Bang Juned

Kumandang azan Maghrib disambut umat dengan segera melangkahkan kakinya menuju masjid untuk melaksanakn shalat. Ketika shalat sedang berlangsung semua orang terlihat sama, sama-sama tidak memakai alas kaki. Kalau dilihat dari pakaian pun perbedaan itu terlihat samar, kecuali mereka yang memakai seragam kerja.

Setelah keluar masjid barulah perbedaan itu kentara. Pertama dari alas kaki yang digunakan, kedua dari kendaraan yang digunakan. Namun diantara jamaah maghrib itu ada seorang anak yang mencuri perhatian Bang Juned, sang marbot masjid. Anak itu ketika akan shalat mengganti pakaian yang dipakainya dengan baju koko yang sudah dipersiapkan sekaligus dengan sarungnya di dalam tas ransel coklat yang selalu ia bawa.

Tidak hanya cara anak itu menjaga kesucian ketika hendak shalat yang mencuri perhatian Bang Juned, kebiasaan anak itu bersdekah juga membuat Bang Juned salut. Anak itu setiap selepas shalat maghrib ketika hendak pulang tidak lupa bersedekah ke tabung infak sebanyak sepuluh ribu. Jumlah itu terasa besar untuk ukuran anak kecil yang bekerja, kalau menurut perkiraan Bang Juned penjual koran atau sejenisnya.

Bang Juned mengetahui dengan pasti uang yang disedekahkan anak itu sebanyak sepuluh ribu, karena selepas shalat maghrib anak itu akan duduk sebentar di pojok teras mesjid dekat kotak infak. Ia lalu mengeluarkan uang dari kantongnya, menghitungnya lalu menyisihkan selembar uang sepuluh ribuan. Uang itu lalu dimasukkannya ke dalam kotak infak yang berada didekatnya.

Anak itu dengan terang-terangan menghitung uang tanpa khawatir akan dicopet ataupun dirampas orang lain. Mungkin ia berpikir berada diarea mesjid tidak ada orang jahat, hal itu jugalah yang mendorong Bang Juned untuk mengamati anak itu. Bang Juned membantu mengawasi agar anak itu tidak diganggu orang jahat.

Sudah beberapa hari ini anak itu tidak terlihat shalat Maghrib, Bang Juned jadi khawatir mungkin anak itu sakit. Ia ingin menjenguk tapi tidak tahu rumah anak itu, ia membodohi diri sendiri kenapa tidak pernah bertanya dimana rumah anak itu. Keesokan harinya anak itu sudah datang lagi ke masjid, hati Bang Juned tiba-tiba merasa senang. Begitu selesai sahalat maghrib langsung saja diahampirinya anak itu.

“Kenapa tidak kelihatan beberapa hari ini, Dik?”
Anak itu seperti terkejut ketika tiba-tiba Bang Juned sudah berada disampingnya” iya Bang, Ibu saya sakit jadi saya harus merawat ibu”
Bang Juned merasa iba mendengar jawaban anak itu. Bagaimana mungkin anak sekecil itu merawat orang sakit, apa tidak ada keluarga lain. Bang Juned lalu mengambil posisi duduk disebelah anak itu biar ngobrolnya enak”kenapa harus adik yang merawat, memangnya tidak ada keluarga yang lain?”
“Tidak ada Bang, kami merantau ke sini. Sejak Bapak meninggal, tinggal saya dan ibu, keluarga yang lain ada dikampung”
“Adik ini tinggal dimana?”
“Saya tinggal lima gang dari mesjid Nurul Iman ini Bang, saya tinggal di Gang Melati”
“Adik ini kerja apa?”
“Saya jual koran bang”
“Berapa penghasilan Adik dari jualan koran?”
“Tidak tentu Bang, tapi kalau dirata-ratakan dua puluh ribu sehari, Bang”
“Dengan pendapatan dua puluh ribu perhari, apa tidak kebanyakan Adik sedekah sepuluh ribu?”
Anak itu tidak segera menjawab pertanyaan Bang Juned, ia malah menatap Bang Juned, “Abang memperhatikan saya, ya?”
“Abang hanya ingin memastikan kalau tidak ada orang jahat yang mengganggu Adik, karena Adik suka menghitung uang secara terang-terangan, maaf kalau itu membuat Adik tidak nyaman”
“Terima kasih Bang atas perhatiannya?”
“Iya, tapi pertanyaan saya belum dijawab”
“Maaf Bang, saya harus pulang. Insya Allah besok saya jawab pertanyaan Abang. Sekarang saya buru-buru pulang, Ibu pasti sudah khawatir menunggu. Assalamu‘alaikum” lalu bergegas meninggalkan Bang Juned
“Wa’alaikumsalam.Baiklah, sampai ketemu lagi besok”
Bang Juned menatap anak itu dari kejauhan, dengan cepat dikayuhnya sepeda berwarna merah itu. Lalu hilang dikeremangan lampu jalan.

Keesokan harinya, sehabis shalat maghrib anak itu melakukan kebiasaannya seperti biasa menghitung penghasilannya, menyisihkan selembar uang sepuluh ribuan lalu memasukkannya ke dalam kotak infak masjid Nurul Iman. Setelah itu ia langsung pulang, tapi karena hari ini ia berjanji menjawab pertanyaaan Bang Juned, ia urungkan niatnya itu. Karena Bang Juned tak kunjung muncul, ia lalu berinisiatif mencari Bang Juned di sekitar mesjid.

Di lorong menuju toilet ia lihat Bang Juned berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya.”maaf ya Abang tadi sakit perut”
“Tidak apa-apa Bang. Saya sudah bilang ke Ibu, saya pulang agak telat karena mau ngobrol-ngobrol dulu dengan Abang”
Mereka lalu duduk dipojok teras mesjid. Bang Juned mengambil posisi besandar pada tiang mesjid, sedangkan anak itu duduk bersila di depan Bang Juned.
“Jadi apa alasan Adik menyedekahkan setengah dari hasil penjualan koran itu?”
“Ketika Bapak masih hidup, Bapak sering menasihati saya untuk berputus asa dengan dunia, artinya jangan terlalu berharap dengan kehidupan dunia. Tidak usah berharap menjadi orang kaya dengan banyak-banyak menabung, itu akan melahirkan cinta kepada dunia. Kata Bapak dunia ini tidak perlu dikejar karena siapa yang mengejar dunia ia akan melayani dunia. Hidupnya tidak akan bahagi karena terlalu sibuk melayani urusan dunia yang tidak ada habisnya”

“Kata Bapak kalau mau hidup bahagia, hidup dengan mengejar akhirat dengan banyak-banyak ibadah dan sedekah, siapa yang mengejar akhirat dunia akan melayaninya. Jangan takut untuk bersedekah karena Allah akan melipatgandakan balasan bagi orang yang suka bersedekah. Itulah sebabnya saya membagi dua penghasilan saya, sepuluh ribu untuk belanja sehari-hari dan sepuluh ribu lagi untuk sedekah”
“Apa duit sepuluh ribu cukup untuk belanja, Dik” potong Bang Juned
“Tidak cukup Bang, tapi pertolongan Allah selalu ada untuk orang yang mengejar akhirat. Setiap hari ada aja tetangga yang memberi kami lauk, jadi kami tidak perlu beli lauk. Ketika Ibu sakit juga, ada orang yang membiayai pengobatan Ibu sampai sembuh”
“Untuk saat ini juga, ada orang yang mau bantu untuk memperbaiki gubuk kami yang sudah reot menjadi layak huni”

Bang Juned tertegun mendengar penjelasan anak itu, rasa kagumnya kepada anak itu berlahan-lahan tumbuh. Anak sekecil itu sudah mampu mengamalkan untuk tidak cinta dunia, penyakit hati yang sering menggerogoti iman manusia. Ia menjadi malu kapada anak itu, ego kedewasaannya mengecil lalu memantul-mantul seperti bola mainan anak kecil. Ia yang selama ini selalu mengeluh merasa kekurangan dengan gaji marbot yang kecil.

Ia terlalu cinta pada dunia sehingga silau dengan godaan dunia. Ia terlalu fokus pada gaji marbot yang kecil, padahal apabila ia ikhlas melakukannya maka pekerjaannya itu bisa jadi ladang ibadah yang besar baginya. Merawat dan membersihkan rumah Tuhan bisa ia persembahkan sebagai rasa cintanya kepada Tuhan. Ia menyesali kebodohannya selama ini, yang silau dengan dunia sehingga pekerjaannya tidak bernilai ibadah, berharap pada gaji semata. Ia telah menyia-nyiakan waktu selama lima tahun, berlalu dengan hampa. Kenikmatan dunia tidak ia dapat, pahala ibadah pun tidak ia dapat.

Tiba-tiba ia memeluk anak itu. Anak itu terkejut “ada apa Bang, apa ada kata-kata saya yang salah?”
Berlahan ia melepaskan pelukannya” tidak, Dik. Justru apa yang kamu ucapkan itu benar adanya. Abang hanya merasa terharu dan bersyukur bisa mendapat pencerahan dari anak sekecil kamu”
“Ah, Abang jangan terlalu memuji, saya hanya anak kecil yang mencoba menaati apa yang dinasihatkan Bapak saya, dan saya pun tidak mempunyai pengetahuan untuk memahami apa yang dinasihatkan Bapak”
“Kelak jika kau dewasa, kau akan memahaminya. Baiklah sekarang sudah masuk waktu shalat isya, abang azan dulu. Apa Adik tidak shalat isya dulu baru pulang?”
“Tidak, Bang. Saya tadi janji ke Ibu pulang sebelum shalat isya, ibu takut saya pulang kemalaman. Saya pamit dulu, Bang. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam, hati-hati di jalan”
“Iya, Bang” sahut anak itu lalu memacu sepedanya.
Begitu anak itu berlalu dari pekarangan masjid, Bang Juned langsung bergegas menuju ke mikropon untuk menyuarakan azan, panggilan shalat dan kemenangan. Kali ini Bang Juned mengumandangkan azannya dengan hati yang penuh kemenangan.


Penulis

1 COMMENT
  • Abdul Majid
    Reply

    Inspiratif. Terharu saya bacanya.

    Akhiratlah yg harus dikejar. Bila akhirat yg kota kejar, maka kita akan mendapatkan akhirat, dunia dan seisinya. Kalau sebaliknya kita hanya akan mendapatk dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *