Antipati dan Tak Berguna

Zaman semakin canggih, namun tidak dengan manusianya. Kebanyakan kalangan manusia lebih memilih untuk tak peduli dengan keadaan sekitarnya karena terlalu asyik berkutat dengan duniawi dalam satu genggaman. Manusia kini bak robot yang berjalan, seperti dikendalikan oleh sebuah controller yang entah ada dimana. AKU! Akulah robot itu!
Waktu demi waktu berlalu begitu saja,namun tetap tak ada yang berubah di dalam hidupku. Padahal aku menyaksikan betul banyak perubahan pesat dalam gawai yang selama ini menemani hari – hariku. Malas, lemas, tidak peduli dengan lingkungan dan berpikir stagnan menjadi efek buruk yang ku rasakan. Merugilah aku! Jangan – jangan aku lah yang dimaksud dalam Q.S. Al-Asr ayat 2 yang berarti “Sungguh manusia dalam keadaan merugi”?
Suatu waktu aku pernah melihat sebuah unggahan video yang menunjukkan betapa tidak pedulinya manusia sekarang dengan keadaan sekitar. Kebanyakan dari mereka hanya mengeluarkan gawai masing – masing kemudian merekam atau memotret fenomena sosial yang terjadi di depan mata mereka. Alih – alih ingin membuat sebuah perubahan, ternyata mereka hanyalah juru kamera yang ingin mencari popularitas di dunia maya. Mungkin tak semua orang seperti itu, namun tak sedikit juga yang berperilaku demikian. Semua kembali pada niat awal.
Aku pun pernah begitu dan malu sekali rasanya ketika sekarang menyadarinya. Dulu ketika temanku sakit, yang bisa ku lakukan hanya “GWS ya!” atau kalau lebih niat sedikit “Cepet sembuh ya!”. Sesederhana itu rasa peduliku. Bahkan mungkin itu tak termasuk kategori peduli. Etika yang seharusnya adalah menjenguknya atau menanyakan keadaannya agar ia merasa terhibur, atau minimal mengirimkan Al-Fatihah untuknya. Kejadian lainnya adalah ketika aku berangkat ke sekolah dengan sepeda motor, lalu aku mendapati temanku sedang berada di pinggir jalan yang sepertinya sedang bertanya ke satpam tempat tambal ban terdekat dimana. Saking Antipatinya, aku tetap meneruskan perjalananku ke sekolah dengan alasan “Aduh, udah mau ditutup gerbangnya. Nanti malah gue yang terlambat.”. Akhirnya ku tinggalkan ia sendiri bersusah payah mendorong motornya ke tempat tambal ban yang jaraknya lumayan jauh itu. BODOHNYA AKU!
Selain sikap tidak peduli, salah satu hal lagi yang melekat pada diriku adalah TIDAK BERGUNA. Hampir sepertiga hari hanya ku habiskan bercengkrama dengan dunia maya, menonton kehidupan orang lain yang sukses atau scrolling di media sosial sambil berbaring di “Pulau Kapuk” ditemani dengan musik indie dan secangkir kopi panas diatas meja. Tiada hal yang lebih nikmat selain bersantai dengan cara demikian untuk seorang introvert sepertiku. Orang tuaku kerap kali protes dengan kebiasaanku yang hanya bermalas – malasan dan banyak membuang – buang waktu dengan percuma. Padahal waktu yang tersedia bisa ku manfaatkan untuk memperkuat materi di sekolah atau mengasah soft skills di masa muda seperti ini.
Tibalah suatu hari dimana Allah kasih aku petunjuk untuk merubah diri menjadi lebih baik. Ternyata media sosial ga selamanya menumbuhkan sifat antipati dan bikin hidup kita jadi tidak berguna. Kalau mau menjelajah lebih lanjut, banyak kebaikan yang bisa diambil. Aku justru mengambil langkah “Hijrah” karena media sosial. Beberapa orang temanku dengan rutin mengunggah video dakwah dari ustadz – ustadz ternama lewat akun Instagram mereka. Aku terpancing dengan clickbait pada video yang berdurasi satu menit itu. Dari beberapa kali melihat unggahan video tersebut, mulailah hati ini tergerak untuk berubah. Aku juga mulai mengikuti akun – akun dakwah. Ternyata bukan media sosial yang bikin kita antipati dan tidak berguna, melainkan konten apa yang kita lihat sehari – hari.
Kebetulan sekali momen untuk mendukung hijrah sangat pas. Saat itu kondisinya sedang bulan Ramadhan, sehingga aku lebih bergairah untuk berhijrah karena ini merupakan bulan mulia nan suci. Ku coba awali dengan mulai sholat 5 waktu di masjid. Memang awalnya sangat berat, namun lewat seminggu semua terasa baik – baik saja. Bahkan terasa tidak enak bila meninggalkannya. Minggu ke-2 aku mulai membiasakan untuk sholat dhuha dan tilawah dengan istiqomah. Minggu ke-3, aku mulai membiasakan untuk ringan tangan dalam bersedekah.
Alhamdulillah, kini aku merasa kehidupanku lebih baik. Tentunya merasa lebih berguna dan bermakna dalam hidup. Aku juga mulai bisa peka terhadap keadaan disekitarku dan tidak malas untuk peduli. Ternyata benar, spirit untuk berhijrah meninggalkan sesuatu yang buruk untuk menjadi lebih baik itu luar biasa manfaatnya. Hidup menjadi lebih tenang, damai, dan terasa lurus. Namun yang namanya hijrah, pasti ada godaan iman yang datang dari berbagai arah yang siap menyesatkan kita kembali. Tinggal kita yang menyikapinya bagaimana.
Berubahlah dan berhijrahlah karena Allah sebelum kita terlambat menyadarinya. Selagi masih ada usia, cobalah untuk membuka hati untuk kebaikan agar dapat masuk ke dalam hidup kita. Berkutat dengan dunia seperti media sosial adalah hal yang sah – sah saja, selama apa yang kita ikuti adalah hal – hal yang bermanfaat dan membawa pada kebaikan, bukan justru yang menggelapkan hati dan pikiran. Jangan sampai terlalu sering berinteraksi dengan orang di dunia maya, tapi lupa peduli dengan yang membutuhkan kepedulian kita di dunia nyata. Bijaklah dalam berbuat, karena kita hanya hidup satu kali di dunia fana ini.


Penulis

1 COMMENT
  • Adelia safira
    Reply

    Makasi untuk artikelnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *