Bulan Pahala diantara Hutan Beton

Mentari terbit lalu manyun di ufuk barat menyambut malam, terbit lagi, manyun pula. Selalu begitu dan selalu sama setiap harinya. Angka-angka di kalender yang tampak diam ternyata tengah berlari tunggang langgang meninggalkanku, berlarian bagai pertandingan maraton. Tahu-tahu bilangan umur telah berganti dan bertambah. Perasaan baru kemarin ramadan, tahu-tahu sudah berada di pintu ramadan lagi. Perasaan baru kemarin beringsut dari kampung halaman, tahu-tahu sudah  tujuh ramadan kutunaikan di tanah perantauan.

“Permisi Nyonya, ada sesuatu yang ingin kukatakan?” celetukku di sela-sela menyiapkan makan malam.

“Ya, katakan saja!” jawab Nyonya, yang sedang asik di depan laptop-nya.

“Bolehkah ramadan ini, saya puasa?” ungkapku sedikit gugup.

Ya, tiap-tiap kali meminta izin untuk berpuasa selalu nihil, sulitnya seperi menagih utang saja. Tujuh tahun bekerja di negeri beton bersama Nyonya Wang yang notabene adalah majikanku hanya puasa kewajibanku sebagai umat muslim yang tak diizinkannya. Alasannya sangat menggelitik, takut aku tidak kuat dan mati. Seringnya aku harus main kucing-kucingan untuk berpuasa selama tujuh periode ramadan, namun kali ini aku mencoba untuk meminta izin berpuasa secara terang-terangan.

Bekerja di negara dimana muslim hanya sebagai kaum minoritas memang tidak gampang apalagi 24 jam stay in bersama majikan. Meski rumit, namun demi mempercantik nasib, dan tak ingin terjebak atau pasrah pada keadaan aku tetap berjuang mengegolkan kewajiban sebagai seorang islam.

“Sudah berapa kali aku bilang, kamu tidak mungkin bekerja dalam keadaan perut kosong!” jelas nyonya.

“Dan lagi ini musim panas.”

“Mana mungkin seharian kamu tak minum air!”

“Kalau terjadi sesuatu, apa yang bisa kujelaskan pada keluargamu di Indonesia?” tambahnya lagi.

“Sudah jangan membantah lagi!”

“Aku mengizinkanmu salat, berhijab, tapi tidak untuk yang satu ini!”

“Mengertilah!” ungkap nyonya panjang lebar dalam Bahasa Kantonis.

“Maaf, Nyonya!”

“Terima kasih!” ucapku menggembol kekecewaan dalam hati.

Sepertinya aku harus legawa menerima keputusan nyonyaku itu, dan seperti tahun-tahun sebelumnya puasaku kali ini masih harus sembunyi-sembunyi. Dan bukankah aku selalu bisa melampauinya hingga hari kemenangan tiba. Karena aku yakin untuk hal yang baik, Allah SWT tidak pernah tidur.

Hongkong, 08 Juli 2016

Catatan: stay in : tinggal dalam atau serumah

legawa : menerima dengan lapang dada

Dari : Kaka Clearny

Dari : Blitar, Jawa Timur


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *