Shibgah Allah dalam Hidupku melalui Al-QUr’an

Sejenak aku merenung tentang berbagai kisah hidup yang aku lalui hingga berada pada suatu kisah yang tidak pernah terbayang, tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Betapa Allah memberikan petunjuk selangkah demi selangkah dan petunjuk tersebut tidak kusadari telah aku ikuti. Tak terbayang bagiku menjadi salah satu “jundullah” dan hampir seluruh muslim mengharap hal tersebut, tapi mengapa aku yang dipilih? Sejenak renungan kecil tapi dalam terus membayangi di dalam pikiranku di pagi yang cerah itu. Ketika aku sudah mendapat amanah menjaganya bertahun-tahun, selama itu terus beriringan pula dosa, kemaksiatan dan kelalaian yang aku lakukan. Kembali aku berpikir, kenapa Allah memilihku? Bersedihlah aku sepanjang hari, mengapa orang sepertiku mendapat amanah menjaga kalam yang mulia itu? Sebuah kalam dari Rabb pencipta alam semesta yang di dalamnya penuh dengan mukjizat dan memuat semua fakta yang terjadi di penjuru cakrawala serta tak lekang oleh zaman. Terus menerus aku baca kalimat sayyidul istighfar. Akhirnya coba kuingat perjalanan spiritual hingga aku menjaganya setiap waktu. Berikut kisahnya:
WHO AM I? : GUIDED YOUTH UNKNOWINGLY
Siapa diriku? Aku menyebutnya pemuda yang tertuntun tanpa sadar. Aku adalah seorang anak tunggal dari pasangan ayah bernama Sucipto dan ibu bernama Arbaatun. Keluarga kecil kami tinggal di sebuah dusun Gunung Sawur yang berjarak 40 km dari pusat kota Lumajang, dan terletak di lereng gunung tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru. Orang tua menjadi orang yang cukup disegani di desa saya karena ayah berjasa dalam pemenuhan kebutuhan listrik di dusun. Beliau menjadi pelopor pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) sejak tahun 1994 dan terus mengabdi di bidang ini hingga sekarang. Cita-cita beliau adalah ingin agar berbagai daerah pelosok Indonesia yang sulit dijangkau PLN dan memiliki potensi sungai, dapat menikmati akses listrik. Semangat ini coba beliau turunkan kepadaku sebagai putra satu-satunya agar kelak aku dapat mengikuti jejak beliau. Sejak kecil oleh keluarga aku dibimbing agama dengan cukup baik. Bagi keluarga, saya bisa menjaga sholat mulai kecil dan bisa mengaji itu sudah cukup, syukur-syukur dapat menambah ilmu agama yang lain. Sejak kecil aku dan teman-teman sebayaku belajar mengaji di masjid kampung dimana hal ini rutin kulakukan sejak TK hingga SMP. Meskipun belajar lebih dari 10 tahun, bacaan Al-Qur’anku pada waktu itu hanya sebatas dapat membaca lancar tanpa tahu kaidah ilmu tajwid yang benar. Selain itu, aku hanya hafal beberapa surat pendek yang dapat kugunakan dalam sholat setiap hari. Kurasa hal itu sudah cukup pada waktu itu. Suatu waktu ketika aku di SMP dan bercerita dengan temanku pada jam istirahat, temanku bercerita bahwa dia memiliki teman yang hafal seluruh Al-Qur’an. Seketika mendengar hal itu aku langsung menimpali “Masa, gak mungkin ah ada orang yang hafal kitab setebal itu. Bagaimana caranya? Kita menghafal buku pelajaran yang mungkin hanya satu halaman saja susah”. Temanku balik menimpali “Yaudah kalau tidak percaya, soalnya aku tahu sendiri”. Sejak saat itulah aku baru tahu ada orang yang hafal Al-Qur’an penuh, padahal ustadzku di masjid kampung yang lulusan pesantren saja hanya hafal juz amma. Cerita tersebut hanya berlalu begitu saja dalam ingatanku dan masih berpegang pada keraguan adanya seorang khuffadz.
PLAYSTATION MEMBUKA GERBANG AWALKU DENGAN AL-QUR’AN
Aku bersekolah di SMP yang terletak di pusat kecamatan dan berjarak 15 km dari tempat tinggalku. Di pusat kecamatan semua fasilitas cukup lengkap dan pada masa inilah aku mulai mengenal dunia game modern yang bernama playstation, karena sebelum itu yang kukenal hanya permainan tradisional yang kumainkan bersama teman-teman di desa. Setiap sepulang sekolah aku selalu “istiqomah” bersama para “jam’iyah” playstation untuk bermain selama dua hingga tiga jam. Saking kecanduannya pada game satu ini, saya sering berbohong pada orang tua agar dijemput sore (padahal jam 1 siang sudah pulang) dengan alasan ada les tambahan, latihan pramuka dan ada kelas kompetisi bagi siswa terpilih sebagai perwakilan SMP di olimpiade. Orang tuaku percaya dalam waktu yang lama karena memang semua yang aku butuhkan selama berkaitan dengan kegiatan aktif sekolah beliau selalu mendukung. Hal yang menambah keyakinan orang tua adalah karena saya di kelas 7 menjadi menjadi rangking 5 dan 3 secara paralel dan kelas 8 hingga lulus menjadi juara 1 rangking paralel seangkatan. Selain itu aku aktif sebagai delegasi sekolah di olimpiade matematika dan fisika serta mencapai tingkatan pramuka garuda tingkat penggalang di Kabupaten. Berbekal itulah playstation kubuat menjadi salah satu bagian dari hidupku. Suatu waktu di desa sebelah ada persewaan playstation dan sedikit demi sedikit pangkalan bermain kupindah. Bahkan sering nekat, sehabis shubuh jalan kaki menempuh jarak 2 km agar tidak mengantri untuk menyewa playstation. Menabung uang saku sekolah dan jika kurang minta uang ke orang tua dengan alasan buat jajan. Berjalan jarang melalui jalan pada umumnya, aku sering mengajak adik keponakan untuk pergi ke tempat persewaan playstation melewati sawah, ladang dan kebun. Hal ini kulakukan agar jejak kami tidak diketahui oleh keluarga. Singkat cerita, kedok kami lama-lama terbongkar dan pastilah aku yang dimarahi. Meskipun begitu kesalahan yang sama kubuat berulang-ulang, beberapa kali diintimidasi paman agar tidak mengajak adik keponakan. Orang tua akhirnya juga mengetahui berbagai kenakalan yang kuperbuat. Akibat kecanduan bermain game inilah hingga saat Ujian Nasional SMP tiba, aku hampir tak pernah belajar karena kuanggap gampang dan lebih mementingkan bermain playstation diluar sepengetahuan orang tua. Hal yang buruk pun terjadi, aku tak masuk 10 besar NUN tertinggi di sekolah, prestasiku melorot dan hal ini membuat orang tua kecewa.
Di sisi lain, guru-guru di sekolah yang cukup kaget karena aku sebagai juara kelas paralel secara mengejutkan tidak masuk NUN terbesar, ternyata masih mempercayaiku sehingga merekomendasikanku agar mengikuti tes di sekolah SMA favorit di Kota Lumajang, yaitu SMAN 2 Lumajang yang menyandang sekolah R-SBI pada waktu itu. Sempat diriku ragu dan kumusyawarahkan dengan orang tua. Hasilnya, aku didukung agar mengikuti saran guru di sekolah dan jika nanti diterima aku harus masuk pesantren agar kecanduan playstation dapat berkurang dan aku dapat melakukan kegiatan yang lebih positf. Hal tersebut cukup membuatku kaget karena tak pernah terlintas di pikiran untuk masuk pesantren, ditambah stigma-stigma negatif bahwa anak yang masuk pesantren adalah anak buangan, anak nakal atau anak yang sudah tidak dicintai oleh keluarga. Bahkan pamanku sendiri bilang “Masuk pesantren pulang-pulang pasti kamu bawa penyakit kudis”. Tak kuhiraukan itu semua, karena aku mungkin tidak akan lolos tes tulis di SMA favorit tersebut. Kemudian hari, sembilan orang rekomendasi dari SMPku mengikuti tes tulis yang secara bersamaan ada kabar duka karena ayahku masuk rumah sakit selama seminggu akibat sakit paru-paru. Ibu terus menjaga beliau di rumah sakit dan dalam hati kecilku yang tercampur dengan perasaan sedih muncul motivasi besar ingin membuat orang tuaku senang dan tidak membuat mereka kecewa. Aku bersemangat untuk mengikuti tes tulis dan berjanji pada diriku akan selalu berbakti dan menuruti keinginan orang tua. Singkat cerita dari sembilan orang yang mengikuti tes, dua orang masuk dan aku salah satunya. Setelah diumumkan lulus tes tersebut, aku tidak langsung masuk SMA bersangkutan tetapi masih menunggu sekitar dua bulan lamanya. Dalam waktu itu, ayah yang Alhamdulillah sudah sembuh, mencarikan pesantren yang mudah dijangkau dari sekolah. Qodarullah, secara tidak sengaja ayah memilihkan pesantren Al-Qur’an dimana ayah sendiri tidak tahu jenis pesantren. Asal lokasinya dekat dengan sekolah dan kebetulan pesantren tersebut menerima santri yang bersekolah umum.
LINGKUNGAN YANG BAIK MEMBAWAKU MEMULAI MENGHAFAL
Kesan pertama di pesantren ternyata jauh seperti apa yang distigmakan kepadaku. Teman-teman disana sangat asyik dan aku langsung nyetel dengan mereka. Kegiatan sehari-hari adalah mengaji. Pada awal masuk pesantren, karena aku santri baru, aku setor bacaan Al-Fatihah dan berulang kali salah. Kaidah tajwidku masih berantakan. Ustadz Dahlan selaku pimpinan pesantren sabar untuk membimbingku. Entah Allah telah menurunkan motivasi dalam diriku yang perlahan suka untuk membaca Al-Qur’an dan bersemangat memperbaiki bacaan. Aku juga bersemangat belajar ke kakak senior pesantren. Hampir setahun lamanya aku belajar Al-Qur’an binnadzhori. Selama itulah karena berada di lingkungan yang baik, bersama teman-teman yang baik lama-lama kebiasaan baik di pesantren mulai aku jalani dan banyak aktivitas yang membuatku tertarik. Suatu ketika, setelah pulang dari sekolah di siang hari aku mengambil Al-Qur’an. Belum kubuka Al-Qur’an tersebut, aku memperhatikan kakak senior yang sedang muroja’ah hafalannya. Beliau penuh semangat, tanpa henti melantunkan kalamullah. Kuperhatikan dengan seksama, kagum, dan hidayah Allah pun turun. Aku tertarik dan berpikiran “Kalau mas itu bisa, kenapa aku tidak bisa? Tidak bisa atau tidak mau”. Langsung seketika aku membuka Al-Qur’an dan mencoba menghafalnya dari Surat Al-Baqarah. Kubaca sepotong-sepotong, kemudian kuhafalkan. Ayat demi ayat perlahan masuk ke ingatanku dan tak terasa aku sudah menghafal sebanyak tiga halaman dalam waktu sekitar satu jam. Aku tidak merasa capek, tidak merasa bosan dan sangat mudah sekali menghafal Al-Qur’an dibandingkan menghafalkan materi pelajaran di sekolah. Namun karena orientasiku tidak disitu, aku hanya menargetkan hanya hafal satu juz saja hingga lulus sekolah. Pada saat itu aku menjalani sekolah di kelas 10 semester dua, hendak naik ke kelas 11. Berhari-hari kusempatkan waktu khusus untuk menghafal yaitu bada mengaji shubuh dan waktu murojaah adalah ba’da isya. Aku setoran hafalan ke kakak senior, karena masih belum berani menyampaikan niat menghafal ke Ustadz. Tak terasa satu juz pun tercapai sebelum aku naik ke kelas 11. Kutargetkan lagi dua juz, terlampaui ketika kelas 11 semester satu. Semenjak itu aku memberanikan diri setoran ke Ustadz Dahlan, bahkan sebenarnya Ustadz meragukan niatku dengan berkata “Apakah serius mau menghafal? Apakah tidak repot dengan urusan sekolah karena sekolah di SMA favorit dan pulang sore dan pasti itu capek?. Aku membalas “Insya Allah saya siap Ustadz, mohon do’a dan bimbingannya”. Aku pun mulai setoran hafalan dengan target lebih tinggi, yaitu hafal lima juz hingga lulus. Fabimaa Rahmatimminallah, aku dapat menyelesaikan lima juz ketika kelas 11 semester dua. Sampai lulus SMA Alhamdulillah aku dapat setoran sebanyak 10 juz. Karena berkah Al-Qur’an banyak karunia yang diberikan Allah kepadaku, pertama mendapat kesempatan ke Jakarta pertama kalinya gratis untuk mengadiri Wisuda Akbar Daarul Qur’an tahun 2013 dan tidak pernah keluar dari 5 besar rangking kelas di SMA favorit. Untuk kesempatan mengikuti Wisuda Akbar 2013, rentetan kejadian tersebut terjadi ketika HUT sekolahku yang salah satu rangkaian acaranya adalah pengajian. Qodarullah, yang menjadi penceramah adalah rekannya Ustadz Yusuf Mansur. Pengajian tersebut wajib dihadiri oleh semua siswa muslim dan wali murid. Pada saat pengajian, Ustadz penceramah tersebut mengajari semua jamaah (termasuk guru, siswa dan wali murid) untuk menghafalkan 2 ayat pertama dari Surat Maryam. Pertama dituntun oleh Ustadz kemudian ditirukan dan dihafalkan oleh jamaah. Karena sudah terbiasa menghafal, meskipun hafalan masih belum sampai Surat Maryam, namun secara cepat ayat tersebut dapat kuhafal. Sang Ustadz kemudian bertanya “Siapa yang berani maju melafalkan dua ayat tersebut ke podium?”. Meski sempat ragu, aku memberanikan diri maju dan lancar melafalkan dua ayat tersebut. Seketika terlihat ibuku di kerumunan jama’ah terlihat bangga sambil memegang kamera untuk mendokumentasikan momen langka tersebut.
Ustadz : “Sudah hafal berapa juz?”
Aku : “Alhamdulillah sudah 8 juz Ustadz”
Ustadz : “Subhanallah, mau kamu jalan-jalan gratis ke Jakarta? Nanti saya kontak lewat Bapak Guru untuk mengurusnya”.
Aku : “Alhamdulillah, insya Allah mau Ustadz, Terima kasih”
Kemudian aku diberi sebuah buku karangan Ustadz Yusuf Mansur dan aku menuruni panggung untuk kembali ke tempat semula. Bapak Guru dan teman-teman terus memberikan selamat kepadaku. Alhamdulillah, bibarakatil qur’an tak menyangka aku mendapat karunia ini.
DIANTARA KEBIMBANGAN DAN ‘AZZAM YANG KUAT
Tahun terakhir di SMA adalah persiapan mencari perguruan tinggi dan berharap diterima di perguruan tinggi idaman. Tiba saatnya mendaftar jalur SNMPTN yang difasilitasi sekolah, akhirnya kupilih kampus idamanku yaitu ITS dengan jurusan yang kuinginkan adalah Teknik Mesin agar aku dapat meneruskan perjuangan ayahku membuat mesin-mesin pembangkit listrik. Namun aku menempatkan Teknik Mesin ITS di pilihan kedua, sedangkan pilihan pertama aku memilih Teknik Elektro karena memiliki basic bidang yang berdekatan. Hal ini kulakukan sebagai bentuk strategi agar dapat terpilih di Teknik Mesin, mengingat pesaing di jalur ini cukup berat karena jurusan yang kuinginkan memiliki passing grade yang tinggi. Seiring berjalannya waktu sebelum wisuda sekolah, teman-teman SMA sudah banyak merantau untuk les persiapan SBMPTN sebagai bentuk antisipasi jika SNMPTN tidak lolos. Aku sempat bimbang, karena jika aku ikut les dengan durasi hampir satu bulan, berarti aku meninggalkan pesantren sehingga kesempatanku untuk menghafal menjadi terhambat. Setelah memohon petunjuk kepada Allah, akhirnya kuputuskan aku tetap di pesantren sambil terus menambah hafalan serta berdoa agar lolos SNMPTN. Usaha yang cukup beresiko, karena jika tidak lolos SNMPTN, maka untuk SBMPTN akan lebih sulit tanpa les. Tapi keyakinanku menguatkan itu semua. Aku yakin dapat lolos SNMPTN. Detik-detik pengumuman SNMPTN akan dimulai. Teringat tanggal 25 Mei 2013, kebetulan aku diajak putra dari Ustadz Dahlan pergi ke Malang. Putra Ustadz Dahlan merupakan mahasiswa di UIN Maliki Malang. Tujuan ke malang adalah mengikuti sebuah pelatihan bisnis. Di pelatihan tersebut aku berjumpa dengan bapak-bapak paruh baya, Bapak Mudzoffar namanya. Kami saling mengobrol dan akhirnya sampai pada suatu pembicaraan yang membahas masalah Al-Qur’an. Aku ditanya berapa hafalan yang kumiliki. Aku diam tak menjawab, tapi putra Ustadz Dahlan yang memberitahu Pak Mudzoffar. Ternyata Pak Mudzoffar mencari pemuda seperti diriku. Aku diberi sebuah brosur perguruan tinggi islam yang baru didirikan dan kebetulan berada di Kotaku, Lumajang. Pesan beliau jika sudah pulang, segera ke kantor perguruan tinggi tersebut. Aku pulang dari Malang menuju Lumajang dan pada saat itu adalah hari pengumuman SNMPTN. Sepanjang perjalanan aku ditelfon terus oleh Pak Mudzoffar. Beliau berpesan jika sudah sampai tolong segera ke kantor dengan alamat yang tertera di brosur. Malam hari sekitar pukul 20.00 WIB, aku sampai Lumajang dan langsung menuju kantor yang dimaksud. Aku ditemani putra Ustadz Dahlan bertamu dan disambut oleh pimpinan yayasan perguruan tinggi tersebut. Singkat cerita aku dibujuk agar mau menjadi mahasiswa di kampus tersebut dengan semua fasilitas gratis dan diberi bimbingan sampai selesai hafalan 30 juz. Janji berikutnya adalah akan dikirim menjadi imam masjid di luar negeri. Aku sangat ragu karena aku belum melihat hasil pengumuman SNMPTN, di sisi lain aku mendapat tawaran seperti itu. Karena aku tidak mau mengecewakan orang tuaku, maka aku dengan halus menolak tawaran tersebut dengan alasan hendak kuliah di Jurusan Teknik Mesin. Namun Ustadz tersebut berupaya terus membujukku dengan mengatakan “Kalau kuliah di Teknik Mesin, hafalan kamu gimana nanti? Teknik Mesin dan Al-Qur’an sangat jauh sekali bidangnya. Kalau kamu sudah menghafal ya menghafal terus sekalian. Sekali basah ya basah sekalian”. Mendengar hal tersebut aku jadi termotivasi ingin menjadi ahli mesin yang hafal Al-Qur’an. Seketika itu aku menolak dan berpamitan kembali ke pesantren. Ayahku terus menelfon untuk menanyakan hasil SNMPTN. Kembali ke pesantren kubuka hasil pengumuman dan ternyata aku diterima di Teknik Elektro ITS. Sempat kecewa karena tidak diterima di jurusan Teknik Mesin, namun tidak masalah karena aku yakin Allah menyiapkan rencana besar untukku.
TANTANGAN BERAT DAN BERPULANGNYA SANG USTADZ
Aku punya tantangan di masa kuliah dengan membawa bekal 10 juz. Dengan jurusan yang tidak linier apalagi jurusan teknik yang cukup sulit dan di perguruan tinggi favorit, aku bersedih apakah 10 juz ini dapat kujaga, atau bisa hingga selesai 30 juz atau bahkan hilang sama sekali?. Untuk agar tetap terjaga hafalanku, akhirnya aku memutuskan untuk mencari pesantren Al-Qur’an kembali, mengingat aku dapat menghafal karena berada di lingkungan yang baik. Sampai akhirnya masuklah aku ke pesantren Muhyiddin yang jaraknya cukup dekat dengan kampus. Pesantren ini awalnya tidak membuka untuk santri mahasiswa, namun qodarullah tepat di tahun aku masuk kuliah, pesantren Muhyiddin ini mencoba membuka untuk menerima mahasiswa. Sempat terjadi pertentangan antara diriku dan ayahku dimana ayah khawatir jika aku masuk pesantren akademik perkuliahanku menjadi kacau. Kuliah di jurusan teknik pasti sulit dan harus benar-benar bisa survive. Namun dengan tekad yang kuat aku berkata kepada ayahku “Ayah, Insya Allah aku tetap di pesantren dan berjanji akademikku baik. Jika ternyata aku tidak mampu menepatinya, aku bersiap putus kuliah”. Janjiku tersebut menjadi pelecut semangat agar mampu menyelesaikan tantangan itu. Selama di perkuliahan dan di pesantren tahap demi tahap kuselesaikan dan di luar kesadaranku aku terus menambah hafalan. Untuk urusan akademikku ternyata IP semesterku selalu cumlaude. Ini semua karena barokah Al-Qur’an. Prestasi non akademik pun juga turut kudapatkan yaitu menang di berbagai perlombaan khususnya di karya ilmiah. Tantangan berat menghampiri di kala hafalanku mencapai 20 juz. Kemalasan murojaah, putus asa antara menambah hafalan atau menjaga hafalan yang sudah ada, tugas kuliah yang semakin berat, kegiatan kampus yang tak kunjung usai, menjaga praktikum mahasiswa, IPS tidak cumlaude, godaan dari lawan jenis dan berbagai ujian berat lainnya. Hampir setahun lamanya aku tak beranjak dari 20 juz itu dan bahkan beberapa sudah mulai susah untuk dimurojaah. Sampai puncaknya aku dipindah setoran ke Ustadz Mujib. Inilah titik awal kebangkitanku!!!. Hampir setiap setoran hafalan, Ustadz Mujib selalu bersemangat walaupun menderita penyakit stroke dan beliau sulit untuk beranjak dari tempatnya. Beliau memberiku motivasi, mewarning ayat-ayat yang sama, ayat yang sulit dan cara menghafalnya. Aku sangat tersentuh padahal beliau dengan kondisi yang demikian namun tetap bersemangat mengajar dan menyimak setoran para santrinya. Setiap pagi aku setor hafalan baru ke beliau dimana aku mampu menghafal hingga tiga halaman dalam waktu yang cukup singkat. Kemudahan yang dulu pernah kurasakan diawal menghafal serasa kembali lagi. Secara tidak langsung dan cukup mengherankan, semua urusanku di kampus, jadwal, tugas dan semua urusan lainnya perlahan terselesaikan. Dalam segi prestasi, aku terus menerus menambah prestasi. Beliau juga terus memotivasiku agar dapat mengikuti wisuda tahfidz pada bulan Juli 2016. Setelah sekitar enam bulan aku setor ke Ustadz Mujib, aku sudah sampai juz 29 di Surat Qalam. Bertepatan dengan bulan Ramadhan, kabar duka pun menyelimuti pesantren. Ustadz Mujib telah khusnul khotimah berpulang ke Rahmatullah setelah berjuang melawan penyakit stroke yang beliau derita. Hatiku pun larut dalam kesedihan. Bagaimana tidak, seorang yang berjasa mengembalikanku ke Al-Qur’an telah tiada. Padahal aku telah bertekad untuk menyelesaikan 30 juz ke beliau. Surat Al-Mulk adalah surat terakhir yang aku setorkan kepada beliau.
MASA WISUDA DAN PENUTUP
Tibalah masa wisuda tahfidz di pesantren Muhyiddin di bulan Syawal. Hafalan juz terakhirku sudah kusetorkan ke Ustadz Saifur Rijal. Tes untuk kesiapan wisuda juga sudah kulalui dengan baik, salah satunya menjadi imam tarawih dengan tiap malam satu juz. Sanad khuffadz juga sudah aku dapatkan. Senang bercampur sedih. Senang karena mendapat karunia yang besar dan sedih karena mempunyai tanggung jawab yang besar. Sebenarnya ini adalah titik awal perjuangan menjadi jundullah, menjaga kalamnya hingga akhir hayat. Allah telah memberikan shibgah berupa celupan warna hidup yang tak terpikirkan sebelumnya dan hal itu menjadi awal sebuah perjalanan dengan AL-Qur’an sehingga kisahku benar-benar sebuah unexpected journey.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *