Ramadhan Saksi Puncak Keikhlasan Hanifah (Terbaru)

Tampaklah dari sebuah jendela, seorang perempuan tengah duduk menatap keramaian kota yang diiringi rintikan hujan. Hujan kali ini berbeda karena mata Hanifah menyaksikannya di tanah kelahiran ayah dan ibunya. Ya, namanya Hanifah, seorang perempuan kelahiran Bandung, di darahnya mengalir suku Gayo dan Karo, serta menjadikan Bengkulu sebagai tempat penuh cerita. Keresahan terpancar dari wajah Hanifah. Ia berpikir, “Sebentar lagi aku akan menjadi mahasiswi, udah tua dong akunya. Hemmm, akankah aku masih diizinkan bersua dengan bulan Ramadhan berikutnya?”. Pikiran terbang melayang hingga terlintaslah tentang seseorang. Hanifah sadar dan langsung menggelengkan kepala seraya beristighfar. Amar, yakni nama seseorang itu. Amar adalah teman Hanifah sejak SMP yang humoris, berjuang membahagiakan orang tuanya, dan selalu optimis untuk mengejar kesuksesan dunia akhirat. Namun, prinsip Amar yang membuat teman-temannya berada di zona nyaman membuat beberapa teman perempuannya baperan. Huh, sangat disayangkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa Hanifah salah satunya. Hanifah mulai senada dengan Amar ketika mereka satu tim dalam suatu Lomba Karya Tulis. Hanifah senang menulis dan bercerita, dirinya berpikir mungkin efek dari cerewetnya, hihi. Sedangkan Amar cekatan dalam bertindak dan mengingatkan Hanifah untuk tidak pernah mengeluh. Suatu hari, mereka asik dengan obrolan tentang masa depan hingga Hanifah sadar, Amar berbeda karena ia dapat berganti peran tergantung suasana dan kondisi teman obrolannya. Hanifah senang karena Amar selalu menambah wawasan Hanifah sehingga jikalau mengobrol Hanifah harus mengupgrade pikirannya terlebih dahulu, hehe. Karena Amar, Hanifah mulai belajar mandiri, memikirkan masa depan, dan peka dengan sekitar. “Jadi kamu dekat ke semua perempuan bukan karena pacaran melainkan karena perempuan lebih rajin dari pada laki-laki?,” tanya Hanifah kepada Amar. “Iya, Fah. Orang tuaku berharap lebih kepada masa depanku. Jadi, aku harus lebih tekun, Fah.” jawab Amar. “Sulit dipercaya! Hei Mar, bagaimana jika mereka nyaman dan jatuh hati kepadamu?” Hanifah merasa kesal. “Tidak mungkin. By the way, kamu seperti bundaku, kamu pernah bercerita tentang betapa banyaknya hikmah sholat tahajjud,” ujar Amar. “Haha, aku selalu mengingatkan teman-temanku agar mereka juga mengingatkanku, Mar. Subhanallah, sudah sore, Mar. Ayo kita selesaikan sedikit lagi, deadline semakin dekat nih!” Hanifah mengingatkan Amar. Hanifah yang pesimis berusaha belajar merealisasikan “Man Jadda Wa Jadda”, yakni “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil”. Perjuangan Hanifah dan Amar membuahkan hasil, mereka meraih juara III se-Sumbagsel. Sejak saat itu, Hanifah menghargai sebuah “proses”. Hanifah kerap kali berkolaborasi dengan Amar dalam beberapa lomba dan kegiatan. Hari berganti bulan, malam itu, hal yang tidak disangka Hanifah terjadi. Amar menyatakan perasaannya pada Hanifah yang Amar sendiri tahu bahwa Hanifah tidak pacaran sejak masuk SMA. Iblis merayu Hanifah dengan pemikiran, “Saling menyatakan, saling dekat, saling jujur, meskipun tidak pacaran.” Hanifah merespon baik pernyataan Amar. Hal ini menjadi awal penyesalan Hanifah yang akhirnya berujung dengan trauma. Tidak sedikit yang menjadikan kedekatan kami sebagai buah bibir yang rasanya umami di antara teman-teman, terutama sahabat-sahabatku, geng “Tersemangat.” “Kenapa kamu dekat dengan dia? Dia itu lelaki tidak baik,” ujar salah satu sahabatku, Yarissa, “Tidak, dia baik kok. Tapi jika di depan orang banyak, dia akan berganti peran,” jawabku. “Terserah kamu. Kami cuma takut kamu kenapa-kenapa,” ketus Ayana. “Fah, kamu udah lama tidak membuka hati. Kamu tahu sendiri resiko jatuh cinta itu apakan?”, sahut Saora. “Kami yang takut loh, Fah. Intinya kalau ada apa-apa cerita yaa, Fah. Kita do’akan saja, siapa tahu memang jodohnya Hanifah, hehe,” tambah Zaenab untuk mencairkan suasana. Hanifah bersyukur mempunyai sahabat seperti mereka. Seiring berjalannya waktu, apa yang dirisaukan sahabatnya perlahan terjadi. Amar mulai menjauh dari Hanifah sejak ia sibuk dengan beberapa event tingkat nasional. Ketika bertemu seakan tidak pernah kenal. Amar lebih sering curhat dan main bareng dengan perempuan lain. Hanifah terpuruk, apa maksud dari semua ini? Teman-teman Hanifah semakin berkurang, entah hanya perasaannya saja, tapi Hanifah semakin merasa kesepian, seakan tidak ada yang peduli dengannya. Dunia terasa kelam walau mentari bersinar dan rembulan memancarkan cahayanya. Hanifah menangis setiap malamnya, apakah ini peringatan dari Allah? Betapa bodohnya dia yang memikirkan yang bukan mahramnya, tidak ada jatuh cinta yang sah selain kepada mahramnya. Hanifah sadar, untuk apa berpenampilan syar’i, mensyiarkan bahwa pacaran dilarang, namun diri ini masih suka berharap kepada manusia yang ia belum tentu jodohnya. Tragedi 2019 pun terjadi. “Aku melepaskanmu karena masa depanku saja belum jelas, Fah. Aku harus belajar mandiri dengan menetap di tanah orang. Aku tidak mau dicap sebagai orang yang munafik dan aku tidak mau menjadikanmu orang yang munafik, Fah. Aku juga berpikir, aku takut membuatmu tertekan jika ada yang melamarmu lebih cepat suatu hari nanti,” ujar Amar sepulang sekolah, panjang kali lebar sama dengan luas persegi. Malam pun tiba, Hanifah tidak dapat tidur. Bukan karena insomnianya, melainkan rasa menyesal karena telah berharap kepada manusia. Setiap harinya Hanifah selalu intropeksi diri karena ia takut menyalahkan siapa pun, ia memilih berprasangka baik, bahwa ia belum pantas disandingkan dengan lelaki baik. Waktu bergulir dengan cepat, namun rasa itu menghilang tidak instan. “Astaghfirullah aku yang susah move on,” ujarnya dalam hati. Isak tangis sudah biasa, namun ia sering tertawa selepas menangis. Ia bingung kenapa ia menangis, hiks hiks. Sahabatnya selalu menghibur Hanifah. Awalnya sudah mulai baik-baik saja, namun semakin lama semakin bertambah ingatannya pada Amar. Bukan mengingat Amarnya, melainkan beberapa cerita, pengalaman, nasehat, pengetahuan dari Amar. Setelah beberapa bulan tidak kontakan, semakin Hanifah ikhlas, sekarang semakin sering pula Hanifah bertemu Amar lagi. Hanifah bingung dan bergumam dalam hati, “Ini jawaban atau ujian, Ya Robb?”. Hanifah berusaha tidak “GR”, ia berpikir bahwa Allah sayang ke hamba-Nya. Allah tidak ingin Hanifah maupun Amar memutuskan tali silaturahmi. Sampai suatu ketika, sampailah angin simpang siur di telinga Hanifah bahwa Amar pacaran. Bahkan Amar juga nyaman berteman dengan teman-teman perempuannya. Hanifah belajar mendewasakan diri meskipun hatinya belum pulih kembali. Ia teringat pesan gurunya, “Percayalah, semua akan baik-baik saja”. Hanifah perlahan mendalami apa yang dimaksud dengan hijrah. Alhamdulillah, jika Amar chat, Hanifah tidak membencinya, malah turut membantu jika Amar membutuhkan pertolongan. Bukankah Allah senang? Bukankah Rasulullah mengajarkan kita akan kebaikan? Ramadhan segera tiba, wahhh bulan penuh cinta dan rahmat-Nya yang rasanya tidak ingin terlelap di dalamnya akan datang. Namun, Allah memberi ujian berupa banjir di sekitar tempat tinggal Hanifah. Hanifah pun tidak tinggal diam, ia menjadi relawan sebagai perantara para donatur untuk membantu korban disana. Ia sangat bersemangat ’45 karena menjadi relawan adalah mimpinya dari kecil. Ternyata, Amar juga bergabung di dalamnya. Allahu Akbar! Hanifah berusaha seakan tidak ada sesuatu dan baik-baik saja. “Fah, siapkan apa saja yang mau dibawa. Jangan sampai ada yang ketinggalan,” ujar mamanya Hanifah. Hanifah akan mudik bersama keluarganya seperti biasa, namun mudik kali ini sengaja ia privasikan. Hanifah bersyukur karena disana kelak ia dapat merefreshkan hati dan pikiran. Sebelum pergi, Hanifah melihat fotonya bersama Amar saat Acara Pelepasan dan Perpisahan Kelas XII. Amar pernah berkata setelah lama tidak berbincang saat itu, “Nanti kalau ada yang melamar, ingat, aku masih berjuang di tanah orang, Fah.” Di perjalanan, handphone Hanifah berdering pertanda chat masuk. Ternyata Amar, chat pun berlangsung demikian hingga akhirnya Amar mengetik, “Sepertinya ketika kamu pulang ke Bengkulu, aku udah di tanah orang, hehe. Kamu masih menunggukah? Aku selalu mempertimbangkan semua, Fah. Aku tidak mau membuatmu terlarut dalam cinta sekarang, asalkan nantinya pasti. Aku serius, kadang kamunya suka tidak percaya. Ditambah, aku masih bingung perihal Perguruan Tinggi Negeri, Fah.” “Dorrrr !!!”, sepupu Hanifah mengagetkan Hanifah dan langsung pergi. Hampir saja Hanifah jatuh dari kursi dan sekarang ia telah sadar dari lamunannya. Ma syaa Allah, Allah Yang Maha Pembolak-Balik Hati hamba-Nya, Allah Sang Maha Cinta. Hanifah hanya bisa berdo’a kebaikan bagi dirinya dan diri Amar, Hanifah harus mendahulukan orang tuanya terlebih dahulu, persis dengan prinsip Amar. Hanifah semakin sabar, tidak mudah terpancing dengan laki-laki lain, lebih sering intropeksi diri, banyak perubahan di dalam dirinya. Namun, Hanifah masih sama seperti dulu jika berjumpa dengan teman-temannya, seperti cacing kepanasan yang menebar candaan garing kemana-mana. Hanifah tersenyum melihat salah satu firman Allah dalam QS. Ar-Rahman, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”. Hanifah semakin bersyukur akan nikmat hidupnya, ia memikirkan saudara-saudari di Palestina, teman-teman yang yatim piatu, dan adik-adik yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Hanifah menghela napas dan berdo’a, “Ya Allah, saksikanlah, di bulan Ramadhan penuh berkah ini, aku ikhlas melepaskannya sekarang karena-Mu. Tolong hilangkan perasaan ini jika Engkau tidak ridho, aku lelah, bahkan aku takut untuk jatuh cinta. Aku yakin dia lelaki baik dan aku percaya Engkau bersamaku, permudahkan jalan kami masing-masing.” Hanifah fokus mempersiapkan diri menjadi perempuan, anak, mahasiswi, wanita karir, ibu rumah tangga, pejuang masa depan yang istiqomah di jalan-Nya. Terima kasih Amar, terima kasih pengalaman, yang telah menjadi perantara Hanifah yang dulu hingga Hanifah beberapa tahun ke depan, yang membuat tetesan dari air mata di pipi hasil keikhlasan dan penyucian hati sehingga bertambahlah cintaku pada-Nya.

(Semoga bisa diambil hikmahnya. Patah hati itu nikmat Allah. Barakallahu fiik untukmu yang ku tujukan dalam cerpen ini. Sudah dua kali terlewatkan karena inilah caraku. Kuharap kita dapat berjumpa lagi meskipun dengan jalan pilihan kita masing-masing. Terima kasih siapa pun itu. – @sayahusna971 -)


Penulis

8 COMMENTS
  • arbie
    Reply

    Subhanallah, ini ceritanya sungguh menyentuh hati :”

  • Wulan
    Reply

    Assalamualaikum kak husna.
    Ceritanya bagus.
    aku suka,karena plot dan alur nya gak terlalu rumit sampai harus menghitung panjang kali lebar,hehe. Walau di beberapa bagian ada yang gak dimengerti.misalnya,amar itu tokoh yang karakter sebenarnya seperti apa sih?
    Atau mengapa amar saat itu menjauh dari hanifah dan malah dekat dengan perempuan lain?gitu mbak.
    Sisanya bagus kok,aku ngerti.
    Amanatnya juga lebih mudah tersampaikan.
    Prok..prok..prook…

    Ya wish you all the best lah mbak,hehehe.
    Assalamualaikum.

  • Widiaaka
    Reply

    Hmmm kayaknya nggak asing orang didalam cerita ini hehe walaupun namanya disamarkan. Maaf ya hus baru sempat baca karena kelupaan dan maklum sok sibuk ditambah lagi sinyalnya yang subhanallah bikin susah,hahaha hidup ini tragis. Dikau bacanya sambil nebak – nebak nih,endinya rada sad ending apa happy ending ?. Tapi setelah baca aku ngerti sekarang bahwa sebuah perasaan memang nggak bisa diklaim sebagai sebuah kesalahan karena pada intinya itu murni pemberian dari allah swt,tinggal kita dapat mengkontrolnya atau membiarkannya menjadi hawa nafsu. Aku sih cuman mau bilang ceritanya bagus kok,wajarya kalau konfliknya ringan karena ini cerpen,trus ngalir aja sih cerita ini mungkin karena aku bagian dari penonton nyatanya ya. Saran untuk husna sih bukan pada nulisnya tapi pada ke dia sendiri ” Nggak usah susah – susah untuk melupakan dia,cukup berbaik pada masa lalu dan diri sendiri,aku yakin jikalau jodoh pasti kembali,,,,,,sejauh apapun itu .”

    Sekalian jangan lupa mampir ke wattpad aku : @widiaa_ka
    Hehe maaf promosi ya
    Jangan pernah berhenti untuk menulis.

  • Aisy Siska
    Reply

    MasyaAllah Tabarakallah .
    Ceritanya bagus?

  • Husna Khairunnisa
    Reply

    Ma syaa Allah, alhamdulillah. Terima kasih udah baca.
    Do’ain aku bie, supaya dapat membuat cerpen yang terbaru :’)

  • Husna Khairunnisa
    Reply

    Wa’alaikumussalaam warahmatullaah.
    Alhamdulillah, terima kasih udh baca dek Wulan, ditambah mau beri saran lagi.
    Sekali lagi terima kasih banyak.
    Aamiin allahumma aamiin. Jangan lupa do’ain mbak jg bisa buat cerpen terbaru yaa, hehe

  • HUSNA KHAIRUNNISA
    Reply

    Ma syaa Allah tabarakallah Ciwittt aku 🙂 Terima kasih banyak udah mau baca. Penilaian dari penulis handal aku terima dengan senang hati, hehe. Aku akan terus belajar kok Wid, in syaa Allah aku ga berhenti menulis, menulis apapun itu, wkwk. Terima kasih juga do’a dan sarannya, bismillah, aamiin allahumma aamiin 🙂

  • HUSNA KHAIRUNNISA
    Reply

    Alhamdulillah, terima kasih banyak Kak Aisy 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *