion numpang makan dirumah gua.” Ucap Galang.
“Ya terus?” tanya Panji.
“Masalahnya waktu bulan puasa.”
“Wah, Dion parah.”
“Diem gak lo! Udah gua ganti lagian.”
Mereka pun tertawa.
“Oh iya, puasa tahun ini gak mudik dah gua kayaknya.” Ucap Panji.
“Yah gak dibawain bolu meranti dong.”
“Bolu meranti apaan orang gua asal Garut.” Jawab Panji.
“Oh iya maksudnya dodol.”
“Jauh amat dari dodol ke bolu meranti.”
Lagi-lagi Keinan tertawa dan kali ini mereka menyadarinya.
“Eh, Keinan. Pagi, Kei.” Ucap Dion yang diikuti kedua temannya.
“Pagi juga Dion, Panji, Galang.” Jawab Keinan sambil tersenyum, “Aku duluan ya.” Ucapnya.
“Ayo bareng.” Sahut Dion.
Keinan sedikit gugup lalu mengangguk. Mereka pun berjalan berdua.
“Kita ditinggal aja gitu?” Ucap Panji.
“Ayo bareng sayang.” Jawab Galang sembari menarik tangan Panji.
“Jijik anjir lepasin!”

**

“Hei cinta, kamu sekelompok sama siapa?” tanya Delya pada Keinan.
“Aku? Belum tau.”
“Yaudah fix sama aku! Eh, tapi, harus dicampur sama cowok kan?”
“Gua join.” Sahut Dion sambil menggebrak meja Keinan.
“Gak usah ngagetin dong!” teriak Delya.
“Panji sama Galang juga join. Iya kan bro?!” tanya Dion pada Panji dan Galang yang sedang main game di pojokan.
“Hah?”
“Woi jangan Panji beban!” Sahut Galang.
“Lo anjir yang gak bisa bantu-bantu!” Timbal Panji.
“Lah lo kalau presentasi bisanya diem doang.”
“Lo juga figuran doang ya!”
“At least gua mah kalau praktek kimia bisa ngebantu lah.”
“Ngebantu apa? Bantu ledakin lab kimia?”
“Woi lo kalau gak mau join ya udah gak usah banyak omong!” amuk Delya.
“Tuhkan! Jadi *AFK gua, Ji!”
*Away from keyboard
“Heh gua juga AFK!”
“Sial lama-lama gua banting HP mereka.” Gumam Dion.
“Sabar sabar.” Ucap Keinan.
“Gak ada untungnya gua main sama lo.”
“Lo kira gua untung?”
“Stop! Kalau mau debat ditempat lain aja!”
“Intinya kalian berdua join.” Ucap Dion.
“Sip, pas 5 orang ya.”
“Gua gak mau sekelompok sama Galang!”
“Gua gak mau sama Panji!”
Dion pun menghampiri mereka dan memberikan pelajaran hingga mereka bisa bungkam. Keinan dan Delya hanya tertawa melihat kekonyolan 3 orang itu.
“Ampun Dion! Ampun!”
“Woi tonjok balik Dion, Ji!”
“Oh berani lo, hah? Berani sama gua?”
“Lo dikelitik doang juga K.O.” Ucap Panji yang lalu mengkelitiki Dion hingga Dion terbaring di lantai.
“Stop! Stop! Mau nangis ini gua!”
“Terus Ji sampe dia ngompol!”
“STOP ANJIR!”
“Dih? Kita udah baikan gitu?” tanya Panji pada Galang.
“Alah, sini lo juga gua kelitikin!” Kini Galang yang lalu mengkelitiki Panji.
“Lucu banget Panji.” Gumam Delya.
“Oh my– Lo naksir Panji?!” tanya Keinan.
“Hah?! Dih enggak ya!”
“Panji! Si Del–” teriak Keinan yang langsung dibungkam Delya.
“Lo gak usah ember dong ah!”
“Hehehe.”

**

Keinan sudah selesai makan siang tapi bel masuk masih lama, jadi dia pergi ke UKS untuk mengambil dagangan dan menjualnya sambil berkeliling.
Keinan melihat seseorang tengah duduk dikursi panjang dekat lapang. Dia langsung tahu bahwa itu adalah siswa yang populer karena keturunan asli Eropa, tapi Keinan tidak tahu namanya.
Keinan menghampirinya dan membuyarkan lamunannya.
“Hei, kamu mau beli nggak?” tanya Keinan.
Anak itu menoleh dan memperhatikan Keinan sesaat.
Merasa tidak akan direspon, Keinan pun duduk disamping laki-laki berbadan bongsor dan jangkung dengan rambut hitam kecoklatan dan mata kehijauan itu untuk menghilangkan penat, tapi sedikit menjaga jarak dan botol minum anak itu jadi penghalang diantara mereka.
Keinan kembali nekat bertanya. “Nama kamu siapa?”
“Dev.” Jawabnya, “Devisser Dewitt.”
Keinan pun mengangguk. “Aku Keinan.”
Dev hanya tersenyum tipis, bahkan hampir tak terlihat.
“Um, Dev, kamu gak makan siang?”
Dev menggeleng.
“Loh? Gak laper emangnya?”
“Gak mood.”
Keinan kembali mengangguk dan tak ada obrolan diantara mereka.
“Fasih juga Bahasa Indonesia kamu, udah berapa lama disini?”
“5, eh 6, Eh … 7 tahun.”
“Oh pantes toh.”
“Kelas kita sebelahan.” Ucap Dev.
“Eh? Iyakah?”
Dev mengangguk, “Sering liat soalnya.”
Keinan pun tersenyum, tak ada yang aneh dari Dev sampai dia terlihat seperti sedang panic attack. Dev pun pergi meninggalkan Keinan begitu saja sambil memegang botol minum dan dadanya seolah itu sangat sakit.
Dev pergi ke kamar mandi, dia mengunci dirinya disana lalu mengatur nafas. Dev pun mengeluarkan 3 kaplet obat dari sakunya dan meminumnya sekaligus. Setelah itu dia merasa lebih baik, untung saja dia tidak tiba-tiba berhalusinasi seperti biasanya.
Bel berbunyi, tapi sepertinya Dev tidak bisa masuk kelas, diapun memilih pergi ke UKS untuk beristirahat.
“Dev?” Panggil Keinan yang ternyata ada di UKS. “Kamu kenapa? Kok mukanya pucet banget?”
Dev hanya menggeleng, Keinan yang mengerti pun langsung menyuruhnya berbaring dan beristirahat.
“Mau aku ambilin obat?” tanya Keinan.
“Nggak, gak usah. Aku udah minum obat.”
“Obat apa? Emang kamu sakit apa?”
Dev hanya diam tak menjawab.
“Ah aku minta maaf…”
“Doesn’t matter.”
“Ya udah kalau gitu aku mau balik ke kelas, duluan ya.”
Dev tersenyum. Dia berfikir apakah Keinan peduli padanya? Ah, tapi, memang itu tugas anak PMR.

Ctak.. ctak..
Keinan sibuk dengan komputernya walau jam sudah menunjukan pukul 23.41. Kebetulan Ayahnya tidak dirumah, Keinan menyalin seluruh data dari komputer Ayahnya dan memindahkannya ke komputer Keinan. Dia terus mengotak-atik data yang ada.
“Finally.”
Keinan membuka ponselnya, dia membuka galeri dan melihat foto lamanya bersama Dion. “How lucky you are…” Gumamnya.

**

“Dion, tidur nak.” Ucap Ayahnya Dion.
“Belum ngantuk, Yah,”
“Tapi besok harus sekolah.”
“Tenang, gak akan kesiangan kok.”
“Awas aja.”
Ayah Dion menutup pintu kamar anaknya itu. Dion hanya menatap langit-langit, makin hari rasa penasarannya makin muncul. Terutama, tidak adanya kemiripan diantara dia, Ayahnya, dan Ibunya.
“Golongan darah gua apa coba.”

Jam makan siang tiba, Dion, Panji, dan Galang pergi makan siang di kantin. Selama memesan makanan Dion hanya diam sedangkan Panji dan Galang bermain game online walau berdampak keributan.
Pesanan mereka pun datang, Panji dan Galang langsung makan dengan lahap sedang Dion makan sangat lambat.
“Punya lo hambar apa gimana?” tanya Panji pada Dion.
Dion menggeleng.
“Gak kayak biasanya, lo kenapa?” tanya Galang.
Panji mencicipi makanan Dion, “Susah sih kalau gak suka pedes, segini hambar kata gua mah.”
“Masalah gua bukan di makanan.” Ucap Dion.
“Cerita lah bray.”
Dion mengambil nafas, “Kalian ngerasa gak sih … Keinan sama nyokap gua mirip?”
Panji langsung tersedak makanannya.
“Jujur iya, lo baru nyadar kah?” tanya Galang.
“Dari mata, hidung, sampai bibirnya aja kayak duplikat nyokap lo.” Sambung Panji.
“Dia anak nyokap gua gitu?” tanya Dion.
“Hah?”
“Ngawur lo Dion.”
“Kalau dia anak nyokap lo alias sedarah sama lo, berarti kalian kembar dong?”
“Bisa aja malah gua yang bukan anak nyokap gua.”
“Lo kenapa sih overthinking-nya irasional.” Ujar Panji
“Anjir irasional, ya namanya juga overthinking dodol.” Jawab Galang.
Tanpa mereka sadari, Keinan duduk didekat mereka, mendengarkan pembicaraan mereka dari awal. Bisa-bisanya mereka sedang membicarakan seseorang tanpa melihat sekitar apakah orang itu ada disana atau tidak.
“Dion!” Panggil seseorang. “Aku duduk disini boleh ya?”
“Oy, Noya, lo gak liat masih banyak meja kosong disini?” tanya Galang.
Agnolya atau Noya itu menatap Galang dengan tatapan sebal, begitupun Galang. “Gak mau, males, mau deket Dion.”
Ketika Noya duduk, Dion langsung berdiri dan meninggalkan kantin.
“Ihh dia kenapa sih?”
“Lagian lo aneh datang-datang malah duduk sebelah dia.” Ujar Galang.
“Emang gak boleh?”
“Lo siapanya emang?”
“Woi gua mau makan dengan tenang!”
“Ih, nyebelin!” teriak Noya yang menarik banyak atensi, Noya pun pergi meninggalkan Panji dan Galang.
“Hadeh, itu anak pick me nya mendarah daging.”
Keinan juga ikut meninggalkan kantin. Dia terlalu buru-buru mencari Dion sehingga tak memperhatikan jalan dan tak sengaja menabrak Dev.
“Eh maaf Dev maaf, aku gak liat-liat.”
Dev mengangguk, lalu bertanya. “Kamu gak makan siang?”
“Hah? Aku? Emm tadi udah. Kalau kamu?”
“Baru mau.”
“Oh ya udah kalau gitu, aku duluan ya.”
“Eh, Keinan.” Panggil Dev menahan Keinan.
“Kenapa?”
“Makasih ya, buat kemarin.”
Keinan tersenyum lalu kali ini benar-benar meninggalkan Dev.
Dev berjalan ke kantin dan memesan makanan, sangat jarang dia makan di kantin. Anak perempuan disana heboh melihat sosok tampan yang terlihat tidak nyata itu duduk dan makan sendirian.

**

“Dion?” Panggil Keinan.
“Hai, Kei.”
“Sumpah aku nyariin daritadi, ternyata kamu diem disini.”
Dion tersenyum, dia menyuruh Keinan duduk disampingnya, di kursi panjang dekat kolam ikan yang menghadap taman.
“Kamu kenapa?” tanya Keinan.
Dion menggeleng, “Overthinking doang.” Dia membuang nafas pelan. “Noya juga caper ke aku, apaan banget.”
Keinan hanya tertawa kecil, tak seperti yang Dion fikirkan bahwa Keinan akan menghujat Noya seperti anak perempuan pada umumnya.
“Kei, gimana perasaan kamu kalau selama ini dibohongin sama ortu?” tanya Dion.
“Aku sih … Biasa aja, soalnya emang selama ini dibohongin,”
“Kalau boleh tau, dibohongin kayak gimana?”
“Dibohongin soal identitas Ibu aku.”
“Ah gitu … Kuat banget kamu Kei.”
“Emang.” Jawab Keinan merasa bangga. “Ayah juga nyembunyiin penyakit yang di diagnosanya.”
“Penyakit? Om Bethar sakit apa?”
Keinan beranjak dari duduknya, “Nanti aku kasih tau. Eh, udah mau bel ayo ke kelas.”
Dion pun ikut beranjak dan mereka jalan berdua ke kelas.
Kebetulan ada Dev disana, Dev melihat Keinan bersama Dion. Dev langsung mengambil deduksi bahwa Keinan menyukai Dion, itu membuat harapannya pudar, apalagi saat Keinan tidak melihat kehadiran Dev.

**

“Dion kacau banget coy.” Ucap Panji.
Delya, Keinan, dan Galang yang sedang duduk bersama Panji disana mengiyakan perkataan Panji.
“Kei, Dion overthinking soal keluarganya. Lo deket sama ortunya kan? Lo pasti bisa bantuin dia.” Ucap Galang.
“Kali ini aku gak bisa bantu.” Jawab Keinan.
“Kok gitu?”
“Aku gak punya hak buat ikut campur urusan keluarganya, hehe.”
“Bener tuh, Lang. Lo mah main nyaranin aja.”
“Ya maaf.”
“Aku pengen jujur sama kalian…” Ucap Keinan.
“Apa tuh?”
Dion masuk ke kelas memperhatikan mereka, tapi mereka tak sadar.
“Lo suka Dion, kan? Udah tau kita juga.” Ucap Panji.
“Dih, enggak ya.”
“Lho? Kamu gak suka Di … On?” tanya Delya yang terjeda saat melihat Dion.
“Eh Dion.” Sapa Galang.
“Kalem bre kalem, bukan maksud kita ngomongin dibelakang ye.” Ucap Panji.
Dion menghiraukan ucapanan Panji dan kembali pergi.
“Bagus lah, jadi cool tuh si Dion.” Ucap Delya.
“Bagus matamu, gua mah bukan tipikal temen munafik.” Ucap Panji.
“Lagian gua bukan temen dia.” Sergah Delya.
“Heh, kalau Dion denger makin menjadi nanti.”
“Aku keluar dulu ya.” Ucap Keinan.
“Cie mau nyusulin ya?” tanya Panji.
Panji terdiam ketika melihat raut muka tak senang dari Keinan, lalu Keinan pun langsung pergi.

**

Bel pulang sudah berbunyi, murid yang lain sudah meninggalkan kelas dikarenakan mendung, sedangkan Keinan dan Dion masih dikelas karena piket.
Saat Keinan tengah menyapu lantai, Dion menghampirinya dan berkata. “Aku gak expected sama jawaban kamu tadi.”
Dion tertawa miris, “Kirain suka aku toh.”
Keinan menyelesaikan pekerjaannya dan menyimpan sapu itu, lalu menghampiri Dion. “Nggak, gak akan pernah.”
“Apa?”
“Aku gak akan pernah suka sama kamu, maaf.”
“Tapi kenapa?”
“Nanti juga kamu tau.”
Keinan yang hendak pergi langsung ditahan tangannya oleh Dion. “Kenapa banyak yang kamu sembunyiin dari aku?”
“Aku mau pulang Dion, lepasin.”
“Jawab dulu.”
Keinan diam, dia menatap mata Dion yang menatapnya dengan penuh tanda tanya, sedang hujan turun dengan deras diluar.
“Aku gak mau ngerusak mental kamu.”
Alasan tidak masuk akal itu membuat Dion tertawa pelan, dia tidak mau bertanya lagi dan melepaskan tangannya dari tangan Keinan, lalu meninggalkan Keinan dengan perasaan yang bercampur aduk.
Keinan mengunci pintu kelas dan melihat hujan yang lebih deras dari biasanya, sialnya dia tidak membawa payung atau mantel. Keinan juga tidak melihat ada orang lain disekitar kelasnya. Mau tak mau Keinan menorobos hujan dengan tas diatas kepalanya.
Dia berhenti ditengah jalan padahal belum sampai ke gerbang. Keinan menggigil dan merasa sangat kedinginan. Namun tiba-tiba terlihat sesuatu yang menghalangi kepalanya dari air hujan, sebuah payung berwarna biru yang dipegang oleh Dev.
“D-dev?” panggil Keinan sembari menggigil.
Tanpa basa-basi Dev menarik Keinan untuk mendekat dengannya sehingga payung itu muat untuk berdua, Dev membawa Keinan berteduh di pos satpam dekat gerbang.
Dev mengeluarkan jaket dari tasnya dan memakaikannya pada Keinan, Dev juga memberikan Keinan sapu tangan untuk mengeringkan wajahnya.
“Makasih.” Ucap Keinan.
Dev mengangguk.
Tidak ada pembicaraan diantara mereka, Keinan sibuk dengan dirinya dan rambutnya yang basah, sedangkan Dev hanya memperhatikan.
“Nama panjang kamu siapa?” tanya Dev.
Keinan berfikir sebentar, “Keinan Ayu … Bethari.”
Dev terdiam lalu berkata, “Artinya bagus.”
“Apa?”
“Cantik seperti lagu indah yang dimainkan Dewi.”
Keinan tersipu malu dan takjub dengan arti namanya sendiri yang selama ini ia kira tak ada artinya.
“Kok kamu bisa tau?”
“I like to learn about names.”
Keinan mengangguk dan tertawa pelan. Tawa itu sungguh menghangatkan suasana.
“Kamu gak mau pulang? Ibu kamu gak akan nyariin?” tanya Dev.
“Aku gak punya Ibu.”
“Sama sih. Maksudnya Ayah kamu gitu?”
“Nggak, Ayah gak dirumah.”
“Sama.”
Keinan tertawa, “Ngikutin.”
Dev pun tertawa, tawa yang bertahun-tahun tidak terlihat kini kembali ketika Dev disamping Keinan.
“Pulang yuk.” Ajak Keinan.
Dev mengangguk lalu berdiri, dia memegang payung dan memayungi Keinan.
Di sebrang jalan ada Noya yang tak sengaja melihat mereka berdua, sontak Noya mengeluarkan ponselnya dan memotret momen itu.

“Dion!” Panggil Noya.
Dion mengacuhkan Noya.
“Ih Dion! Aku mau ngasih liat sesuatu!”
“Apa?”
“Sebentar.” Noya mengeluarkan ponselnya dan menunjukan suatu foto dari galeri.
“Keinan?”
“Iya, sama Dev.”
“Ngapain mereka berdua?”
“Gak tau, gerak-geriknya sih ya kayak yang pacaran.” Ucap Noya dengan lagak sok polosnya.
Dion tersulut emosi, dia pun dengan cepat pergi meninggalkan Noya.
“Kalau ada apa-apa nanti aku kabarin lagi!” Ucap Noya yang dibalas acungan jempol.
Noya merasa sepertinya saat ini dia bisa membalaskan dendamnya.

**

Dion pergi ke UKS, dan benar saja Keinan ada didalam sana. Tadinya Dion hendak menghampiri Keinan namun dia berubah fikiran mengingat emosi bisa melenyapkan segalanya. Dion pun pergi.
Keinan yang melihat Dion bergegas keluar namun lagi dan lagi, dia menabrak Dev.
“Tabrak aja terus.” Ucap Dev.
“Maaf. Lagian kamu kalau muncul timing-nya gak tepat.”
“So, should I text you before?”
“Gak gitu.”
“Dion jalan ke arah kelasnya.” Ucap Dev tiba-tiba.
“Hah? Siapa juga yang nyariin Dion.” Jawab Keinan pura-pura tidak tahu.
“Anyway, can I get your phone number, Kei?”
“Ekhem, ekhem!” Suara orang-orang dari dalam UKS.
Keinan merasa pipinya panas, dia pun sedikit gugup. Setelah memberikannya Keinan bergegas masuk ke dalam UKS dan tak terlihat dari luar. Dev yang melihatnya tersenyum tipis lalu pergi.
“Kei kamu sama Dev ada hubungan apa?” tanya Melinda.
“Gak ada!”
“Ah ngaku aja sih.”
“Anyway, can I get your phone number, Kei?” Ejek seseorang menirukan apa yang Dev ucapkan tadi.
Keinan melemparnya dengan bantal dari kasur yang ada di UKS dan membuat Melinda menegur mereka berdua.
“Cie gak akan bisa tidur ini mah.”
“Diem ah udah!”

**

Keinan dan Dion masih tidak baik-baik saja, kali ini Keinan lagi yang mengunci kelas, dan tiba-tiba ada yang menyapanya.
“Hai.”
Keinan menoleh ke arah suara yang tidak asing itu lalu memasang wajah malas. “Apa?”
“Orang nyapa baik-baik juga.” Jawab Noya. “Eh kamu sama Dev pacaran?”
“Gak usah sok tau.”
Keinan hendak pergi namun tangannya ditahan Noya.
“Masih sebenci itu kamu sama aku?”
“Kalau kayak gini yang ada makin benci.”
“Kei…”
“Stop, Noya. You’re so annoying.”
“Kamu bisa gak sih maafin kesalahan sepele!” teriak Noya.
“Sepele?”
“Aku gak sengaja!”
“Gak sengaja ya?” Keinan tersenyum yang senyum nya itu tidak bisa disimpulkan oleh Noya. Keinan pun pergi dan Noya membiarkannya, apa maksudnya?

**

“Dev? Nungguin siapa?” tanya Keinan ketika melihat Dev digerbang.
“Kamu.”
“Hah?” tanya Keinan spontan.
“Enggak, hehe. Eh, kita pulangnya searah lho.”
“Kok bisa tau?”
“Aku pernah liat kamu jalan kaki.”
“Aku emang biasanya jalan kaki.”
“I mean … Whatever.”
Keinan pun tertawa, “Mau pulang bareng bilang aja.”
“Geer ih.”
“Ya udah, duluan ya.”
Keinan berjalan lumayan jauh, lalu dia sadar ada seseorang dibelakangnya yang ternyata itu Dev.
“Halo, hehe.” Ucap Dev.
Keinan menghentikan langkahnya untuk menyesuaikannya dengan Dev.
“Tuh kan, tuh kan.” Ucap Keinan.
Dev tidak berkata apa-apa, dia bertingkah kikuk dan sedikit gugup.
“Rumah kamu masih jauh?” tanya Keinan.
“Enggak juga tapi lumayan.”
“Mau mampir?”
“Hah?!” Dev kaget mendengar pertanyaan Keinan.
“Bercanda, duluan ya. Bye!”
“Bye…” Dev melambaikan tangannya perlahan, masih syok dengan pertanyaan Keinan tadi.
**
“Ayah Keinan pulang!”
“Tumben seneng banget keliatannya. Kenapa tuh?”
“Enggak ah.” Keinan menyimpan sepatunya dan mengambil air dingin di kulkas.
“Kirain cowok tadi bakal dibawa mampir.” Ucap Ayah Keinan.
Keinan yang sedang minum pun tersedak. “Apa?!”
“Tadi Ayah pulang dari warung liat kamu sama cowok, bule sih.”
Keinan merasa lidahnya kelu, bisa-bisanya dia diciduk Ayah sendiri.
“Anu–”
“Suruh mampir aja lain kali mah, pacar kamu kan?”
“B-bukan!”
“Aish dasar anak SMA.”
Keinan merasa tersinggung dengan ucapan Ayahnya, dia langsung bertingkah kikuk dan lari ke kamarnya.

**

Dev menutup pintu rumahnya lalu langsung merebahkan diri diatas sofa mewah tanpa melepas sepatunya. Dia mengingat kejadian tadi, kenapa kesannya dia sangat bodoh di dekat Keinan?
Ah sudahlah. Tapi Dev jadi teringat obrolan Noya dengan temannya yang dimana mereka adalah teman sekelas Dev.

“Cewek cantik yang rambutnya pendek itu siapa sih namanya?” tanya temannya Noya.
“Kelas mana?”
“Kelas sebelah, itu loh yang anak PMR.”
“Oh Keinan.”
“Siapa namanya?”
“Keinan, Keinan Ayu apa ya … Lupa. Kenapa emangnya?”
“Enggak, dia sering nyapa aku kalau ketemu. Udah cantik, ramah lagi, ya ampun mau iri tapi gimana ya seneng gitu disapa cewek cantik.”
Noya tersenyum mendengarnya. “Andai kamu tau…”
“Apa? Kenapa?”
“Ah nggak, bukan apa-apa.”
Temannya penasaran, begitu juga Dev.
“Anu … Keinan waktu SMP pernah masuk ruang BK.” Ucap Noya.
“Hah? Kok bisa?”
Dev berfikir apakah itu mungkin terjadi?
“Iya, dulu itu dia sering ngebully orang .”
“Cantik cantik tukang bully?”
“Mhm, mana keseringan gunta-ganti cowok.” Jawab Noya.
“Gak nyangka … Tapi iya sih, aku liat dia sering sama si Dion Dion itu, kadang juga sama yang lain.”
Noya mengarahkan matanya ke arah Dev, memberitahu temannya sesuatu.
“Dia juga?” tanya Temannya.
“Ssstt!”
“Wah … Gak kayak yang aku kira.”
Noya hanya tersenyum dan mengangguk.
“Kamu dulu pernah deket sama dia?” tanya Teman Noya.
“Pernah.”
“Deketin lagi dong, biar kamu makin tau sifat aslinya.”
“Aku usahain.” Jawab Noya.

Dev membuang obrolan tadi dari ingatannya. Masa bodoh dengan perkataan orang lain soal Keinan, yang pasti Dev tahu Keinan adalah pribadi yang baik dan peduli. Dev merogoh sakunya dan mengambil Handphonenya. Dia memandangj kontak Keinan dan berniat mengiriminya chat.
“We’re not that close…” Gumam Dev.

Keesokan harinya.
“Galang! Panji!” panggil Keinan.
Galang dan Panji yang sedang berjalan pun menghentikan langkahnya lalu menoleh.
“Pagi, Kei.” Sapa Panji.
Keinan tersenyum lalu menjawab, “Pagi juga. Dion mana?”
Galang tertawa pelan mendengar hal itu, “Dion? Kenapa nanyain Dion?”
“Sebenernya aku–”
“Duluan.” Ucap Galang memotong ucapan Keinan lalu melangkah pergi.
Keinan masih tak percaya, lalu Panji berkata, “Galang sama kecewanya kayak Dion,”
“Emang aku sejahat itu, ya?”
“Enggak, Kei. Aku ngerti gimana susahnya buat suka sama orang yang kita anggap sebagai sahabat. Dion sama Galang nanti juga baik lagi, gak usah khawatir.” Ucap Panji menenangkan Keinan.
“Makasih, Panji…”
“Santai aja. Eh duluan ya, aku belum ngerjain PR.”
“Iya, sampai ketemu lagi.”
Sebelum berbalik, Panji tersenyum dan menyapa seseorang yang berada dibelakang Keinan, “Eh, Bule. Morning, Mrs.”
Keinan pun berbalik dan menyapanya. “Morning Dev.”
“Good morning Kei.”
“Woah, kalian saling kenal?” tanya Panji.
Dev mengangguk dan tersenyum.
“Em, ya udah, kalau gitu aku duluan ya, Kei, Dev.”
“Iya.” Jawab Keinan.
“Jaket aku mana?” tanya Dev.
“Oh iya ini.” Keinan hendak mengeluarkan jaket Dev dari tasnya namun Dev menahannya.
“Nanti aja. Ayo ke kelas.”
Keinan mengangguk dan berjalan dibelakang Dev.
“Tuhkan.” Ucap Noya pada temannya, mereka sedari tadi memperhatikan Dev dan Keinan.
“Ih bener…”

**

“Pagi Dev!” Ucap Noya.
Dev tak merespon apapun.
“Gitu ih, kok gak dijawab.”
Dev berdiri, dia hendak keluar kelas tapi Noya menggenggam tangannya.
“Dev mah gitu ah.”
Dev menatap Noya, dia heran ada apa dengan perempuan satu ini.
Keinan mengambil jalan berbeda untuk pergi ke UKS, yaitu melewati kelas Dev dan begitu Keinan melihat kearah jendela kelas, yang dia lihat adalah Noya yang sedang menggenggam tangan Dev, Dev juga hanya diam.
“Eh, itu Keinan. Hai!” Tangan Noya yang satu lagi melambai ke arah Keinan.
Sontak Dev melepas genggaman Noya dan menjauh, dia melihat Keinan pergi begitu saja.
“Noy? Kamu ngapain tadi?” tanya teman Noya.
“Ssstt, bagian dari rencana.”
“Rencana?”
Noya tersenyum seolah memberikan kode. Temannya hanya mengangguk seolah faham.

**

“Kak Melinda, ada Keinan?” tanya Dev pada Melinda yang sedang duduk diluar UKS.
“Keinan? Nggak ada.”
“Ah kira-kira kemana ya?”
“Emang kenapa, Dev?”
“Enggak kak, makasih ya.”
“Iya sama-sama.”
Keinan yang bersembunyi diantara ranjang-ranjang pun keluar dan menghampiri Melinda. “Udah pergi?” tanya Keinan.
“Udah, kenapa sih Kei?”
“Nggak. Gak apa-apa.”
“Ah biasa itu mah, namanya juga pacaran.” Ucap teman Keinan.
“Pacaran matamu!” Jawab Keinan.
“Ya maaf sih gak usah nyolot.”
Keinan kembali masuk ke UKS dengan perasaan agak kesal.
Sedangkan Dev pergi ke kamar mandi, ya lagi-lagi minum antipsikotik nya. Setiap dia cemas, kaget, khawatir, takut, pasti dia merasakan sesuatu yang hebat entah itu panik atau rasa sakit.
Dev mengecek layar HP nya yang ternyata bel masuk masih lama, tiba-tiba dia teringat bahwa dia menyimpan kontak Keinan.
Dev pun mengiriminya chat.
Dev berharap mendapat balasan dari Keinan, tapi sampai pukul 7.23 pun belum ada balasan. Dev meyakinkan dirinya bahwa tadi bukan lah hal besar, Dev sudah pulih dari skizofrenia kan? Setelah semua pengobatan yang dia lakukan. Dev harap begitu, agar Keinan tidak mengetahunya. Akhirnya Dev kembali ke kelasnya dengan perasaan khawatir.

**

“Kei, tadi ada notif tuh.” Ucap Delya.
“Iyakah?” Keinan langsung mengecek HP nya.
“Ya makanya kemana-mana bawa HP.”
Keinan terkejut sejadi-jadinya, dia mendapat chat dari nomer asing dan ternyata itu Dev yang menanyakan keberadaannya.
Kurang lebih isinya. “Keinan kamu dimana? Are you mad at me Kei?”
Keinan membalasnya dengan singkat. “Dikelas.”
Sungguh tidak di duga-duga, Dev langsung membaca pesan Keinan dan langsung mengetik. Tak lupa Keinan pun menyimpan kontak Dev.
“Aku daritadi nyariin kamu, Kei.” Ketik Dev.
Delya yang mengintip percakapan itu langsung heboh, yang lain juga melirik ke arah Keinan dan itu membuat Keinan malu, Keinan pun pergi keluar kelas.
Saat akan membalas chat dari Dev, Keinan dikagetkan dengan Dev yang sama-sama diluar kelas dan tengah memperhatikannya.
Dev pun menghampiri Keinan, mereka berdiri tepat di depan pintu kelas Keinan.
“A-anu, jangan ngalangin jalan Dev.”
“Who cares?” Tanya Dev.
Seisi kelas memperhatikan mereka berdua, Keinan pun bersembunyi dibelakang punggung Dev.
Dev tertawa dan memperhatikan Keinan yang sedari tadi menahan malu sampai pipinya merah.
“Kamu tadi kemana?”
“Di UKS.” Jawab Keinan keceplosan.
“Lho?”
“Tadi aku ngumpet terus nyuruh Kak Melin buat…” Ucap Keinan merasa bersalah.
Dev mengangguk, “Masuk kelas sana.” Jawab Dev.
Sebelum masuk ke kelasnya Keinan menoleh ke arah Dev yang masih berdiri disana. “Maaf Dev…”
Dev tersenyum dan tiba-tiba mengelus kepala Keinan. “Gak apa-apa.”
Keinan langsung salah tingkah, anak-anak kelas benar-benar heboh melihat 2 murid populer itu, Keinan tidak bisa mendeskripsikan seheboh apa mereka.
Dev tersenyum dan meninggalkan Keinan, sedangkan Keinan was too stunned to speak. Disisi lain ada Dion yang sedari tadi memperhatikan mereka hatinya langsung hancur berkeping-keping, dia melewati Keinan yang tengah berbunga-bunga itu begitu saja.
“Dion?” tanya Galang.
“Gak apa-apa aku I’m fine.” Jawab Dion.
“Aku gak tuh.” Ucap Panji.
“Ssstt, dia sedang heart broken.”
“Apa sih kalian.” Ucap Dion.
Keinan masuk ke kelas dengan perasaan ingin menghilang dari bumi, begitu duduk dia langsung di interogasi Delya dan yang lain, untung saja tak lama guru pengajar datang, tapi Delya masih terus bertanya dengan cara berbisik.
Sedangkan Dev dikelasnya tidak bisa fokus pelajaran, lagipula ini pelajaran Bahasa Inggris, untuk apa dia masih harus belajar? Orang dia saja lahir di negara berbahasa Inggris.

**

“Gak akan makan siang bareng ayang Dev nih?” tanya Delya.
“Apa sih!”
“Ih kok gitu, masa pacaran tapi gak makan bareng?”
“Lama-lama aku lempar ya kamu, Del.”
“Hihi, duluan ya, jangan lupa makan cintaku.”
“Ya.” Jawab Keinan.
Keinan duduk dan melipat tangannya lalu menyembunyikan mukanya. Dia merasa perasaannya lebih kacau daripada letusan balon hijau. Tak lama dia mendengar suara kursi ditarik lalu melihat ke arah sumber suara.
“Dev?!”
“Kenapa? Kok kaget?”
“Kok kamu disini?”
“Emang gak boleh?”
Keinan hanya bisa diam, sungguh tingkah laki-laki satu itu penuh dengan jumpscare.
“Kenapa gak makan?” tanya Dev.
Keinan hanya menggeleng.
“Ayo makan, habis ini kelas kamu ada pelajaran olahraga kan?”
Lagi-lagi, “Kok kamu bisa tau?”
Dev tersenyum lalu berdiri, Keinan mengikutinya berdiri dan mereka pun berjalan sampai ke kantin. Dev makan dengan lahap dihadapan Keinan tak peduli berapa banyak pasang mata yang memperhatikan mereka.
Dev menatap Keinan yang daritadi hanya menunduk dan mengaduk-aduk makanannya. “Doesn’t it bother you?” tanya Dev.
“About the way they stare when you’re with me.” lanjutnya.
“What? No, for real, no.” Jawab Keinan.
“Then eat your lunch.”
“I have no taste anymore…”
“Mau makan yang lain? Or I’ll buy you bread, at least you need to eat.”
“Gak usah, Dev.”
“Ah.” Dev menyimpan sendoknya diatas piring nya lalu memundurkan kursinya dari meja, dan menghentikan makannya.
“Kenapa berhenti makan?” tanya Keinan.
“I have no taste anymore.” Jawab Dev meniru kalimat Keinan tadi.
Keinan diam sejenak dan mau tak mau memakan makan siangnya, Dev hanya memperhatikannya sambil tertawa.
“Your cheecks are messy.” Ucap Dev.
“Messi?” tanya Keinan.
“Artinya apa bang Messi?”
“Ih seriusan maksudnya Messi apa?”
“Belepotan, Keinan. Pipi kamu belepotan.” Jawab Dev.
Keinan dengan cepat mengelapnya dengan tisu, lalu bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Dev kembali tertawa dan hanya kagum memperhatikan Keinan. Lucu, manis, cantik, bersatu-padu dalam satu orang yang sama, sungguh beruntung pria yang bisa memilikinya.

**

“Aku udah nyuruh Dev pulang duluan.” Ucap Dion tiba-tiba.
“Hah?” Jawab Keinan.
“Mama aku lagi sakit, gak mau kamu jenguk?”
Keinan terdiam sejenak, “Ya udah ayo.”
Dion tersenyum. “Aku nunggu digerbang ya.”
“Oke.”
Saat Keinan mengunci pintu kelas, dari arah sampingnya muncul Dev yang lalu menghampirinya.
“Duluan, Dev.” Ucap Keinan.
“Mau kemana?”
“Mama aku sakit.”
“Hah?”
“Dadah.”
Keinan berlari meninggalkan Dev yang kebingungan. Mama? Tapi terakhir Keinan bercerita…

**

“Ma, Dion pulang.” Ucap Dion.
Keinan menunggu di ruang tamu sementara Dion memberitahu mamanya bahwa Keinan datang menjenguk.
“Kei, ayo sini masuk.” Ajak Dion.
“Iya.”
Keinan masuk ke kamar Amanda, Mamanya Dion, dengan membawa beberapa makanan ringan.
“Keinan, udah lama gak liat sayang.” Ucap Mamanya Dion.
“Iya, Tante. Akhir-akhir ini Keinan sibuk, hehe.”
Dion berdiri dipojok ruangan, sibuk apa? sibuk pacaran kah? batinnya.
“Oh gitu ya…”
“Maaf tante Keinan cuma beliin tante ini.”
“Ya ampun Keinan gak usah repot-repot ih kebiasaan kamu mah.”
“Nggak kok, Tante.”
“Ma, Dion ganti baju dulu ya.” Ucap Dion.
“Iya sana, habis olahraga juga.” Jawab Mamanya.
Dion pun meninggalkan mereka berdua diruangan itu.
Mereka membicarakan apapun yang terlintas dipikiran mereka sampai suasana pun hening, dan Keinan mengatakan sesuatu.
“Keinan harap ini terakhir kalinya kita ketemu.” Ucap Keinan.
“Apa?”
Keinan tersenyum. “Ayah sakit keras.” Jawab Keinan.
Amanda tak bisa mencerna ucapan Keinan, Ayah? Ayah siapa maksudnya?
Amanda tertawa canggung, “Ah, semoga cepet sembuh ya.”
“Katanya seorang Ibu punya ikatan batin sama anaknya, kenapa Ibu satu ini seolah-olah gak kenal anaknya?”
Sungguh saat itu Amanda langsung pucat dan berkeringat dingin, dia tidak bisa mengatakan apapun.
“Saya sama Dion udah temenan 2 tahun, bukan sekali dua kali saya mampir kesini. Tapi bisa-bisanya tante gak tau arti dari nama Bethari? Iya, Bethar, Bethar Permana.”
Air mata tiba-tiba membasahi pipinya Amanda. “K-keinan…”
“Makasih udah jadi Ibu yang baik, seenggaknya buat Dion. Dion gak akan tau rasanya tumbuh tanpa kasih sayang Ibu.”
Amanda makin menangis.
“Ma!” Panggil Dion.
“Siapa Ayah kandung saya?” tanya Keinan.
Amanda menggeleng, dia tidak bisa menjawab.
Keinan berdiri, dia menghampiri foto keluarga dimana disana ada Dion dan kedua orang tuanya.
Setelah itu Keinan mengambil tasnya. “Tolong nanti jangan datang ke pemakaman Ayah saya.” Lalu meninggalkan Amanda yang masih syok dan menangis didalam kamarnya. Keinan menutup pintu kamar lalu Dion menghampirinya.
“Kei–”
“Ssstt, biarin tante Manda istirahat. Aku juga perlu istirahat.”
“Ah gitu ya … Mau aku anter pulang gak?” tanya Dion.
“Gak usah.”
“Eh maaf banget lho ya ngerepotin.”
“Nggak kok, sampai nanti, Dion.”
“See you, Kei.”

**

Keinan masuk kerumahnya, dia mencari Ayahnya namun tak kunjung menemukannya. Sebelum panik Keinan sempat melampiaskan emosinya saat mengingat jawaban Amanda tadi. Tak lama ponselnya pun berbunyi, ada panggilan masuk.
“Om Irwan?” Gumam Keinan saat membaca nama kontak.
“Halo, Om?” tanya Keinan.
“Kei? Kamu udah pulang?”
“Udah om, kenapa?”
“Ayah kamu lagi di rumah sakit, Kei.”
“Hah?!”
“Om cuma bisa nemenin dia sampai jam 3-an, nanti kamu kesini ya?”
“Iya om, iya! Keinan bakal langsung kesana!”
Keinan menutup telepon dan langsung berlari pontang-panting ke kamarnya, dia bergegas mengganti pakaian tanpa memperdulikan penampilannya.
Keinan ingat dia tidak punya sisa uang sedikit pun, Ayahnya belum memberinya uang dan uang sakunya habis dibelikan banyak keperluan termasuk membeli makanan ringan untuk Amanda. Masalahnya bagaimana dia bisa sampai kerumah sakit? Apa dia harus berjalan kaki atau meminjam ongkos pada Delya? Ah, tau begini Keinan akan minta dijemput Om Irwan.
Tiba-tiba dia teringat akan seseorang, dan langsung meneleponnya. Walau butuh waktu cukup lama akhirnya teleponnya diangkat.
“Halo Dev?”
“Halo Kei, kenapa?”
“Kamu bisa bawa motor gak?”
“Nggak, but I can drive a car.”
“Ah bisa anter aku ke rumah sakit gak?”
“Bisa bisa, aku udah punya SIM kok, tunggu aja dipertigaan kemarin ya.”
“Ah iya, makasih ya Dev.”
“My pleasure.”
Keinan merasa sangat lega, syukurlah ada Dev yang bisa dia andalkan.
Sesuai perintah Dev, Keinan menunggu dipertigaan dekat rumahnya dan tak lama ada mobil berwarna putih berhenti didekatnya.
Dev turun dengan menggunakan pakaian rapi, jauh lebih tampan daripada memakai seragam. Dia pun membukakan pintu untuk Keinan dan menyuruhnya masuk.
Dari awal masuk mobil hinggal mobil itu melaju Keinan tak bisa melepaskan pandangannya dari Dev, dia seperti sedang melihat tokoh-tokoh film Marvel.
“Maaf Kei, ayah kamu sakit?” tanya Dev.
“Iya.” Jawab Keinan.
“Semoga cepet sembuh ya.”
“Makasih Dev. Oh iya, maaf lupa soal jaket kamu…”
“Gak apa-apa Kei, jaket aku masih banyak kok dirumah.” Kata-kata yang muncul dari mulut orang kaya.
Keinan tersenyum, dia menatap kearah jendela dan mendengarkan Dev bersenandung pelan.
“Lagu apa itu?” tanya Keinan.
“Lupa lagi judulnya, tapi itu lagu Belanda zaman dulu.”
“Coba kamu ngomong Bahasa Belanda.”
“Devisser Dewitt. Itu Bahasa Belanda.”
“Ih yang bener.”
“Gak tau Keinan, aku bisanya Bahasa Inggris.”
“Terus kenapa nama kamu Bahasa Belanda?”
“Mama aku orang Belanda.” Jawab Dev.
Keinan tersenyum lalu mengangguk.
“Kita udah nyampe. Bentar Kei aku parkirin mobil dulu.”
“Iya Dev.” Keinan mengambil tasnya dan bersiap turun.
Dev membukakan pintu mobil lagi, dan Keinan pun turun. “Makasih banyak, Dev. Maaf banget udah ngerepotin.”
“Seneng bisa bantu kamu, Kei. Sana gih samperin Ayah kamu.”
“Iya, dah!” Keinan melambaikan tangannya lalu berlari kecil masuk ke dalam rumah sakit, sedangkan Dev mencari udara segar sekeliling rumah sakit.
Hanya Keinan yang membuatnya bisa kembali ketempat penuh trauma ini, dia ingat bagaimana Mamanya dibawa oleh ambulance dan masuk ruangan ICU, dia ingat bagaimana Ayahnya menangisi Mamanya, dan yang paling Dev ingat adalah bagaimana dokter berkata bahwa nyawa Mamanya tidak dapat diselamatkan.
Itu yang membuat Dev depresi, sampai skizofrenia. Dia mengidap skizofrenia sejak umurnya belasan hingga umur 15 tahun. Dia meminum banyak obat dan mengikuti banyak terapi. Dari yang awalnya tidak bisa sekolah, kini Dev bisa berbicara dengan baik bahkan bisa mengendarai mobil.
Dia penasaran dengan Keinan, apakah Keinan masih memerlukan bantuannya atau haruskah dia pulang saja.
Kebetulan ponselnya berdering, ternyata Keinan menelponnya.
“Halo Dev?”
“Iya, halo Kei?”
“Makasih banget ya, Dev. Makasih.” Ucap Keinan.
“Sama-sama banget Kei. Eh, aku masih diparkiran lho.”
“Eh? Serius? Ya ampun Dev aku lupa gak nyuruh kamu masuk.”
“Gak apa-apa aku pulang aja.” Jawab Dev dengan nada ngambek.
“Jangan, ketemu Ayah aku dulu sini.”
“Serius?”
“Iya, aku samperin kamu ya.”
“Oke.”

Dev langsung nenatap dirinya di kaca spion, dia merapikan rambut dan penampilannya sampai Keinan memanggilnya dan mereka berdua masuk ke ruangan VIP Ayahnya Keinan.
“Ayah, liat, aku bawa siapa.”
Ayahnya yang setengah tertidur itu membuka matanya dan melihat Dev.
“Eh? Kamu?”
“Sore, Om, saya Dev.”
Bethar mengangguk senang, lalu berusaha duduk dan Dev pun mencium tangan Bethar dengan sopan.
Bethar tak henti-hentinya tersenyum lebar, seolah sangat senang dengan kehadirannya Dev.
“Dev, kamu anaknya Eg … Egbert, ya?” tanya Bethar.
“Iya om, Egbert Dewitt, saya Devisser Dewitt.”
“Ya ampun, lebih ganteng dari Ayahnya ya.”
“Ayah deket sama Ayahnya Dev, ya?” tanya Keinan.
“Sekedar kenal aja sih, tapi Ayah gak deket.”
“Ayah emang tertutup orangnya.” Ucap Dev.
“Dev, kamu sama Keinan pacaran?”
Dev hanya tersenyum tak menjawab dan menatap Keinan yang tampak kebingungan.
“Eee … Tadi Keinan kesini naik apa?” tanya Bethar mengalihkan topik.
“Mobil, Dev yang nganterin.” Ucap Dev.
Bethar makin kagum pada Dev. “Calon menantu idaman ya.”
“Hehe.” Jawab Dev.
Keinan salah tingkah, benar-benar salah tingkah.
“Om sakit apa?” tanya Dev.
“Om tuh punya serangan jantung.” jawab Bethar.
“Ah, maaf om…”
“Santai aja.”
Suasana hening sesaat.
“Oh iya Dev, kalau om udah gak ada nanti nitip Keinan ya.” ucap Bethar.
“Ayah … jangan bilang gitu…”
“Bercanda Keinan, bercanda. Lagian umur gak ada yang tau kan? Gak menutup kemungkinan Ayah hari ini–”
“Ayah!” Itu membuat Keinan berkaca-kaca
Bethar tertawa dan menyuruh Keinan menghampirinya lalu memeluknya.
Dev yang melihatnya tersenyum, namun disisi lain dia juga iri…

**

Sampai jam 7.30 Dev masih disana, tapi dia ketiduran di sofa dan Bethar juga membiarkannya saja. Sampai Keinan membangunkannya.
“Dev, bangun Dev.”
Dev menggaruk kepalanya lalu kembali tertidur.
“Dev, jam berapa ini hei.”
“What time is it?” tanya Dev dengan mata yang masih tertutup.
“Jam setengah 8.”
“Biarin, besok gak sekolah ini.” Jawab Dev melanjutkan tidurnya.
“Kamu gak laper? Gak akan makan malem?”
“Nggak. Om, Dev numpang tidur bentar ya Om.” Jawab Dev.
Bethar tertawa, “Biarin aja Kei, lumayan ada temennya.”
“Dia gak akan dicariin Ayahnya?”
“Enggak, Egbert jarang dirumah, iyakan Dev?”
“Hm.” Jawab Dev.
Keinan tersenyum melihat Dev yang tertidur pulas, tak lupa Keinan memotret dan mengabadikan momen ini.
Jam 9.12 Dev sudah berpamitan dan pulang kerumahnya.

Di hari minggu yang indah, Ayah Keinan pun sudah pulang ke rumah. Keinan duduk sambil bermain Handphone dan memakan camilan. Lalu Delya pun meneleponnya dan mereka membahas hal-hal tidak penting sampai Delya memberitahunya sesuatu.
“Kei, maaf banget ya ini mah. Tapi kamu udah tau belum soal rumor kamu yang udah kesebar?”
“Hah? Rumor apa?”
“Eh kamu belum tau?”
“Belum, kasih tau dong.”
“Katanya kamu pernah terlibat masalah waktu SMP sampai masuk ruang BK, terus kamu juga dikenal nakal karena sering gunta-ganti pacar.”
“Siapa yang bilang gitu?” tanya Keinan.
“Gak tau, katanya sih ini mah, katanya.”
“…”
“Kei?”
“Ah, kelas kita pekan seni nanti jadi nampilin drama kan?”
“Iya, masa lupa.” Jawab Delya. “Sumpah, sayang banget kamu nolak peran putri, padahal pangerannya Dion.”
“Aku sih…”
“Pengennya sama Dev, kan? Halah.”
“Diem ah. Eh udah dulu ya, aku belum makan.” ucap Keinan.
“Oke, see you beb!”
Keinan menyimpan HP nya ke atas meja dengan cukup keras. Sungguh dia benar-benar merasakan emosi yang hebat. Apa maksudnya? Keinan? Masuk ruang BK? Dan terlebih lagi, berpacaran saja tidak pernah bisa-bisanya tersebar rumor bahwa Keinan gunta-ganti pacar.

**

“Kei? Lagi badmood ya? Diem mulu perasaan.” tanya Delya.
“Lagi nyusun rencana.” Jawab Keinan.
“Rencana? Rencana apa?”
“Validasi.”
“Maksudnya?”
“Ah udahlah.”
“Yeuh, udah tau punya temen lemot ngasih jawaban yang gampang dicerna dikit susah amat.”
“Aku mau keluar dulu ya.”
“Oke.”
Baru saja keluar dari kelas, Keinan melihat Dev yang berjalan dari taman menuju kelasnya, Dev menyapa Keinan dan mereka pun mengobrol.
“Kesel banget ih.” Ucap Keinan.
“Kenapa?”
“Masa aku difitnah.”
Dev diam, dia ingat sesering apa Noya membicarakan Keinan yang tidak-tidak di belakang.
“Jangan bilang kamu percaya lagi sama rumornya.” Ucap Keinan.
“Apa? Impossible.”
“Terus kenapa diem aja ih.”
“Belum tentu kamu difitnah kan?” tanya Dev.
“Hah? Kok kamu gak belain aku?”
“Nggak gitu–”
“Jadi kamu percaya sama kata-kata mereka soal aku, gitu?”
“Enggak ih, kamu salah faham.”
“Bilang aja kalau kamu dari awal bukan dipihak aku.” Ucap Keinan dengan nada kecewa, Keinan pergi begitu saja, bukan ke UKS bukan ke kelas, tapi ke tempat lain.
“Kei! Keinan!” Panggil Dev.
Dev benar-benar merasa bersalah atas jawabannya. Dev yakin pasti kali ini Keinan benar-benar kecewa.
“Maafin aku, Kei…” Guman Dev.

H-2 Pekan seni, tidak ada komunikasi diantara Dev dan Keinan sejak hari itu, ditambah lagi Keinan yang benar-benar menghindari Dev membuat Dev kehabisan cara untuk meminta maaf.
Mereka sempat berpapasan, namun Keinan hanya menatap Dev sesaat, itupun tatapannya datar. Setelahnya Keinan menatap lurus tak memperdulikan Dev.
Dev berfikir, mungkinkah mereka akan asing?
Disisi lain juga nama baik Keinan jadi keruh karena rumor yang terus tersebar kemana-mana.
“Eh itu Keinan kan ya?”
“Jujur dia cantik, tapi sifatnya nggak banget deh.”
“Mendingan juga Noya.”
“Bener tuh.”
Bisik orang-orang ketika melihat Keinan, padahal Keinan baru saja melangkah dari gerbang dan hendak masuk sekolah, mulut-mulut yang dirindukan azab itu sudah menggunjingnya.
Bukan keruh sepertinya, tapi nama baik Keinan sudah tidak baik sama sekali. Keinan mencoba menahan emosi sampai omongan orang-orang itu sudah tidak dapat dimaklumi, lebih dari bullying.
“Anak nakal masuk kesini nyogok kali ya?”
“Ew, awas cowok kalian direbut dia.”
“Emm takut, mukanya cuma topeng ya.”
“Mentang-mentang cantik ew, semoga aja cantiknya hilang.”
Alhasil itu membuat emosinya meluap dan Keinan berlari menuju kelas Noya alih-alih menyimpan tasnya ke kelas.
Keinan menghampiri Noya yang sedang duduk membelakanginya, disana Dev juga ada dan memperhatikan Keinan.
“Ulah kamu?” tanya Keinan pada Noya.
“Maksudnya apa, Kei?”
“Gak usah sok polos.”
“Ih, aku serius gak tau soal rumor kamu itu.”
“Aku bahkan gak nanyain rumor itu, tapi kamu udah ngehindar.”
Noya tertawa canggung. “Apa sih.” Lalu kembali membelakangi Keinan.
Tanpa basa-basi Keinan menarik rambutnya Noya sampai dia merintih kesakitan.
Satu kelas yang melihatnya heboh dan berusaha menghentikan Keinan. Dev juga menarik Keinan agar menjauh dari Noya.
“Itu yang kamu mau kan?!”
Noya berkaca-kaca, dia benar-benar membuat orang merasa kasihan.
“Kei, kalau gak pergi aku panggil guru BK.” Ancam salah satu OSIS disana.
“Panggil kepala sekolah sekalian, asal biarin urusan aku sama anak ini kelar.”
“Kei…” Panggil Dev.
“Gak usah ikut campur, sana kamu mending belain Noya.” Ucap Keinan pada Dev. Dev sungguh tidak menyangka dengan ucapan Keinan itu.
“Kamu kok gitu Keinan…”
“Najis.” Jawab Keinan.
“Ngomong apa sih lo, Kei?” Bela temannya Noya.
Air mata Keinan menggelinang, rasa ingin melempar Noya menggunakan tasnya sungguh bergejolak. Keinan pun menangis sambil melampiaskan emosinya.
Keinan mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan suatu foto. “Ini aku sama Noya, waktu SMP.” Orang-orang terkejut karena Noya tak secantik sekarang. Keinan menarik nafasnya, kini semua orang memperhatikannya dan Noya hanya bisa diam. “Aku pengen buka lembaran baru di SMA, aku pengen punya pertemanan seindah orang lain. Sialnya kenapa dia malah ngomongin yang nggak-nggak soal aku? Dia pengen bersinar dengan cara ngejatuhin orang lain?”
Seisi kelas hening, mereka mulai mempercayai perkataan Keinan, karena terlihat jelas Keinan tidak sedang berbohong.
Keinan menunjukkan foto dimana Noya mem-bully seorang anak, menunjukkan foto saat Noya masuk ruang BK, screenshot-an chatnya saat Noya masuk BK, foto Noya dan gebetannya Keinan, juga foto-foto Noya dengan mantan-mantannya. “Jelas? Kalian gak buta kan? Aku tau kalian udah dewasa, kenapa masih percaya sama omongan dari satu pihak?” Keinan merapikan pakaiannya. “Noya, aku tunggu permintaan maaf kamu.” Keinan meninggalkan kelas Noya bersama Noya yang hanya tertunduk tanpa pembelaan.
Orang-orang pun langsung menyebutnya si munafik, bahkan teman terdekatnya. Kini mereka lebih kasihan kepada Keinan dibandingkan Noya.
Sedangkan Keinan sendiri kembali kerumahnya. Dia bolos tanpa mengabari teman sekelasnya, dan hanya menangis dikamar. Dev berusaha meneleponnya berulang kali namun tak kunjung mendapat jawaban.

“Keinan, Walikelas kamu bilang kamu bolos. Kenapa nak? Kamu sakit?” Bethar duduk di tepi ranjang Keinan, Keinan sedang berbaring membelakangi Bethar sambil menutup seluruh badannya dengan selimut.
Bethar mengelus rambut putrinya, “Ada masalah, ya?”
Keinan terisak tangis, dia duduk dan memeluk Ayahnya, lalu menceritakan semuanya.
“Ke-keinan gak salah kan…?”
Ayahnya terus mengelus rambut Keinan. “Nggak, Kei.”
“Maafin Keinan baru jujur ke Ayah…”
“Maafin Ayah baru tau masalah ini.” Jawab Ayahnya. “Keinan besok gak usah sekolah, ya? Kalau bisa Ayah ambil cuti buat healing sama Keinan.”
“Nggak usah, Yah. Keinan mau dirumah aja.”
“Bener nih?”
“Bener.”
“Ya udah Keinan makan dulu ya? Takutnya sakit.”
Keinan pun mengangguk dan pergi makan.

“Keinan gak sekolah?” tanya Galang.
“Ya menurut lo aja.” Jawab Delya.
“Gua kasian sama Keinan…”
“Waktu dia difitnah gitu lo kemana? Kenapa gak belain dia?” tanya Delya.
“Emang lo belain dia?”
“Dikit sih.” Jawan Delya
“Ngomong-ngomong kenapa kita jadi se-circle ya?”
“Lah iya juga.” Sahut Delya.
“Gara-gara kelompok kemarin.” Jawab Panji.
Galang mengangguk. “Eh, siapa yang tau rumah Keinan?” tanya Galang.
“Dion?” tanya Panji.
“Lo gak tau, Del?” tanya Galang pada Delya
“Gua gak tau rumahnya yang mana.” Jawab Delya
“Gua gak pernah kerumahnya.” Jawab Dion.
“Terus siapa yang tau?” tanya Delya.
“…Dev?” tanya Panji.
“Lah iya juga.”
“Kalau gitu gua gak ikut.” Ucap Dion.
“Dih? Siapa juga yang mau ngajakin lo.” Jawab Delya.
“Loh kok gitu?”
“Gua sama Dev doang.” Ucap Delya.
“Emang Dev mau sama lo?” tanya Galang.
“Lah iya juga ya.”

**

Sementara Dev, dia mencoba mengirimi chat pada Keinan dari kemarin, namun tak kunjung mendapat balasan.
nghela nafas, tak ada jawaban sama sekali. Sekecewa itu kah Keinan? Karena kehabisan cara, Dev pun menelpon seseorang.
“Devisser?”
“Hi … Dad.”
“Long time no call me, what’s wrong?” tanya Egbert, Ayahnya Dev.
“Do you have uncle Bethar’s contact?”
“Bethar? Yes, I do. Why?”
“Send it to me.”
“Okay. Um, don’t forget to eat.”
“I’m stuffed.”
Dev menutup teleponnya lalu tak lama Ayahnya mengirim kontak Bethar, Dev pun mengiriminya pesan.

**

Pukul 16.00 Keinan duduk diatas sofa sambil mengotak-atik laptop milik Ayahnya. Tiba-tiba terdengar ada yang mengetuk pintu rumah, dan Keinan membukanya.
“Sore, Kei.” Ucap orang itu.
“Dev?”
“Boleh aku masuk?” tanya Dev.
“Ngapain?”
“Aku udah izin sama om Bethar.”
Keinan tak menjawab dan mempersilahkan Dev masuk. Dev membawa mawar biru dengan coklat dan beberapa makanan ringan lainnya.
Itu berhasil membuat hati Keinan luluh, ditambah mawar biru adalah favoritnya dan Dev juga membelikan Keinan cokelat dengan merek kesukaannya.
“Wah, makasih Dev.”
Keinan pun mempersilahkan Dev duduk.
“Anggap aja itu permintaan maaf dari aku ya.”
Keinan menghiraukan kata-kata Dev.
“Udah makan, Kei?” tanya Dev.
“Belum.” Jawab Keinan sembari mengunyah cokelat.
“Mau dibeliin apa?”
“Ayam geprek!” Jawab Keinan antusias.
“Ayam … Apa?” tanya Dev.
“Kamu gak tau?”
Dev menggeleng.
“Ah gak usah deh.”
“Lho?”
“Aku masih marah sama kamu Dev.” Ucap Keinan.
Dev menghela nafasnya.
Suasana hening sesaat.
“Pak Egbert kayak gimana sih orangnya?” tanya Keinan.
“Ayah aku?”
“Iya lah, siapa lagi.”
“Mirip aku, tapi gantengan aku,”
“Emang iya?”
“Iya, Ayah lebih mirip Brigjen Aubertin Walter Sothern Mallaby.”
“Siapa itu?”
“Gak tau sejarah negara sendiri?”
“Hehe.”
“Parah, kalah sama orang Eropa.”
Tiba-tiba ponsel Keinan berdering.
“Halo, Kei?”
“Hm?”
“Kamu rumahnya dimana?” tanya Delya.
“Kenapa?” Keinan bertanya balik.
“Mau jenguk kamu.”
“Gak usah, udah ada Dev.” Jawab Keinan.
“Hah?”
“Besok aku sekolah kok, bye.” Ucap Keinan sembari menutup telepon.
Keinan melihat Dev yang sepertinya sedang salah tingkah, “Kenapa?”
“Feel special bisa tau rumah kamu.”
“Ceilah.”

Hari dimana pekan kreasi tiba, Keinan berangkat lebih pagi hari ini.
Dev menunggu Keinan digerbang, seperti yang sudah dia janjikan sebelumnya.
“Pagi Dev.”
“Pagi juga, Kei.”
“Aku takut…” Ucap Keinan.
“Jangan takut.”
“Gak mau ah, aku mau balik lagi, malu.”
Dev pun merangkul pundak Keinan. “I’ll protect you, Kei.”
Keinan merasa pipinya panas, sungguh salah tingkah dibuatnya.
“Ih jangan dirangkul gini.”
Dev pun melepaskan rangkulannya. “Kapan ke kelasnya?”
“Huft, ayo.”

**

“Keiiiinaaaaan!” teriak Delya yang langsung memeluk Keinan.
“Halo.”
Delya melihat ke arah Dev. “Buset berangkat bareng. Ngaku aja, kalian pacaran kan?”
“Iya.” Jawab Dev.
“Enggak.” Sergah Keinan.
“Iya.”
“Enggak!”
“Iya.” Dev menekankan ucapannya.
“HAH?!” Delya terkejut sambil menutup mulutnya.
“Kelas kita tampil lusa kan?”
Delya pun mengangguk tapi tetap menutup mulutnya.
“Berarti masih ada waktu buat aku latihan.”
“Ketua kelas kalian siapa?” tanya Dev memotong.
“Faren.” Jawab Delya.
“Aku bilang ke Faren, kamu gak usah banyak latihan.” Ucap Dev pada Keinan yang lalu berjalan pergi.
“Apa? Dev? Dev!”
“Ceilah couple baru.” Ucap Delya sembari mencubit pipi Keinan.
“Ih!”
“Couple baru! Couple baru!” Lagi-lagi Delya mencubit pipi Keinan tapi lebih keras.
“Delya!”

**

Tak seperti biasanya, kali ini Dev benar-benar sibuk dan tak dapat menemui Keinan, jadi Keinan hanya menonton acara seharian bersama Delya.
“Del.” Panggil Keinan.
Delya tak mendengarkan.
“Delya.” Panggilnya lagi.
“Ssst bentar itu yang mukanya cemong cakep banget!” Ucap Delya sambil menunjuk orangnya.
“Aelah.”
“Tapi jujur disekolah ini yang paling ganteng ya Dev. Hebat lo bisa macarin orang kayak dia.”
Keinan salah tingkah, walau sesungguhnya dia tidak tahu kapan dia dan Dev berpacaran?
Keinan juga menunjukkan foto dimana Dev sedang tertidur ketika menjenguk Ayahnya, itu membuat Delya sangat histeris dan menarik banyak atensi.
“Malu-maluin ih!” Ucap Keinan.
“Gak salah sih ini mah milih Dev.”
“Kenapa?” tanya Keinan.
“Daripada si Dion dodol itu.”
Keinan tertawa.
“Maksud lo apa?” tanya Dion yang tiba-tiba muncul.
“Kagak.” Jawab Delya.
“Pergi sana lo, gua mau ngomong sama Keinan.” Ucap Dion.
“Dih? Ya udah, dadah Kei.” Delya pun pindah tempat duduk dan membiarkan tempat duduknya diambil Dion.
“Liat Dev gak?” tanya Keinan.
“Dev, Dev, Dev, Dev. Bisa gak sih sehari tanpa kata Dev?”
“Sebenci itu kamu sama Dev?”
“Jelas, dia perebut kebahagiaan orang.” Jawab Dion.
Itu membuat Keinan tersenyum kecil. “Bukannya kamu?”
“Apa?”
Keinan menggeleng.
“Kei, aku tau lah aku kalau dibandingin sama Dev gak ada apa-apanya. Tapi kamu ninggalin orang lama demi orang baru?”
“Kamu gak akan ngerti, bukan itu masalahnya.”
“Ya terus apa?!” tanya Dion dengan nada cukup tinggi. Sebagian orang memperhatikan mereka.
Keinan kaget, siapa dia yang bahkan Ayahnya sendiri pun tidak pernah membentaknya. “Asal kamu tau, Dev gak pernah bentak aku.”
Dion sedikit frustasi. Tiba-tiba ponsel Keinan berdering dan Keinan berusaha mengeceknya.
“Dengerin aku.” Ucap Dion. Tapi Keinan berusaha mengecek HP-nya.
Dion menahan tangan Keinan. “Dengerin aku!”
“Bisa aja ini penting!”
“Dengerin bentar doang bisa gak sih?”
Terlanjur emosi, Keinan menarik paksa tangannya dari Dion dan pergi menjauh Dion yang temperamental itu.
Ternyata Keinan mendapat 3 panggilan tak terjawab dari Om Irwan. Itu sungguh mengkhawatirkan, karena Om Irwan hanya menelponnya bila terjadi sesuatu pada Ayahnya.
Keinan berusaha menelpon Om Irwan namun tak diangkat, Keinan juga menelpon Ayahnya namun sama-sama tidak diangkat.
“Ayah…” Gumam Keinan.
Percobaan ke-5 kali, Om Irwan pun mengangkat telepon namun beliau tidak berkata apapun yang terdengar hanya tangis dan suara ricuh.
“Om? Om? Ayah kenapa?!”
“Kei, sini Kei…”
“Ayah kenapa Om?!” tanya Keinan panik.
“Ayahmu sudah berpulang, Kei.”
“Apa…?” Keinan merasa kakinya lemas. Dia langsung merasa hidupnya tak tahu arah.
“Om tadi teleponin kamu, tapi gak diangkat, padahal Ayah kamu mau ketemu kamu.”
Air matanya pecah, Keinan pun menangis walau kondisinya masih di sekolah. Setelah Om Irwan menutup telepon, Keinan langsung pergi ke ruang guru dan memberitahu walikelasnya apa yang terjadi. Walikelasnya pun mengantarkan Keinan ke rumah sakit.
Sesampainya disana, Keinan memeluk jenazah Ayahnya erat-erat. Dia sudah tahu umur Ayahnya tidak akan panjang lagi, namun dia tidak menyangka bisa secepat ini. Terutama, Keinan tidak berada di samping Ayahnya disaat masa-masa terakhirnya.
Jenazah Ayahnya dibawa pulang ke rumah, Om Irwan dan temannya yang lain menguruskan semuanya sedangkan Keinan masih syok atas kejadian ini dan diasuh oleh saudari Ayahnya.
Prosesi pemakaman Ayahnya dilakukan hari itu juga. Semua berjalan lancar dan sebagian keluarga pun menginap untuk menemani Keinan.

“Keinan, bangun, Kei.”
Keinan mengucek-ngucek matanya, “Jam berapa sekarang, Yah?”
Om Irwan tersenyum pedih. Keinan belum bisa melepaskan Ayahnya.
“Keinan gak usah sekolah ya?”
“Nanti Ayah marah.”
“Nggak, Ayah kamu gak akan marah kok.”
Sementara bibinya muncul menghampiri Keinan.
“Ini terlalu cepet, Kei. Tapi kamu mau tinggal sama siapa?” tanya Bibinya yang membuat Keinan syok.
“Keinan mau tinggal sendiri…” Jawab Keinan.
“Gak bisa gitu–”
“Bisa.” Potong Om Irwan. “Bethar pesen buat harus nurutin kemauan Keinan.”
“Tapi Keinan kan cewek?”
“Keinan udah gede, Tante.”

**

Satu kelas tahu berita duka itu terutama Dev yang mendapat kabar dari Ayahnya. Keinan jelas tidak sekolah dan teman-temannya berniat melihat keadaan Keinan setelah acara pekan seni selesai.
Tapi Dion, manusia satu itu otaknya korselet. Disituasi seperti ini pun dendamnya pada Dev tetap bekobar.
Sampai jam 20.00 acara belum selesai, karena tempat lain selain lapangan utama kosong, Dion memanfaatkan kondisi dengan mengajak Dev talk eyes to eyes di perpustakaan.
“Br*ngs*k lo, lepasin Keinan. Dia seharusnya milik gua.” Ucap Dion
“She officially mine.” Jawab Dev.
“Berapa lama lo kenal dia? Sok iye banget.”
“Gua emang orang baru, but I know her better than you.” Dev merotasikan kedua bola matanya. “Asal lo tau, lo gak ada apa-apanya.” Sambung Dev.
“Mentang-mentang ganteng lo!” Emosi Dion meluap.
“Ya karena gua ganteng makanya mentang-mentang. Lagipula gua gak se-cupu yang lo kira.”
Dion berusaha memukul Dev namun Dev menghindar dan memukulinya terlebih dahulu. Dion hampir babak belur dibuatnya sedangkan Dev, hanya ujung bibirnya yang terluka.
“See? Jelas banget Keinan lebih pantes sama siapa.” Ucap Dev yang lalu meninggalkan Dion.
Dev diam di kamar mandi, memperhatikan lukanya di depan kaca.
Jam 18.32, Keinan pergi ke sekolah karena tahu bahwa sekolah belum sepi. Dia berhasil keluar rumah dengan alasan ingin pergi ke warung dan mencari udara segar. Dengan menggunakan kacamata dan hoodie untuk menutupi mukanya yang bengkak dan matanya yang sembab.
Begitu sampai di sekolah, sesuai dugaan, sekolah masih ramai, dan ternyata acara belum selesai. Sebelum menemui Delya dan yang lainnya. Keinan mencari Dev terlebih dahulu yang belum dia dengar kabarnya sampai sekarang. Keinan mencari Dev ke setiap ruangan yang ada disekolah dan bertanya ke beberapa orang namun mereka tidak melihat Dev. Keinan melihat Delya tapi Delya sedang nyawer ditengah lapang, tak mungkin Keinan menghampirinya.
Sedikit frustasi akhirnya Keinan melihat Dev keluar dari kamar mandi pria dan lalu memanggilnya.
“Keinan? Kok kamu disini?”
“Di rumah aku kepikiran Ayah terus.” Jawab Keinan. “Eh itu bibir kamu kenapa?”
Dev memegang ujung bibirnya, “Ini? Ulah Dion.”
“Dasar si Dion itu…” Gumam Keinan.
Tanpa aba-aba, Dev menghampiri Keinan, dan Dev pun langsung memeluknya.
“Keinan…”
“Kamu kenapa?”
“Aku milik kamu, kan?”
Keinan tak menjawab.
“Kalau bibir aku lebam gini jadi jelek gak?” tanya Dev lagi.
“Enggak, Dev gak pernah jelek.”
Dev tertawa, lalu melepas pelukannya.
“Ke UKS ya? Aku obatin.”
“Kei…” Ucap Dev lirih. “Kamu baru kehilangan orang paling berharga dihidup kamu, gak seharusnya kamu disini Kei.”
“Aku gak apa-apa. Tapi aku gak punya siapa-siapa.” Jawab Keinan.
“Ada aku … Aku dulu kehilangan sosok Ibu sampai ngidap skizofrenia.” Ucap Dev.
“Skizofrenia?”
“Waktunya aku buat jujur … Jadi Iya, aku dulu skizofrenia paranoid. Tapi sekarang … Gak terlalu, asal aku terus minum antipsikotik.” Dev tersenyum tipis. “Harus tiap hari.”
“Hari ini udah minum antipsikotik?” tanya Keinan.
Dev menggeleng.
“Lho? Kenapa?”
“Asal aku punya support system, aku bisa sembuh dengan sendirinya. Dulu aku gak punya, but since I found you, I don’t think to always drink medicine every day, cause I have you.”
Keinan benar-benar tersentuh.
“Jangan tinggalin aku, ya? Atau skizofrenia aku bisa muncul lagi karena kehilangan orang paling berharga. I’m so into you, Kei.”
Keinan mengangguk.

“Saya Ibu kandungnya!”
“Bu, anda tidak bisa seperti itu. Ibu sama sekali tidak punya hak untuk mengambil hak asuhnya.”
Amanda mendengus kesal. “Sudah berapa kali saya bilang, saya Ibu kandungnya, saya berhak mendapat hak asuh!”
“Lalu kenapa anda meninggalkannya? Bukan kah anda sudah bersuami sekarang? Apakah suami anda menyetujuinya?”
Amanda terdiam, dia pun menutup telepon itu dan berfikir keras bagaimana caranya hak asuh Keinan jatuh pada tangannya. Saat Amanda menoleh kebelakang, ternyata ada Dion yang sedari tadi diam memperhatikan.
“Maksud mama apa?” tanya Dion.
“Eh, enggak kok enggak. Kamu– Dion?! Kenapa kamu babak belur gitu?!”
“Berantem.”
“Apa?!” Amanda semakin kesal. “Kamu tuh dibesarin bukan buat jadi anak nakal! Mama malu kalau ngangkat anak nak–”
Apa itu? Amanda keceplosan?
Dion diam beberapa saat, dia pun menjatuhkan surat peringatan tadi dan berlari ke kamarnya.
Dion mengacak-acak rambutnya, dia duduk di depan pintu yang dia kunci, sambil merenung air matanya perlahan-lahan jatuh.
“Pantes, pantes…”
“Dion! Dion! Buka pintunya!”
Sakit di badannya tidak seberapa dibandingkan sakit di hatinya. “Sesakit ini ya dikhianatin.”

Delya datang ke rumah Keinan, ada Dev juga, mereka menemani sekaligus membantu Keinan membereskan rumah sendirian.
“Kei, kamu gak mau pindah ke rumah yang lebih kecil? Atau nyari orang tua angkat?” tanya Delya.
Keinan tersenyum, “Aku mau nyari Ayah kandung aku.”
“Apa?!”
Dev yang sedang memindahkan vas bunga menghampiri mereka.
“Ih kepo ih.” Ucap Delya.
“Asal kalian tau, aku bukan anak dari pernikahan sah.” Ucap Keinan.
Delya speechless, “Kei…”
“Malah dari hasil perselingkuhan.” Keinan menghela nafas sejenak. “Mamanya Dion sebenernya Mama aku. Dion anak angkat mereka.”
“Lho? Lho? Kok plot twist-nya gini? Ceritanya kayak gimana?”
Keinan duduk di sofa, Dev pun duduk disampingnya tanpa berkata apapun.
“Jadi, Ayah Dion atau yang seharusnya Ayah aku itu pergi ke luar kota cukup lama, Mama selingkuh dan ya … Kalian pasti ngerti, setelah aku lahir, Ayah Dion pulang, karena tau pasti bakal kacau Mama akhirnya nyerahin aku ke panti asuhan. Dan aku malah diasuh Ayah, Ayah Bethar yang aslinya kerabat deket Mama.”
Dev mengelus pundak Keinan yang kelihatan berat untuk bercerita.
“Gak lama, mereka ngadopsi Dion di panti asuhan yang sama. Mama kaget waktu aku udah di ambil hak asuhnya sama orang lain. Waktu pertama aku main ke rumah Dion, Mama kayak gak ada curiga-curiganya, tapi beberapa minggu lalu aku kasih tau faktanya ke dia. Dan sekarang aku gak tau lagi gimana kelanjutannya.”
“Jadi tadinya mau ngadopsi kamu? Bener-bener ya Dion perebut kebahagiaan orang lain…” Ucap Delya.
“Justru aku lebih bahagia tinggal sama Ayah Bethar.”
“Kamu sekarang punya Ayah Egbert juga.” Ucap Dev.
“Egbert? Siapa?” tanya Delya.
“Bapak dia woy.” Jawab Keinan sembari menunjuk Dev.
“Oh sorry sorry Dev, gak tau.” Ucap Delya.
Keinan tertawa lalu menatap Dev, “Oh iya, aku pengen ketemu Pak Egbert.”
“Mau? Mau kapan?” tanya Dev.
“Kapan aja.”
“Sip.”
“Gua gimana?” tanya Delya.
“Jadian sana sama Panji.” Jawab Keinan.
“Ih!”
“Emang kita udah jadian?” tanya Dev pada Keinan.
“Eee … Gimana ya…”
“Eh Kei, itu apa deket dahi kamu cemong?”
“Hah? Apa?”
Keinan mengelap dahinya dengan tangan.
“Masih ada gak?” tanya Keinan pada Dev.
“Gak ada.”
“Masih ada gak?”
“Nggak, Keinan. Nggak. Nggak ada yang cemong-cemong lagi di muka kamu.”
“So sweet banget kalian, jadi iri…” Ucap Delya.
Dev tertawa, “So sweet banget? Apa itu?”
“Hah?”
“So sweet itu manis banget, ditambah kata banget lagi, jadi manis banget banget.”
“Ah.” Delya mengangguk faham dan sedikit malu.

Hari ini hari terakhir pekan seni, seperti sebelum-sebelumnya acara terus berlanjut sampai malam. Orang tua siswa juga diperbolehkan untuk datang dan melihat langsung penampilan anaknya.
Situasinya di sore hari, Keinan melihat Delya dan Ibunya, mereka mengobrol sejenak lalu Keinan pun pergi berkeliling karena Dev sedang bersama teman-teman barunya.
Keinan tanpa sengaja melihat Dion dan Amanda, Ibunya. Dia langsung tertarik mendengar obrolan mereka dimana keduanya terlihat penuh emosi.
“Harus banget malu? Padahal aku bukan anak Mama.” Ucap Dion.
“Kamu bisa kayak gini tuh siapa yang besarin kalau bukan Mama?”
“Mama gak bisa jujur sama aku dari awal? Aku ngerasa dikhianatin, Ma.”
“Justru–“
“Lebih kasian anak kandung Mama sih, dia gimana ya kabarnya kira-kira?” Ucap Dion dengan nada sarkas.
“Dia baik-baik aja.” Jawab Keinan. “Tapi dia baru kehilangan Ayahnya.”
Amanda terkejut melihat kehadiran Keinan tiba-tiba.
“Kei?” tanya Dion.
“Halo Dion. Halo juga, Ma.” Ucap Keinan pada keduanya.
Dion tidak bisa berkata apapun, dia terkejut se-terkejut-terkejut-nya.
“Oh kamu belum dikasih tau faktanya ya, Dion?” tanya Keinan. Keinan pun tertawa kecil, “Makanya aku pilih Dev.”
“Kenapa gak bilang dari awal?”
“Tanya aja Mama kamu.” Jawab Keinan.
Amanda diam seribu bahasa.
“Tante, anaknya kasih tau tuh, jangan nakal. Jangan nonjok pacar saya.” Keinan menekankan ucapannya pada kata “Pacar.”
“Kalian pacaran?” tanya Dion.
“Kemana aja? Baru tau?”
Emosi Dion membludak, dia mengepalkan tangannya, Dion merasa semuanya kacau saat ini, dia meninggalkan Keinan dan Amanda lalu dengan sengaja menyenggol Dev saat bertemu dengannya di koridor.
Dev menghiraukannya dan menghampiri Keinan.
“Kei!”
“Hai Dev, nongkrongnya udah?”
Dev mengangguk, lalu melihat Amanda yang menunduk dihadapan Keinan.
“Oh ini, kenalin, Tante Amanda. Dia Mama kandung aku alias Mama angkat Dion.”
Dev tersenyum lalu membungkuk ramah pada Amanda. Amanda dan Keinan heran dibuatnya, kenapa Dev menghormati Amanda?
Keinan menarik tangan Dev sedikit menjauh dari Amanda.
“Ngapain kamu hormat ke dia?” tanya Keinan.
“Gak boleh gitu, Kei. Gimana pun juga dia Mama kandung kamu.”
“Tapi aku dibuang ke panti asuhan!”
Dev meraih tangan Keinan dan menatapnya. “Kei, kali ini dengerin aku, aku bukan berpihak sama orang yang kamu gak suka, tapi ini semua demi kebaikan kamu. Jangan benci sosok ibu ya? Kamu mungkin emang gak pernah ngerasain peran ibu di hidup kamu, tapi bukan berarti kamu harus sebenci itu sama dia.” Dev menasehati Keinan dengan lembut.
Keinan pun mengangguk perlahan.
Keinan mengajak Dev untuk pulang, sebelumnya dia berpamitan dengan Amanda. “Duluan, Tante.” Ucap Keinan yang diikuti oleh Dev.
Amanda terharu, dia sungguh kagum dengan sosok Dev itu.

**

Saat Keinan sudah digerbang, dia menghentikan langkahnya.
“Dev.” Panggil Keinan.
“Kenapa Kei?”
Keinan menunduk, lalu berkata. “Besok hari ulang tahun aku…”
“Apa?! Kok kamu baru bilang?”
Keinan hanya tersenyum.
“Bisa nih mampir dulu ke toko kue.”
“Aku gak mau kue.” Jawab Keinan.
“Kamu maunya apa?”
“Mau kamu beneran jadi pacar aku.” Ucap Keinan.
Dev salah tingkah mendengarnya, dia tertawa kecil. “Udah Kei.”
“Sejak kapan? Aku maunya sejak hari ini.”
“Iya iya, sejak hari ini.”
Itu membuat Keinan juga salah tingkah.
“Aku tetep mau beliin kamu kue.”
Keinan diam sejenak, “Aku gak enak sama Ayah, soalnya waktu itu aku nolak tawarannya, tapi Ayahnya malah log out dari dunia duluan.”
“Om Bethar, izin bahagiain Keinan hari ini ya? Eh enggak deh, hari ini dan seterusnya maksudnya.” Ucap Dev sambil menatap langit.
“Lucu.”
“Ayo ikut aku.” Ajak Dev.
“Kemana?”
Dev pun menarik tangannya Keinan, “Ikut aja.”

**

Dev mengajak Keinan ke beberapa tempat yang ramai pengunjung seperti ke suatu danau buatan dekat sekolah mereka, tempat foto, tempat bermain, sampai ke suatu restoran. Anehnya selama berjalan-jalan Dev terus mengecek ponselnya.
Pukul 23.41, akhirnya mereka sampai ke tujuan terakhir mereka setelah 4 jam berjalan-jalan. Mereka ke suatu restoran mewah dengan nuansa klasik yang dibalut oleh elegan.
Saat mereka masuk mereka disambut oleh permainan musik grup yang memainkan biola.
Dev memesankan menu termahal untuk Keinan yang harganya sama dengan uang jajan Keinan seminggu. Dev juga membeli kue ulang tahun untuk Keinan.
Keinan berfikiran mungkin karena Dev tampan, semua pelayan disini nampak lebih ramah pada Dev dibanding pada costumer lain.
Kebetulan, Dev mengambil meja khusus yang menghadap air mancur. Air mancur itu sungguh indah dengan lampu LED yang bertuliskan “Welcome.” Saat Keinan sedang makan, tiba-tiba Dev berkata.
“Kei, 1 menit sebelum hari ulang tahun kamu.” Dev pun menyalakan lilin dan menyuruh Keinan meniupnya. Tepat pukul 00.00, air mancur tadi berubah warna dan tulisannya.
“Liat air mancurnya.” Ucap Dev.
Keinan menoleh, dia kaget, karena tulisan tadi berubah menjadi ucapan selamat ulang tahun dengan namanya tertuliskan disana. “Happy Birthday Keinan.”
Lampu restoran yang tadinya putih kekuningan berubah menjadi ungu muda.
“Warna kesukaan kamu kan?” tanya Dev.
Beberapa orang yang bermain biola tadi memainkan lagu “Happy birthday.” Pula.
“Dev, kamu nyewa semua ini?” Keinan bertanya balik.
“No, no, no, owner restoran ini Ayah aku sendiri.” Jawab Dev.
Keinan kaget, itulah mengapa pelayan pelayan tadi begitu sopan pada Dev. Tak lama dari belakang Dev muncul lelaki dengan jas kerja. Tanpa bertanya pun Keinan bisa tahu itu Ayah Dev, terlihat dari kemiripannya.
“Nice to see you, Keinan.” Ucap Egbert, Ayah Dev.
“Nice to see you too, Mrs.” Jawab Keinan ramah.
Egbert tertawa, “Take it easy, gak usah seformal itu sama calon mertua.”
Dev juga tertawa melihat ekspresi Keinan yang kelihatannya bingung.
“Happy birthday my world.” Ucap Dev.
Seorang pelayan menghampiri mereka dan membawakan Keinan sebuah kotak kado mewah besar yang dibalut warna hitam dan gold.
Keinan membukanya, dan ternyata itu adalah gitar listrik, yang sangat Keinan inginkan sejak dulu.
“Dev…?”
“Makanya aku ngajak kamu jalan-jalan dulu berjam-jam, buat ngulur waktu hehe.”
“Woah, how so sweet you are, my son.” Ucap Egbert.
“Kok kamu bisa tau?”
“Aku liat di deket kamar kamu ada kertas wishlist dan satu-satunya yang belum ke coret itu gitar listrik.”
Keinan makin terharu.
Dev pun menyuruh Keinan berdiri, dia mengajak Keinan pergi ke lantai paling atas restorannya dan melihat suasana kota di tengah malam. Air mancur tadi masih bertuliskan “Happy Birthday Keinan.”
Dev sedikit merapikan rambut Keinan. Dia menatap dan memegang pipi Keinan lalu mencium keningnya, Keinan hanya diam dan memejamkan mata.
Suara musik klasik dengan air mancur dan cahaya rembulan yang memancar sungguh melengkapi malam yang indah itu.
Keinan langsung memeluk dan menangis haru dipelukan Dev. Dev mengelus rambut Keinan lalu balas memeluk Keinan.
“Maybe you are the reason why I want to be born into the world.” Dev memeluk Keinan makin erat. “And you are the reason why I don’t want to die someday.”

Mereka menghabiskan sisa waktu SMA nya bersama. Hubungan mereka dengan Dion terutama Amanda membaik, tapi Keinan tidak mau hak asuhnya diambil Amanda.
Dua tahun setelah kuliah, Dev memilih untuk menikahi Keinan.
Setelah itu Dev kembali ke tempat lahirnya, Eropa, bersama Keinan dan mereka melanjutkan pendidikan mereka disana.

The End.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *