CERPEN – KETIKA KITA PULANG

“Ada hal yang harus selalu kita pikirkan diantara kebahagian dan kesedihan. Dan itu adalah saat kita kembali pada suatu tempat yang kita sebut, rumah.”

Ini rumah kita, pulanglah minggu ini nak, ini hari yang fitri. Kita berkumpul lagi seperti dulu. Seperti keluarga lain yang pulang saat akan menyambut kemenangan. Seperti keluarga lain yang berkumpul saat gema takbir mengalun di surau-surau penuh keteduhan. Sebelum senja mengurung kita dalam usia. Di muka, bunga-bunga sudah disiram ibu dengan seribu rindu.

Wa masih terpaku duduk tak bergerak di dalam kamarnya.

“Pulanglah nak! Sebab semua orang akan segera berpulang!”
Kata ibu dalam teleponnya. Nada suaranya makin parau.

***

Ini rumah kita, rumah berdenah persegi panjang dan langgar kecil yang berada di muka kiri menghadap ke arah matahari terbit.

“Pulanglah! Apakah kau tak rindu dengan muka kusut ibu yang selalu berlipstik kekhawatiran itu. Tak bisakah kau bayangkan, beliau duduk di depan pintu teras rumah sambil menatap senja yang makin memerah sambil mengenang masa kecil kita. Di tahun-tahun dulu pula kita sering berkumpul saat lebaran, menyantap rengginang dengan sambal terasi. Kita tertawa terkekeh-kekeh saat kita tidak tahan lagi menahan pedas.’’

Ini rumah kita, rumah bercat hijau kuning di muka teras, di depannya kembang ekor biak tumbuh berbagai warna. Bunga dengan mahkota yang lebih menyerupai sayap kupu-kupu ini adik tanam beberapa bulan lalu. Kini bunganya semerbak menyapu pandangan kita. Ya, walau tak akan ada aroma yang tercium disana. Bunga itu akan menjadi lebih indah kalau di mukanya, kita duduk bersama. Berjejer sebagai satu keluarga memenuhi bangku Dipan panjang, berebut tempat duduk, untuk mengabadikan kenangan. Berfoto bersama. Tidakkah itu terlintas di pikiranmu sesekali.

***

Ini rumah kita yang sederhana. Masih bertahan dengan barisan bunga menyerupai pagar mengurung halaman. Di halaman ini, dulu kita sering bermain tanah. Membuat rumah-rumahan dengan tanahnya yang sedikit basah dan mendesainnya dengan potongan dinding bidik. Dulu kita sangat berbahagia dengan permainan itu. Kita sering berlarian ketika hujan. Berkejaran di tanah basah yang juga seringkali membuat kita terjatuh. Bukan hanya itu, kalau hujan terlampau deras mengguyur, maka dengan segera orang tua kita segera menyuruh kita masuk kedalam rumah. Tapi nyatanya, kita akan makin cepat berlari menuju lorong-lorong halaman tetangga atau kita akan pergi ke ladang dan sawah-sawah. Kita akan beranjak bersama-sama menangkap burung yang mungkin sedang berdiam di dahan-dahan pohon karena kedinginan, sebab pada saat itu mereka akan malas terbang dan menurut saja kalau-kalau tangan kecil kita menangkapnya.

“Ah, bukankah banyak yang kita lakukan dulu, namun tidakkah satu pun dari kenangan itu kamu kenang?’’

“Pulanglah cepat! sebab semua orang akan segera berpulang menyambut hari kemenangan!”
Kata ibu masih menggiang jelas sambil diiringi isak tangisnya, serak.

***

Sebuah surat Wa buka, dengan gemetar. Selembar foto hitam putih usang dilihatinya. Gambar sebuah rumah panjang dengan seorang wanita paruh baya yang terlihat sedang menyapu halaman dengan sapu lidi. Wajah Wa kini pias pucat, teringat akan suara emak yang menggiang di telepon kemarin.

Ini adalah rumah kita, rumah tempat kita dihari yang fitri. Kita harus kembali menemui ibu dihari itu, sebab rumah kita adalah rumah tempat berkumpul mengingat kembali memori indah dulu. Dirumah, pasti ibu sudah menyiapkan ayam dan ketupatnya yang dianyam dengan kerinduan. Tetangga-tetangga kita mungkin sudah menyiapkan kembang api di muka rumah, untuk kita nyalakan bersama dimalam takbiran. Dan mungkin H. Bushiri, tetangga kita depan rumah yang kaya-raya itu, lebaran ini akan memberikan zakat mal-nya dengan sepaket alat ibadah. Kita akan memakainnya di saat sholat Id bersama-sama. Karena ibu tahun ini sedikit lebih tua, mungkin kita harus memapahnya menuju surau. Itu akan menjadi menyenangkan. Betulkan, Wa?

Wa, melipat kembali surat lain berwarna kelabu, menjatuhkannya, dan membiarkan surat itu tergeletak di atas lantai.

Wa, Sudah bertahun berlalu, kau pergi jauh dari pulau ini, cobalah temui ibu sekali saja dihari kemenangan esok. Jangan pernah berfikir kalau ibu hanya menginginkah apa yang kamu dapatkan sekarang. Ibu hanya ingin melihat wajahmu saja. Bukankah kau adalah buah hatinya yang dulu paling ia sayangi. Apakah kau masih ingat? saat pensilmu hilang diwaktu SD, kau pasti ingat bagaimana ibu memarahiku karena kamu terus saja mengangis. Ibu menyayangimu, bahkan terlampau sangat menyayangimu, padahal saat itu kau yang sengaja menyembunyikan peralatan tulismu karena kamu malas masuk sekolah. Apakah kau masih ingat semua itu?

***

Wa, masih tertegun di dalam kamarnya.

Wa, anakku. Kau benar-benar dikalahkan kesibukan yang kini menderamu dan tak pernah berhenti menderamu sepanjang waktu. Kau telah kalah membagi waktu dengan apa yang semestinya harus kau lakukan terlebih dahulu. Bahkan saat orang-orang terdekatmu membutuhkan waktu sedikit bersamamu, kau tak sanggup memberikan itu untuk mereka. Kamu tak mampu membagi sepersedetik waktumu pun untuk membuat mereka tersenyum. Kamu begitu sibuk memikirkan dirimu sendiri hingga melupakan mereka yang pernah membuatmu tersenyum. Kau bahkan ingin menghilang selamanya dari pandangan mata mereka. Seakan kau tak pernah diserang gemigil di malam-malammu, dan orang-orang terkasihmu menyelimutimu dengan dekapan yang paling hangat agar kau merasa baikan. Kau anggap penggalan fragmen-fragmen dalam kehidupan itu tak pernah terjadi. Ya begitulah kiranya dirimu sekarang, anakku. Kau sudah terlalu sering dikalahkan ego-mu sendiri. Wa, anakku. Pulanglah segera! Bukankah semua orang memang memiliki kesibukan di dunia ini. Ya, terkecuali dia sudah menghentikan detak jantungnya dan terbaring lemah dalam tumpukan tanah yang sesak menimbunmu.

Wa, kini menceracau. Memikirkan petuah Kyai Maimun, guru di Madrasah Tsanawiyyah-nya dulu, yang pasti akan di ucapkan gurunya itu, jika saja beliau tahu keadaan Wa kini. Beliau dulu adalah tempat Wa mencurahkan segala masalah.

***

Ibu sedang sakit, Wa! Tadi malam beliau mengigau namamu, hingga kami semua terbangun. Setelah kami tanyai, kata beliau, kau menemuinya dalam mimpi. Lalu paginya ibu segera masuk kedalam dapur, seakan ia tak pernah sakit. ibu yakin kalau kau akan datang menemuinya seperti yang terjadi di mimpinya semalam. Di dapur itu ibu memasakkan nasi goreng tanpa saus, dengan ikan pindang, sambal terasi dan sekeranjang krupuk singkong kesukaanmu. Melihat beliau begitu, kami tak tega Wa. Tidakkah ibu pernah terlintas dalam bayanganmu? sekarang beliau sangat kurus. Apakah kau tak ingin bertemu dengan ibu? bukankah sudah ribuan kali ibu meminta maaf kepadamu, ibu merasa bersalah.

“Pulanglah segera, setidaknya sehari saja, ibu ingin melihat wajahmu, beliau merindukanmu!”

Dalam sebuah pangggilan perempuan itu terisak. Tentu saja suaranya terdengar kesekitar. Sedangkan pemuda yang dikatakan Wa itu masih berdiri kaku ditempat ia berdiri, di dalam kamar yang pengap. Kini ia mematung tanpa mengatakan sepatah kata apapun, gagang telepon yang baru saja ia pegang ia banting keras, kemudian tubuhnya terhuyung ke kaki meja ruang tamu itu, sembari memukuli kedua kakinya.

***

Ini rumah kita, dua bulan sudah berlalu. Sakit ibu semakin parah. Rumah ini begitu sepi, terkecuali ketika senja telah jingga di ujung langit paling barat. Disana deretan satu, dua, tiga anak kecil masih datang untuk belajar membaca Al Qur’an. Namun sepeninggal bapak, mereka sudah tak lagi datang. Andai saja kamu disini Wa, kau pasti bisa menggantikan almarhum bapak, mengajari mereka mengaji. Kau pasti ingat dulu, kau adalah santri paling lancar membaca Al Qur’an.

Lihatlah rumah kita sekarang. Rumah kita adalah duka dan kesepian yang selalu menjalar dari bidik-bidik dinding. Ya, semenjak ibu sakit. Rumah ini seperti kehilangan keceriaannya, rumah ini menjadi sangat sepi dan buram. Kalau pagi biasanya ibu yang menjemur baju-baju cucian, wangi softener akan tercium disekitar pekarangan rumah. Tapi kini, lihalah! Cucian itu menumpuk tercecer di atas bak berukuran besar. Sarapan yang biasanya terhidang nikmat hingga tercium keseisi rumah, kini yang ada hanya nasi bekas kemarin yang masih terdampar tanpa ada yang memungut. Tergeletak di rantang dapur. Belum lagi debu-debu yang hinggap di perabot rumah kini sudah sangat tebal membuat bersin. Hanya dalam waktu singkat setelah ibu sakit, rumah ini seakan kehilangan ruhnya. Semua anggota keluarga panik memikirkan kondisi ibu, ibu sering memanggil namamu Wa. Nama anak yang paling ia sayangi, yang tak pernah ia jumpai setelah kepergiannya dari rumah.
“Pulanglah Wa, ibu sangat merindukanmu, ibu ingin meminta maaf, mungkin ini adalah kesempatan terakhir ibu.”
Lelaki bernama Wa itu tetap terdiam.

***

Mungkin masih lekat dalam ingatanmu. Di bawah purnama itu kau memutuskan untuk melangkah meninggalkan segalanyaa. Malam itu kau mengepak ransel. Kamu merasa dibuang. Kau memaksa untuk bekerja di Arab tapi ibu melarangmu. Kau menyukai seorang gadis dan ibu tak merestuimu. Tepat disepuluh sebelum akhir malam ramadhan, kau meninggalkan ibu dan kenangan-kenangan yang pernah tergelar dimasa lalu.

Di kaca buram bus angkutan umum, malam itu kau menyandarkan kepala dengan kepalan tangan sebelah sebagai bantal sembari mendengarkan suara angin yang berusaha masuk melalui koridor-koridor atas bus. Kau bersikeras menanam kepercayaan dalam egomu kalau semua ini terjadi karena ibu tak adil kepadamu. Benar-benar tak adil. Dan untuk kesekian kalinya kau ingkar akan kebenaran.

***

Pulanglah Wa! Ini rumah kita. Rumah yang selama ini menyimpan kenangan disana-sini. Di setiap pojok dan sudut, di atas dipan-dipan, dan dinding-dinding kayu jati ini, masih tertulis cerita-cerita masa lalu yang masih tetap terekam. Ibu, sekarang tengah terkapar lemas di atas ranjang. Di kanan kirinya, di atas laci, makanan dan obat-obatan dari puskesmas belum sama sekali disentuhnya.

“Pulanglah Wa, untuk ibu!”

***.

Seketika suasana menjadi hening. Lekat dan lama, kau menatap wajah ibu yang sudah kirut. Lalat beterbangan di sekitar ibu, di sekujur tubuh ibu, di sekitar wajahnya pula. Wa, kemudian kau melangkah kecil, sambil menyeka air matanya yang jatuh ke pipi. Wa bersimpuh sambil terisak berat.

“Wa, sudah pulang.”
“Tapi sepertinya yang ada hanya sebuah penyesalan.”

“Ibu memang sengaja tak dimakamkan, karena ingin menunggu dirimu Wa. Itulah pesan terakhir ibu, karena ia yakin kau akan menemuinya walau saat ia sudah jadi mayat”
Ucap seseorang disamping Wa, sambil menangis.

***

Inilah rumah kita Wa, rumah dengan denah yang tak beberapa. Rumah dengan denah dan ukuran yang tak beberapa. Hanya beberapa meter yang di butuhkan untuk membangunnya, dengan hanya beberapa pekerja, dan dalam hitungan jam saja rumah kita sudah siap untuk kita huni. Sekarang adalah waktu yang tepat untukmu pulang kerumah sebenarnya. Sudah sekian lama kau melupakannya. Namun pada akhirnya kau kembali juga. Ini adalah hari yang fitri anakku, kamu harus pulang hari ini, dengan atau tanpa keinginanmu.

Inilah rumah kita. Rumah menurun menyerupai sebuah lubang persegi panjang, tanpa ada perabot khusus di dalamnya, rumah yang lantainya terbuat dari tanah, berdinding tanah dan beratap dari tanah yang ditimbuni. Karena rumah kita yang sebenarnya hanya berupa himpitan tanah dan tanah. Karena kita terbuat dari tanah.

***
Wa kini tertegun di makam ibunya. Tubuhnya kaku.

“Maafkan Wa!”
“Wa terlambat pulang.”
“Beginilah keadaan Wa sebenarnya!”

Wa menahan tangis. Ia mengingat pesan terakhir ibunya.

“ Ini rumah kita, pulanglah nak! Ini hari yang fitri. Kita berkumpul lagi setelah ini. Ini adalah rumah terakhir kita!”
“Dan berbekallah, sungguh bekal yang paling baik adalah takwa’’.
“Pulanglah nak! Pulang! Sebab rumah kita bersebelahan.”

Gema takbir bergemuruh. Wa menerawang jauh. Ke langit? Ke awan? entah kemana. Seketika ia terjatuh dari kursi rodanya. –

Jungkarang, 2019

*) Rengginang = Panganan berbentuk bundar yang terbuat dari beras ketan yang di goreng, selalu ada saat hari raya Idul Fitri
*) Dipan = Kursi persegi panjang terbuat dari bahan kayu, mampu diduduki beberapa orang
*) Bidik = Hasil dari anyaman serutan bambu yang di potong-potong tipis, di bentuk menjadi didining rumah..


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *