“Memeluk Dirimu Dari Jauh”

Memeluk Dirimu dari Jauh

Aku kembali meninggalkan kota menuju suatu desa di pinggir pantai. Karena rumah ku terkena musibah. Sejak hari itu rumah ku kebakaran dan aku kembali meninggalkan kota dan tinggal di desa.

Tak ada lagi mall, supermarket atau tempat bermain yang biasanya menghiasi kiri kanan jalan. Yang ada hanya pohon-pohon di samping kiri kanan ku. Menghadirkan panorama yang sungguh indah.
Ayah bilang, ini tempat terbaik dari sepanjang kota yang di tempatinya. Dia tidak pernah tinggal lebih lama di satu tempat, selalu mengunjungi tempat-tempat baru bersama aku dan ibu.
Rutinitas yang selalu menambah riwayat sekolahku. Berkali-kali pindah sekolah dan harus memperkenalkan diri sebagai murid baru. Aku sangat bosan dan jenuh untuk memulai adaptasi lagi. Yang biasanya ku lakukan adalah duduk dan menunggu teman-teman baru menghampiri ku.
“Ayo berangkat nak” ucap ayah, Ayah melangkah menuju teras rumah mengambil sepeda di samping nya.

Aku melihat banyak sekali anak-anak seusiaku berjalan menuju sekolah. Dengan seragam merah putih tidak dengan sepatu bagus, atau tas bermerek mereka hanya menggunakan sendal. Beberapa tidak membawa tas, hanya membawa satu plastik hitam untuk menyimpan alat-alat tulis. Aku memperhatikan mereka terus menerus.

Perjalanan menuju sekolah menjadi perjalanan menarik bagi ku, di suguhkan panorama yang indah di sepanjang jalan yang ku lewati. Sampai akhirnya, sepeda ayah ku berhenti di suatu tempat. Anak-anak sekolah datang dan meramaikan setiap ruangan di gedung itu. Gedung dengan tembok yang tidak di lapisi cat, tanpa keramik yang melapisi lantai-lantai, atau langit-langit yang memisahkan antara atap.

Sekolah yang tak layak di sebut sekolah. Namun, semakin lama anak-anak semakin banyak yang datang. Sekolah berbentuk persegi dengan berukuran kecil dan terdapat tiang bendera di tengah-tengah nya. Aku terharu melihat tiang-tiang penyangga sekolah itu, tidak terbuat dari tembok beton, melainkan terbuat dari kayu yang mulai rapuh.
“Nak, kamu masuk ke kelas 4B ya!” ucap ayah sambil mengusap kepala ku.
Aku menyalami tangan ayah untuk berpamitan. Ayah kembali pulang dengan sepeda nya.

Ketika aku berdiri dengan kebingungan. Beberapa anak memperhatikanku. Tapi tetap saja aku kebingungan harus menuju ke mana. Aku kebingungan, sendiri. Dalam kebingunganku aku harus kemana, tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dengan “Haii teman”.
“Apakah kamu anak baru di sini, dan mau menjadi teman baru ku?” tanya seseorang itu.
Aku menoleh ke kanan ke kiri. Tapi, tidak ada siapa- siapa selain diriku sendiri yang kebingungan mencari suara yang memanggilku.
Aku pun tiba-tiba kaget ketika menoleh ke belakang. Ada perempuan yang memiliki tinggi lebih rendah dari ku berdiri di hadapanku sambil tersenyum. Tubuhnya lumayan gemuk dengan kulit lumayan putih. Aku merasa canggung dan kaget menatap dia yang tingginya lebih rendah daripada diriku ini.
“Kamu kelas berapa?” tanya dia
Aku diam dan menatap dirinya
“Biar aku antar kamu ke kelasmu, Kawan”
Dia tersenyum kepadaku
“Kayanya kamu murid baru di sini ya?, Karna aku baru melihat mu dan kamu tampak berbeda dengan teman-temanku”
“I …. iya.” jawabku sembari gugup
“Kamu kelas 4 juga kan?” aku mengerutkan dahi.
Dia terus memberikan pertanyaan-pertanyaan kepadaku. Sampai aku kebingungan dan gugup untuk menjawab nya.
Dia membawaku masuk ke satu kelas yang berukuran kecil, tetapi harus menampung lebih dari 30 anak, kata teman baruku. Di kelas ini hanya ada dua guru yang mengajar dan mengatur seluruh pelajaran.

Kami pun masuk ke kelas itu yang sangat ramai oleh murid-murid. Di kelas itu, satu meja di tempati tiga orang dengan dua kursi yang di rapat satukan. Tidak ada komputer atau rak yang di isi buku-buku, yang ada hanya papan tulis dan kapur putih.

Kelas yang tadi nya ramai tiba-tiba hening dan mereka semua menatapku. Di antara teman-teman baruku yang lain di kelas ini, dia yang paling kecil dan duduk sendiri di bangku depan dan aku duduk di bangku belakang nya.
Tiba-tiba ia mengulurkan tangan nya padaku untuk mengajak kenalan. “Aku Luna” katanya sembari tersenyum.
Aku tersenyum, aku pun membalas menyebut nama ku. Senyuman nya itu tidak pernah hilang ia selalu tersenyum. Ketika menoleh ke arah ku ia tetap tersenyum dengan senyuman manis nya. Aku yang awalnya melihatnya sangat risih melihat dirinya terus tersenyum dan tertawa tipis, padahal aku tidak melakukan apa-apa aku hanya terdiam.

Seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa dan suka dengan senyumannya. Aku tahu Luna pasti sangat senang aku datang dan menjadi teman baru nya. Begitu juga diriku yang baru pertama kali memiliki teman seperti dirinya.

“Apakah kamu membawa bekal nasi?, Aku membawa bekal nasi uduk, kalo kamu tidak bawa mari kita makan bersama” ujarnya menawarkan nasi uduk yang ia bawa dengan kertas nasi.
Aku tersenyum, dan menggelengkan kepala pelan. Luna kembali tersenyum. Di dalam kelas ini aku tidak pernah melihat teman-teman lain nya menghampirinya. Tetapi Luna tidak menghiraukan ia tetap tersenyum meskipun selalu sendiri, dan Luna begitu senang ketika aku datang menjadi teman baru nya.

Beberapa kali teman sekelasnya meminta kenalan kepadaku dan Luna hanya melihat ke asikan ku dengan teman temannya. Perlahan Luna kembali duduk ke kursinya.

Luna kembali duduk ke kursi nya dan Luna pun menyiapkan alat tulis untuk mulai belajar. Di karnakan Luna memiliki badan yang pendek Luna terkadang kesulitan melihat huruf dan angka di papan tulis, dia harus berjinjit-jinjit, dan menegakkan duduk nya, Luna duduk di depan barisan kedua jadi Luna sedikit kesulitan untuk melihat tulisan di papan tulis. Akan tetapi aku selalu membantu nya dengan memberikan catatanku agar Luna bisa melihat lebih jelas. Ketika aku memberikan catatanku Luna tersenyum sangat lebar, di iringi dengan mata yang berkaca-kaca.

Luna selalu saja sendiri, meskipun banyak teman-teman yang lain, tapi Luna tetap saja sendiri, dia juga mengerjakan tugas-tugas nya dengan sendiri. Dan tidak mendapatkan ruang di hati teman-temannya. Tetapi Luna tidak putus asa dia selalu berusaha meskipun sendiri, dan aku pun melihat ketulusan hatinya setiap hari.

Bel pulang pun telah tiba. Luna selalu membantu ibu nya berjualan kue-kue di depan gerbang sekolah, aku sering duduk menemaninya. Meskipun aku tidak membeli kue-kue nya, Luna anak yang berbakti dan juga rajin dia selalu saja membantu ibu nya dan selalu saja nurut kepada ibu nya.

Keesokan hari nya,
“Kamu duduk denganku saja”
Aku mengerutkan dahi. “aku duduk dengan Luna”
“Luna hari ini tidak masuk sekolah” ujarnya,
Aku mengerutkan dahi lagi. Tapi tidak biasanya Luna tidak masuk sekolah. Hari pun tidak hujan tidak juga panas. “Kemana Luna? Apa dia sakit ya?” ujarku dalam hati

Dengan pelan-pelan, aku menolak tawaran temanku. Aku tetap menunggu Luna di kursiku dengan Nana. Mataku terus saja melihat ke arah pintu menunggu kedatangan Luna. Akan tetapi Luna tidak datang hingga jam pulang tiba.

Aku masih bisa menanyakan nya esok hari lagi kepada Luna. Tidak lama ayah datang menjemput ku. Aku merindukan bangku yang biasanya di tempati oleh aku dan Luna. Banyak obrolan dan senyuman manis dari Luna di bangku itu.

Dan sudah berhari-hari Luna masih tidak masuk sekolah, pertanyaanku tidak kunjung berakhir aku selalu saja bertanya kemana Luna kepada diriku sendiri. Aku pun duduk sendiri di kursiku, aku mencoba bertanya kepada teman-temannya tapi tidak ada satu pun temannya yang tahu keberadaan Luna. Tidak ada yang tahu Luna tinggal di mana. Dan begitu juga ketika aku bertanya kepada guruku. Yang teman-temannya tahu Luna tinggal jauh dari sekolah, rumah nya berada dibalik bukit tinggi.

Waktu jam pulang pun telah tiba, seperti biasanya ayahku menjemput. Sesampai di rumah aku masuk kamar dan tidak hentinya menangis. Ayah dan ibu melihatku tampak kebingungan karena menangis tak henti-hentinya. Sampai akhirnya ayah mendatangi kamarku dan menghampiriku, ayah bertanya “Mengapa akhir-akhir ini kamu bersedih?”, sambil terisak. Aku pun menceritakan segalanya. Tentang kebaikan Luna dan kerinduanku kepada Luna.
“Ayah akan mengantarmu ke rumah Luna.”
“Terimakasih ayah” ujarku sembari memeluk ayah dengan erat. Aku bahagia dan tidak sabar ingin bertemu Luna.

Keesokan hari nya, Dengan sepeda aku dan ayah menempuh jalan yang sangat jauh, selama perjalanan aku merindukan Luna dan membayangkan wajah Luna. Aku merasa sedih karena tidak percaya aku bisa menempuh jalan yang jauh untuk bertemu Luna. Dan aku juga sedih ternyata Luna setiap berangkat sekolah harus menempuh jalan yang sejauh ini.

Aku dan ayah terus berjuang untuk menemui Luna. Ayah pun sekuat tenaga mengayuh sepedanya. Aku pun sekuat tenaga mengencangkan pelukanku pada ayah, sembari menangis terus menerus. Air mataku membasahi pipi.
Aku ingin bertemu Luna bagaimana pun caranya akan ku jalani. Sedikit demi sedikit perjalanan pun sudah aku tempuh dengan ayah. Tiga jam perjalanan telah di tempuh. Hutan-hutan dan pohon-pohon sudah di lalui. Sampai akhirnya aku dan ayah sampai di satu perkampungan yang terdapat rumah gubuk di ujung perkampungan.

Rumah gubuk tersebut sepi. Aku mencoba mengetuk pintu, tidak ada satu pun yang menjawab dan membukannya. Sampai akhirnya aku menemui nenek-nenek yang jalan terbungkuk-bungkuk.

Aku terdiam di belakang punggung ayah. Aku ingin bertemu dengan Luna. Sampai sejauh ini aku terus mencari keberadaan Luna, tetapi tidak ada Luna di tempat ini. Hanya ada seorang nenek tua yang menghampiri aku dan ayahku dengan tongkat nya.
Luna tidak ada di sini. Dan nenek tua itu terus memperhatikan aku dan ayahku dengan seksama. Aku melihat sekeliling banyak kayu-kayu berserakan dan banyak sekali debu-debu, seperti gambaran kebakaran. Kejadian ini yang aku alami dulu di kota yaitu kejadian kebakaran. Aku menghamparkan pandanganku ke sekeliling dengan getir dan sekaligus takut. Rumah ini hanya tersisa puing-puing yang sebagian telah menjadi arang. Bau-bau kebakar masih tercium. “Sudah lama mereka pergi karena kebakaran yang tiba-tiba, menghanguskan semua.” ujar nenek itu, sembari memandang dengan sedih.
“Lalu, ke mana pergi nya Luna?”
Nenek pun mendekati dan menggengam tanganku, meskipun aku merasa takut. Ayah tersenyum kepadaku bahwa ini tidak akan menakutkan seperti yang aku pikirkan. Aku terdiam, dan menatap wajah nenek itu.
“Luna telah pergi, entah kemana. Keluarganya membawa barang-barang sisa yang tidak terbakar, dan meninggalkan desa ini.” Nenek pun tidak tahu Luna pergi kemana. Aku khawatir pasti Luna sangat bersedih sekali, dan mereka pasti kelaparan karena tidak membawa apa-apa hanya membawa barang-barang sisa. Tetapi aku pun tidak bisa membantu apa pun, aku hanya bisa berdo’a untuk Luna dan keluarga nya.
“Apakah Luna akan kembali lagi nek?”
Nenek terdiam dan menatapku. Aku merasa sedih mengetahui kondisi Luna. Bahkan juga tidak ada yang tahu Luna berada di mana. Aku tidak tahu Luna dalam kondisi bagaimana dan kapan aku bisa bertemu kembali dengan nya. Aku sangat merindukannya.

Benar-benar tak ada yang tahu keberadaan Luna. Luna pergi begitu saja tanpa aku tahu, aku pun sedih karena merasa kehilangan Luna selama-lamanya. Aku tahu Luna pasti berusaha dengan gigih untuk mendapatkan tempat tinggal. Karena Luna anak yang pantang menyerah, dia pasti terus berusaha untuk keluarganya.

Luna, kamu mengajarkanku banyak hal tentang artinya ketulusan dan keikhlasan. Dari Luna aku belajar bahwa mengikhlaskan seseorang itu harus, seperti aku mengikhlaskan kepergian Luna. Aku hanya bisa memandang dirinya melalui kenangan-kenangan manis yang tersimpan di hatiku. Dan aku juga selalu membayangkan senyumannya yang terus membekas di relung jiwaku, aku hanya bisa memeluk dirimu dari jauh. Terimakasih Luna berkat kehadiranmu aku merasa bahagia.

Biografi
Risna Ayu Cahyani penulis cerpen “Memeluk Dirimu dari Jauh”, kelahiran jakarta 29-08-2008, kini sekolah di SMPN 3 Kota Sukabumi. Risna memiliki bakat menulis, karya pertamanya yaitu menulis cerpen “Memeluk Dirimu dari Jauh”. Risna berharap cerpen nya bisa menginspirasikan orang-orang dan membuat orang-orang tertarik untuk membacanya.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *