One day in a full moon

Apakah yang pertama kali terlintas di pikiranmu ketika mendengar kata “bulan purnama”?

Apa kamu otomatis membayangkan benda berwujud bulat besar, melengkung sempurna, dan bercahaya terang? Atau mungkin justru sisi romantismu-lah yang akan mengambil alih? Membuatmu justru terbayang si dia, dimana kalian sedang duduk berdua dibawah purnama, lalu kamu menggenggam tangannya, dan bersiap menyatakan cinta. Ah, bisa juga kamu langsung terbayang manusia serigala yang keluar dari persembunyiannya dan melanglang-buana untuk mencari mangsa.

Hmm…, jawabanmu tidak ada yang salah. Fenomena alam yang satu itu, memang memiliki begitu banyak makna. Beda orang, beda pula penafsiran dan cara pandangnya. Ngomong-ngomong, apa kamu mau tahu cerita “bulan purnama” menurut versiku?

Satu kata buatku, yaitu…

Melelahkan.

Hanya itulah yang pertama kali muncul dipikiranku ketika ada orang yang menyinggung kata “bulan purnama”.

“Sherin? Buru-buru banget”?

Tanpa menghentikan pergerakan tangan yang sedang sibuk mengemasi barang-barang, aku mengangguk. “Shift kerjaku sudah selesai. Mau cepat-cepat sampai rumah”. Ku lirik jam dipergelangan tangan. Pukul 8 lewat 15 menit. Buru-buru kuraih tas yang ada diatas meja dan menoleh pada rekan kerjaku yang tadi mengajukan pertanyaan. “Duluan, ya”!

“Setelah kuingat-ingat lagi, kamu selalu pulang cepat tiap bulan purnama”.

Gadis berseragam putih itu melirikku sebentar, kemudian menengadahkan kepalanya seraya menatap ke luar jendela. Aku mengikuti arah pandangnya dan mendapati bulan menyembul dari balik pepohonan, terlihat begitu silau digelapnya langit malam.

“Biar kecantikanku terjaga, aku mesti semedi tiap malam bulan purnama”. Jawabku asal-asalan. Sesuai dugaan, lawan bicaraku hanya memutar bola mata malas dan tidak lagi bertanya lebih Jauh. Aku melangkah ke arah pintu keluar dan menoleh sekali lagi. “Sampai jumpa”.

Koridor serba putih yang kulalui terlihat jauh lebih ramai dari biasanya. Beberapa orang hilir-mudik diatasnya. Namun, tidak seorang pun menyadari adanya sosok kerdil yang lagi mengintip dari balik pot bunga, atau pemuda yang sedang melenggang santai dengan meninggalkan jejak-jejak merah dibelakangnya, bahkan sosok makhluk tinggi besar yang tengah menangis meraung-raung entah kenapa.

Sesosok gadis kecil berkuncir dua tiba-tiba muncul dihadapanku, wajahnya hancur sebagian dan bola mata kanannya tidak berada pada tempatnya, membuatku otomatis mengubah jalur agar tidak menabraknya. Sebenarnya tidak masalah kalau pun aku terus berjalan melewatinya, toh aku hanya akan menembusnya seolah tidak terjadi apa-apa. Sayangnya, sensasi dingin dan geli sampai menusuk kulitku seolah-olah bak tersengat aliran listrik berkekuatan kecil yang kurasakan ketika melakukannya, sama sekali tidak menyenangkan.

Bulan purnama baru muncul selama beberapa jam, tetapi “mereka” sudah tidak sabar untuk berkeliaran dimana-mana. layaknya sebuah hajatan besar yang sedang digelar, mereka pun berlalu-lalang memenuhi area tersebut.

Tepat didepan ruangan bernomor 315, ku hentikan langkah dan kuraih daun pintu, kemudian membukanya dg perlahan. Seperti biasanya, ruangan itu sepi. Oh, tidak begitu sepi, sih. Tepat disudut ruangan, ada sosok kakek berjanggut panjang yang sedang berdiri diam disamping sofa, sembari sesekali mengamati kondisi sekitarnya. Suasana didalam agak temaram, tetapi melalui salah satu jendela, sinar bulan purnama membantu memberikan penerangan ekstra. Belum sempat kulangkahkan kakiku kedalam ruangan, serta tubuhku pun masih berdiri diambang pintu, kupandangi satu-satunya manusia yang ada disana, tengah terbujur lelap diatas brangkar. Bunyi suara ‘bip’ beraturan yang bersumber dari elektrokardiogram diatas meja membuatku tersenyum tipis, karena biar bagaimana pun, dia masih belum pergi ke mana-mana.

“Selamat malam”. Aku berbicara pelan. “Sampai jumpa besok”.

Bulan purnama semakin tinggi dan aku bisa terkena masalah seandainya terlambat.

***

Bagiku bulan purnama menandakan datangnya malam yang paling sibuk dalam sebulan. Dihari itu, aku diharuskan bekerja sampai matahari terbit, nyaris tidak ada waktu untuk istirahat atau pun sekedar memicingkan mata sesaat. Sungguh sebuah kerja sambilan yang sama sekali tidak kuharapkan, tetapi harus tetap diselesaikan tanpa adanya pilihan.

“Saya lupa memberi tahu keluarga dimana letak surat wasiat”.

Hembusan napas berat terlontar dari mulutku untuk yang kesekian kalinya. Dihadapanku saat ini, duduk seorang wanita tua yang tengah memasang tampang memberengut terbaiknya.

“Mungkin Anda lupa sudah menyerahkannya ke pengacara”? Bukan baru sekali atau dua kali aku menerima alasan yang seperti tadi. “Cobalah diingat-ingat”.

“Tidak. Mana mungkin saya menyerahkannya ke pengacara busuk itu! Dia akan memanipulasi isinya”! Wanita itu terlihat semakin berapi-api. Satu tangannya mengepal kuat dan dia mulai mencondongkan tubuh ke arahku, kemudian berbisik keras. Aku sampai heran kenapa dia mesti repot-repot berbisik. “Pokoknya, saya tidak mau semua harta jatuh ke tangan anak durhaka itu”.

“Jadi, apa rencana Anda”?

Aku mulai merasa lelah, padahal ini baru sosok kelima yang kulayani malam ini.

“Saya akan masuk ke mimpi anak saya yang paling bungsu, dan memberitahukan letak suratnya”.

“Baiklah”. Kutuliskan beberapa kalimat pada kertas khusus dihadapanku, lalu membacakannya keras-keras. “Ibu Marniati Cahyono. Usia 81 tahun. Meninggal pada tanggal 19 April. Permohonan, izin untuk memberitahukan keberadaan surat wasiat melalui mimpi. Waktu yang diberikan 1 jam. Tolong tanda tangan disini”. Aku mengangsurkan kertas tersebut, ke arahnya dan menunjuk sebuah kolom kosong dibagian kanan bawah.

Wanita tua itu meraih bolpoin emas yang tersedia diatas meja, dan membubuhkan tanda tangannya ditempat yang kutunjuk tadi. Begitu selesai, kertas itu mengeluarkan sinar keemasan dg sendirnya, yang cukup menyilaukan mata kemudian menghilang.

“Ingat. Anda tidak boleh melakukan hal lain diluar yang disepakati. Sesuai protokol, aku memberitahukan syarat dan ketentuan yang berlaku dari surat perjanjian yang baru saja ditanda tangani wanita tua itu. “Sanksi dari pelanggaran adalah pemulangan secara paksa dan pembatalan semua perjanjian”.

“Saya mengerti”. Si wanita tua mengangguk. “Terima kasih”. Sosoknya perlahan memudar dan menghilang seutuhnya.

Aku mengeluarkan selembar kertas baru dari laci meja, dan melemparkan pandangan ke antrian panjang didepan pintu gerbang, tidak jauh dari tempat dudukku. “Selanjutnya”!

Apa kamu tahu salah satu kisah tentang bulan purnama yang jarang diketahui orang?

Jadi begini. Setiap bulan purnama muncul, batas antara dunia kita dengan “dunia sana” akan berubah menjadi sangat tipis. Saking tipisnya, arwah-arwah penasaran yang ada dibaliknya akan berlomba-lomba untuk menerobos demi menyelesaikan urusan mereka didunia atau hanya sekadar untuk menakut-nakuti manusia.

Oke. Setidaknya masalah itu teratasi, karena ada pihak berwenang yang ditugaskan khusus untuk menjaga wilayah perbatasan. Namun, pihak “dunia sana” mulai protes, dikarenakan pembatasan tersebut, ternyata sangat menghambat hubungan diplomasi antara dua dunia, dan juga mengekang HAA (Hak Azazi Arwah) untuk menyelesaikan urusannya yang masih tertinggal dan mengganjal.

Oleh karena itu, dibangun gerbang khusus yang tersebar diseluruh dunia, dimana hanya akan terbuka pada saat bulan purnama. Gerbang tersebut berukuran sangat besar, sepasang lempengan baja kokoh setinggi 5 meter, dengan berbagai ukiran aneh dipermukaannya yang berwarna keperakan. Para arwah, dengan misi tertentu akan diizinkan untuk melewatinya. Sebagai syarat utamanya, yaitu harus melapor pada penjaga gerbang. Diseluruh dunia, terdapat puluhan keluarga yang terpilih untuk mengemban tugas sebagai penjaga secara turun-temurun.

Percayalah. Dunia ini jauh lebih gila dan kompleks dari perkiraanmu. Bersyukurlah karena kamu tidak harus terlibat dalam semua keabnormalan ini.

Namun, pembuatan gerbang ini terbukti tidak begitu efektif. Masih banyak arwah yang berhasil meloloskan diri, dan beberapa diantaranya sangat suka berkeliaran dirumah sakit tempatku bekerja. Analoginya hampir sama seperti penjara dinegara ini. Kalau kamu memiliki “power” lebih, maka kamu bakalan bisa plesiran sesuka hati. Eits, tolong jangan berpikiran, kalau para arwah berhasil meloloskan diri dengan cara menyuap penjaga gerbang, kami adalah pekerja terhormat. Beberapa jenis arwah hanya lebih kuat, dibanding yang lainnya. Saking kuatnya, mereka bisa berpindah dimensi, tanpa harus menggunakan akses pintu gerbang.

Arwah seorang laki-laki datang mendekat, dan duduk dikursi yang ditempati wanita tua sebelumnya. Terlihat masih sangat muda, sayang sekali gumamku. Salah satu hal, yang kupelajari langsung dari kerja sambilan, sebagai penjaga gerbang sekaligus petugas BAPA (Biro Administrasi dan Perizinan Arwah) adalah bahwa, kematian sama sekali tidak

mengenal waktu, tempat dan usia.

“Apa yang bisa saya bantu”? sambil tersenyum serta berusaha untuk tetap bersikap ramah dan profesional.

“Anu. itu…” Anak itu terlihat begitu gugup. Seandainya dia masih hidup, saat ini pipinya pasti sudah bersemu merah.

“Katakan”. Aku sudah siap untuk menulis formulir surat perjanjian. Ini nantinya berfungsi untuk mengikat arwah, agar mereka tidak berbuat seenaknya, ketika diberi kesempatan dan diizinkan berkeliaran didunia. “Apa urusanmu yang tertinggal”?

“Itu…, aku lupa menghapus riwayat pencarian dibrowser”.

Barusan adalah salah satu dari sekian banyak pengakuan unik, yang sukses membuatku
terdiam seribu bahasa. Aku belum pernah merasakan mati. tapi sungguh, kenapa permintaan arwah-arwah ini banyak yang aneh? Akankah hal sekecil apa pun, memang berpotensi untuk membuat manusia menjadi arwah penasaran bin gentayangan? Sudah begitu banyak, hal-hal lucu bin absurd yang kudengar selama delapan tahun karirku terjun langsung dibidang ini.

Ada yang mau memantau, apakah suaminya langsung menikah lagi atau tidak. Ada yang ingin, menyatakan perasaan pada gadis incarannya sejak lama. Ada juga yang berniat menghantui orang yang membunuhnya. Ada pula yang selama hidup, tidak pernah bepergian, dan ingin memanfaatkan kesempatan ketika menjadi arwah untuk berkeliling dunia secara gratis.

Namun, manusia memang gudangnya penyesalan, bukan?

Satu demi satu arwah telah selesai kulayani. Waktu hampir menunjukkan pukul 12 malam. Kulirik gerbang dan semangatku langsung luluh, melihat antrian yang masih mengular tak habis-habis. Padahal ada 5 pos yang dibuka dan dijaga oleh anggota keluargaku yang lain, tetapi tidak terlihat cukup signifikan untuk mengurangi dan mengurai panjang antrian.

“Permisi”.

Kali ini, yang datang tepat dihadapanku, adalah sesosok arwah seorang pria, muda berambut kecokelatan.

“Ya”. Aku pun mengambil lembaran formulir yang baru. “Apa yang bisa saya bantu”?

“Di masa-masa terakhirku, aku sama sekali tidak punya teman bicara”.

Sontak…, aku terenyuh mendengarnya. Bayangkan, tidak ada seorang pun yang menemanimu ketika kamu menghembuskan nafas terakhir. Apa ada level kesepian yang lebih dalam dan tinggi dari itu semua?

“Baiklah. Lalu”?

“Aku hanya butuh keberadaan seseorang” Pria itu itu menatapku dalam-dalam. “Orang yang bisa menjadi teman bicara. Sebentar juga tidak apa-apa”.

“Mohon maaf, Pak”. Aku sebenarnya rada tidak tega mengatakan ini, tapi mau bagaimana lagi. “Tetapi Anda mengerti kan, dengan kondisi Anda sekarang? Sangat sedikit orang yang bisa melihat Anda”. Ekspresinya berubah suram dan aku buru-buru menambahkan. “Atau Anda punya kenalan yang punya kelebihan istimewa”?

Pria itu menggelengkan kepalanya.

“Kamu bisa melihatku, kan”? ucap dia sambil tersenyum. “Kalau begitu, tolong kamu temani aku.

Di bawah bulan purnama, tiba-tiba saja aku dipertemukan dengan sosok yang tak terduga.

Sepertinya malam kali ini, akan lebih panjang dari biasanya.

***

“Apakah ada pertanyaan”?

Pria itu tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya. Senyumannya masih tetap awet dan pandangannya tidak pernah lepas dariku sedetik pun. Serius, seandainya dia ini manusia hidup sepertiku, bukannya arwah dengan urusannya yang tertinggal, aku pasti sudah salah tingkah sejak tadi. Dia tampan. Dengan rambut cokelat gelap yang agak ikal, sepasang mata amber, yang seolah dirancang untuk hanya memberikan tatapan lembut, ditunjang dengan postur tubuhnya yang tinggi tegap ibarat seorang model. Bisa dipastikan orang ini adalah tipe cowok idola, yang terbiasa dikelilingi banyak perempuan semasa hidupnya.

“Baik. Saya anggap Anda sudah memahami semua peraturan yang ada, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan didunia manusia”. Aku mulai mempersiapkan lembaran perjanjian. “Nama Anda”.

“Panggil saja Angga”.

Aku menjauhkan bolpoin emas ditanganku dari permukaan kertas.

“Saya butuh nama lengkap”.

Dia menelengkan kepala dan memasang ekspresi bingung. “Haruskah”?

Aku masih tersenyum, berusaha bersabar. Pria yang satu ini tidak hanya memiliki permintaan yang aneh, tetapi dia juga berbakat dalam membuat kesabaranku menipis.

Untuk menenangkan diri, kemudian aku mengambil nafas dalam-dalam.

Sabar, Sherin. Sabar…

Ingatlah, pesan turun-temurun dari para leluhur.

Hargailah para arwah. Perlakukanlah mereka sebaik mungkin. Mereka pernah menjadi seperti kita, dan kita pun pasti akan menjadi seperti mereka. Pertimbangkan permintaan mereka dengan serius, seaneh apa pun itu. Kita tidak pernah tahu penyesalan seperti apa yang mengikuti mereka, bahkan sampai ke alam kematian. Sudah menjadi tugas kita untuk memfasilitasi mereka dalam memperoleh kedamaian.

“Untuk mengesahkan perjanjian, saya butuh nama lengkap”.

“Oke. Begini saja”, Pria itu mungkin lebih baik kusebut dg nama ‘Angga’ saja, tanpa diduga ia malah bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di sebelahku. “Kamu bisa mengurus arwah yang lain dulu. Toh, aku tidak akan ke mana-mana. Urusanku hanyalah untuk berada didekatmu.”

Aku hanya butuh keberadaan seseorang.

Permintaan tidak biasa itu, kembali terngiang-ngiang ditelingaku. Apakah Angga memang sekesepian itu dipenghujung usianya? Aku tidak bisa membayangkan, rasa sepi seperti apa yang ia rasakan, hingga membuat sosok arwah ini berharap bisa mengetahui bagaimana rasanya punya seorang teman bicara.

Dia sudah memilihku untuk menemaninya. Memangnya aku punya alasan untuk menolak?
Bisa-bisa para leluhur langsung mengutukku, karena menolak menjadi fasilitator untuk arwah yang ingin mendapatkan kedamaian.

“Baiklah”. Akhirnya aku mengalah. Sebenarnya berbahaya, membiarkan arwah tinggal didunia manusia tanpa terikat surat perjanjian, tetapi sepertinya dia bukanlah tipe pemberontak. “Tolong katakan kalau Anda membutuhkan sesuatu”.

“Tolong jangan seformal itu”.

Angga pun tertawa, hingga gigi gingsul kirinya membuat ia terlihat semakin tam… ah, lupakan.

“Anggap saja aku ini seperti temanmu yang lain”, lanjutnya. “Oke, Sherin”?

Itu pertama kalinya dia mengucapkan namaku. Aku ingin bertanya dari mana dia mengetahuinya, tetapi sosok arwah berikutnya sudah duduk dikursi yang tersedia. Mau tidak mau, aku harus kembali mengurusi pekerjaan sampingan ku ini.

Diatas sana, bulan purnama sudah mencapai puncak langit. Tinggal lima setengah jam lagi menuju matahari untuk terbit.

“Kamu melakukan ini tiap bulan”?

Satu arwah lagi selesai kulayani. Untuk menghilangkan rasa pegal-pegal pada tubuhkutubuhku, aku pun meregangkan kedua tangan disisi tubuh dan melemaskan leherku yang terasa kaku. Barusan adalah pertama kalinya, Angga mengajakku bicara sejak satu jam yang lalu. Entah apa asiknya berdiri diam disana, sambil menyaksikanku bekerja mengurusi pemberkasan para arwah.

“Begitulah”, jawabku seraya menganggukkan kepala. Sebuah kuapan secara tiba-tiba, lolos dari mulutku. Aku buru-buru menutupinya dengan salah satu tanganku, tetapi sayang sudah terlambat. Angga sudah keburu melihatnya dan tertawa kecil.

Detik pertama, aku merasa malu karena menguap lebar-lebar didepan cowok tampan. Detik berikutnya, aku tersadar. Setampan apa pun, dia sudah bukan lagi manusia. Tetapi

hanya sesosok makhluk yang sedang berusaha menyelesaikan urusannya. Kenapa aku harus jaga image segala?

“Pekerjaanmu menarik”, tukasnya sembari ia berdiri disamping menungguiku sambil bekerja.

Oh, aku tidak percaya dengan apa yang barusan kudengar langsung. Apa maksudnya dengan “menarik”? Terpaksa mengurusi permintaan aneh para arwah setiap bulannya dia bilang “menarik”?

“Tidak”, jawabku blak-blakan. “Aku lebih suka pekerjaan asliku”.

Angga kembali tertawa. “Tentu saja”.

“Memangnya kamu tahu, aku kerja apa”?

“Apa”?

Entah hanya perasaanku saja atau dia memang tidak begitu tampak penasaran, saatku lihat sepintas raut wajahnya yg hanya memasang muka datar tanpa ekspresi sedikit pun.

“Aku perawat”. Melihat arwah berikutnya yang sedang menuju ke arahku, buru-buru kukeluarkan kertas perjanjian yang baru. “Rasanya memang aneh. Mengurusi orang hidup dan yang sudah meninggal disaat yang bersamaan. Tapi mau bagaimana lagi?”

Angga kembali terdiam, dan baru lanjut berbicara setelah arwah barusan pergi.

“Tapi kamu terlihat menyukai pekerjaan ini”. Kuanggap perkataannya yang ini sebagai pujian.

“Mereka memang sudah menemui akhirnya masing-masing, tetapi itu belum akhir yang benar-benar akhir”. Aku menunduk sambil memutar-mutar bolpoin di jariku. “Entah apa yang akan mereka hadapi setelah ini. Jadi walaupun tidak bisa membantu urusan mereka didunia sana, setidaknya aku ikut memfasilitasi supaya perjalanan mereka dimudahkan”.

Tidak terdengar balasan. Aku buru-buru menoleh ke samping takut Angga benar-benar kabur ketika aku terlalu larut bercerita. Namun, dia masih berdiri dengan tenangnya disana. Memandangiku dengan penuh seksama.

“Kenapa”? Dia mengangkat sebelah alisnya, terlihat kebingungan. “Lanjutkan. Aku suka mendengarmu bicara”.

“Kamu ada disini bukan untuk mendengarku bicara”, balasku dengan nada sewot. Katanya

dia butuh teman bicara, bukan? Berarti seharusnya, akulah yang lebih dominan berada diposisi pendengar. “Giliranmu. Apa pekerjaanmu dulu”?

“Direktur”.

Aku tertegun sebentar mendengarnya. Bukan. Aku bukannya terkejut dengan pekerjaan mantan manusia disebelahku, karena sesungguhnya tidak ada yang membedakan manusia setelah mereka meninggal dunia, selain amal dan ibadahnya. Tetapi lebih ke sejarah bagaimana dia meregang nyawa untuk menghembuskan nafas terakhirnya.

Kembali kupandangi wajahnya, dan kali ini bicara dengan lebih berhati-hati.

“… dan kamu meninggal sendirian”?

Bukankah seorang direktur, seharusnya selalu dikelilingi banyak orang? Minimal dia punya beberapa asisten atau pembantu yang selalu ada didekatnya.

Pembicaraan kami pun disela sebab kedatangan arwah baru. Aku berusaha bekerja lebih cepat, agar bisa segera mendengar jawaban darinya.

“Akhir yang kurang mengenakkan, bukan”? Angga malah menanggapinya dengan tertawa. “Sekarang keluargaku pasti sedang sibuk, memperebutkan warisan dan aset perusahaan yang kutinggalkan”.

Aku masih memandanginya prihatin. Setidaknya aku mulai mengerti, kenapa urusannya yang tertinggal sama sekali tidak ada hubungannya dengan keluarga.

“Sherin”.

Aku sontak berdiri dari kursi. Tidak jauh didepanku, tampak sesok kakek dg tubuhnya yg sudah renta sebab dimakan usia, sedang melangkah menghampiri. Beliau bertindak sebagai supervisor, tidak lagi turun tangan langsung untuk mengurusi berkas. Makanya agak horor mendengarnya, ketika beliau dengan tiba-tiba memanggilku. Terlintas dalam benakku, saat beliau ingin menegurku sebab aku beker dengan mengobrol dan mengurangi konsentrasi. Apa karena aku terlalu banyak mengobrol dengan Angga?

“Kakek, aku…”

Aku sudah bersiap untuk membela diri, tapi kakek menyela dengan mengatakan hal tak terduga.

“Biar kakek yang gantikan. Kamu istirahat saja sana”. Seolah menyadari tampang heranku, kakek melanjutkan. Kali ini pandangannya tertuju ke arah Angga yg berada disampingku.

“Sepertinya dia lebih membutuhkanmu”.

Dari sudut mataku, kulihat Angga mengangguk dengan hormat saat beliau datang dan menyapaku.

***

Setelah mendapatkan izin langsung dari beliau, kami pun bersepakat untuk berpindah tempat. Dan akhirnya kami pun mengungsi ke rumahku yang kebetulan tidak jauh dari lokasi. Aku mengajaknya ke ruang tamu, setelah membuat secangkir teh untuk diriku sendiri. Aku juga sudah menawari Angga, demi basa-basi dan dia menolaknya dengan sopan, tentu saja.

Dan harus kuakui. Dia memang cukup menyenangkan ketika diajak mengobrol. Aku tidak pernah menyangka, akan menikmati momen-momen mengobrol bareng dengan sosok arwah seperti ini.

Angga sudah pergi ke beraneka tempat, bertemu banyak orang, dan mengalami berbagai hal. Pengalaman dan wawasannya sungguh luar biasa menurutku. Tidak hanya bermodal tampang dan penampilan, ternyata otaknya juga mengagumkan. Sayang Tuhan berkata lain, sebab orang seperti dia ditakdirkan untuk berumur pendek.

Cerita mulai berubah suram, ketika topik sampai ke bagian tunangannya yang kabur dengan lelaki lain. Kecelakaan besar yang membuatnya terbaring koma, keluarga yang jarang mengunjunginya dirumah sakit, hingga pada akhirnya dia menjadi seperti ini.

“Kenapa kamu tidak datang ke mimpi tunanganmu dan menghantuinya saja”? tanyaku geregetan. Itu bukan hal yang mustahil. Kujamin. Aku akan dengan senang hati meloloskan berkasnya. “Atau mengubah isi surat wasiat, biar semua asetmu jatuh ke yayasan sosial milik negara”.

“Ide bagus”. Disofa yg letaknya tepat dihadapanku, Angga tertawa terpingkal-pingkal. “Tetapi, tidak. Ada yang lebih layak dari itu”.

Jadi menggunakan jatah kesempatan yang hanya satu-satunya, untuk mencari teman bicara. jauh lebih layak, begitu?

Sungguh, aku tidak begitu paham dengan jalan pemikirannya itu.

“Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya”? Aku bertanya ragu-ragu. Selama ini aku belum menemukan arwah yang bisa kutanyai langsung “Maksudku, rasanya meninggal”.

“Rasanya bebas”.

Aku tidak menduga dengan jawaban yang keluar dari dia, yang dengan santainya seolah tanpa beban menjawabnya barusan itu.

“Selama setahun ini, aku tidak bisa apa-apa selain tidur terkapar koma, begini rasanya lebih baik. Tetapi sayang sekali….”

Angga terdiam, terlihat seolah sedang berusaha keras menemukan kata-kata yang tepat untuk digunakan. Beberapa saat kemudian, dia menyerah dan memulai topik pembicaraan baru.

“Apa kamu tahu, aku akan ke mana setelah ini”?

Aku menggelengkan kepala. Itu adalah pertanyaan yang tidak seorang pun manusia hidup mengetahui jawabannya. Ke mana manusia pergi setelah menyelesaikan semua urusannya didunia?

Ada yang bilang, kamu akan diharuskan menunggu. Menunggu hari akhir. Menunggu hari pembalasan. Menunggu penimbangan amal. Menunggu undangan dari surga atau neraka.

Ada yang bilang, kamu akan berkeliaran dibumi. Bergentayangan. Terkatung-katung, Bergerak tak tentu arah. Tiada, tetapi tetap ada. Ada, tetapi sudah tak bisa berbuat apa-apa.

Ada yang bilang, kamu akan diberi kesempatan kedua. Dianugerahi sebuah kehidupan yang lain. Kembali menjadi entitas nyata. Kembali menjadi bagian dari dunia fana.

Ada yang bilang, kamu akan menjadi salah satu dari bintang-bintang diatas sana. Bersinar begitu terang. Berkerlap-kerlip sangat indah. Bertakhta cantik dilangit malam.

Ada yang bilang, hari setelah akhir itu tidak ada. Sekedar omong kosong belaka. Kamu mati, kamu lenyap. Hanya ada kehampaan yang menunggu. Kosong, Gelap. Lama-lama terlupakan.

Jadi, sebenarnya apa yang menunggu setelah kematian?

“Apa pun yang menunggu kita setelah ini….” Aku sengaja menggunakan kata ‘kita’, karena cepat atau lambat, aku pun pasti juga akan menyusul Angga. “Setidaknya kita sudah melakukan yang terbaik selama berada di dunia”.

Aku mengambil cangkir teh dan menyesap isinya yang sudah mendingin. Ini pembicaraan yang tidak pernah kulalukan sebelumnya. Mau tidak mau, aku jadi ikutan gugup dan diam-diam bertanya dalam hati. Memangnya aku sudah melakukan yang terbaik didunia ini?

“Tapi Angga, sepertinya orang yang baik”, tukasku pada akhirnya dan memberikan senyum yang kuharap terlihat meyakinkan. “Aku tidak akan khawatir”.

Dihadapanku, Angga hanya mampu membalas dg senyum. Aku ingin bercakap-cakap seperti ini sedikit lebih lama lagi, tapi kakek kembali memanggilku dan mengabarkan

bahwa matahari akan terbit sebentar lagi. Angga harus segera menyelesaikan urusannya dan kembali meneruskan perjalanannya.

“Astaga, lembar perjanjianmu”! Aku bangkit dari tempat dudukku dengan terburu-buru. “Kita belum mengisinya”, ucapku dengan sedikit kesal.

Kami berlari ke arah pintu gerbang yang sekarang kosong. Antrian para arwah sudah tidak ada lagi. Dan diatas sana, posisi bulan purnama semakin merendah dilangit.

Kuisyaratkan Angga untuk duduk dikursi yang disediakan, sementara tanganku buru-buru meraih kertas dan bolpoin.

“Seandainya kita bisa mengobrol lebih lama”,

ungkapku jujur dari lubuk hati yang paling dalam.

Ini memang hanya beberapa jam, tapi aku sungguh menghargai keberadaannya. Darinya, aku belajar banyak hal. Mengenai perjuangan, keluarga, kesabaran dan juga keikhlasan. Darinya, aku juga belajar untuk lebih menginstropeksi diri sendiri, dan menghargai nyawa yang masih bersarang dijasadku.

“Itu seharusnya kata-kataku”. Angga tertawa. “Sayang sekali kita harus bertemu dalam kondisi seperti ini.”

Benar. Sayang sekali. Namun, aku cukup tahu diri. Dikondisi yang berbeda dari ini. Angga pasti akan menjadi sosok yang tidak akan pernah bisa kujangkau. Bahkan didunia nyata pun, “dunia” kami masih terlalu berbeda, bagaikan langit dan bumi.

ketika aku baru akan menanyakan namanya, saat itu juga ponselku tiba-tiba berdering. Sontak membuatku kaget, aku pun berusaha untuk mengambil ponsel tersebut dan melihatnya, siapakah gerangan yg menghubungiku. Ternyata telepon dari salah seorang temanku yang bekerja dirumah sakit tempatku bekerja.

“Sherin, maaf terlambat memberitahumu, pasien dikamar 315 telah meninggal tadi malam Sekitar jam 10”.

Tubuhku terasa membeku seketika itu juga.

“Kamu yang selama ini bertugas merawatnya. Jadi kupikir sebaiknya kamu tahu”.

Telepon itu berlangsung singkat, dan meninggalkanku dalam keterdiaman yang cukup panjang setelahnya.

Pasien dikamar 315. Padahal tadi sebelum pulang. Aku masih sempat berkunjung ke tempatnya, untuk mengucapkan selamat malam dan sampai jumpa.

Jadi itu adalah terakhir kalinya aku melihatnya.

Air mataku pun jatuh tanpa sadar.

“Sherin”?

Aku buru-buru menyeka air mataku, lupa kalau didepan masih ada Angga yang menunggu untuk diwawancara.

“Tidak apa-apa”, jawabku cepat-cepat. “Hanya saja… seorang pasien yang selama ini kurawat baru saja meninggal. Dia juga sudah lama koma, sepertimu. Dan aku…. tidak ada disampingnya waktu dia….”

Dan aku kembali menangis untuk kesekian kalinya.

Aku melihatnya nyaris setiap hari, memantau perkembangan kondisinya, dan membantunya membersihkan diri. Aku bahkan sering mengajaknya mengobrol dan bicara tentang apa saja. Rasanya aneh, sekarang tiba-tiba saja dia sudah tidak ada.

“Sherin, kita mulai sekarang”?

Ah, benar. Bukan waktunya menangis, Matahari sebentar lagi muncul dari ufuk timur. Angga bisa kena masalah kalau tidak cepat-cepat kembali ke alamnya. Aku kembali meraih bolpoin dan yg lainnya untuk melanjutkan wawancaranya.

“Nama lengkapmu”?

“Erlangga Wiraditya”.

Sontak… Tanganku berhenti bergerak. Tatapanku masih terpaku ke kertas diatas mejameja, dan tanpa kusadari air mataku terancam untuk kembali mengalir dengan deras. Dihadapanku, Angga masih lanjut berbicara.

“Usia 33 tahun. Meninggal, pada tanggal 20 April. Permohonan, izin untuk mengucapkan terima kasih kepada Sherin, orang yang sudah merawatku selama ini. Yang sering ada disampingku. Yang selalu mengajakku bicara, walau tahu aku tidak akan pernah menyahutinya. Yang selalu mengucapkan selamat pagi, selamat siang dan selamat malam tiap kali ada kesempatan. Yang lebih mempedulikanku dibanding keluargaku sendiri”.

Sekarang aku malah sesenggukan dengan konyolnya.

Angga adalah Erlangga, pasien kamar 315 yang kutemui setiap hari? Dia yang ada diingatanku terkesan begitu berbeda. Tubuhnya kurus, wajah cekung, dan dia tidak pernah sekali pun membuka matanyanya, selama 6 bulan aku ditugaskan untuk merawatnya. Sekarang dia muncul dihadapanku, terlihat begitu sehat dan bugar, tapi sudah dalam wujud sesosok arwah.

“Maaf, Sherin. Aku berbohong. Berterima kasih padamu adalah urusan tertinggalku yang sebenarnya”. Angga tertawa kecil. “Syukurlah aku juga mendapat bonus. Bayangkan betapa bahagianya aku waktu tadi melihatmu didekat gerbang”.

Dengan tangan bergetar, aku menuliskan informasi Angga dilembar perjanjian. Kemudian kuangsurkan kertas itu padanya untuk ditandatangani.

“Apa.. apa aku sudah membantu memberikan akhir yang baik untukmu”? tanyaku terbata-bata. “Maaf, aku tidak bisa berbuat banyak”.

Angga menggelengkan kepalanya. Dia baru saja selesai membubuhkan tanda tangannya pada kertas yang kusodorkan tadi.

“Suara terakhir yang kudengar adalah suaramu. Selamat malam. Sampai jumpa. Kamu mengatakannya. Menurutku, Itu adalah akhir yang terbaik”. Angga tersenyum lembut. Sepasang matanya memandangiku tepat dimanik mata. “Bahkan ketika sudah berwujud seperti ini pun, kamu tetap bersedia menemaniku mengobrol. Aku mengakhiri masaku didunia ini dengan bahagia. Tenang saja. Tidak ada lagi yang kusesali didunia ini”.

Aku membalas senyumnya. Untuk saat ini, hanya itu yang ingin kudengar.

“Sherin, terima kasih banyak. Untuk semuanya”.

Angga masih tetap tersenyum, sementara tubuhnya perlahan memudar. Makin lama, makin tembus pandang, dan kemudian menghilang dari hadapanku seutuhnya.

Selama beberapa saat, aku hanya duduk dibalik meja itu seorang diri. Terdiam memandangi kursi kosong dihadapanku. Diufuk timur, matahari mulai mengintip memancarkan cahayanya. Kutengadahkan kepala, memandangi bulan purnama yang juga sebentar lagi akan menghilang saat pergantian hari.

Sepertinya, aku tidak akan pernah bisa melupakan malam bulan purnama ini seumur hidupku.

Seandainya setelah ini ada yang bertanya “apa yang pertama kali terlintas dipikiranmu ketika mendengar kata ‘bulan purnama”?, maka jawabanku akan berbeda dari sebelumnya.

Kehidupan. Kematian. Pertemuan. Perpisahan. Peluang. Kesempatan.

Mulai saat ini, bagiku hal-hal itu akan lebih identik dengan kata “bulan purnama”.

-TAMAT-


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *