Suka Duka Pondok Pesantren

KISAH “Aku Pilih Pesantren” yang ditulis oleh Abu Dohak tidak hanya sekadar cerita tentangnya pesantren dan sebuah pengalaman. Tulisan ini adalah tentang sebuah perjalanan hidup, tentang bagaimana Allah ‘azza wa jalla dengan kasih saying-Nya memberinya sebuah jalan hidup yang tidak ia duga-duga sebelumnya.

Ia jalani hari-harinya sesuai dengan apa yang ia inginkan. Pulang larut malam, tidak belajar, salatnya entah bagaimana. Di penghujung kelas III MTs, seorang temannya mengajak nyabu alias konsumsi narkoba. Pada saat itu hatinya terketuk. Entah kenapa hatinya mengatakan ia harus pergi jauh, jauh sekali. Terlintas di benaknya sebuah ludah yang pernah ia buang dahulu, ‘ngapain masuk pesantren, di pesantren gak bisa bebas!’.

Seorang ustaz lulusan Jawa menyatakan mondok di Pesantren Jombang, Jawa Timur. Namun, tak ada satu kerabat pun yang menyetujuinya untuk pergi mondok ke Jawa, terutama ibunya. Ayahnya tahu ada sesuatu di hatinya. Meski awalnya mengantar ke Jombang hanya untuk melihat-lihat saja, ternyata ayahnya langsung mendaftarkan masuk Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Tebeuireng Jombang.

Sedih meninggalkan teman, kampong halaman, terlebih ketika ia terus teringat ibunya pada malam-malam pertamanya di pesantren. Pesantren mempunyai aturannya sendiri. Dan yang paling indah di pesantren adalah keluarga baru. Terlepas dari itu semua, di pesantren adalah keluarga baru. Terlepas dari itu semua, di pesantren ia dapat memahami satu hal. Bahwa di dunia ini ada dua kemuliaan yang paling tinggi, mengalahkan kemuliaan jabatan raja, presiden, jenderal, pejabat.

Kisah lainnya “Menjadi Kuli Tinta Dadakan” oleh Fathur Rahman Karyadi. Tidak terbesik di benaknya sebelumnya, menjadi wartawan. Dahulu hanya berangan anagan, semoga ia dapat bertemu dengan tokoh-tokoh hebat nasional. Dan ternyata, tuhan Maha Pemurah. Dia merangkul mimpi-mimpinya menjadi sebuah kenyataan.

Bermula dari wafatnya KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada 30 Desember 2009. Pondok Pesantren Tebeuireng dijadikan lokasi pemakaman ramai dikunjungi para peziarah dan took ternama. Bersama temannya, momen itu dimanfaatkan menggali berita. Menemui tokoh-tokoh yang hadir dan mewawancarainya. Kemudian dikumpulkan dan dijadikan buku.

Mereka tekadkan untuk berlatih menjadi “wartawan cilik”, tanpa modal pengalaman banyak, alat seadanya, hanya tak lain bermodal bismillah tawakkaltu ‘alalah. Apa yang mereka sampaikan disambut baik oleh Gus Sholah dan memberikan izin. Cetakan perdana hanya 100 eksemplar, tiga hari langsung ludes. Alhamdullillah, Tuhan merangkul keinginan mereka Terbit cetakan kedua sebanyak 300 eksemplar, lagi-lagi ludes. Untuk menyambut 100 hari wafatnya Gus Dur, dicetak 1000 eksemplar dengan cover lebih menarik serta berwarna.

Banyak sekali potongan-potongan pengalaman di pesantren yang sangat mengesankan bahkan tidak akan terlupakan. Pesantren telah mendidiknya sebagai manusia yang mandiri. Ia bersyukur sekali hidup di pesantren. Banyak lika-liku juga peluang besar jika kita dapat memanfaatkannya, bisa jadi tidak ditemukan di luar pesantren. Pesantren tidak hanya mengajari kita ilmu agama saja, tetapi semuanya, teori dan praktik. Banyak tokoh-tokoh besar lahir dari bilik pesantren.

JUDUL          : Kisah Dari Bilik Pesantren

PENULIS      : Fathurrahman, Dkk

PENERBIT   : Emir Cakrawala Islam

TEBIT           : 2017

TEBAL          : Viii + 168 Halaman


Penulis

2 COMMENTS
  • AHMAD AMIN
    Reply

    sangat menarik dan bermanfaat, terima kasih

  • Newsteen
    Reply

    wah keren jadi pengen beli bukunya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *