Persimpangan Ramadan Ke-20

PERSIMPANGAN RAMADAN KE-20

Aku masih terjaga dalam pembaringan sebuah kamar hotel berbintang lima di salah satu kota. Jam menunjukkan pukul 01.00 WITA. Teman sekamarku sudah pulas dengan dengkurnya. Jangan salah! Kami sesama lelaki. Sebuah keberuntungan menempatkan kami pada kamar hotel ini. Keberuntungan? Sebut saja begitu. Meskipun, nalarku lebih meyakini bahwa keberuntungan adalah saat kesempatan dan kemampuan bertemu. Intinya, kami tak mungkin punya cukup uang untuk check in sendiri. Kami adalah peserta pembekalan sebuah kegiatan. Kami tiba di hotel ini tadi sore. Dengan perjalanan, lebih kurang delapan jam dari tempat tinggalku.
Dua jam lagi, seluruh peserta dipersilakan untuk sahur. Ramadan memasuki hari ke-20. Aku masih belum dihinggapi kantuk karena rasa sesak yang memenuhi benak. Betapa masih kuingat persimpangan yang kulalui saat akan berangkat menuju tempat ini. Persimpangan antara keberangkatan atau pembatalan. Berangkat dengan perjuangan mengurus segala keperluan atau pembatalan dengan bersantai saja. Sebagai guru baru, aku selalu enggan jika harus meninggalkan sekolah. Apalagi, aku sudah pernah ditegur oleh pimpinan karena meninggalkan sekolah. Meskipun, kegiatan juga masih termasuk dinas luar.
“Tolong, ya, Pak. Nanti jika izin, silakan cari pengganti untuk mengawas kelas yang Bapak tinggalkan!” ucap kepala sekolah ketika aku diminta menghadap.
Kupikir, semua guru akan diperlakukan begitu demi menegakkan kedisiplinan. Ternyata, belakangan baru kuketahui jika hanya aku yang diperlakukan begitu. Tak apalah. Aku akan menerima dan belajar seadaptif mungkin kepada pimpinan.
“Baik, Pak,” balasku.
Dari pengalaman itu, aku tidak ingin mengulanginya. Untuk bisa berangkat, aku masih terhambat tugas mengawas ujian sekolah kelas IX. Untungnya, hal ini bukan kegiatan belajar mengajar. Jadi, hanya meminta bantuan rekan guru lain untuk menggantikan. Aku mencoba berdiskusi dengan ketua panitia pelaksana ujian.
Hasil diskusi menunjukkan bahwa ketua panitia tidak keberatan. Dengan sayarat, aku harus mencari dan menetapkan sendiri penggantiku untuk mengawas ujian. Aku diberikan selembar jadwal. Aku memetakan siapa yang sudi menggantikan. Setelah selesai dan mengonfirmasi siapa saja yang menggantikan, aku melaporkannya kembali. Mengenai jadwal mengawas, sudah teratasi.
Bagian selanjutnya, aku harus memerlukan surat penugasan dari dinas pendidikan agar mendapat izin berangkat. Tanpa surat itu, kekuatan izinku di mata pimpinan kurang terakui. Surat ini sekaligus menjadi prasyarat mengikuti kegiatan. Kami sembilan orang dalam satu kabupaten. Nah, di bagian ini ada yang membuatku tak habis pikir. Salah satu dari kami sudah menghubungi pihak dinas melalui Whatsapp. Dari tangkapan layar yang dibagikan di WA grup, pihak dinas bersedia akan membuatkan.
Keesokan harinya, aku menanyakan kembali.
“Mohon info, Bu. Untuk pengurusan surat tugas kami, bagaimana?” tanyaku pada Bu Regina.
“Tunggu, ya, Pak. Masih diproseskan. Tadi malam sudah ada yang mengabari saya,” balasnya.
“Baik, Bu. Nanti mohon dikabari biar kami ambil ke dinas.”
“Ya, Pak. Ke dinasnya langsung ke portir ya! Saya sedang perjalanan ke luar kota juga ini.”
“Baik, Bu. Terima kasih.”
Langsung saja kukirimkan tangkapan layar di WA grup dan meminta salah satu teman untuk mengambil surat tugasnya di dinas.
Kebetulan, aku tidak bisa mengambilnya sendiri karena sedang bertugas mengawas ujian. Dari WA grup, ada balasan teman yang bersedia mengambil surat tugas ke dinas. Lega rasanya aku tak perlu ke dinas. Setelah sampai di portir, ternyata kenyataan berkata lain. Salah satu teman mengabarkan bahwa portir tidak mengetahui perilah surat. Langsung saja kukabarkan hal itu kepada Bu Regina kembali.
“Mohon maaf, Bu! Kok, belum ada surat tugasnya di dinas, ya? Portir juga belum menerima?”
“Perlihatkan saja undangan dari Bapak.”
“Masyaallah, berarti belum diuruskan, ya, Bu?”
“Saya saja tidak mengerti undangannya. Baru tadi malam dikirimkan.”
Ini yang membuatku mengernyitkan dahi begitu kuat. Padahal, tadi malam sudah menunjukkan kesediaan untuk menguruskan surat tugasnya. Tanpa mempertanyakan agar tidak memperpanjang pembicaraan yang tak perlu, aku mengakhirinya.
“Baik kalau begitu, Bu. Saya ke dinas untuk mengurus. Terima kasih.”
Akhirnya, teman tersebut mengurus sendiri hingga selesai. Kuminta kirimkan scanning untuk kusampaikan pada pimpinan. Setelah dapat surat tugas, aku menyampaikan pada kepala sekolah sekaligus melaporkan perihal tugasku mengawas ujian yang sudah terkonfirmasi juga pada pihak panitia. Tanpa ada senjata untuk menyangkal atau menghalangi keberangkatanku, izin diberikan.
Aku berangkat besoknya di pagi buta sehabis sahur karena perjalanan lumayan panjang dan efisiensi waktu hingga tiba di tujuan. Sebelum berangkat, aku dihadapkan pada persimpangan lain. Pilihan berangkat atau batal kembali melanda. Kabar tidak mengenakkan datang dari istriku. Ia sedang perjalanan menuju kotaku. Kesehatannya tak kunjung membaik pascaoperasi kuret. Ia tinggal di kecamatan dengan jarak lebih kurang empat jam perjalanan. Ia akan berobat di kota yang kutinggali. Sementara aku, akan berangkat ke kota lain.
“Aku berangkat atau tidak, Ma?” tanyaku meminta pertimbangan.
Sebagai suami, aku tak ingin terlihat tak bertanggung jawab.
“Ya, berangkat saja. Kan, segala persiapan sudah dilakukan,” balasnya.
“Terus, Mama gimana?”
“Tak apa. Kan, masih ada keluarga juga yang nanti mengurusi.”
Aku tetap tak tega melihatnya. Jika mengurusinya, mungkin masih bisa dibantu keluarga. Bagaimana dengan dua anak lelaki kami? Mereka baru berusia 5 tahun dan 3 tahun. Siapa juga yang nanti mengurusi? Pasti repot? Segala tanya memenuhi ruang benak.
Aku tetap berangkat dengan segala kegalauan. Sepanjang perjalanan, aku tetap saling berkabar meskipun lebih banyak menunggu kabar. Aku tak tenang. Pesan di WA juga lama dibalas. Aku hanya bisa menunggu.
Di malam harinya, istriku baru menemui dokter di salah satu rumah sakit. Ia diantar oleh kakaknya. Hasil diagnosis menunjukkan komplikasi penyakit dan mengharuskan rawat inap. Ia ditinggal sendiri karena kakaknya menjaga anak-anak kami dan tak mungkin tidur di rumah sakit.
Di atas pembaringan rumah sakit dan kamar hotel, kami saling berbagi kabar. Fokus pikiranku sudah bukan pada kegiatan, tapi mengutuk diri yang tak bisa menunggui istri. Di mana tanggung jawabku sebagai suami? Karena itu, aku hanya bisa meminta maaf. Ketidakberdayaanku akhirnya memasrahkan pada yang Esa. Membiarkannya di jaga-Nya.
Persimpangan memang selalu membingungkan. Tapi, di situlah bagian dari pendewasaan diri. Mengambil setiap keputusan. Berdasar nalar, intuisi, dan restu sang ilahi. Sebab, sejatinya kita tidak pernah sendiri.
Jam menunjukkan pukul 03.00 WITA. Kubangunkan teman sekamarku untuk turun ke lantai bawah bersantap sahur.

DATA DIRI
Sahari Nor Wakhid, Guru SMP Negeri 5 Sangatta Utara, Kutai Timur. Pengajar Praktik Guru Penggerak Angkatan V dan Sosialisator Program Literasi (SPL) Nasional 2022. Video praktik terbaik literasinya menjadi finalis pada kategori Kepala SMP Inspiratif dalam rangka Hari Guru Nasional oleh Kemendikbudristek tahun 2021. Juara 2 Teacher Literacy Award (TLA) Nasional oleh Nyalanesia tahun 2021. Telah menerbitkan 3 buku tunggal dan 17 antologi bersama. Buku paling mutakhirnya adalah Lidah Api (Kumpulan Puisi, 2023). Bisa dikontak melalui IG @saharienwe. No. HP/WA : 082151514018.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *