Kisah di Balik Ramadhan, Menjadi Tabah di Tengah Musibah

Biasanya cerita Ramadhan akan diwarnai dengan nuansa penuh kegembiraan, kekeluargaan, dan keimanan. Gembira karena di bulan Ramadhan setiap kegiatan yang kita lakukan mendapatkan pahala. Allah membuka pintu selebar-lebarnya untuk kita meraih pahala sebanyak-banyaknya. Selain itu, yang tak kalah menggemberikan adalah beranekaragamnya bentuk makanan berseliweran di sore hari atau saat menjelang  buka puasa, dari yang bersantan seperti kolak maupun yang goreng-goreng seperti tahu bulat. Apalagi kalau ada yang berbagi takjil dan buka puasa gratis. Kurang gembira apa coba?

Sebagai anak kos yang baik dan budiman. Berburu buka puasa dan takjil gratis merupakan langkah strategi taktis untuk bisa bertahan hidup di kota rantau. Padahal itu semua adalah kedok untuk mengalihkan uang makan menjadi uang untuk membeli baju lebaran. Ketika kembali ke kampung biar kelihatan ganteng dan cantik gituh.

Kalau untuk urusan kekeluargaan di bulan Ramadhan jangan ragukan lagi. Agenda-agenda yang berbau kekeluarkgaan akan muncul dipermukaan selama bulan Ramadhan. Dari mulai bukber, ngabuburit bareng, maupun sahur on the road. Itu semua adalah agenda yang wajib ada di bulan Ramadhan. Alasan utama mengadakan agenda tersebut,tak lain dan tak bukan adalah menjaga tali siturahmi. Meskipun pada kenyataanya, agenda yang berbalut kekeluargaan tersebut harus dengan sukarela menggadaikan ibadah kita. Biasanya ini sering terjadi pada anak muda. Berangkat sebelum magrib untuk bisa melangsungkan proses sakral buka bersama, kemudian setelah adzan magrib berkumandang mereka semua akan asyik menyantap menu buka puasa sambil ngobrol sana-sini. Alhasil waktu magrib sudah melesat jauh dan hampir Isya’, baru mereka bergegas untuk segera sholat Magrib. Setelah sholat usai, ngobrol pun akan tetap berlanjut, sampai lupa untuk sholat terawih. Kenyataan seperti ini pasti banyak ditemui disekitar kita, bahkan kita sendiri pun barangkali pernah berada di antara kejadian tersebut. Bukber boleh kok, malah sangat dianjurkan, tapi serangkaian acara bukber tersebut lah yang harus diperbaiki. Biar kekeluargaan dan ibadahnya juga jalan se-Roma Irama. Eh, maksudnya sejalan seirama.

Ramadhan identik dengan keimanan. Keimanan yang bagaimana? Tentunya keimanan yang semakin meningkat. Bayangkan saja, di bulan suci Ramadhan tidur saja bisa menjadi lumbung pahala, apalagi kalau dikerjakan dengan melakukan kebajikan. Pasti pahala kita bakal menumpuk mengalahkan tinggi puncak Mount Everest. Tapi ibadah juga jangan jadi bahan hitung-hitungan. Jadikan ibadah kita Lillah, semua karena Gusti Allah. Matematika Allah berbeda dengan matematika hambanya. Jadi kerjakan semua ibadah kita dengan ikhlas. Barangkali dengan ikhlas tersebut, kita bisa menjadi orang-orang terpilih yang bisa berjumpa dengan malam Lailatul Qodar. Sungguh nikmat mana lagi yang kau dustakan?

Namun jangan kaget juga jika ada kejadian tak terduga yang tiba-tiba nyempil mewarnai hari-hari Ramadhan kita. Qodo’dan Qodar manusia sudah tertuliskan di Lauh Mahfudz. Jadi, tugas manusia hanya bisa berdoa dan melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Namun bagaimana dengan takdir buruk yang menimpa kita? Itu juga termasuk yang digariskan Tuhan pada kita. Dan, itu pula yang menyadarkan saya jika ekspektasi Ramadhan yang selalu disambut dan dijalankan dengan tawa tiwi kegembiraan tidak selamanya menjadi kenyataan. Ada kalanya kita diberi sebuah nikmat cobaan dalam melewati hari-hari Ramadhan. Bukankah Tuhan akan sedekat urat nadi ketika manusia sedang terjatuh?

Itulah yang saya alami di hari Ramadhan ke 18. Tepatnya setelah melangsungkan prosesi buka bersama dengan teman-teman sekampus. Dalam suasana rinai gerimis dan jalan berair, saya mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Dan, alhasil saya pun berakrobat dengan motor bebek merah yang saya kendarai. Motor yang saya kendarai terpleset dan saya pun terjungkal ke tengah jalan raya dalam posisi tengkurap. Dalam posisi antara sadar dan tak sadar, saya sadar ternyata jalanan aspal tak seempuk kasur di rumah. Pantas saja kaki kanan saya terkilir dan penuh luka. Disusul dengan dagu dan gigi depan saya yang tiba-tiba menghilang secuil.

Peristiwa maha dahsyat dalam hidup saya tersebut membuat saya harus menikmati sisa hari Ramadhan dengan meratapi luka dan penuh intropeksi diri. Allah memberikan pelajaran kehidupan yang luar biasa bagi saya. Jikalau tidak semua kawan kita di pelosok negeri ini menikmati dan melewati Ramadhan dengan foya-foya. Banyak dari mereka yang melewati Ramadhan dengan penuh keprihatinan dan kesederhanaan. Menjadi manusia yang peka sosial akan lebih berguna daripada menjadi manusia kekinian yang haus akan kata ‘hits’. Semoga tetap istiqomah dalam menjemput hari yang penuh fitrah dan kembali menjadi pribadi manusia yang suci.

Oleh: Nurul Lailatis Sa’adah

Dari: Kudus, Jawa Tengah

kontes cerita ramadhan emir


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *