Nur Jannah

NUR JANNAH

“Mau sampai kapan kamu begini, Nur?” ucap seorang gadis cantik yang sedari tadi sudah memerhatikan gerak gerik Nur dengan air mata yang tak kunjung reda.
****
Nur masih saja termenung. Pandangannya kosong, berkali-kali ia menyunggingkan bibir, entah apa yang sedang ia pikirkan sehingga wajahnya terlihat makin memerah. Nur adalah anak semata wayang pasangan Ny. Surini dan Tn. Galuh. Keluarga konglomerat yang harta dan warisannya tidak akan habis terpakai sampai keturunan kedelapan sekalipun.

Nur memiliki tubuh yang langsing. Meski tidak terlalu tinggi, tapi penampilannya selalu terlihat memesona. Wajar saja, Nur ‘kan berasal dari keluarga konglomerat. Jadi, seluruh aksesoris yang ia kenakan dari ujung rambut hingga ujung kaki sudah pasti bernilai jutaan. Pria manapun pasti akan tergila-gila dengan keelokan parasnya. Belum lagi kulitnya yang berwarna sawo matang dan bola matanya yang setengah sipit. Dua kejaiban yang Nur miliki itu sangat mendukungnya untuk menjadi wanita paling cantik di desanya.

Keluarga Tn. Galuh harusnya memang sangat disegani karena kekayaan mereka yang tak
tertandingi. Tapi, hidup bergelimang harta menjadikan Tn. Galuh sangat berkuasa. Dan, Nur seperti bukti dari sumpah serapah yang berulang kali terucap, dari mulut-mulut penduduk desa yang merasa terzalimi oleh lidah Tn. Galuh.

“Dasar sombong! Kaya gak dibawa mati, tapi kemaki!” hardik Naryo, seorang tetangga terdekatnya yang tersinggung atas ucapan Tn. Galuh.

“Hallaah dasar orang kampung, bisanya iri aja,” jawabnya ketus saat mendengar perkataan Naryo.
Entah mimpi apa Naryo semalam, sampai-sampai hari yang terik itu ia harus menerima hinaan dari Tn. Galuh. Naryo tidak masalah jika hanya dirinya yang dihina, tapi ini lain urusan. Saodah, wanita tua yang tak lain adalah ibunya kali itu ikut terseret hinaan Tn. Galuh. Hal itulah yang menjadikan Naryo marah.

Sambil berjalan melewati Naryo yang sedang berkacak pinggan, Tn. Galuh sekonyong-konyong membuang ludahnya tepat pada ibu jari kaki Naryo. Sudah pasti Naryo makin geram. Namun, saat ia hampir mengayunkan kepalan tangannya pada wajah Tn. Galuh, Nur tiba-tiba keluar rumah dengan senyuman yang penuh pesona. Melihat hal itu, Naryo si bujang lapuk di kampung itu mengurungkan niatnya demi menjaga perasaan Nur.
“Monggo, mas.” Nur tersipu. Gadis itu sangat ramah. Ia tidak akan pilih-pilih dalam urusan berteman. Siapapun yang ditemuinya, ia tak segan untuk menyapa. Naryo tak membalas senyuman Nur saat itu. Hatinya masih kecewa dengan perilaku Tn. Galuh.

Nur berlalu membawa setenteng tas belanja berisi beberapa macam sayuran. Kakinya melangkah dengan gemulai melalui pagar rumahnya. Wangi parfumnya begitu semerbak, hingga Naryo terkesima mencium aromanya. Sampai-sampai ia terlupa akan amarahnya pada Tn. Galuh.

“Loh, kemana si sombong tadi?” ucap Naryo heran karena tak menyadari kepergian Tn. Galuh. Setelah lama kemudian, Naryo pun meninggalkan pelataran rumah keluarga konglomerat sombong itu. Dalam pikirannya hanya ada banyangan Nur. Tapi, ia tak mungkin jatuh hati pada Nur mengingat statusnya?Siapa dia dan siapa Nur. Hal itu sudah cukup menjadi alasannya agar tidak terlalu jauh mengagumi Nur.

Di sebuah saung beralas tikar dengan jendela-jendela berdebu dan atap yang dipenuhi sarang laba-laba, Nur duduk menghampiri seorang nenek yang pernah menolongnya dari gigitan anjing saat usianya masih belia. Nur yang memang tahu sopan santun, sehingga ia berusaha untuk membalas budi pada nenek itu.

“Nek, ini Nur datang. Aku bawa sayur-sayuran di dalam tas. Aku bawakan beras juga,” bisik Nur di telinga nek Iyah sambil mengelus punggung tangannya yang sudah sangat keriput.

“Terimakasih, Nur.” Kelopak mata nek Iyah tidak dapat membendung air matanya lagi. Hatinya sangat bahagia. Dengan dua cucu yang ia miliki, sepertinya kehidupannya itu terasa sangat sempurna.

“Nur? Kamu kah itu?” Tegur gadis cantik berambut panjang, dari belakang Nur.

“Jannah, iya ini aku,” jawab Nur sembari menoleh. Memperhatikan langkah Jannah yang baru saja pulang dari sawah

Keduanya tersenyum. Tatapan mereka terasa hangat. Nek Iyah semakin terharu dengan dua pemandangan menakjubkan itu. Tak hanya Jannah, Nur pun bahkan sudah ia anggap sebagai cucunya. Hal itulah yang membuat nek Iyah semangat untuk tetap hidup.

“Bawa sayuran lagi? Udah dong Nur! Aku yang gak enak sama keluargamu,” ucap Jannah sembari menata sayur-sayur dan juga beras yang Nur bawa ke atas rak barang.
gembang pada dua sisi bibir Nur. Melihat tatapan mata Nur, Jannah merasa tenang. Nur memang memiliki hati yang tulus.

“Nenek makan dulu ya?” Jannah menyiapkan sepiring bubur beras untuk neneknya. Di sisinya, Nur duduk dengan manis. Jemari lentiknya sangat mahir untuk merangsang saraf-saraf kaki nek Iyah dengan pijatannya. Sesekali gelak tawa pun terdengar begitu renyah di antara ketiganya.

“Terimakasih cucu-cucuku,” ucap nek Iyah sambil mengelus kedua lengan cucunya itu.
Nek Iyah lumpuh total. Untuk menjalankan aktivitas sehari-hari, ia hanya mengandalkan Jannah. Untunglah Jannah sudah memiliki bekal ilmu agama yang sangat kental. Sebelum orang tuanya meninggal, Jannah memang sudah diajarkan beberapa hal soal urusan agama. Sehingga ia tumbuh menjadi gadis cantik yang sangat pandai, apalagi soal agama. Sayangnya, Jannah tidak memiliki keberuntungan seperti halnya Nur. Ia tidak bisa melanjutkan sekolah karena faktor biaya.

Tapi, Nur sangat menyayangi Jannah bak saudara kandungnya. Mungkin usia yang hanya tertaut beberapa hari menjadikan hubungan mereka sangat dekat. Keduanya kerap kali belajar bersama. Biasanya Nur selalu membawa buku pelajarannya, memasukkan ke dalam tas belanjaan dan menutupinya dengan sayuran agar tidak ketahuan oleh ayahnya.

Setelah menelan suapan terakhir dari Jannah, nek Iyah kembali mendengkur. Ya, begitulah jika sudah menjadi tua. Bahkan mungkin, nek Iyah juga tidak terlalu ingat bahwa dia sudah makan. Dalam sehari, nek Iyah bisa meminta makan lebih dari empat kali pada Jannah. Kepikunan sudah merusak ingatannya. Tapi, nek Iyah tidak pernah lupa pada Nur dan Jannah. Kedua cucunya yang sama-sama pandai.

“Jannah, aku pulang dulu. Sudah hampir malam. Salam untuk nenek,” kedua pipi mulus gadis berusia belasan tahun itu saling menempel?kanan dan kiri. Nur pun segera meninggalkan gubuk reyot itu setelah Jannah mengizinkannya.

Di pertengahan jalan, hati Nur bak tertancap sebilah pisau. Suara-suara yang terus terdengar olehnya dari mulai ia keluar dari gubuk nek Iyah tak luput dari berita mengerikan soal ayahnya. Tak ada satupun dari mereka yang berkata baik tentang keluarganya. Bahkan, Nur mendengar sendiri sumpah serapah yang terlontar dari beberapa orang yang berpapasan dengannya.

“Besok atau lusa, kalau gak melarat, pasti anaknya yang bakal jadi gila.” Riuh suara sorakan terdengar menggema pada telinga Nur. Hatinya sangat teriris. Mana mungkin ada orang yang tega mengucapkan sumpah, padahal yang bersangkutan sedang melintas dihadapannya. Tapi, Nur yakin, mereka berlaku demikian karna perilaku keluarganya yang memang sudah melampaui batas

“Ayah, apa yang ayah lakukan pada orang-orang desa?” Tanya Nur dengan isak tangis. Tangannya masih menggenggam tas belanjaan yang kosong. Wajahnya memerah, napasnya hampir saja terhenti. Gejolak amarah, kecewa dan juga pedih yang ia rasa seolah ingin sekali merenggut nyawanya. Meski masih berusia belasan tahun, Nur sangat tahu yang ayahnya perbuat adalah hal yang salah.

Tn. Galuh hanya diam. Ia tidak menjawab satu kata pun. Begitupun dengan Ny. Surini. Ia juga tidak berani membeberkan aib suaminya itu pada anak semata wayangnya, yang memang tidak tahu apapun soal ayahnya yang sombong.

“Jawab, yah! Nur udah dengar semua sumpah serapah warga. Bahkan, Nur sendiri disumpahi menjadi gila.” Isak tangis Nur semakin menjadi-jadi. Diremasnya tentengan tas itu sembari menahan amarah.

Ny. Surini menghampiri Nur, mengelus lembut pundak putrinya itu. Ia berusaha menenangkan Nur, meskipun pada akhirnya Nur tidak kunjung tenang. Nur terbayang-bayang ucapan orang-orang desa. Suara-suara itu semakin keras terdengar olehnya. Nur menjerit histeris di hadapan kedua orang tuanya. Ia berlari, melepaskan tas yang ada dalam genggamannya, meninggalkan ruang tamu, lalu membenturkan keningnya pada dinding kamarnya.

Nur pun terjatuh, kepala belakangnya membentur lantai. Pandangan matanya terlihat buram. Nur pun tidak mengenali kedua orang tuanya yang membantunya untuk duduk, setelah sadarkan diri. Seperti seorang anak yang kelaparan, Nur meremas-remas pakaiannya, menangis sesenggukan, bahkan tersenyum dalam waktu bersamaan.

Ny. Surini memeluk tubuh Nur dengan kuat. Hatinya hancur ketika melihat putrinya berubah drastis. Sedangkan Tn. Galuh hanya diam. Ia sadar bahwa selama ini apa yang telah ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Mungkin, sumpah serapah itu benar-benar terjadi. Sepertinya mental Nur mulai terganggu. Anak semata wayangnya itu harus bersikap aneh, tak terduga, dan hal itu sungguh melukai hatinya.

“Ayah menyesal Nur.” Berkali-kali?berhari-hari Tn. Galuh ucapkan kalimat itu dengan isak tangis yang terus membasahi pipinya. Di selasar rumah, setiap malam, Nur selalu duduk termenung. Memandangi langit. Sesekali ia tersenyum, bahkan menangis dalam waktu yang bersamaan. Rambutnya selalu terlihat awut-awutan, meskipun ibunya telah merapikannya. Sesekali Nur menjerit, menghardik ayahnya. Dan mengungkapkan kekecewaannya pada ayahnya yang sombong itu.

“Mau sampai kapan kamu begini, Nur?” ucap Jannah yang kebetulan malam itu datang mengunjungi Nur. Jannah memeluk tubuh Nur dengan erat. Menikmati desiran angin yang mendatangkan ketenangan di antara keduanya. Kedua mata Jannah masih berkaca-kaca. Malam itu bintang memenuhi langit. Harusnya, ia dan Nur tertawa bersama. Tawa yang berbeda dari yang keluar dari mulut Nur pada malam itu.

“Jannah, aku gak papa. Aku cuma pingin ayahku berubah. Kamu tahu ‘kan, Tuhan sangat membenci hambaNya yang bersikap sombong? Bahkan, kamu pasti tahu, yang pertama kali melakukan kesombongan adalah iblis. Aku tidak mau ayahku terus bersikap seperti itu dan salah dalam melangkah, Jannah. Dan juga, aku tidak mau doa-doa serta sumpah serapah itu benar-benar terkabullkan oleh Tuhan. Sebelum semuanya terlambat, aku akan menegur ayahku dengan berpura-pura menjadi gila. Kamu harus ingat apa yang pernah kamu ucapkan ‘kan Jannah? Bahwa doa orang-orang yang terzalimi pasti akan terkabulkan. Jadi, aku harap kamu akan datang setiap malam untuk menemaniku di sini. Sembari mengikis kesombongan ayahku.” Dalam dekapan Jannah, Nur menjelskan semuanya. Ia tidak mau Jannah benar-benar histeris dengan yang ia alami. Biarlah ayahnya yang bersalah itu yang menanggungnya. Dan juga ibunya yang selalu diam melihat kesalahan ayahnya. Meski Nur tahu, perbuatannya pun tidak bisa dibenarkan, tapi Nur tetap ingin melakukannya. Demi keluarganya, dan juga ketentraman dalam bertetangga.

“Nur, ini gila. Tapi, mungkin kegilaanmu akan menyadarkan ayahmu,” jawab Jannah denga raut wajah penuh ketidakpercayaan.

Jannah melepaskan pelukannya, keduanya saling melemparkan senyuman. Mereka tertawa bersama-sama, menikmati indahnya malam berbintang, sekaligus menjelaskan pada Tn. Galuh bahwa sikapnya adalah sebuah kesalahan. Supaya ia tak lagi melakoni kehidupannya dengan penuh kesombongan.

?


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *