Rintik di Ujung Senja

Kasmin mendorong gerobak tahu campurnya yang tak besar itu. Gerobak biru dengan tulisan ‘Tahu Campur Khas Semarang Kasmin’ melengkung di bagian atas gerobak dengan dua roda besar. Ia membuat itu sendiri ketika merintis usahanya 15 tahun lalu. Ya, usia gerobak itu sudah 15 tahun. Atapnya dibuat miring seperti atap rumah untuk mengalirkan air ke bawah ketika hujan. Bagian depan dan samping ditutupnya dengan kaca bening, sedangkan bagian bawah dan atasnya disusunnya menggunakan kayu sebagai tempat penyimpanan. Ia menata beberapa bahan di bagian depan gerobak, seperti minyak, kecap, dan kacang. Di sisi lain, di bagian yang tertutup, diletakkannya bakwan, tempe goreng, tahu, dan kol yang sudah diiris kecil. Gerobak itu sudah menjadi teman setianya selama 15 tahun. Gerobak itu pula yang menjadi saksi bisu jerih payah Kasmin selama ini dalam membiayai keluarganya.

Pada suatu sore yang tak biasa, hujan menerpa seantero Ambarawa sejak dini hari. Rintiknya yang masih deras seolah memberi tahu bahwa ia tak berniat untuk berhenti dan lebih memilih menghantarkan hawa dingin pada siapapun itu. Ia menyisipkan hawa dingin bagi siapapun dan membuat mereka merasakan kenyamanan sebuah selimut, sehingga mereka lebih memilih untuk meringkuk di kamar daripada beraktifitas. Namun, Kasmin bisa apa? Ia sudah mempersiapkannya dari jam 1 siang dan mempersiapkan semua bahan dagangannya. Semua sudah siap di gerobak dan si biru sudah siap pula berjalan-jalan pagi mengelilingi kompleks. Tidaklah cukup hujan ini menjadi alasan untuk Kasmin tidak berjualan. Kasmin berniat menunggu sebentar. Barangkali saja, hujan ini akan sedikit mereda 10 menit lagi, begitu pikirnya.

Kasmin duduk di bangku depan rumahnya yang terbuat dari bambu. Ia menyandarkan tubuh dan menyilangkan kakinya kanannya. Ia lantas membuka koran mingguan yang baru saja didapatnya kemarin. Netranya beranjak dari satu baris ke baris yang lainnya. Sesekali ia mengambil jeda sambil mengomentari isi koran.

“INDONESIA GAGAL MENJADI TUAN RUMAH U20,” Kasmin membaca judul dari berita tersebut dengan lantang. Di sisi lain, Arini memunculkan batang hidungnya dari dalam rumah.

“Wah kasihan tenan e, Buk, bocah-bocah iki. Mereka pasti kecewa dan hilang harapan,” tambahnya.

Arini melengok sedikit untuk melihat isi koran. Ia lantas menanggapi ucapan suaminya itu, “Yah gimana lagi, Pak. Kita juga ndak bisa apa-apa, toh. Barangkali ada cara, ibuk juga nak yakin kita bisa membantu. Lha hidup kita aja sudah susah, Pak. Ibu bahkan sudah 3 kali lebaran ndak beli baju baru.”

Seketika Kasmin mengalihkan perhatiannya. Kedua tangannya yang semula diangkat untuk mendekatkan jarak baca lantas diturunkan hingga tampak seluruh wajahnya. Ia tertegun dan tak tahu harus bagaimana untuk menanggapi apa yang dikatakan istrinya. Dalam hati kecilnya, ia pun merasa bersalah, sebab belum bisa memberikan kehidupan yang lebih baik. Pendapatannya naik turun, terlebih karena adanya pandemi. Penjualannya 3 tahun terakhir menurun dan baru akhir-akhir ini mengalami peningkatan, walau tidak terlalu signifikan. Hasil dari berjualan itu tak lebih hanya cukup untuk makan sehari-hari dan memberi uang saku anak semata wayangnya yang masih duduk di bangku SMA. Ia tak mampu membelikan barang-barang yang diinginkan oleh istrinya.

“Andai ya, Pak, kita bisa kaya. Ya, ndak usahlah kaya-kaya, setidaknya seperti Tohir dan Sari itu. Sepaling-palingnya punya rumah bata, ndak kayak rumah kita ini. Sepaling-palingnya punya motor bagus, ndak kayak motor rumah kita ini. Atau setidaknya kita ndak khawatir buat kehabisan beras di rumah.” Kasmin belum sempat menanggapinya, sementara Arini sudah membuka mulutnya lagi.

Kasmin tertegun mendengarnya. Ia merasa bersalah sekaligus marah. Ia merasa bahwa Arini sedang membandingkan dirinya dengan Tohir yang dianggapnya memiliki kehidupan yang lebih mapan. Namun, Kasmin tidak lantas mengutarakan amarahnya. Kasmin dengan lemah lembut justru memberikan tawaran kepada istrinya untuk ikut berjualan. Tawaran itu tak serta merta disampaikannya. Kasmin telah menambahkan bumbu-bumbu dalam kalimatnya untuk meyakinkan Arini. Ia bahkan sedikit menggunakan bakat merayunya untuk meminta Arini ikut menemaninya. Arini pun akhirnya menurut dan masuk ke dalam untuk bersiap.

Benar saja, tak sampai 10 menit hujan sudah reda. Tidak sepenuhnya berhenti, tetapi sudah tidak sederas tadi. Kasmin dan Arini mulai berjalan untuk menjajakan dagangannya. Biasanya mereka akan memutari dari kompleks ke kompleks, ke kampung-kampung, atau sekadar berhenti di depan pasar. Seiring bertambahnya usia, Kasmin memang sudah tidak bisa berdagang sejauh dulu lagi. Jika di bulan ramadhan seperti ini, maka ia biasanya akan mulai berjualan setelah Ashar dan pulang sekitar maghrib. Syukur-syukur jika bahan sudah habis sebelum jam itu, jika belum maka ia akan kembali ke rumah dan melanjutkan berjualan di rumah setelah shalat tarawih untuk tetangga sekitar. Tak jarang beberapa pelanggan yang sudah tahu rumah Kasmin akan datang untuk membeli langsung di rumah.

“Sudah lama kan, Buk, nggak pacaran kayak gini,” ujar Kasmin seadanya untuk memecah keheningan.

“Oalah, Pak, pacaran apa yang bawa gerobak kayak kita ini,” sahut Arini.

Kasmin pun tertawa ringan dan menjawabnya, “Lho, ya kayak gini, Buk, kalau disyukuri pasti jadinya nikmat.”

Arini tidak menanggapi. Keduanya melanjutkan berdagang, sementara mendung kembali menggelayut di langit Ambarawa. Rintik yang semula hanya gerimis berubah menjadi deras yang mengguyur Ambarawa seolah hujan masih belum puas untuk menyapa. Kasmin meminta Arini untuk berteduh terlebih dahulu, tetapi Arini tidak mau. Kasmin sekali lagi meminta Arini untuk segera berteduh, tetapi Arini tetap bersikukuh untuk bersamanya. Baiklah, ia mengalah. Kasmin tahu kalau ia tidak akan pernah bisa mengalahkan keras kepala Arini. Mereka berjalan menuju ruko kosong dan berteduh di depannya.

Diam. Mereka hanya duduk, termenung, dan menanti hujan kembali reda. Sesekali ada pembeli yang datang dan Kasmin akan melayaninya. Namun, hujan sore itu tak kunjung reda. Kasmin hanya dapat memandangi hujan sambil membiarkan lamunan merampas kesadarannya. Mereka diam, tak ada interaksi antara keduanya. Entahlah, keduanya memiliki kesibukan sendiri di dalam pikirannya. Mungkin mereka meratapi nasib atau memikirkan dampak kegagalan Indonesia dalam U20 atau mereka sedang melamunkan masa muda mereka. Semenit. Dua menit. Tiba-tiba Kasmin mendengar suara Arini yang sedang menangis. Kasmin pun mendekat, merengkuh tubuh istrinya itu. Ia tetap tak mengatakan sepatah kata pun. Ia akan menunggu.

“Pak. Ibuk capek. Kenapa ya, Pak, hidup itu nggak adil. Kita sudah berusaha sebisa mungkin, tapi angan masih jauh dari pandangan mata. Apa Ibuk itu berlebihan to, Pak? Ibuk ngga minta lebih. Ibuk cuma minta, sehari saja kita bisa tenang tanpa memikirkan bagaimana keadaan kita besok. Itu saja, Pak. Itu saja.”

Tangisnya seolah sudah mencapai klimaks dan akhirnya kalimat yang ditunggu-tunggu meluncur dari mulutnya. Kasmin tau dan Kasmin ingin mendengarnya. Keduanya sama-sama menanggung beban, tetapi tidak pernah mengungkapkannya karena berpikir itu akan membebani satu yang lain. Kasmin masih diam dan mendekap istrinya. Ia mencoba membiarkan istrinya tenang dalam dekapnya. Setelahnya, ia menangkupkan tangan dan mengusap pipi istrinya. Entah kapan terakhir kali ia melakukannya, ia bahkan sudah tidak ingat lagi.

Kasmin lantas berkata, “Bapak juga, Buk. Bapak juga sering berpikir seperti itu. Namun apa boleh buat? Ini jalan hidup kita dan Bapak hanya yakin tentang kebahagiaan itu kepunyaan semua orang. Kebahagiaan itu kita yang membuatnya dan kehadiran Ibuk, juga Arya sudah cukup. Cukup untuk mengembalikan senyum Bapak ketika dagangan Bapak tidak laku. Cukup untuk menghapuskan lelah Bapak ketika Bapak pulang jualan. Cukup untuk membuat Bapak tidak menginginkan yang lain selain kebahagiaan Ibuk dan Arya.”

Pada akhirnya, baik Kasmin, maupun Arini menyadari bahwa merekalah yang membuat kebahagiaan itu. Mereka sendirilah yang menciptakan kebahagiaan itu setiap harinya, walaupun hanya melalui hal-hal kecil dalam hidup. Tidak mudah. Terdengar hanya seperti omong kosong. Namun, perasaan ‘cukup’ seringkali adalah sumber kebahagiaan. Keduanya tenggelam dalam keharuan yang sudah lama tak pernah mereka rasakan. Keduanya kembali merasakan rasa lama yang sempat mati hingga adzan Maghrib berkumandang dan memecah keheningan.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *