Peristiwa di Awal Ramadan

Peristiwa di Awal Ramadan

Oleh: Luay Muthia Arifin

“Mamak bantu carikan,” ujar Mamak Ima di tengah-tengah gerakanku mencari sebuah benda kecil begitu penting bagiku saat ini, sebutlah buku zikir. Benda berwarna biru laut berbentuk buku saku dengan ukuran tak lebih besar dari kertas A4. Tidak tebal juga tidak terlalu tipis. Dalam buku itu, tertulis ayat-ayat zikir yang sangat ingin kubaca untuk mengisi bulan suci selama sebulan ke depan.

“Iya, Mak.” Hanya jawaban singkat itu yang bisa kuucapkan pada nenekku. Aku masih sibuk mencari-cari buku penting itu di tempat-tempat yang ada di rumah Mamak. Kali ini aku sedang mencarinya di kamar tempatku tidur, siapa tahu di kamar yang baru pertama kali kumasuki pagi tadi ialah tempat di mana buku zikirku berada.

“Nggak usah panik sampai gemetar gitu, Lais.” Mamak mengingatkanku yang dari tadi mencari dengan tak sabaran.

“Tenang aja, Lais. Pasti ketemu, nggak mungkin buku itu jalan sendiri. Buku itu pasti ada di rumah ini kalau kau yakin membawanya ke sini,” tambah Mamak.

Aku tersenyum kecut—menurunkan kecepatan gerakanku. Aku mengembuskan napas sembari berniat beranjak mencari ke ruangan lain. Baru hendak melangkah meninggalkan kamar ini, suara nyaring Ela—tetangga sebelah rumah Mamak sekaligus kawan sebayaku yang selalu ada untukku ketika aku sedang berkunjung atau menginap ke rumah nenek—membuatku berbalik tujuan menjadi melangkah menghampiri Ela.

“Udah aja nyarinya, Mak. Nanti lagi aja,” ujarku sedikit putus asa pada Mamak Ima yang kulihat masih sibuk mencarikan buku zikirku.

Aku sedikit berlari ke arah pintu depan, setiba di sana langsung kubukakan pintu geser kayu dan nampaklah sosok gadis tinggi kurus yang sedang berkacak pinggang. Alih-alih mempersilakan Ela masuk rumah, aku justru keluar rumah dan duduk di kursi yang ada di teras.

“Hei, ada apa denganmu wahai Laise?” Ela bertanya dengan bahasa baku khas yang selalu dibuat-buatnya seraya keheranan memandangku yang menyilangkan kedua tanganku di depan dada dengan wajah kesal.

“Buku zikirku hilang,” jawabku konkret.

“Oooh … kenapa sekesal itu?” Ela bertopang dagu seraya duduk di kursi yang ada di sebelahku.

Aku menghela napas dan baru menjawab satu menit setelahnya. “Buku itu penting banget buatku untuk sekarang sampai akhir bulan Ramadan nanti. Buku itu mau aku baca sesering mungkin. Aku pengen bisa maksimalin ibadah di bulan Ramadan ini, yaa tentu aja dengan baca buku zikir itu.”

“Aku udah niat banget pengen bisa maksimalin ibadah di bulan ini. Kamu tau sendiri aku sampai mutusin buat tinggal di rumah Mak Ima selama Ramadan ini biar bisa lebih fokus ibadah. Karena aku tau kalau aku di rumahku, aku pasti bakal keganggu sama aktivitas lain. Duuh, udah niat banget kayak gini buku zikir yang udah kusiapkan malah raib nggak tau ke mana. Huh!”

“Owalah, gitu ceritanya … kalau begitu, bolehkah diri ini membantu mencarikan buku zikir itu, wahai Laise?” Ela menawarkan bantuan.

“Nggak usah,” tolakku sedikit ketus.

Ela terdiam. Entah karena tak tau akan mengatakan apa lagi atau mungkin tersinggung dengan penolakanku.

“Maaf,” ucapku yang tetiba merasa bersalah atas perkataan ketusku pada Ela.

Ela melambaikan tangan—memintaku mengabaikan hal itu.

“Sekarang kamu akan melakukan hal apa, Laise?” Tanya Ela setelah beberapa saat hening di sekitar kami.

“Entahlah.” Aku meluruskan kedua tanganku kemudian menariknya ke depan—melakukan gerakan pemanasan sederhana—seraya mengembuskan napas panjang.

“Siap-siap salat asar aja, yuk! Sekarang udah mendekati waktu salat asar,” ajak Ela seraya bangkit dari kursi.

Aku diam beberapa saat dengan tatapan kosong, lantas tak sampai dua menit segera ikut bangkit berdiri dan merangkul pundak Ela. Kami berjalan memasuki rumah Mamak Ela dan menuju tempat wudu.

Tepat sekali, baru saja kami berdua memakai mukena dan bersiap menunggu azan asar berkumandang, panggilan salat itu mulai terdengar. Aku menoleh pada Ela. Dirinya sedang membenarkan mukena milikku yang rupanya sedikit kekecilan di wajahnya. Dengan lirikan mata dan gerakan alisku yang terangkat, Ela segera mengetahui maksudku. Setelah azan asar selesai berkumandang, kami segera membentuk shaf salat berjamaah. Ela sudah tau jika kami berdua salat berjamaah, yang menjadi imam salat adalah Ela.

“Tunggu, Mamak juga mau salat. Jamaah sama Mamak, ya? Terdengar suara Mamak Ima dari pintu kamar salat. Kami berdua menengok ke belakang, terlihat Mamak berjalan ke arah kami dengan wajah basah oleh air wudu. Setelah Mamak mengenakan mukenanya, kami salat berjamaah dengan Mamak Ima yang menjadi imamnya.

Salat diakhiri dengan salam. Aku mengusap wajahku kemudian bersalaman dengan Mamak dan Ela. Dalam waktu beberapa saat setelah salat. terlintas dalam benakku suatu hal. Aku tersenyum senang mendapatkan sebuah rencana manis dan merasa ini adalah sebuah ilham dari Allah.

Aku mulai mengumpulkan niat dengan menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Setelah niat dalam jiwa ini terkumpul dan jiwaku mulai fokus, aku mulai berzikir. Berzikir, berzikir, dan berzikir. Mengingat Allah, mengingat kebesaran Allah, memuji Allah, bersyukur pada Allah, meminta ampun pada Allah.

“Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah—”

“Ayo kita jalan-jalan cari takjil untuk buka puasa, wahai Laise.” Ela menepuk pundakku.

Aku terkejut. Bagaimana tidak, aku sedang fokus berzikir, tetapi malah dikagetkan oleh Ela. Aku menggeleng lantas membalas, “Aku masih mau zikir sama doa. Masih lama, mungkin sampai buka puasa nanti.”

“Astaga, yang benar saja!” Ela terdengar tak percaya.

“Kenapa? Ada yang salah?”

“Yaa, enggak juga sih. Tapi—”

“Biarkan saja, Nak Ela. Sekarang bantu Mamak siapkan takjil aja, yuk! Mau?” Mamak Ima memutus perkataan Ela.

“Nggak usah beli takjil, kita buat takjil sendiri aja di sini. Nanti Nak Ela buka puasa di sini, ya?” pinta Mamak.

“Kita buatkan takjil spesial. Khususnya takjil spesial untuk yang lagi ingin mengingat Allah semaksimal mungkin ini,” sambung Mamak.

Mamak dan Ela lantas beranjak dari kamar salat tanpa bersuara lagi. Sementara aku kembali berzikir. Berzikir, berzikir, dan berzikir.

“Yaa Hayyu yaa Qayyum—” dalam zikirku, samar-samar kudengar suara Mamak Ima dan Ela berbincang dari arah dapur yang letaknya memang dekat dengan kamar salat.

“Mak, kenapa Laise sebegitu pengennya berzikir, mengingat Allah?”

“Bukannya itu bagus, Nak Ela?”

“Eehh, iya sih. Tapi maksudku, Laise kulihat zikirnya itu kayak dipaksakan untuk fokus dan memaknai. Eh, itu enggak salah juga sih. Tapi menurutku, Laise kayak enggak tenang plus enggak rileks zikirnya. Semacam kayak anak yang berusaha bujuk dan yakinkan ibunya untuk kasih uang jajan padanya dengan tergesa-gesa. Apalagi Laise tadi bilang mau zikir sampai nanti buka puasa. Menurutku, cara berzikir Laise kurang tepat,” jelas Ela runtut.

“Biarkan aja dulu, Nak Ela.”

“Yaa Hayyu yaa Qayyum—” aku kembali berzikir.

Selepas mendengar apa yang dibicarakan Mamak dan Ela tadi, aku tidak bisa berzikir sefokus sebelumnya. Sebenarnya dari tadi aku memang merasa tidak fokus berzikir. Padahal aku sudah berusaha untuk fokus. Huhuu, kenapa seperti inii? Baiklah, aku tetap berusaha untuk berzikir.

Lima menit, aku mulai menitikkan air mata—kecewa karena tidak bisa fokus.

Lima belas menit, aku semakin menundukkan kepala—lelah.

Namun, aku tetap berusaha berzikir.

Lima menit, aku beranjak mengambil Al-Qur’an dan membacanya.

Baru setengah halaman kubaca, aku mulai malas. Tidak! Aku tidak boleh malas membaca Al-Qur’an! Aku terus membacanya.

Sudah selembar kubaca ayat-ayat Al-Qur’an itu, aku mulai tidak fokus, lelah, dan malas. Astaghfirullah! Tidak! Ayo teruskan, Laise!

Hingga waktu berbuka tiba, aku masih mengenakan mukena dan duduk di kamar salat. Tentu saja aku masih ingin beribadah pada Allah. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mendekatkan diri pada Allah.

“Laise, ayo buka puasa dulu.” Suara Mamak terdengar jelas dari pintu kamar salat.

Aku menoleh ke belakang dan mengangguk. Aku melepas mukena dan beranjak berdiri.

“Kamu enggak capek kan, Laise?” tanya Ela di sela-sela waktu makan kami.

Aku menggeleng—padahal aku jelas lelah. Entah kenapa aku bisa lelah, padahal kan banyak orang bisa bertahan selama itu untuk beribadah. Kenapa aku lelah? Eh tidak, aku tidak lelah! Sanggahku pada diriku sendiri. Berusaha menyangkal bahwa aku lelah.

“Enggak usah buru-buru makannya, Lais,” tegur Mamak.

Aku menurunkan kecepatan gerakan makanku. “Aku salat magrib dulu,” ucapku kemudian.

“Kamu udah kenyang? Kenapa buru-buru mau salat? Kamu baru sedikit makannya, lho.” Ela bertanya ketika aku hampir melangkah menuju tempat wudu.

“Udah kenyang,” jawabku seraya melangkah meninggalkan meja makan.

“Enggak jamaah salatnya?” Ela masih bertanya lagi.

“Enggak. Lagi pula kalian juga masih makan, kan?”

Aku mengambil air wudu dan melangkah menuju kamar salat. Kukenakan mukenaku dan bersiap mendirikan salat.

Salat diakhiri dengan salam. Setelah salam, tentu saja aku mulai berzikir. Berzikir, berzikir, dan berzikir.

Sebenarnya aku lelah dengan aktivitasku ini. Apa mungkin benar apa yang dikatakan Ela bahwa caraku beribadah kurang tepat? Eh, apa yang kukatakan tadi? Lelah? Aku tidak lelah. Beribadah pada Tuhan kok lelah. “Enggak lelah, kok,” batinku menyanggah dan mulai berusaha fokus berzikir.

Memasuki waktu salat isya, Mamak dan Ela memasuki kamar salat ketika aku sedang mengaji.

“Kudengar suara ngajimu seperti dikejar setan aja, wahai Laise. Enggak usah buru-buru, wahai Laise,” celetuk Ela seraya mengenakan mukena.

Aku menutup Al-Qur’an dengan hati-hati dan meletakkannya di atas lemari mukena—tak menjawab celetukan Ela. Aku lama-lama merasa kesal dengan Ela yang menurutku selalu saja mengomentari apa yang kulakukan.

Tanpa ada percakapan lagi, kami membentuk shaf salat. Salat diakhiri dengan salam. Aku berzikir singkat karena ingin segera mendirikan salat tarawih. Sebelum salat tarawih, kudirikan salat bakdiyah Isya terlebih dahulu. Setelahnya kulangsung berdiri lagi dan mengajak Mamak dan Ela salat tarawih.

Mereka tidak banyak komentar seperti sebelumnya, mungkin mulai memahamiku atau mungkin karena mereka malas berkomentar lagi—khususnya Ela.

Salat tarawih telah berjalan 8 rakaat. Selesai berzikir, aku bangkit berdiri lagi—hendak melanjutkan salat tarawih. Sementara kulihat Mamak dan Ela memandangku dari duduk mereka. Tersirat dari wajah mereka bahwa keduanya memastikan aku ingin melanjutkan salat tarawih hingga 20 rakaat. Aku yang tahu akan pertanyaan yang tersirat dari wajah mereka langsung mengangguk.

“Kalau Mamak sama Ela mau udahan di 8 rakaat ini, biar aku lanjutkan salat sendiri aja. Aku mau salat tarawih sampai 20 rakaat,” ucapku dengan pandangan ke arah tempat sujud.

Aku tak mendengar jawaban dari mereka. Lantas tanpa ba-bi-bu aku mulai salat tarawih lagi hingga 20 rakaat.

Pukul sembilan malam, aku telah menyelesaikan salat tarawih 20 rakaat plus 3 rakaat salat witir. Serta telah berzikir panjang. Sungguh melelahkan bagiku. Eh tidak, aku tidak lelah! Baru aku hendak mengambil Al-Qur’an, Mamak Ima berkata lembut dari arah belakangku.

“Nak Ela baru aja pulang. Nak Ela bilang kalau dia akan kembali ke sini besok pagi buat nemenin kau.”

“Kau belum ngantuk, Lais? Saran Mamak, kau tidurlah sekarang. Ini udah cukup malam. Kau butuh istirahat juga,” lanjut Mamak.

“Satu ? dulu, Mak. Habis itu aku tidur,” jawabku tanpa menengok ke arah Mamak.

Tak ada jawaban dari Mamak dan aku mulai membaca Qur’an. Tak sampai satu ?, penglihatanku kabur. Otomatis aku kehilangan ayat yang baru kubaca. Astaghfirullah, aku mulai mengantuk. Tetiba dalam kantukku ini, benakku memikirkan hal yang kulakukan dari mulai asar tadi. Aku merasa tak mendapatkan apa-apa. Aku menitikkan air mata tanpa sadar dan menangislah aku sejadi-jadinya. Menangisi ketidakberdayaanku ini.

Aku menutup Al-Qur’an dengan hati-hati dan meletakkannya kembali ke atas lemari mukena. Melepas mukena kemudian berlari menuju kamar yang disiapkan Mamak untukku tidur.

Pukul setengah empat pagi, aku dibangunkan Mamak untuk sahur. Aku melangkah gontai menuju meja makan, di sana telah siap sebakul nasi putih dan oseng jamur tiram sebagai lauknya. Karena ini adalah hari pertamaku sahur di rumah Mamak, aku sedikit terkejut mengetahui bahwa makanan sahur telah siap di pukul empat pagi ini.

Astaga, Mamak Ima bangun pukul berapa untuk menyiapkan ini semua? Semalam saat kuberanjak tidur, dari arah kamar Mamak, samar-samar kudengar Mamak mengaji. Apa Mamak tidak lelah? Kenapa Mamak bisa menyiapkan makanan secepat ini? Lagi pula, di rumah ini hanya ada aku dan Mamak—tidak ada yang membantunya memasak. Aku hanya bisa mengangkat bahu memikirkan hal itu lantas mengambil piring.

Kami selesai makan sahur sebelum imsak. Masih ada waktu yang cukup untuk mengaji, pikirku. Aku lantas berwudu dan mengaji di kamar salat. Azan subuh berkumandang ketika aku mulai mengantuk. Mamak yang telah siap salat subuh memintaku berwudu lagi dan mengajakku salat subuh berjamaah.

Selesai salat subuh, Mamak beranjak mengambil Al-Qur’an. Aku yang sedari tadi tak bisa menahan beratnya mataku langsung melepas mukena dan berlari ke kamar untuk tidur. Sebenarnya dalam hatiku aku merasa janggal dan tak nyaman karena tak bisa menyempatkan diri untuk berzikir atau mengaji, malah memilih untuk tidur.

Aku terbangun ketika Mamak membuka jendela kamar tempatku tidur. Aku langsung terduduk dengan mata yang terbuka lebar. Sinar matahari yang masuk dari jendela yang terbuka membuatku terkejut. “Ini jam berapa, Mak?” Tanyaku.

“Setengah delapan. Nak Ela udah dateng. Kau segeralah temui Nak Ela di teras,” jawab Mamak.

“Udah dari tadi datengnya, Mak?”

“Baru aja. Makanya Mamak bangunin kamu. Pakai cara buka jendela kamar ini.” Mamak mematikan lampu kamar lantas meninggalkan kamar.

Aku mengambil kerudungku dan mengenakannya. Kemudian berlari kecil menuju teras. Di sana Ela duduk sendirian dengan mata menatap ke depan. Aku duduk di kursi sebelahnya, ikut memandang ke depan dengan tatapan kosong. Satu menit tak ada percakapan dari kami. Hingga sekitar 3 menit kemudian, aku mulai bersuara. Aku mendesah.

Ela menengok ke arahku, “Kenapa, wahai Laise?”

“Ruwet. Kepalaku rasanya ruwet mikirin ….” Kujawab pertanyaan Ela setelah beberapa detik dengan menggantungkan perkataanku itu.

“Mikirin apa? Kalau boleh kutebak, kamu mikirin ibadahmu, ya?”

Mataku membulat, langsung kutolehkan kepalaku ke arah Ela dengan mata menyelidik. “Kamu … kamu kenapa bisa bilang gitu?”

Ela tak langsung menjawab.

“Hufft, iya. Apa yang kamu bilang itu seratus persen bener,” ucapku kemudian.

Ela tetap diam.

“Kenapa yaa rasanya aku tu kayak susah banget bisa konsisten ibadah. Tadi aja aku nggak bisa nahan ngantukku. Padahal aku mau ngaji habis salat subuh. Kalau pun bisa konsisten, kenapa rasanya aku kayak enggak dapet apa-apa ya dari apa yang aku lakuin? Rasanya kayak nggak ada efeknya aku nyoba ibadah biar deket sama Allah. Aku ngerasa banget kayak enggak bisa nikmat pas lagi ibadah. Yaa Allah … astaghfirullah ….” Aku mengeluarkan semua perasaanku dengan terisak. Tak disangka olehku, air mataku tumpah.

Ela tetap diam. Entah apa yang akan direspons oleh Ela, aku tak mengetahuinya. Mataku kini menatap ke depan, meratapi diriku yang seakan tak berguna.

“Lais … sayangku ….” Tiba-tiba saja Mamak Ima memelukku. Suara Mamak serak oleh tangis.

Entah kenapa seketika suasana menjadi berbeda. Aku balas memeluk Mamak. Kami berdua menangis dalam pelukan.

“Maafin Mamak, Lais. Mamak tadi berdiri di pintu teras, denger apa yang kamu katakan. Mamak nggak bisa nahan buat peluk kamu, Lais. Mamak sayang banget sama Lais.”

Kami melepas pelukan setelah beberapa saat. Aku mengusap air mataku yang mengalir deras dengan punggung tanganku. Entah bagaimana caranya, tangisan dan pelukan serta keluhanku yang kulontarkan tadi mampu membuatku cukup lega.

“Kalau Lais enggak keberatan, Mamak pengen banget bisa bantu Lais hilangkan beban yang tadi Lais katakan,” lirih Mamak.

Aku mengangguk. Tak tau akan merespons seperti apa selain menganggukkan kepala.

Mamak lantas duduk di kursi yang tersisa. Mata Mamak menatapku lama kemudian menatap Ela sembari tersenyum tulus.

“Lais, kalau kau mempercayainya, sebenarnya Mamak sangat bisa paham sama yang dirasakan Lais. Mamak tau kalau Lais pengen bisa maksimal ibadah di bulan Ramadan ini. Lais juga pengen bisa memperbaiki hubungan Lais dengan Allah. Dari sini, Mamak bersyukur dan bangga banget sama cucu Mamak satu ini. Mamak selalu berdoa buat Lais biar semoga Allah memberi kebaikan dan kenikmatan untuk Lais dalam beribadah ….”

“Tapi, Mamak perhatikan caramu untuk mencapai itu kurang tepat, Nak. Kalau boleh Mamak katakan, salah satu cara Lais yang Mamak rasa kurang tepat itu seperti Lais yang beribadah ingin yang banyak, tanpa kekhusyukan di sana. Di sini, Mamak tau kalau Lais pengen bisa khusyuk, tenang, dan nikmat dalam beribadah sama Allah. Tapi ingatlah, Nak. Kekhusyukan bisa didapat dengan memperbaiki segala yang kurang dari kita. Boleh Mamak contohkan? Misalnya Lais ingin khusyuk, maka Lais perlu memperbaiki cara Lais beribadah. Lais bisa memperbaiki zikir Lais dengan membaca zikir dengan tak perlu cepat-cepat, bacalah zikir dengan tenang. Begitu juga pas Lais mengaji dan salat, bacalah ayat Qur’an dan bacaan salat dengan tenang dan cobalah untuk memaknainya.”

Aku mendengar pesan Mamak dengan kepala menunduk. Aku seperti mendapat sebuah siraman penuh kesejukan. Aku mendapat sebuah pesan yang begitu mendalam dan baru kusadari semua yang dikatakan Mamak itu benar adanya. Aku tak bisa menahan keinginanku untuk memeluk Mamak. Langsung kupeluk Mamak dengan erat.

Pelukan kami terlepas setelah Mamak memintaku untuk kembali duduk dengan tenang.

“Boleh aku katakan sesuatu, wahai Laise?” tanya Ela yang ternyata sedari tadi menangis dalam diam.

Aku mengangguk.

“Laise, kalau kamu percaya, sebenarnya aku juga bisa paham sama apa yang ada dalam sesakmu sebelum kamu mengatakannya tadi. Langsung aja, yang bisa aku katakan ke kamu ialah, apa yang kamu lakukan itu sangat baik. Namun, perlu kamu ingat bahwa kamu tidak perlu mengejar sesuatu yang muluk-muluk. Dari hal kecil tapi mampu membuatmu tenang dan khusyuk itu jauh lebih menakjubkan. Sejauh ini, aku bangga sama kamu, Lais.” Ela memelukku erat.

“Makasih banyak, Ela ….” bisikku dalam pelukan itu.

Mamak mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Buku zikir! Belum sempat aku mengatakan sepatah kata pun, Mamak lebih dulu bersuara.

“Mamak nemuin ini di laci meja tamu, Lais. Mungkin kamu lupa pernah naruh itu di sana.”

“Apapun yang terjadi, ini semua ada hikmahnya. Kau tak perlu menyesal karena lupa menaruh buku zikir ini di laci meja tamu. Karena, Mamak rasa apa yang terjadi pagi ini nggak akan terjadi kalau buku zikir kamu enggak hilang, kan?” Mamak melanjutkan perkataannya.

Aku mengangguk setuju. Kedua sudut bibirku terangkat.

Benar sekali apa yang dikatakan Mamak Ima. Kalau bukan karena buku zikir ini hilang, aku pasti tak akan bisa mendapat hikmah luar biasa ini bahwa kekhusyukan dapat diraih dengan kita mampu tenang mengendalikan keinginan kita untuk beribadah yang banyak tanpa kekhusyukan.

Aku bersyukur pada Allah karena telah memberikan skenario luar biasa pada hambanya yang berniat untuk mendekatkan diri pada-Nya. Skenario yang luar biasa. Aku tak akan menyesal karena lupa menyimpan buku zikir ini ke dalam laci meja tamu ketika aku diingatkan bunda saat pertama kami pertama kali datang ke rumah Mamak. Bunda memintaku untuk menyimpan dulu buku zikir itu ketika aku selalu membawanya sedari perjalanan ke rumah Mamak ini.

“Terima kasih banyak ya Allah. Makasih banyak, Mamakku sayang. Enggak lupa juga, makasih banyak, Ela kawanku yang selalu ada. Peran mereka begitu berarti untukku,” batinku dalam hati.

?

Data diri penulis:

Luay Muthia Arifin, seorang gadis berusia 17 tahun. Hampir semua orang memanggilnya Luay. Lahir di Bantul, 21 September 2006. Sampai saat ini masih menetap di kota tempatnya lahir, Yogyakarta. Luay menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK IT Ar-Raihan Piyungan. Tahun 2013 menempuh jenjang yang lebih tinggi lagi di SD IT Salsabila 3 Banguntapan. 6 tahun menimba ilmu di sana, Luay melanjutkan study-nya di SMP IT Al-Khairaat Yogyakarta selama 3 tahun. Saat ini, Luay sedang menempuh pendidikan sekolah menengah atas di MAN 3 Bantul.

Gadis ini sejak kecil menyukai kegiatan baca tulis, salah satu bidang literasi. Saat kecil sering dibacakan buku cerita anak, dongeng, hingga kisah para nabi oleh ibunya yang dirinya panggil umi. Beranjak besar, dirinya mulai berminat menulis cerita-cerita pendek—tak dimungkiri, motivasinya menulis dimulai sejak dirinya dibacakan buku-buku oleh uminya. Semakin dewasa, Luay semakin termotivasi untuk berkarya dengan menulis. Dengan menulis setidaknya dapat memberikan inspirasi yang memotivasi bagi pembacanya. Dia termotivasi menjadi penulis agar bisa mengubah pola pikir pembacanya ke arah yang lebih baik lagi, dalam artian memberikan dampak positif bagi pembacanya.

Gadis yang saat ini gemar mendengarkan musik The Nights oleh Avicii itu selain gemar membaca dan menulis kisah, dirinya juga gemar bercengkerama dengan sahabat dumay-nya. Kegemaran itu telah dimulai sejak dirinya kecil, saat kecil dirinya gemar berkirim surat secara online maupun melalui pos kepada sahabat penanya. Sampai saat ini, dirinya masih berkomunikasi dengan beberapa sahabat penanya melalui media sosial.

Hingga kini, Luay telah menghasilkan 6 buah karya tulis dalam bentuk cerpen dan puisi yang diterbitkan di penerbit indie.

Luay dapat dihubungi melalui email luayimut@gmail.com Instagram @luayarifin21 Facebook @Luay Muthia Arifin


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *