Surga yang dirindukan Seorang Ibu

SURGA YANG DIRINDUKAN SEORANG IBU
Oleh : Abdul Warits*
“Shadaqallahul Adzim” suara itu terdengar lantang dari lound speaker mushalla milik tetanggaku. Semula aku berpikir bahwa suara itu aneh. Sangat aneh dalam telingaku. Sebab, suara itu selalu berbunyi ketika menjelang waktu pagi dan ketika matahari tenggelam ke ufuk barat. Sempat aku hanya menghiraukannya, tetapi ketika lama-kelaman aku dengarkan dan perhatikan, suara itu begitu meresap ke jantungku. Aku juga merasa heran, semenjak aku menginjak tanah leluhurku, Indonesia, suara itu selalu kudengar dalam gendang telingaku seakan memanggilku ke dalam kedamaian batin yang tak terhingga. Hatiku terketuk untuk selalu mendengarnya dengan seksama. Apalagi, jika kudengar bahwa yang membaca itu adalah suara gadis perempuan di dekat rumahku. Tak bisa kubahasakan peristiwa ini kedalam ucapan kata-kata. Begitu indah. Hanya dada yang bisa merasakan kesyahduannya.
“What sound is that, mom ?” aku bertanya kepada ibuku.
“Itu adalah suara orang yang sedang mengaji” jawab ibuku dengan lugu menggunakan bahasa Indonesia. Aku hanya mengangguk terhadap apa yang dikatakan oleh ibu. Tetapi, dalam hati, aku masih menyimpan segala pertanyaan. Apa itu mengaji? Bagaimana cara mengaji? Apa nilai dan manfaat kita mengaji?. Pertanyaan dalam benakku seakan seperti dunia filsafat yang selalu ingin memecahkan masalah sampai ke akarnya. Sejenak kuperhatikan kembali suara itu. Tiba-tiba, tanpa kuduga ibu datang menghampiriku yang sedang melamun di beranda.
“Kalau kamu memang ingin belajar di pesantren, ibu merestui. Tetapi, ibu akan mencari biaya untukmu, nak. Ibu akan bekerja ke luar negeri menjadi seorang TKI ” ibu melanjutkan perkatannya. Kulihat ada seibu harapan yang menyala dalam sorot mata ibu.
“Baiklah, aku ingin tahu tentang agama, bu. Doakan anakmu, semoga menjadi orang yang serius dalam memahami tentang ajaran agama” jawabku membalas tatapan mata ibu. Dalam jantung yang terus berdetak, aku berkeinginan untuk membahagiakan hati ibu. Aku ingin menghibur segala kesedihannya sebab kehilangan sosok suami baginya adalah sebuah duka yang teramat dalam.
***
Aku tercengang melihat pemandangan ini. Pemandangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya kecuali baru pertama kali di tempat ini. Aku mengikuti mereka yang berdiri memegang Alquran sembari memasang wajah kebingungan. Lelaki tua itu berlalu dari hadapanku. Teman-teman yang ada di sampingku hanya bungkam, membelah, lalu membentuk jalan kepada lelaki tua itu. Sebagian yang lain merendahkan diri ketika lelaki tua itu lewat. Bagiku tempat ini begitu Aneh. Orang-orangnya juga aneh, tetapi karena keanehan itulah aku selalu penasaran untuk selalu tinggal di tempat ini. Aku berusaha betah di tempat ini dengan segala keanehannya.
Pengajian Alquran telah dimulai di langgar dhalem kiai Ilyas. Santri-santri menghampirinya untuk setoran bacaan Alquran yang biasa dilaksanakan setelah berjamaah shubuh. Sementara, aku hanya mengikuti langkah mereka dari belakang sembari menyimpan berbagai kecamuk yang bergemuruh dalam jantung. Ya, langkahku seakan begitu gamang. Kulihat Daud, teman sekamarku, maju untuk membacakan Alquran di hadapan kiai Ilyas. Suara daud begitu merdu. Ia sangat lancar dalam melafalkan Alquran seumpama seekor burung kenari yang berkidung di pagi hari.
“Sekarang giliranmu, Ilham! Silahkan dibaca!” dauh kiai Ilyas kepadaku. Gemetar jantungku mendengar perintah kiai Ilyas demikian.
“Saya tidak tahu membaca Alquran, kiai” jawabku terbata-bata dengan nada bahasa Inggris yang masih melekat di lidahku. Aku menjawabnya dengan polos sembari menunduk. Wajah kiai Ilyas sepertinya terkejut dengan jawabanku. Raut mukanya seakan menyimpan kecewa.
“Kamu sudah tua begini, masih tidak bisa baca Alquran, Ilham?” sindir kiai Ilyas.
“Memang apa yang kamu lakukan di waktu mudamu, sampai kamu tak sempat sama sekali untuk belajar Alquran? Jaga masa mudamu sebelum masa tuamu!” nasehat kiai Ilyas melanjutkan dauhnya. Detak jantungku terus berdebar mendengar nasehat tersebut dan di lubuk sanubari paling dalam ada perasaan malu yang tiba-tiba mencuat ke permukaan.
“Sebelumnya, mohon maaf, kiai. Sejak kecil, saya berada di negara Inggris bersama ayah dan ibu, tetapi setelah ayah saya wafat, saya ikut ibu kembali ke negara Indonesia” aku mengadu seperti bayi yang masih tidak tahu apa-apa tentang agama.
“Dulu, nama saya bukan Ilham, kiai. Tapi, William. tetapi, ketika saya masuk Islam nama William diubah menjadi Ilham oleh ibu saya” aku mengadu dengan terus terang kepada kiai Ilyas. Kiai Ilyas adalah sosok kiai yang disegani santrinya dengan kharisma yang ditebar dari segala sikap bijaksananya.
“Ya, terus kenapa kamu masuk pesantren ini?” Tanya kiai Ilyas.
“Saya ingin berlajar lebih mendalam tentang agama Islam di Indonesia, kata ibu saya, harus mondok dan masuk pesantren, kiai.” lanjutku dengan jujur.
“Oh, ya. Kamu Daud, silahkan kamu bimbing Ilham ini mengaji, kalau bisa sekalian bimbing agar dia bisa tahu baca kitab kuning atau kitab gundul itu” perintah kiai Ilyas kepada Daud yang berada di sampingku.
“Ya, kiai.” Jawab Daud dengan takzim.
“Silahkan, kalian bisa bubar. Jangan lupa daud ! kamu ajari teman sekamarmu ini baca Alquran yang baik, sebab sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar alquran dan mengajarkannya” kiai Ilyas mewanti-wanti Daud untuk mengajariku belajar baca Alquran yang baik.
Pengajian Alquran baru saja selesai. Santri-santri berhambur kembali ke bilik masing-masing. Di depan bilik, aku merenung tentang peristiwa yang kualami sedari tadi. Tiba-tiba Daud, teman sekamarku menepuk pundakku dari belakang :
“Hei, kamu kenapa, Ilham?” tanya Daud padaku seraya merangkul badanku. Ia mengagetkanku dari belakang.
Daud adalah salah satu tetanggaku dirumah yang dimondokkan oleh bapaknya lima tahun yang lalu ke pondok pesantren ini. Dia satu kamar denganku, dan dialah satu-satunya orang yang paling senior di kamarku. Lebih tepatnya ia adalah ketua kamar. Maka, tidak heran jika aku dititipkan ibuku padanya, karena aku adalah santri baru di pesantren ini dan butuh banyak bimbingan dan adaptasi dengan lingkungan.
“Kamu tidak kerasan, Ilham?” tanya Daud melanjutkan.
“Tidak kok, kak.” Jawabku dengan kikuk.
“Tapi, kenapa wajahmu seperti orang yang kebingungan bagitu tadi?” Daud memeriksa dengan sorot matanya.
“Anu, kak. Aku tadi hanya heran saja, kenapa semua santri berdiri ketika kiai Ilyas bubar dari pengajian tadi, ” Aku mengadu pada Daud dengan nada polos.
“Kamu tahu, takzim dihadapan kiai adalah tradisi pesantren. Di pesantren ini tidak hanya kepandaian dan kepintaran yang bisa diandalkan, tapi juga akhlak yang terpuji, karena nilai seseorang adalah akhlaknya” jelas Daud padaku di depan bilik.
Suara adzan magrib yang menggema menghentikan percakapanku dengan Daud di depan Gubuk. Senja merambat ke arah barat. Hari telah menjadi gelap. Sudah saatnya aku merangkai kebaikan dalam shalat berjamaah magrib yang santri-santri di pesantren ini tegakkan bersama kiai Ilyas. Selalu saban waktu.
Seusai shalat magrib, aku kembali akan menjalani kegiatan pengajian Alquran yang biasa dilaksanakan di bilik masing-masing. Yang membimbing bukan kiai Ilyas melainkan ketua bilik. Di kamarku, Daud yang membimbing ajian Alquran sehabis magrib hingga adzan isyak dikumandangkan. Perlahan aku mulai mengetahui apa itu mengaji, bagaimana cara mengaji, hanya saja aku belum merasakan bagaimana nilai dan manfaat mengaji? Aku tidak lagi dihantui pertanyaan filsafat yang terus menghantuiku. Barangkali, untuk mengetahui nilai mengaji aku harus rajin dalam membaca Alquran setiap hari. Paling tidak, aku fasih membaca alquran, lebih-lebih mengerti dan paham dengan makna yang terkandung di dalamnya.
***
Sudah tiga tahun aku berada di pesantren ini. Berbagai keanehan itu sudah lenyap dalam pikiranku. Kini, aku tidak lagi menyimpan segala kemungkinan dan perasaan takut untuk mengaji kepada kiai Ilyas. Berkat bimbingan Daud, aku sudah terbiasa mengaji kepada kiai Ilyas seusai shalat shubuh. Senang rasaya aku melantunkan bacaan Alquran, seakan memberikan kedamaian yang tak terhingga. Kedamaian yang kurindukan ke dalam surga ilahi. Dan aku berjanji dalam sanubari, saat liburan Ramadan nanti aku akan mengaji di hadapan ibuku. Pasti dia akan senang mendengar anaknya bisa mengaji dengan baik. Senyum yang kurindukan dari bibir ranumnya.
Matahari mengumbar sinarnya ke hadapan dunia yang mulai fana. Aku hanya duduk di depan bilik sembari berdiskusi panjang lebar tentang kitab gundul. Sebab, targetku tidak muluk-muluk berada di pesantren ini; aku hanya ingin membahagiakan ibuku dengan pengetahuanku dalam mengaji Alquran, menulis tulisan arab dengan baik dan aku bisa memahami makna kitab gundul. Sebab, kata Daud, hanya itu ciri khas pesantren yang bisa dipertahankan hingga zaman modern ini. Tradisi tentang dunia literasi, memuliakan kiai, dan berbagai kebiasaan seperti shalat berjamah yang senantiasa dilaksanakan saban waktu.
“Panggilan, saudara Ilham di blok F/11, dikunjungi keluarganya” suara itu begitu nyaring terdengar dari posko kunjungan. Aku terkejut. Sebab, semenjak sepeninggal ayah, ibuku telah bekerja ke Malaysia untuk mencari biayaku di pesantren. Ibu tidak mungkin mengujungiku di pesantren yang jauh berada di pelosok desa ini. Paling-paling, ibuku hanya bisa mentranfer uangnya lewat ATM atau sesekali menelpon setiap satu bulan sekali. Aku menduga barangkali pamanku yang mengunjungiku. Aku bergegas ke posko kunjungan untuk menemuinya.
“Ilham, kamu harus pulang dulu! Ibumu datang dari Malaysia” ucap paman menatapku. Aku hanya heran saja. Tidak biasanya ibu pulang tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Hatiku senang bercampur rasa penasaran yang menggelora. Aku pamit kepada Pengurus Harian bersama pamanku ke kantor pesantren.
***
Aku kembali merasakan aneh dengan suasana ini. Orang-orang berlalu lalang di depan rumahku. Air mataku kini mulai menggenang dalam kelopak mata. Aku menganggap suasana ini lebih aneh lagi ketimbang di pesantren. Orang-orang disampingku hanya bisa menatapku dengan tatapan sendu. Tiba-tiba bibiku menghambur memelukku dengan suara tangis yang histeris.
“Ibumu, Ilham…Ibumu…ia telah terbujur kaku meninggalkan kita!”seru bibi seraya memelukku. Aku hanya bisa bungkam seakan tidak mengerti apa yang ingin aku katakan. Aku terus berjalan mendekati jenazah ibuku yang berbaring di atas keranda. Air mataku terus mengucur dari kelopaknya. Kusaksikan orang-orang membacakan tahlil untuk ibuku. Kakiku terus melangkah hingga sampai pada pemakaman umum.
“Jangan hanya bisa menangis Ilham, iqraul qur’ana fa innahu ya’ti yaumal qiwamati syafi’an li ashabihi ” nasehat kiai Ilyas di sampingku. Kemudian, aku membaca ayat-ayat alquran dengan sesenggukan yang tidak bisa aku tahan dari perasaanku yang terdalam.
***
Tiada henti kulantunkan bacaan alquran setiap hari jum’at pagi. Hari Yang begitu keramat. Sebab ketika orang meninggal dunia, maka akan terputus segala amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya. Dan pada hari itu pula, ibu akan selalu rindu kepada surgaku (*).

Abdul Warits, nama pena dari Abd. Warits. Lahir di desa Grujugan, Gapura, Sumenep. 07 Maret 1997. Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IQT). Menulis puisi, cerpen, esai, Resensi. Masih bergiat di Komunitas PERSI (Penyisir Sastra Iksabad) dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Instika. Tinggal, di Jalan Makam Pahlawan no. 02 PP. Annuqayah daerah Lubangsa Guluk-Guluk Sumenep 69463. Email: pisces_matamu@yahoo.com. Fb: Abdul Warits. No. handphone : 082332637632 (WA).


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *