Dakwah Tidak Melulu Dengan Teriakan ‘Allahu Akbar’

Ketika Ramadan tiba, kampung saya memiliki tradisi salat tarawih yang terbilang jarang dijumpai di tempat lain. Takmir beserta pemuda-pemudi pengurus masjid sejak dasawarsa terakhir memutuskan untuk memisahkan jamaah anak-anak dan dewasa. Upaya ini dilakukan untuk mencegah kebisingan akibat kegaduhan yang sering dilakukan oleh anak-anak mengingat jumlah mereka yang tidak sedikit. Selama Ramadan, mereka dipindahkan menuju gedung yang biasanya digunakan untuk pembelajaran Taman Pendidikan Alquran (TPA).

Jamaah anak-anak yang setiap hari berkisar antara 40 hingga 60 orang memberikan tantangan tersendiri. Anak-anak dari berbagai sekolah, kelas, serta usia campur aduk dalam satu ruangan tanpa pengawasan orang tua. Ditambah petugas salat yang masih mahasiswa dengan hanya berselisih tujuh hingga sepuluh tahun membuat keadaan nihil dari sosok otoritas bagi seorang anak. Secara psikologis, perbedaan ini berpotensi mengurangi rasa hormat mereka yang dapat berujung pada pudarnya keseriusan dalam beribadah.

Pada suatu malam, kuliah umum (kultum) tujuh menit saat tarawih disampaikan oleh seorang bapak berusia 40 tahunan yang juga pernah mengajar di TPA tersebut. Saya yang baru pulang ke kampung halaman pada hari ke-15 Ramadan, melihat perbedaan yang cukup mencolok dibandingkan ketika sebelumnya sesi ceramah diisi oleh teman seusia saya. Teman-teman saya yang sebelumnya memerlukan beberapa menit untuk membuat kondisi jamaah tenang, disulap oleh kedatangan orang tua tersebut. Anak-anak jelas menganggapnya sebagai figur otoritatif sehingga mampu meninabobokan mereka dari permainan yang biasa dilakukan sebelum dan saat salat. Tak pelak, tanpa campur tangan pemuda pun anak-anak dapat salat dan mendengarkan kultum tanpa berisik.

Namun bukan itu pesan yang ingin disampaikan dalam tulisan ini. Saat itu saya duduk di barisan belakang sembari mengawasi anak-anak sebelum salat. Ketika ceramah dimulai, saya khusyuk memperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh bapak tersebut. Saya mencermati secara baik bagaimana respon dan conditioning dilakukan untuk menenangkan anak-anak. Saat itu saya sempat berpikir bahwa mungkin lebih baik jika anak-anak dihadapkan pada sosok yang mereka anggap sebagai figur otoritatif agar mereka dapat tenang dalam beribadah. Akan tetapi ketika salat usai, ada kejanggalan yang membuat saya menelan kembali pikiran tersebut.

Bagi saya pribadi, teknik yang dilakukan orang tua tadi sangat baik untuk anak-anak. Dengan gayanya yang lembut dibalut dengan nyanyian khas ala TPA yang telah lama ia ajarkan, serta jargon khas yang menggelora, mereka dengan mudah takluk pada sang mubalig. Semangat berteriak ‘Allahu Akbar’ menjadi kunci untuk membuka lembar pertama dari kisah yang panjang. Anak-anak pun tak sempat bermain karena obat bius yang terlanjur mujarab tersebut.

“Anak-anak disini masih bisa tertawa, bermain waktu salat tarawih, dan cengengesan kalo dinasihatin sama mas-masnya. Saudara-saudara kita umat muslim di Rohingya, diusir dan dibunuh oleh orang Buddha disana baik itu anak-anak seusia kalian maupun orang tua seperti bapak. Wanita yang lagi hamil dibelah dadanya, anak-anak dipenggal kepalanya dengan pedang, dan dibunuh ketika bertemu di jalan.” Ungkapnya dengan gaya bak renungan malam. Mendengar itu, dengan kompak mereka kaget serta terheran-heran. Bapak tersebut kemudian menambahkan dengan mengatakan bahwa ideologi komunisme adalah anti-Tuhan, dengan demikian sebagai umat muslim kita tidak diperkenankan untuk berteman dengannya.

Perbedaan jelas terlihat ketika yang menggelar sajadah imam adalah saya maupun teman saya yang masih mahasiswa. Saya harus berteriak agar suara saya terdengar sampai barisan paling belakang. Bahkan ketika sedang memberikan kultum, saya seperti sedang menceritakan sebuah dongeng kepada teman-teman saya karena hanya mereka yang terlihat mendengarkan. Meskipun demikian, terdapat suatu momen yang menjadi titik tolak bagi saya.

Setelah dua kali menjadi Imam dan penceramah disana, saya mencoba memberikan bacaan yang lebih panjang ketika salat. Meskipun saya harus memaksakan dahaga saya, perbedaan ini memberikan saya pelajaran berarti. Dengan pelafalan surat yang lebih panjang serta bacaan yang telah saya latih sebelumnya, anak-anak mulai terlihat menunjukkan curiousity-nya.

“Mas, nanti setelah ini saya diajarkan cara mengaji ya. Saya udah mengajak lima orang teman saya.” Kata seorang anak dengan polos dan senyum yang agak dipaksakan. Ketika saya meminta tambahan 10 orang, dengan antusias dia mengumumkannya di depan jamaah. Alhasil saya dapat mengajarkan mereka mengaji dengan makhorijul huruf, tajwid, dan kaidah yang benar tanpa harus menawarkannya kepada anak-anak. Kedepannya, mereka tetap terlihat berisik ketika saya menjadi imam tetapi dengan varian lain. Alih-alih obrolan ngalor-ngidul, suara pelafalan surat yang saya bacakan terdengar ditirukan mereka dengan ta’dhim.

Respon berbeda tampak setelah bapak tadi memberikan ceramah yang menurut saya justru mengarah pada sebuah propaganda tindakan intoleransi terhadap umat non muslim. Ketika selesai memberikan kultum, saya dihadapkan pada pertanyaan yang disampaikan oleh beberapa anak. “Mas, berarti umat Buddha itu jahat ya. Kan mereka membunuh saudara kita.” Komentar yang lebih ekstrem juga muncul. “Mas, aku mau jadi tentara biar besok bisa membantai semua orang komunis.” Mendengar semua hal tersebut, saya benar-benar tercengang. Saya sangat menyayangkan pemberian materi kultum yang berpotensi pada tindakan intoleransi disampaikan pada anak-anak, mengingat tahap berpikir mereka masih pada level berpikir konkret.

Pengalaman sederhana ini mengajarkan saya poin penting: mendidik dengan hikmah, bukan paksaan. Cara mendidik atau mengedukasi seseorang, terlebih anak-anak yang belum mampu berpikir abstrak akan menjadikan seseorang taqlid buta dan mengarah pada kejumudan berpikir. Hal ini dapat menutup rasa ingin tahu anak karena-meminjam ungkapan Margaret Mead-seorang anak seharusnya diajarkan bagaimana cara berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah yang diabadikan dalam Alquran surat an-Nahl ayat 125 bahwa dakwah hendaknya dimulai dengan hikmah, baru kemudian mauidhoh hasanah, dan terakhir mujadilhum bil lati hiya ahsan (membantah dengan cara yang baik).

Terakhir, kiranya layak penulis menyampaikan kembali pesan yang pernah dibawakan oleh Plutarch, filosof Yunani 20 abad silam “education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire.”

Oleh: Muhammad Abdul Fikri

Dari: Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *