Lebaran Tahun Ini dan Lebaran Tahun Lalu

Lebaran Tahun Ini dan Lebaran Tahun Lalu
Oleh : Ainun Mubin Misbah N
Lebaran tahun lalu adalah momen di mana kita berkumpul dengan keluarga di kampung halaman. Pada saat itu, aku ngobrol berdua dengan sepupuku di dalam kamar. Adik sepupuku kebetulan ini hanya beda setahun dengan aku.
Jadi bisa dibilang obrolan ini adalah obrolan yang berisi tentang percakapan dua anak perempuan berusia dua puluh tahun.
Mereka berdua lagi bingung mencari identitas dirinya alias sedang dalam proses pencarian jati diri untuk menuju masa depan yang lebih baik. Asikkk.
“Kakak masih cuti kah?”
“Hei, kok kakak bengong pas ditanya,” sepupuku membuyarkan lamunanku.
“Iya dek,”
Adik sepupuku ini sering main ke rumahku. Yah, namanya juga sepupu. Pastilah dia tahu aku itu anaknya kayak gimana.
Kala itu, sepupuku memperhatikan sepertinya ada yang aneh dan tidak biasanya dari gerak-gerik dan raut wajahku.
“Dari tadi kuperhatikan kakak lebih lesu dan lebih banyak berdiam diri di dalam kamar, padahal di luar kan lagi banyak kue. Wkwkwk,” kata sepupuku saat membawakan aku setoples kue cokelat untuk disantap bersama. Tumben banget kan, aku ditawari kue cokelat terus menolak.

Yah, itulah enaknya kalau kita punya orang tua yang profesinya mengajar. Yaitu adalah selalu banyak kue di rumah. Hihihi.

Mau lebaran atau tidak lebaran, kue-kue itu akan selalu berdatangan. Kadang jumlah kue malah lebih banyak daripada jumlah penghuni rumah. Hahaha.

“Coba kalau kamu datang ke rumah, tidak pernah itu kamu lihat kosong itu toples kue toh. Pasti selalu ada isinya. Hahaha,”. Kataku tertawa kecil

“Anu sebenarnya, saya anaknya gampang jenuh sama hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan sama akademik, apalagi guru-guruku juga dulu sering suruh saya memeriksa. Lama-lama saya jadi muak disuruh kayak begitu!”

Karena sepupuku ini kebetulan kuliah di jurusan pendidikan jadi dia langsung bisa menangkap maksud dari perkataanku.

“Kakak disuruh kuliah kah atau disuruh jadi dosen juga seperti orang tuanya? Kalau saya, memang saya yang mau kuliah,” tanya sepupuku

Mendengar pertanyaan dia, saya langsung balik badan. Saya jadi tercengang dengan pertanyaan yang dia ajukan ke saya.

Terus terang, saya belum pernah mendengar ada seseorang yang bertanya dengan penuh rasa empati seperti ini.

“Soalnya kelihatan sekali dari muka kakak itu ada yang tidak biasanya,”

Sepupuku bercerita tentang bagaimana suasana kuliah tatap muka di kampus. Ya, saya kan belum pernah tatap muka di kampus makanya saya sharing dengan dia.

Kalau kakak mau kuliah hanya untuk memburu sebuah gelar, lebih baik jangan. Kalau memang urusan kuliah itu tidak mendesak lebih baik tunda saja dulu.

Daripada kakak rugi dari segi waktu, tenaga, dan biaya, mending kakak cari kegiatan lain saja. Begitu saran dari sepupuku.

“Jangan sampai kejadiannya kayak saya waktu dulu disuruh mondok sama orang tuaku, sudah lunas semua uang mondokku terus saya sakit di sana. Banyak temanku sakit bahkan ada juga yang kabur dari pondok karena dipaksa mondok sama orang tuanya,”

“Bisa kah itu kuliah ditunda?”

“Bisa. Karena sistem di perkuliahan itu kan berbeda dengan dunia sekolah, malah sebenarnya kalau kakak tidak mau kuliah juga tidak apa-apa. Makanya tadi kutanya, siapa yang suruh kakak untuk kuliah kah,”

Astaga. Untung aku ketemu sama adik sepupuku karena aku pun baru tahu kalau ternyata sistem di dunia perkuliahan itu ternyata bisa ditunda seperti itu. Padahal orang tuaku dosen lho tapi kenapa mereka tidak bilang begitu ke aku.

Kebanyakan orang tua hanya memaksa dan menuntut anaknya untuk selalu menjadi yang terbaik tapi kadang orang tua dan para guru itu tidak tahu bagaimana si anak belajar dan berproses untuk mendapatkan hal itu.

Ya, bisa saja kan anak itu punya tempat belajar atau mentor di luar sekolah.

“Kenapa kalian jadi orang tua suka memaksa dan terlalu banyak menuntut saya begitu kah? Memangnya pekerjaan di dunia ini hanya mengajar? Saya tidak mau jadi pengajar atau jadi dosen kalian kalian!”

DERRR!!! Hatiku berkecamuk. Setelah sekian lama akhirnya bom atom yang tersimpan dalam diriku ini meledak juga. Lama-lama saya jadi muak karena banyaknya tuntutan dan ambisi dari orang tuaku.

“Sepertinya dunia mengajar itu tidak ada enak-enaknya. Ededeh. Nabikin sessa jeki”. Ededeh nabikin sessa jeki’ itu adalah istilah yang biasa digunakan oleh orang-orang di daerahku yang artinya adalah hal itu membuat kita jadi tersiksa.

“Mengajar? Memangnya harus kah anak-anak ikuti jejaknya orang tuanya,” Dengan muka merah padam aku bercerita kepada sepupuku.

Dari sini aku jadi belajar untuk melihat realita bahwa seorang anak ternyata tidak harus mengikuti jejak orang tuanya apalagi jejak gurunya.

Justru karena sejak kecil aku hidup di lingkungan keluarga pengajar makanya aku tidak mau mengikuti jejak orang tuaku.

Yang namanya mengajar itu benar-benar capek banget bestie. Asli. Aku sudah merasakan sendiri saat jadi asisten guru sewaktu sekolah.

Mengajar dan memeriksa seperti ini kan adalah tugas dan tanggung jawab dari seorang guru, kenapa malah dibebankan ke siswanya?

Daripada menyuruh siswa memeriksa kayak gitu, lebih baik suruhlah itu siswa ikut kegiatan atau lomba yang bermanfaat dan berguna untuk masa depannya dia

Bukan malah melimpahkan segenap beban hidup ke siswa untuk melakukan jobdesk dari gurunya. Memangnya siswa itu tempat sampah atau barang rongsokan ya?

Yah, mudah-mudahan saja guru atau pengajar seperti ini mendapat keberkahan dalam pekerjaanya. Takutnya sih dia malah jadi zalim sama siswanya sendiri.

Wahai para orang tua dan guru, mudah-mudahan ini bisa membuka mata hati kalian semua ya. Karena tidak semua siswa itu berminat jadi pengajar seperti kalian.

Tolong jeli melihat situasi dan kondisinya seorang anak dan juga jeli melihat apa sebenarnya kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh anak tersebut.

Di rumah pun aku melihat sendiri betapa lelahnya orang tuaku bekerja bahkan ketika orang lain sudah libur pun terkadang orang tuaku masih harus masuk mengajar.

Di saat saya sudah asyik menikmati kegiatanku, orang tuaku malah baru pulang mengajar. Sekarang, aku juga sudah mulai paham kenapa banyak orang memilih untuk resign mengajar dan mencoba beralih ke bidang lain.

Ada seseorang pernah cerita ke aku kalau dia resign dari sekolah gara-gara tidak kuat disuruh mengajar sebanyak tiga belas kelas dalam seminggu.

Nah, kalau yang ini namanya cari mati. Kamu memang sengaja mau mati muda. Wkwkwk. Temanku ini mau membunuh dirinya sendiri.

“Saya sudah resign dari sekolah. Saya tidak sanggup mengajar kelas terlalu banyak, mana lagi anak-anaknya ribut dan susah diatur,”

Tidak ada jeda waktu sama sekali antara kelas yang satu dengan kelas yang lain ketika dia mengajar di sekolah. Seumur hidup saya juga baru dengar ada orang yang banyak begini kelas yang dia ajar.
Orang tuaku saja yang sudah lama mengajar itu belum pernah memegang kelas sebanyak itu. Ya kali mau menyuruh orang ngajar dan menangani anak-anak sebanyak itu.
Ini pihak sekolah atau pihak lembaga pendidikan yang temanku tempati mengajar apakah waras dalam menyuruh guru mengajar sebanyak itu? Atau jangan-jangan memang kurang tenaga pengajarnya di sana?
Karena hal kita juga mesti memperhitungkan bahwa guru itu mengajar bukan sekadar datang mengajar. Lu kata jadi pengajar itu gampang? Lebih enak bidang lain deh kalo menurutku.
Dari segi waktu, tenaga, biaya, kesehatan, sarana dan prasarana, dan lain-lain, ini mesti diperhitungkan juga supaya seorang itu bisa produktif sambil tetap waras ketika mengajar di kelas, bukan malah menjadi racun buat orang yang diajar.
Ya, kita semua tentu tahu kalau mengajar itu memang adalah pekerjaan yang mulia, tapi kalau mau menyuruh orang untuk bekerja ya yang realistis juga.
Untuk pengajar pemula seperti temanku ini sepertinya satu atau dua kelas saja sudah cukup deh. Karena mereka juga masih baru.
Jangan sampai kemuliaan itu justru berubah menjadi malapetaka ketika kita tidak mampu mengukur kapasitas diri kita sampai di mana.
“Tidak dulu deh kalau disuruh mengajar atau memeriksa seperti di zaman sekolah dulu. Ribet. Capek. Kalau disuruh bikin tulisan sih saya mau. Hehehe,”
Di sisi lain, aku belum pernah mendengar seorang pun berkata kepadaku bahwa dunia mengajar itu enak. Suwerrr, belum pernah sama sekali.
Mulai dari orang tua, guru-guruku di sekolah, bahkan guruku di luar sekolah pun saya belum pernah mendengar ada yang bilang kalau jadi pengajar itu enak.
Guruku sendiri pun bahkan pernah bilang ke saya kalau dunia mengajar itu lebih banyak dukanya daripada sukanya.
Ya, dunia mengajar kan ini berkaitan dengan masa depan seorang anak. Berkaitan juga dengan amal seseorang di dunia dan akhirat.
Jangan sampai kita malah justru menjadi bahaya atau toxic buat masa depan anak itu sendiri ketika kita menjadi pengajar.
Yang sering aku lihat faktanya adalah memang demikian. Aku rasa mengajar itu adalah pekerjaan yang sangat bikin capek dan melelahkan dibandingkan bidang lain.
Ruang gerak kita juga terbatas. Kita hanya tinggal membeku di dalam kelas saja. Padahal mah dunia itu luas dan tidak sebatas di dalam kelas saja.
Yelah, lagian kan zaman sekarang itu sudah banyak orang yang lebih memilih bidang lain atau pekerjaan lain daripada harus mengajar dari pagi sampai malam.
Kalau kalian mau jadi pengajar agar sekiranya diperhatikan hal ini diperhatikan baik-baik ya. Karena menurutku menjadi pengajar itu adalah pekerjaan yang tingkat monoton, perfeksionisme, dan tingkat kejenuhannya sangat tinggi.
Saya bersyukur dapat banyak pencerahan dari obrolan dengan sepupuku. Obrolan ini sekaligus menutup perbincanganku dengan sepupuku karena kami berdua sudah ngantuk.
“Ya, semoga kita berdua bisa berhasil dengan jalan hidup dan rezeki masing-masing. Ada sebenarnya sesuatu mau kulakukan tapi belum bisa sekarang. Nanti. Ketika sudah tepat waktunya,” doaku menutup perbincangan kali ini
Sepupuku pun mematikan lampu dan kami berdua akhirnya tertidur lelap karena memang sekarang sudah tepat waktunya untuk tidur.
“Kita tidak bisa memilih orang tua dan guru, tapi kita bisa memilih apakah mau menerima dan memaafkan mereka atau tidak,”
“Jangan perlihatkan ke orang tuanya kita dan para guru yang dulunya pernah mengajar kita kalau mereka itu sebenarnya gagal mendidik kita,” –
Ya, kalau seorang anak sudah tidak percaya lagi dengan seseorang yang mengajar dia maka jangan harap dia akan mau percaya dengan kalian apalagi mau datang ke sekolah.
Kalau begitu mending saya sekali tidak usah sekolah saja karena sekolah lebih banyak bahaya dan keburukannya daripada kamu tidak sekolah. Lebih baik kamu homeschooling saja kalau begitu.
Begini nah teman-teman, saya pun sebenarnya pernah berpikir mau homeschooling saja di masa SMA waktu itu tapi karena situasi dan kondisinya tidak memungkinkan makanya saya dengan berat hati harus menyesuaikan masa akhir sekolah.
***
Alhamdulillah… Lebaran tahun ini menjadi hal yang sangat istimewa bagiku karena impian dan cita-citaku sudah terwujud.
Iya, saya itu sebenarnya mau fokus menulis sepenuhnya setelah lulus sekolah. Hanya saja saya menunggu pandemi selesai untuk mewujudkan hal tersebut.
Makanya lain kali tanyakan dulu kepada anaknya ya, dia itu sebenarnya mau ngapain setelah lulus sekolah? Karena jawaban setiap anak itu ternyata beda-beda.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa anak-anak zaman sekarang sudah berbeda dengan generasi jadul wahai Bapak dan Ibu Guru tercinta.
Sekarang, saya sudah berani bilang dan sudah membuktikan sendiri bahwa hal yang dulunya setengah mati kita kejar dengan susah payah ternyata tidak berguna sama sekali.
Yap, karena setelah lulus sekolah itu saya sudah fokus menulis di situ dan saya juga selama ini lebih banyak mengeksplor diri di luar kelas daripada di dalam kelas.
Itu makanya setelah lulus sekolah saya itu tidak mau daftar jalur undangan dan sampai sekarang juga saya belum kepikiran untuk daftar beasiswa.
Untungnya juga waktu itu corona datang dan membuat saya jadi punya banyak waktu luang untuk menulis dan melakukan hal-hal yang kusukai.
Realistis saja. Semua orang itu pasti mau sepenuhnya fokus sama hal yang dia sukai.
Realistis saja. Kita semua tidak harus begini dan begitu di dalam hidup. Karena kita itu juga perlu melihat situasi dan kondisi yang ada.
Karena kita semua tentu mau dong berada sepenuhnya sama hal yang kita sukai. Karena pekerjaan paling enak adalah hobi yang dibayar.

Tentang Penulis
Halo, teman-teman! Perkenalkan namaku Ainun Mubin Misbah N (Ainun). Aku lahir di Makassar, 08 Maret 2002.
Aku sudah menyukai dunia literasi sejak kecil.

Sampai saat ini aku telah menerbitkan 26 buku : Bisakah Aku Sepertimu, Guruku Superhero, Mengejar Hikmah, Amel yang Bawel, Hadiah Terakhir Untuk Sofia, Selembar Kisahku, Bait-Bait Ikhlas, Surat Cinta untuk Rasulullah, Maniaco del Libro (Penerbit Andi), Mengulas Sisi Positif dan Hikmah dari COVID-19 (Penerbit Andi), Everything of Rainbow, dan lain-lain.

Aku juga sering menjuarai lomba menulis selama beberapa waktu terakhir, di antaranya adalah 30 Besar Lomba Artikel Kreatif dalam Rangka Hari Bahasa Arab sedunia dan Juara 3 Lomba Menulis Surat Cinta untuk Rasulullah.

Kalau kalian mau berkenalan lebih lanjut bisa melalui Instagram dan TikTok : @ainunmisbahn, Facebook : Ainun Mubin Misbah N dan LinkedIn https://www.linkedin.com/in/ainun-mubin-0483341bb.

Selain itu, kalian juga bisa baca beberapa tulisanku yang telah dimuat di Infosumsel.ID dan Markercontent.com.

Doakan ya agar aku bisa terus berkarya dan berbagi inspirasi kepada teman-teman semua. Terima kasih.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *