Antara Ramdhan dan Separuh Agama

Ramadhan adalah bulan kerinduan. Entah dirindukan oleh para pemburu janji pintu surga yang terbuka lebar atau mereka yang sekedar mengidamkan THR dan segala pernik lebaran selepas ramadhan.

Berbeda dengan ramadhanku kali ini. Di ujung ramadhan sudah terbayang hadiah yang lebih indah dibandingkan sekedar baju baru ataupun opor ayam. Sebuah hadiah berkaitan erat dengan kelanjutan episode kisah dalam kehidupanku.

Proposal yang aku ajukan kepada ustadzah beberapa bulan lalu telah menemukan kelanjutan cerita perjalanannya. Sebenarnya kabar gembira ini sudah hadir sekitar sebulan sebelum kedatangan ramadhan. Namun karena aku sedang mengadu nasib dan terlibat kontrak kerja di ibu kota, mau tidak mau perjalanan proposal masa depan harus terhenti sejenak.

Seperti halnya hadiah-hadiah pada umumnya, untuk mendapatkan hadiah ini tidaklah mudah. Aku harus menghadapi berbagai kegamangan dan keraguan yang datang silih berganti.

Keraguan pertama berkaitan dengan perasaan masih terlalu muda untuk berumah tangga. Baru saja aku merampungkan tugas belajar di bangku kuliah dan menyandang gelar sarjana. Kontrak kerja yang aku jalani pun belum ada hitungan tahun. Apakah kesenangan masa mudaku harus terenggut secepat ini?

Tidak terbayang betapa aku harus terjebak dalam kompleksitas problematika pelik rumah tangga. Mulai dari harga kebutuhan pokok yang fluktuatif, cicilan rumah, dan seabrek kesibukan tak ada habisnya mengurusi setiap sudut rumah. Belum lagi jika si kecil hadir ditengah keluarga.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk menepis pemikiran ini. Selalu aku katakan dalam hati bahwa aku termasuk orang yang beruntung. Di usia yang cukup belia, proposal masa depanku sudah memberikan kabar baik. Padahal di luar sana masih banyak gadis-gadis solehah yang umurnya sudah sangat matang namun belum juga mendapatkan kabar baik proposalnya telah dipilih salah satu laki-laki solih.

Kebiasaanku menjadi silent reader yang suka menyimak obrolan teman-teman di grub whatsapp ataupun status sosial media membuatku semakin mantap melanjutkan perjalanan baik ini. Tak sedikit teman-teman seusiaku atau bahkan lebih senior yang galau dan mengkhawatirkan lantaran kehadiran pendamping hidup tak jua datang.

Keraguan kedua adalah tentang memilih diantara dua pilihan. Aku hanyalah gadis biasa yang masih jauh dari gelar solehah. Aku tak semulia tokoh utama dalam sinema FTV dimana ada gadis yang rela meninggalkan laki-laki mapan demi seorang lelaki miskin yang baik hati.

Kala itu aku memang dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit. Pilihan pertama kakak tingkatku di kampus. Aku cukup mengenalnya dan memiliki gambaran track record aktivitas dakwah selama di kampus. Tak ada alasan untuk menolaknya selain masalah materi yang belum bisa dikatakan ‘mapan.’ Maklumlah, aktivis kampus terlalu sibuk dengan berbagai kegiatan hingga kuliahnya saja baru selesai pada tahun ke enam.

Sebaliknya, pilihan kedua seorang laki-laki yang sangat mapan. Ibarat kata jika kamu menjadi istrinya, maka kamu tak perlu khawatir mau makan apa meskipun kamu tidak bekerja. Posisinya sebagai Pegawai Negeri Sipil alias PNS menjadi alasan banyak orang tua menolak menjadikannya menantu.

Namun pilihan kedua ini sama sekali tidak aku kenal. Sedangkan ustadzah tidak memperkenankan aku melihat kedua proposal dalam satu waktu. Aku hanya boleh menjalani proses dengan si kakak tingkat yang sudah memasukan proposal kepada ustadah terlebih dahulu.

Perkenalanku dengan pilihan kedua hanya sebatas kepo akun sosial media dia. Itupun belum bisa memberikan gambaran yang utuh lantaran dia memang jarang mengupdate status sosial media.

Posisiku yang masih ada di tanah rantau memberikan keuntungan. Aku masih bisa mengulur waktu untuk memikirkan siapakah yang terbaik diantara keduanya. Deadline waktu yang masih bisa aku gunakan sampai akhir ramadhan. Aku harus memutuskan apakah melanjutkan proses dengan kakak tingkat atau mengakhirinya.

Beberapa kali aku mendirikan sholat istiqoroh agar mendapatkan kemantapan hati. Ternyata semuanya memang tak semudah dalam film religi yang bergantian menghiasi bioskop.

Kadang aku senang menghitung hari menjelang hari kepulangan. Namun disisi lain aku juga enggan jika hari-hari ramadhan terus berjalan tanpa bisa aku hentikan. Semakin dekat ramadhan berakhir, maka aku harus segera memutuskan langkah apa yang harus aku ambil.

“Rencana mudik kpn Dik? Masih ingat kan Dik agenda ta’aruf?” Begitu sebuah pesan singkat yang dikirimkan ustadzah.

Kala itu aku duduk di serambi mushola stasiun Pasar Senen untuk menunggu kereta yang akan mengantarkanku mudik. Tak terasa air mata meleleh. Ya Allah aku harus menjawab apa? Aku sendiri masih bingung apakah aku benar-benar yakin mau melanjutkan proses dengan kakak tingkat.

Aku titipkan tas dan barang-barang kepada calon penumpang yang juga sedang menunggu di serambi mushola. Aku mengambil air wudzu. Sejuknya air wudzu cukup memberikanku ketenangan. Aku putuskan untuk membaca surat cinta Sang Maha Rahman sebagai obat hati.

***

Ramadhan memang bulan penuh berkah. Susah payah aku menguatkan keyakinan dalam hati orientasiku menyempurnakan separuh agama tak semata-mata materi dunia. Lebih dari itu, aku ingin memiliki imam yang mampu mengarahkanku semakin dekat dengan Sang Maha Cinta.

Aku selalu gagal menemukan alasan menolak kakak tingkat. Hanya ada satu alasannya, harta dunia.

Dengan mengucapkan basmalah, aku mantap mengatakan kepada ustadzah bahwa aku bersedia melanjutkan proses ta’aruf. Bukankah masa depan selalu menjadi misteri. Tak ada yang tau bagaimana kelanjutan episode kehidupan kakak tingkat.

Terlalu naif memikirkan materi dunia jika aku masih memegang teguh keyakinan bahwa Allah maha kaya.

Di penghujung ramadhan dia datang menemui bapak ku bersama pakdenya untuk menyampaikan niat baiknya. Semoga keberkahan ramadhan juga menyertai keberkahan langkah kami untuk menyempurnakan separuh agama.

Oleh: Tri Nurhayati

Dari: Sukoharjo, Jawa Tengah


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *