“Mengular” Bersalaman Sebelum Lebaran

Matahari pagi belum sempurna menampakkan parasnya. Akan tetapi, lantunan ayat-ayat suci Al- Qur’an telah ramai berkumandang di musala. Keheningan pagi pun pecah. Bagi penduduk kampungku, hal tersebut merupakan sebuah pertanda. Sudah menjadi kebiasaan tersendiri sejak beberapa tahun terakhir, awal hari sekali setiap H minus satu (H-1) Idul Fitri, masyarakat setempat selalu berhimpun di musala. Baik anak-anak kecil, kalangan muda, tua, semua turut andil ikut serta.

Lain daripada yang lain, budaya halal bi halal di kampungku memang terbilang unik, yakni dilaksanakan pra lebaran dan “terintegratif”. Untuk yang terakhir, maksudnya berkunjung ke rumah rumah tetangga guna saling bermaafan tak dilakukan secara personal, melainkan secara kolektif. Dimulai dengan acara berdo’a bersama yang dipandu oleh alim ulama, warga kemudian berkeliling kampung mengunjungi satu per satu rumah tetangganya untuk saling bersalaman.

Motif tradisi yang terkesan konservatif tersebut ternyata sangat mendalam. Pertama, agar tali silaturahim antarmasyarakat tidak terputus. Kedua, supaya kepekaan sosial masyarakat tetap lestari dan eksis. Terutama untuk motif yang kedua, kini telah sulit dijumpai sebab hanya dapat dilakukan lewat cara bersalaman serta bertatap muka langsung. Namun tradisi demikian jika dicermati realitasnya sekarang, harus diakui, kian terkikis oleh perkembangan media komunikasi digital.

Media Komunikasi Digital

Perkembangan media komunikasi digital yang semakin cepat kini telah menjadi gaya hidup. Misalnya saja berkirim ucupan maaf, saat ini cukup via pesan pendek (SMS), jejaring sosial, hingga instant messenger. Semuanya telah begitu populer sebagai manifestasi kemajuan teknologi informasi serta digitalisasi gaya hidup. Namun yang menjadi persoalan, apakah model seperti demikian akan membawa kita untuk tahu atau peka terhadap lingkungan sosial sekitar? Kemungkinan besar tidak.

Lain halnya ketika kita menggunakan “bersalaman”, yang notabene mengharuskan kita untuk bertemu, bertatap muka langsung sebagai instrumen bermaaf-maafan. Di samping akan dapat menciptakan kepekaan sosial, tradisi bersalaman juga sangat dianjurkan oleh agama Islam. Bahkan, ada satu hadis yang menjelaskan mengenai diampuninya dosa seseorang yang senantiasa memelihara tradisi bersalaman: “Dua orang muslim bertemu dan bersalaman, maka Allah mengampuni mereka berdua sebelum keduanya berpisah” (HR. At-Tirmidzi).

Pendukung dan Pelengkap

Kembali ke budaya halal bi halal di kampungku. Kampung yang masih asri dengan didominasi panorama khas pedesaan seperti sawah, pepohonan rindang, semakin menambah semangat masyarakat untuk berkeliling menyambangi satu demi satu rumah tetangganya. Bahkan saking banyaknya warga yang berpartisipasi, formasi rombongan harus “mengular” dengan beberapa orang yang berada di saf depan sebagai penunjuk arah. Urusan rute, mereka sudah hafal di luar kepala.

Sementara itu, bagi warga yang berusia senja maupun tengah sakit ?biasanya dengan inisiatif pribadi? di halaman rumah masing-masing akan menyediakan kursi sebagai tempat duduk untuk diri mereka sendiri. Jadi meskipun tak bisa ikut serta dalam kegiatan berkeliling kampung, mereka tetap dapat bersalaman dengan para penduduk yang menghampiri mereka dengan rombongan secara berbanjar.

Memetik hikmah dari budaya adiluhung di atas, kita seharusnya belajar, betapapun pesat perkembangan media teknologi informasi, jangan sampai itu menggerus nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Sebaliknya, hal tersebut mesti dijadikan pendukung, juga pelengkap. Tidak ada memang yang melarang berkirim ucapan selamat lebaran –termasuk maaf– melalui SMS, jejaring sosial, hingga instant messenger. Namun, mungkin akan lebih arif dan bijak andai digunakan saat kita memang benar-benar terlimit oleh waktu serta jarak geografis.

Selamat bermaaf-maafan!

Oleh : Arie Hendrawan

Dari : Kudus


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *