Dua Puluh Ribu Di Malam Puasa Pertama

Dua Puluh Ribu Di Malam Puasa Pertama

“Ma, masak apa buat nanti makan sahur?” tanya sulungku antusias. Bulat netranya mengisyaratkan ia mengharap suatu yang spesial. Seperti halnya datangnya bulan spesial yang selalu dinantikan umat Islam sepanjang tahun: Ramadhan.
Bocah delapan tahun ini membetulkan posisi peci yang tampak sedikit bergeser ke belakang. Dia baru saja menunaikan terawih di malam pertama Ramadhan. Sholat sekian rakaat yang dilakukan tanpa rasa berat karena hanya ada di bulan penuh rahmat. “Ma! Nanti sahur makan apa?” tanyanya mengulang sebab belum menerima jawaban.
Aku tau dia tergesa. Di surau depan rumah, segerombolan anak-anak sebayanya ramai bermain petasan. Pun kelompok tadarus Quran sedang menunggunya. Bahkan sepenting itu bayangan menu makan sahur hingga jagoanku itu harus menyempatkan diri bertanya.
Aku tau rasa buncah hatinya. Ia pasti penasaran dan gelisah. Ramadhan ini ia mengazamkan puasa penuh. Subuh sampai magrib, tidak makan tidak minum. Rentang waktu terlama tanpa memasukkan bahan makanan dalam tubuh yang baru pertama akan dia lakukan besok, setelah Ramadhan tahun-tahun kemarin hanya bertahan sampai adzan duhur. Tentu momen sahur dan berbuka menjadi suatu hal yang harus istimewa.
“Kakak mau sahur apa?” aku balik tanya sekedar untuk mengetahui apa yang si bocah ganteng harapkan untuk jadi menu sahur pertama.
“Em…ayam geprek!” ucapnya penuh semangat.
“Tapi Uma nggak punya ayam,” kataku. Sungguh aku tak ingin membuat anakku kecewa di malam yang semestinya disambut dengan suka cita.
“Beli dong, Ma.” Dia berupaya tak mau kalah.
“Nggak ada yang anterin ke pasar, Sayang. Abi kan tadarus di musolla.”
“Jadi, nanti sahur makan apa?” dia bertanya untuk ke tiga kalinya.
“Mie sama telur, ya? Belinya kan dekat di warung Bu Siha.”
Bocah berpipi gembul di hadapanku tampak membayangkan menu makanan. “Iya deh, mie sama telur,” ucapkan kemudian. Lalu berbalik badan berlari keluar.
Menu sahur pertama mie dan telur. Sudut bibirku menarik senyum. Gegas mengambil selembar uang berwarna hijau di atas lemari. Satu-satunya uang yang kami miliki malam itu. Selembar uang yang membuat bingung, apa yang bisa aku beli dengan uang itu untuk makan sekeluarga nanti, besok, lusa, dan esok hari. Karena jadwal gajian suami masih sepekan lagi.
Sesuai kesepakatan menu sahur malam ini, uang dua puluh ribu aku belikan setengah kilo telur dan beberapa keping mie. Namun tentu tak akan cukup memenuhi kebutuhan makan kami tujuh hari kedepan.
Bismillah, semoga Allah mudahkan.

“Ma, buka puasa nanti makan apa?”
Jarum jam membentuk sudut enam puluh derajat, pukul sepuluh pagi. Bocah berpipi gembul kembali bertanya menu makan lagi. Duh!
“Masih pagi ini, Kak. Belum duhur. Puasa belum setengah hari kog sudah mikir mau makan apa. Kan kakak puasa penuh sampai magrib,” selorohku sekaligus mengingatkan azam puasanya.
“Iya, Ma, aku puasa sampai magrib. Tapi nanti buka puasa makan apa?”
Mafhum ini hari pertama puasa, yang seharusnya jadi hari istimewa. Hari pertama anak sholehku belajar memenuhi kewajiban muslim dengan sempurna. Menahan dahaga dan lapar demi mendapat ‘kenikmatan berbuka’.
Ku pandang sejurus wajah ganteng berhias pipi tembem yang hobi mengunyah, sambil berpikir…jawaban apa yang sebaiknya aku sampaikan untuk menjawab pertanyaan menu buka puasa nanti.
Semalam, aku memasak empat butir telur dan dua keping mie untuk makan sahur kami sekeluarga. Masih ada empat butir telur dan dua keping mie lagi yang belum di masak. Jika itu kami makan waktu buka puasa, apa yang akan kami makan untuk sahur esok hari? Atau mungkin aku bisa memasak hanya dua butir telur untuk kedua anakku, lalu aku dan suami cukup berbuka air dan nasi seadanya. Lalu dua butir yang lain untuk makan sahur. Ah, tapi aku yakin anak-anak akan bertanya kenapa Umi dan Abi tidak makan. Dan tentu saja bisa merusak suka cita mereka saat buka puasa.
“Buka es teler dan ayam goreng, ya Ma!” rajuknya penuh harap.
Aku mengulas senyum. “Kalau puasanya ikhlas, insyaallah berbuka apa saja jadi enak,” ucapku.
“Tapi kaka mau es, Ma.”
“Buka puasa di masjid, kaka mau?” tiba-tiba terbersit gagasan jitu di kepala.
“Ada Es di masjid?”
“Insyaallah.”

Jadilah…setelah ngaji di surau, kami ngabuburit di masjid. Alhamdulillah, sekalian mendengarkan tausiah Ramadhan sebelum adzan magrib. Aku mengambil tempat di ruang jamaah perempuan. Sedang anak-anak bersama ayahnya di bagaian jamaah pria.
Sesaat sebelum adzan, panitia membagikan makanan takjil untuk buka puasa. Segelas air mineral, bubur kacang hijau hangat, dan tiga butir kurma itu diletakkan di hadapan. Sejenak aku tertegun. Tidak ada minuman es seperti yang bocah gembulku inginkan. Apa dia kecewa akan di hari pertama puasa?
Sungguh, ini bukan menu buka puasa yang kami harapkan! Aku bukan penyuka kurma, apalagi jenis kurma kering seperti yang kini tersaji. Dan si gembul sulungku itu sering kesulitan memakan kacang hijau, yang menurutnya kasar di tenggorokan saat di telan.
Sampai adzan berkumandang, aku belum menyentuh menu takjilku. Keutamaan iftar atau menyegerakan buka puasa terabaikan. Terbayang raut kecewa putra sulungku saat tidak mendapatkan es yang dia inginkan seharian selama puasa. Kesedihan meremas karena keterbatasan di hari ini membuatku tak bisa memenuhi harapan buah hati.
Namun teringat sebuah riwayat hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad biasa berbuka dengan kurma basah, jika tidak ada maka beliau berbuka dengan kurma kering, jika tidak ada maka beliau meminum air seteguk demi seteguk. Sebuah tamparan bagi diri ini yang sempat meruntuk ketika makanan yang biasa dimakan Nabi ini diberikan. Betapa tidak bersyukur jika aku kecewa hanya karena menu buka puasa yang tidak sesuai harapan.
Lalu dengan tangan bergetar disertai hati yang penuh dosa aku membuka bungkusan kurma, menggigit kurma yang mengering dagingnya. Inilah makanan yang menjadi buka puasa Rasulullah. Kemudian meminum air seteguk demi seteguk seperti yang di jelaskan hadis riwayat Anas bin Malik. Masyallah, begitu nikmatnya!
Setelah menghabiskan tiga butir kurma, tampak sosok bocah berpipi gembul menyelinap dari hijab jamaah pria dan wanita.
“Uma sudah buka puasa?” bisiknya.
Aku mengangguk. “Kakak sudah?” aku balik bertanya.
Dia mengangguk.
“Makan apa?” tanyaku lagi.
“Kacang hijau.”
“Habis?”
“Habis.”
“Enak?”
“Enak.”
“Biasanya kakak nggak suka kacang hijau?”
“Tapi tadi lapar.”
“Alhamdulillah.”

Panggilan iqamah terdengar. Bocah gembul itu lantas berlari untuk mengisi shaf sholat.
Masyaallah, dua hal yang aku renungi di hari pertama Ramadhan ini. Yakni puasa memberi pelajaran bahwa kita seringkali mengupayakan dan berusaha mendapatkan apa yang kita inginkan tanpa mempertimbangkan kebutuhan diri dan kemanfaatan bagi kehidupan. Seperti halnya aku yang biasanya lebih memilih kue, gorengan, es teler, dan sebagainya sebagai menu kesukaan, justru melupakan kurma dan makanan lain yang memiliki lebih banyak manfaat dan zat-zat yang dibutuhkan tubuh. Dan Ramadhan merupakan berkah pada setiap keadaan. Teringat di tahun lalu, ketika uang puluhan juta di tangan, Alhamdulillah cukup berbagi buka puasa pada tetangga sekampung. Saat ini ketika diuji keterbatasan keuangan, Alhamdulillah tidak berkurang rasa nikmatnya.
Semoga momen puasa dan Ramadhan menjadikan diri kita pribadi yang senantiasa bersyukur, taat dan ikhlas menjalankan ibadah dalam setiap keadaan.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *