Balada Ramadhan Anak Kost

Mengingat dua tahun yang lalu. Siapa yang dapat menyangka jika aku terlempar jauh ke kota perantauan yaitu kota Jember. Kota yang dapat aku tempuh selama delapan jam dari kota kelahiranku Kediri. Aku menjadi pejuang toga di sini. Belajar menjalani hidup mandiri tanpa orang tua dan sanak saudara. Ramadhan kuhabiskan selama seminggu di Jember, karena aku harus mengurusi verifikasi dan registrasi di kampus baruku. Aku masuk di FKIP, Pendidikan Ekonomi, Universitas Jember. Ayah tidak bisa menemaniku. Beliau harus tetap bekerja. Apa daya hari pertama di kota perantauan kuhabiskan seorang diri di kosan baruku di jalan jawa nomor 16, Jember. Kosan masih terlihat lengang. Maklum, saat ini sudah waktu mahasiswa liburan. Untung saja rumah ibu kos bersebelahan dengan kamarku. Jadi tidak terlalu horor rasanya.

Sore itu, niat hati ingin membeli makanan untuk berbuka puasa. Ibu kos yang mengetahuiku akan keluar mencoba bertanya, “Mau kemana, Dek?”. Aku menoleh ke arahnya dan menjawab, “Mau membeli makanan berbuka, Bu,” jawabku. Lalu ibu kosku yang baik hati dan tidak sombong itu berjalan menghampiriku yang hampir sampai gerbang kos. “Makan saja sama ibu. Ibu masak banyak hari ini.” Aku sempat menolaknya. Takut jika merepotkan. Tapi beliau terus memaksa, aku menurut saja.

Berbuka hari pertama di kota perantauan, ibu kos menyajikan makanan yang sudah kukenal, pepes pindang dan sayur asam. Bagi orang berpuasa, makanan ini sangatlah menyegarkan dan nikmat sekali. Tapi tidak bagiku. Aku suka dengan makanan ini, tapi tidak dengan rasanya. Masakan ibu kosku terasa aneh. Bumbu kelapa yang membalut pepes pindang warnanya sangat kuning, karena dominan kunyitnya. Sehingga rasanya sangat pahit. Sayur asam juga diberi daun salam dan serai, tidak terasa sedap malah terasa hambar. Tidak bisa menutupi raut wajah yang kepahitan, aku bergidik berulang kali. Untung saja saat itu ibu kos yang berada di depanku tidak sedang melihatku. Beberapa kali kupandangi ibu dan pak kosku terlihat baik-baik saja. Mereka terlihat sangat menikmati menu berbuka mereka. Pikirku, selera lidah orang jawa timur bagian Jember dan Kediri sangat jauh berbeda. Mungkin memang mereka sudah terbiasa dengan masakan seperti ini.

Sebisa mungkin aku berusaha menghabiskan makananku. Meski memakan dengan pelan-pelan. Untung saja aku tidak mengambil makanan terlalu banyak. Jadi aku tidak terlalu berat untuk menghabiskan. Bumbu kelapa pada pepes pindang tak kusentuh sama sekali. Aku hanya memakan pindangnya saja. Lidahku tak bisa kupaksakan merasakan pahitnya. Melihatku yang sudah selesai makan dan berjalan ke arah cucian piring, ibu kosku berkata, “Nambah nasi dan lauknya lagi, Dek.” Lalu aku menjawab, “Iya, Bu. Saya sudah kenyang.” Aku berbohong. Sebenarnya porsi makananku banyak dan hari ini aku tidak menikmati makananku sama sekali. Tapi setidaknya bisa mengganjal perutku.

Untuk makan sahur dini hari, aku memutuskan untuk membeli makanan sendiri setelah sepulang tarawih. Ibu kos mengajakku tarawih di Mushola belakang kos. “Kamu nanti makan sahur saja di rumah ibu,” tawar beliau saat pulang tarawih. “Terima kasih, Bu. Tapi saya ingin mandiri dan jalan-jalan di luar sambil mencari makan,” jawabku menolaknya halus. “Oh, ya sudah,” jawabnya.

Saat akan berangkat membeli makanan sahur, aku bertemu dengan seorang cewek yang masuk ke kosku. Dia menyapa ramah. Ternyata dia satu tingkat lebih tua dariku. Dia di Fakultas Ekonomi, berbeda denganku. “Kamu beli lauknya saja, Dek. Aku masak nasi, nanti saat sahur kamu ambil saja nasi di kamarku,” tawarnya. Lagi-lagi aku tidak bisa menolak tawarannya. Aku menurut, dan hanya membeli ayam goreng.

Nyatanya, saat jam sahur tiba. Aku tidak menemukan kakak cantik yang bernama Wina di kamarnya. Kamarnya terkunci, dan kulihat dari jendela, tidak kutemukan dia di dalamnya. Jengkel rasanya, aku harus sahur dengan ayam goreng dan sambal saja. Untuk membuatku kenyang, aku meminum air putih yang banyak. Aku masih ingat, masih ada seplastik roti yang lumayan besar didalam ranselku. Kusisakan separonya. Aku merasa perlu ada cadangan makanan di kamarku.

Puasa kujalani dengan banyak tidur. Aku merasa lemas karena tidak makan terlalu banyak. Saat hampir menjelang berbuka puasa, Jember diguyur hujan. Aku tidak bisa keluar membeli makanan. Untungnya aku masih mempunyai separo roti. Aku masih bersyukur, masih ada yang bisa kumakan. Kunikmati roti itu sambil mengingat ayah dan ibu yang makan di rumah dengan makanan lezat. Tapi aku tidak pernah ingin menceritakan hal ini kepada mereka. Sampai aku menuliskan cerita ini, ayah dan ibu tidak pernah tahu. Apapun kisah piluku di kos, seperti kelaparan malam hari, tidak sahur, berbuka dengan air saja, orang tuaku tidak pernah tahu. Sudah dua tahun aku menjadi anak kos, aku selalu bilang kepada mereka bahwa aku selalu kenyang.

Oleh: Anik Cahyanik

Dari: Kabupaten Kediri, Jawa Timur

kontes cerita ramadhan emir


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *