Di Ujung Jalan

Aku masihlah aku yang butiran debu, penuh dosa. Aku ini bukan siapa-siapa. Aku bukan orang yang begitu mengerti tentang agama. Aku terlahir di dalam keluarga yang kental dengan adat istiadat, awam agama. Lingkunganku bukan pesantren, kampungku diwarnai orang-orang bejat penjual diri. Batas mengaji masaku sampai lulus SD, selepas itu aku dan kawan-kawan merasa sudah besar dan malu mengaji. Padahal belum tuntas aku mengerti. Beginilah hitam kelamnya perjalanan hidupku.
Sejak kecil hidupku berpindah-pindah, dan akhirnya disini adalah persinggahan yang terakhir. Aku tidak mempunyai sahabat yang sebaya denganku. Hanya ada beberapa teman laki-laki. Aku biasa memakai baju pendek, tidak berkerudung. Dan aku biasa main dengan temanku laki-laki. Hanya saja di keluargaku etika, sopan santun selalu dijunjung tinggi. Adat istiadat selalu dipatuhi.
Sekolahku tidak pernah sekolah Islam, dari TK sampai SMA selalu sekolah umum. Tapi berbeda ketika di SMA, aku mulai mendapat cahaya untuk dekat kepada-Nya. Dari sini aku mulai menutup aurat, aku mulai rajin shalat dhuha, aku mulai rajian puasa sunnah. Semua itu karena teman-temanku di SMA. Mereka yang mengajari dan mengajakku dalam kebaikan Islam. Itu semua pasti bukan kebetulan, semua pasti sudah direncanakan.
Kebaikan kebaikan tersebut tak lantas membuatku menjadi 100% baik sempurna. Orientasi hidup dan cita-citaku masih standar dunia. Aku ingin dipandang baik dimata orang, aku ingin disanjung di banggakan. Iya itu adalah penyakit hati terburuk. Belum lagi aku juga masih tetap berpacaran. Aku melakukan kebaikan tapi maksiatku juga jalan. Dan saat itu juga hidupku mulai berantakan.
Aku tidak lolos semua jalur masuk kampus, meskipun aku adalah bintang di sekolah. Aku memutuskan untuk merantau jauh di kota besar. Sayang, ridho-Nya tidak sampai kepadaku. Disana lebih menyakitkan, lebih parah, lebih berantakan. Mungkin dosaku begitu banyak hingga tidak juga mendapatkan titik terang dan lingkungan yang tenang, Islam. Dan pada akhirnya aku pulang, aku memutuskan bekerja di Surabaya, kota yang tidak aku inginkan.
Tahun berikutnya aku tidak menyerah. Tapi lagi-lagi aku gagal masuk di Universitas umum yang aku tuju, tapi aku masuk di Universitas Islam. Sungguh, suatu yang menajubkan bagiku. Disini aku mulai belajar banyak, teman-temanku rata-rata alumni pesantren dan Aliyah. Aku senang, setiap hari mendapatkan siraman rohani.
Begitulah alur hidup, tidak ada yang tau jalan yang diberikan-Nya. Kadang apa yang menurut kita baik belum tentu baik. Aku senang, aku bersyukur aku terlahir Islam. Meskipun aku terlahir dalam keluarga yang nihil agama, aku terlahir di lingkungan yang hitam tapi setidaknya aku ini Islam. Aku tidak bisa membayangkan jika aku lahir di kei luarga Nasrani, Buda ataupun Hindu, pastilah agamaku juga seperti mereka.
Aku ini hitam penuh dengan noda dosa. Tapi aku masih Islam. Allah Maha Agung, aku masih diberikan celah dan cahaya untuk dekat dengan-Nya. Islam itu indah, dekat dengan-Nya itu nikmat. Tidak ada suatu kejadian apapun, jika bukan karena-Nya. Aku Islam, aku bahagia.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *