ANTARA FARIS DAN SENI

ANTARA FARIS DAN SENI
Malam yang gelap tetap ditemani bintang di atas sana. cahaya bintang berpendar memancar ke setiap sudut. Menerangi senyum bersama asa yang menjulang. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. Begitu juga dengan abah dan Umiknya Faris. Beliau berdua menginginkan Faris melanjutkan kuliah Ushuluddin sambil nyantri di Pelemahan agar kelak ia dapat melanjutkan tongkat perjuangan abah di pesantren. Faris menolak keinginan tersebut. Ia mempunyai cita-cita sebagai seorang seniman.
Faris dengan postur yang tinggi semampai. Hidung mancung dan kulit sansatnya menjadi ikon ia terlahir dari keturunan keluarga pesantren. Berbanding terbalik dengan pakaian yang ia kenakan. Setiap yang baru mengenalnya mungkin akan mengatakan bahwa ia anak dari seorang seniman pula. T-shirt yang digunakan tak pernah matching dengan jeansnya.
Sekalipun ia mempunyai pendapat sendiri dari abah dan Umiknya, ia tetap sopan mendepat keduanya. sikap dan ekpresinya sudah mewakili cara penolakannya.
“Faris, abah mau ke Pare. Nanti sore ada ngaji tajwid. Kamu yang ngisi,” pinta Abah.
“Punten, Bah. Faris mau ke Gor kota. Jadwalnya jaga stand klub Fiber Castelango pameran lukisan,” jawabnya dengan intonasi sekenanya, kemudian ia lanjutkan, “Awe wonten griyo. Tasih tilem , Faris bangunkan ya.”
Tanpa menunggu persetujuan Abah, ia langsung masuk rumah menuju kamar Awe, adik kandung yang umurnya hanya selisih sembilan menit lahir setelahnya, dan mempercepat langkah untuk segera menjauhi amanah Abah.
***
Di ujung daun menetes embun bening. Setiap tetesnya menyejukkan ujung kuku yang mengering. dinginnya merambat hingga ke qolbu. Menjadikan setiap insan merindukannya bak oase. Apalagi di Ramadhan yang penuh pahala.
Keberadaan pesantren al Hikam menjadi embun bagi penduduk sekitar. Banyak yang mendukung program kegiatannya. Santrinya pun setiap tahun mengalami kenaikan jumlah. Keistiqomahan civitas dalam menjaga culture dan struktur, mempertahankan mutu pendidikan di batang tubuh al Hikam. Bertolak dari hal tersebut, Abah menemukan bibit baik pada diri Faris, putra sulungnya. Selain sebagai insan yang dikaruniai kecerdasan intelektual tinggi, ia juga ramah dan gemar menyapa setiap yang ia temui.
“Faris, dari mana, Le?” tanya Abah mengejutkannya ketika ia mencoba membuka pintu dan melewati ruang tamu dengan mengendap-endap. Yang dipanggil namanya pun terkejut dan mencoba menenangkan diri dengan sikapnya yang seolah tak diliputi rasa bersalah karena sudah membuat Abah menunggu kepulangannya. Malam telah lama menyapa. Tanpa sinar lampu di ruang tamu, detik jam nampak terasa bahwa sepertinya sudah jam sebelas malam.
“Ndekor kendaraan untuk pawai besok, Abah,” jawabnya jujur. Hal ini pula yang menjadi sisi baik Faris dihadapan Abahnya. Ia selalu mengatakan sesuai kenyataan.
“Jam berapa ini, Nak?” tanya Abah kembali.
Faris hanya menundukkan kepala. ia tahu bahwa pertanyaan itu awal dari Abahnya akan ndukani dirinya yang sudah meninggalkan amanah. Malam itu bersamaan dengan malam Jumat Legi yang mana ia dapat amanah mimpin amaliyah di pesantren bakda maghrib. Hanya itu yang ia iyakan ketika di diminta ngimami jamaah untuk beberapa kegiatan rutin.
Berbeda dengan hari itu Faris mendapat job mendekor mobil pawai lomba patrol. Tak jarang sejak di bangku SMA ia mahir mengumpulkan recehan sendiri dari kegiatan seni. Bersama dua temannya, ia menerima job itu. bukan Faris bila tak siap menerima resiko. Ia tahu resiko apa yang akan dia terima. Ia hafal takzir apa dari abah buatnya karena meninggalkan jamaah.
“Kenapa tidak pamit Abah kalau kamu tidak bisa mimpin Rotib malam ini?” sergah Abah.
Hening masih menyelimuti.
“Jamaah sudah menunggu dan kamu tahu maghrib itu waktunya singkat,” lanjut Abah.
“Dan akhirnya Awe bersedia menggantikan, kan, Bah? Kenapa tidak dia saja yang ngimami? Dia tak ada kesibukan, kan?” ujarnya mulai membela diri.
“Ini bukan soal penggantinya, tapi ini tentang tanggung jawab kamu. Selain meninggalkan tanggung jawab, Abah yakin kamu juga meninggalkan tarawih,” geruduk pertanyaan dari Abah.
“Faris, tinggalkan aktivitasmu itu kalau hanya demi rupiah. Abah dan Umik masih akan membiayai studimu, Nak, kalau kamu fokus pada kuliah dan pindah ke Ushuluddin, bukan seni,” papar Abah.
Abah berlalu meninggalkan Faris yang terpaku berdiri di samping meja ruang tamu. Ia masih menundukkan kepala. selangkah lagi Abah sampai pada kamar. Faris menghentikan langkah beliau.
“Abah…,” panggilnya.
“Faris hanya ingin belajar mandiri. Sebagai laki-laki, Faris tak bisa terus-terusan menggantungkan diri pada Abah dan Umik. Faris menyukai bakat ini, Bah. Faris selalu menemukan cahaya terang kalau sudah berurusan dengan seni. Tapi mengapa Abah tak pernah merestui. Pangapunten, Abah, kalau Faris mulai memaksa kehendak,” ucapnya.
“Belajar melaksanakan nasihat orang tua,” sahut Abah singkat.
Kalimat terakhir dari Abah membuat anak sulungnya mulai geram. Ia masih tidak paham kenapa orang tuanya punya tujuan yang bertolak belakang dengan keinginannya. Kenapa Abah dan Umik tak pernah merestui kegiatannya. Betapa ia merasa nyaman dengan seni yang ia geluti.
Faris mempercepat langkah menuju kamarnya. Ia melewati Umik yang ikut mendengar perbincangan keduanya di samping selambu tengah. Beliau menatap putra sulungnya dengan iba. Tapi beliau pun tak bisa berkata banyak. Kalau sudah keputusan Abah, Umik makmum di belakangnya.
Faris nyuwun sewu melewati Umik dengan hati masih berantakan. Ia bahkan tak sempat salim. Ia meletakkan helm di rak dan masuk kamar dengan pintu tertutup keras. Umik masih diluar sana. masih memandang anaknya meskipun sudah hilang dibalik pintu kamar. Ingin rasanya beliau menyusul Faris di kamar untuk sekedar menemani kalut di hatinya. Tapi Umik mengenal Faris bukan sejak kemarin sore. Umik sudah hafal bagaimana Faris akan menata perasaannya sendiri.
***
Lantunan ayat suci al quran terdengar dari surau dan langgar-langgar. Sesekali diselingi sahutan imam membangunkan warga untuk bangun sahur. Abah, Umik dan Awe sudah di meja makan. Abdi ndalem, Mbak Mia, telah menghangatkan semua makanan dan menyajikannya di tengah-tengah keluarga ini. sudah empat tahun ini ia mengabdikan diri pada keluarga pesantren tempat ia ditempa ngaweruh ilmu .
“Umik mbangunkan Faris dulu, nggih, Abah,” pamit Umik.
Abah hanya memangguk sambil menyentuh teh hangat di sampingnya. Sementara Awe hanya memandang kosong ke depan melihat suasana dini itu. ia kemudian mengaduk-aduk kembali teh yang sudah diaduk oleh Mbak Mia.
Di kamar Faris, Umik membuka pintu dengan perlahan dan berdiri di samping bayang.
“Ris, sahur, Le,” kata Umik membangunkan anaknya sambil menggoyangkan kaki Faris.
“Hmmmm,,,” jawabnya singkat.
“Imsak kurang lima belas menit, kamu belum bangun. Sudah ditunggu Abah sama Awe sahur bareng,” ajak Umik.
“Fa…ris bo…leh sahur di kamar?” pintanya.
“Makam kok di kamar toh, Le,” jawab Umik.
Setelah mendengar jawaban Umik yang terakhir, Faris tak kunjung bangun. Ia masih mendekap di balik selimut. Selimut itu menutupi kepalanya juga. Umik menarik selimut dan tangan beliau menyentuh lengan Faris.
“Kamu sakit, Ris? Ini badanmu panas sekali, Le,” tanya Umik dengan khawatir mendapati anak sulungnya tiba-tiba menggigil. Yang ditanya masih membisu.
Umik keluar kamar menuju dapur melewati Abah dan Awe di meja makan. Beliau meminta tolong Mbak Mia masak air hangat untuk ngompres.
“Mbak, ada air hangat?” tanya Umik pada Mbak Mia.
“Telas, Umik,” jawab Mbak Mia.
“Kalau begitu, tulung dimasakkan lagi. Mas Faris demam perlu dikompres,” pinta Umik.
Umik menunggu air hangat dan kembali ke meja makan. Ibu menceritakan kondisi Faris pada Abah. Abah masih dengan sikap tenang mengambil piring di depannya dan memberikan pada Umik.
“Dibawakan ke kamar saja sahurnya. Yang penting dia mau makan,” kata Abah kepada Umik. Abah bukan benar-benar ayah yang tega membiarkan anaknya dalam lilitan rasa sakit. Meskipun bagaikan karang dihempas gelombang, Abah tetaplah memberikan yang terbaik bagi anaknya.
Umik berjalan membawa seporsi sahur ke kamar Faris. Mbak Mina mengikuti di belakang sambil membawa air hangat pada baskom. Ada handuk kecil juga di dalamnya. Setelah meletakkan air hangat, Mbak Mia pamit keluar. Umik mulai merawat Faris. Sambil menyeka kompres pada kepalanya, Umik berbisik pada Faris.
“Ris, jangan membantah Abah. Apalagi melawan keputusannya. Tadi malam kamu memaksa membela diri di depan Abah, sekarang kamu demam. Umik ndak mau terjadi apa-apa dengan kamu gara-gara Abah ndak restu, “ kata Umik lirih.
Faris masih menggigil. Ia membisu di balik sentuhan hangat Umiknya.
***
Senja menyapa manusia dengan begitu indah. Ufuk barat dipenuhi warna jingga. Sungguh mempesona untuk dipandang mata. Para santri sudah memenuhi musholla. Kultum diuraikan menjelang berbuka. Untuk takjil sudah disediakan air gelasan dan kurma.
Musholla itu didirikan tak jauh dari ndalem . Lebih tepatnya berhadapan. Ada halaman yang membentang luas diantara keduanya. Jamaah sholat sering kali diimami Abah. Kalau sedang ada udzur, maka Akang-akang pondok yang membadali.
Faris baru melewati pintu ruang tamu. Ia menghampiri Umik yang sedang membaca kitab di teras. Belum sempat ia mengutarakan kalimat pada Umiknya, seorang santriwan datang menghampirinya sambil ngincik karena ada yang ingin disampaikan pada Faris.
“Gus Faris, Abah tasik tindakan , badalnya Abah hari ini sedang pulang kampung. Jamaah Maghrib belum ada imamnya, Gus,” terang seorang santriwan, Musa.
“Ada Awe di ruang tamu. Kang Musa masuk saja. Saya juga mau pergi,” jawabnya sambil merogoh saku celana meraih kunci motor.
“Faris…,” cegah Umik sambil memberikan isyarat dengan tatapan mata beliau agar anaknya segera menuju musholla.
“Faris sampun janji buka bersama Dewan Kesenian, Umik,” jawabnya.
Santriwan yang sedari tadi memandang wajah Faris, kini pamit undur diri setelah mendapat isyarat dari Umik bahwa beliau yang akan membujuk Faris ngimami Maghrib.
“Kamu sudah pamit Abah? Kamu kan juga masih sakit, Ris,” tanya Umik.
“Umik…,” rayunya dengan wajah penuh iba.
“Faris, ngimami,,,!!!” perintah Umik.
“Heran juga, anaknya Abah dan Umik ini Cuma dua, tapi ngebeda-bedainnya jelas banget. Yang satu dilarang-larang, yang satu dipuji-puji,” sesal Faris.
“Hushh, sudah. Ndak sopan prasangka yang ndak-ndak ke orang tua. Lebih baik sekarang kamu bersiap, ambil kopyah dan berangkat ngimami, “pinta Umik.
“Mboten prasangka. Kenyataannya memang ngoten, kan, Umik,” bela dirinya.
“Berangkat ngimami!” pinta Umik sekali lagi.
Faris meraih tangan umik dan memaksa salim untuk melanjutkan pergi ke halaman mengambil motor di bawah pohon mahoni. Motor itu ia kemudikan keluar pagar pondok. Kini bayangan Faris sudah tak nampak dari pandangan Umik.
Umik masih geleng-geleng kepala di teras. Beliau merasakan heran tiada henti perubahan sikap putra sulungnya semenjak memasuki masa puber. Watak suka asal-nya jadi kaku sulit dibengkokkan. Suara lafadz tarhim menyadarkan beliau untuk segera memanggil Awe dan memintanya ngimami di musholla.
***
Musim sedang tak menentu. Di siang hari panas menyengat. Malam hari hujan mengguyur deras. Dua hari gerah. Sehari kemudian dingin lagi. Kali ini langit sudah gelap. Tak ada pendar bintang di sana. Sang rembulan tetap yakin meskipun bintang tak nampak tapi ia tetap ada dan menemaninya menyinari bumi di malam hari.
Abah dan Umik duduk bersama di teras setelah tarawih. Awe datang membawa dua mangkuk kolak yang berhasil dibuat sama Mbak Mia. Abah pun meminta Awe untuk duduk bersama beliau berdua. Awe manut dan mengambil kursi plastik dari ruang tamu.
“Bagaimana kuliahmu, Le?” tanya Abah.
“Alhamdulillah berkat doa Abah dan Umik, Awe bisa adaptasi dengan tugas-tugas kuliah. Masuk semester dua ini, jadwalnya ada dua kali kunjungan ke rumah sakit untuk mengamati layanan di sana,” jawab Awe.
“Sambil kuliah, ngajine kudu tetep istiqomah. Mbesok dadi dokter sing sholih. Senajan dokter tetep iso ngimami. Iso ngerumat santri,” nasehat Abah.
“Injeh, Bah, pangestune,” jawab Awe.
“Abah ndak minta sing aneh-aneh. Abah mung kepingin kowe lan Faris iso nutukne perjuangan Abah ngeramut pesantren, ngeramut agama. Sopo wonge sing gelem ngeramut agama, uripe bakal diramut karo Sing Kuwoso ,” pesan Abah.
Awe dan Umik hanya manggut-manggut menyimak titah Abah. Umik paham yang dimaksudkan Abah. Secara tak langsung, Umik pun dapat amanah untuk meluluhkan hati Faris yang menolak masuk Ushuluddin karena berat meninggalkan seninya.
Di depan pandangan yang mulai menjauh, tatapan mata Abah, Umik dan Awe mendapati sebuah motor yang tak asing memasuki halaman. Sorot lampu depan langsung diturunkan. Dua manusia berboncengan turun dari sana. seseorang memandu jalan orang disampingnya karena jalannya tertatih-tatih.
“Assalaamu’alaikum,,” sapa keduanya.
“Faris??” sahut Umik dengan panik. Beliau mendapati anak sulungnya tertartih-tatih. Darah segar menetes dari tulang kering sebelah kiri. Ia pun berjalan tak beralaskan kaki.
Abah turut memperhatikan kondisi Faris. Meskipun nampak panik, namun katenangan beliau mampu mengcover perasaannya. Abah meminta Awe membantu memapah abangnya masuk rumah.
Erwin, pemuda yang mengantarkan Faris pulang, ia dipersilahkan Abah duduk di teras. Sementara di dalam sudah ada Awe membantu Umik membersihkan luka Faris. Erwin teman satu club Fiber Castelango dengan Faris.Ia menceritakan kronologi kejadian yang telah menimpah temannya. Di perjalanan pulang dari Kedai Espresso, kedai yang sedang viral di Pare, Faris mengendarai motor sendirian. Dua temannya berboncengan trtinggal di belakang. Ketika di simpang tiga Tulungrejo, kendaraan mobil bak di depan Faris berhenti mendadak. Faris yang masih dalam kecepatan akhirnya lepas kontrol. Begitu pula dengan kendaraan di belakangnya turut menubruk motor Faris. Beruntung ia dan motornya jatuh ke kiri sehingga terhindar dari ramainya lalu lintas. Kaki kirinya tertindih body motor sehingga ada yang terluka.
“Semoga di bagian tubuh yang lain tidak ada luka atau memar. Yang ketahuan hanya yang di tulang kering. Kalau begitu saya langsung pamit, Abah. Punten,” kata Erwin mengakhiri kalimat. Ia pun sudah beranjak dari kursinya dan salim ke Abah.
Abah menyaksikan kepergian Erwin dari teras menuju halaman pesantren. Abah menarik diri dari sana dan masuk rumah untuk memastikan kondisi Faris sudah tertangani.
“Jangan disentuh pakai tangan!” cegah Awe ketika mendapati tangan Faris ikut menyentuh luka di kakinya, “Tunggu sebentar, aku ambilkan anestesi!”
“Perlu kita bawa ke Puskesmas, We?” tanya Abah yang baru datang dari depan.
“Mboten, Bah. Cuma luka ringan,” sahut Faris.
“Perlu, Bah, meminimalisir infeksi,” jawab Awe, “Awe coba hubungi puskesmas terdekat, mungkin di IGD masih ada yang piket.”
Awe berdiri dari duduknya sambil memandang wajah abangnya. Kedua mata mereka bertemu. Ada isyarat dari bola mata Faris agar mengurungkan niat untuk membawanya ke puskesmas. Hanya luka ringan, menurutnya. Tapi berbeda menurut pancangan Abah dan lainnya bahwa luka kecil harus segera ditangani agar tidak menjalar lebar.
***
Suasana di kota santri, senja pagi disapa dengan tausiyah, senja sore ditutup dengan kultum. Selepas jamaah subuh, santri tidak langsung beranjak. Ada pengajian pagi yang diisi para pengasuh al Hikam. Sambil menunggu kyai datang, mereka melafalkan kalimat-kalimat thoyyibah yang sudah menjadi amaliyah keseharian.
“Ris, Abah ada jadwal ngisi Ahadan di Kembangan. Ngaji isuk kamu yang ngisi, ya. Kitab Taisirul Kholaq bab adab di masjid. Kitabnya di meja ruang tamu,” pinta Abah.
“Abah… Faris semalam belum tidur, tasik ngantuk, Awe mawon, nggih,” tawarnya.
“Faris, berangkat!” perintah Abah.
Meskipun dengan hati berat, Faris tetap melangkahkan kaki menuju musholla. Suara pengajian mengiringi aktivitas pagi di pesantren sampai ke sudut ndalem. Ada Mbak Mia sedang membereskan peralatan makan di dapur ditemani Umik.
“Gus Faris kalau ngisi ngaji mantep, nggih, Bu nyai,” komentar Mbak Mia.
“Mantep kepriye?” tanya Umik.
“Kulo yang ikut menyimak dari sini mawon sudah nangkap dengan jelas isi kitab yang dibahas. Pengucapannya meyakinkan, contoh-contoh yang diberikan juga dekat dengan kehidupan keseharian santri. Mboten contoh yang muluk-muluk . Bisa menempatkan bahasa yang dipakai sesuai dengan komunitas yang dihadapi,” jelas Mbak Mia.
“Yo wes ngunu iku pancen Faris. Mangkane Abah nyuwun Faris melbu jurusan Ushuluddin, tapi bocahe malah melbu jurusan seni,” tambah Umik.
“Belum lagi humorisnya, bikin yang tumut ngaji mboten ngantuk,” tambah Mbak Mia.
Mbak Mia yang setiap harinya berkutat di bagian dapur turut mengakui kemahiran Faris dalam berdakwah. Teringat pepatah gajah di pelupuk mata tak nampak, semut di seberang sana sangat terlihat. Faris merasa dirinya bakat dan mampu sekali dalam seni. Ia tak melihat sisi kemampuan dan peluang yang lain. Orang di sekitarnya yang akhirnya mampu merasakan kepiawaiannya dalam ngaji.
***
Sebagai manusia yang terlahir ke dunia kita tak bisa memilih untuk dilahirkan dimana dan di tengah-tengah keluarga apa. Terlahir di tengah pesantren menjadi hal yang perlu disyukuri. Banyak orang dari keluarga bukan pesantren bahwa lahir di tengah keluarga pesantren banyak mambu dungo .
Di waktu kecil, Faris dan Awe bergiliran diajak Abah menghadiri undangan pengajian. Di antara keduanya, Abah melihat Faris menuruni tabiat kakeknya, pendiri al Hikam, sebagai mubaligh. Semakin beranjak remaja, muncul hal baru yang lebih menarik perhatiannya dari seorang mubaligh, yakni menjadi seniman. Menurutnya idealisnya sementara, tidak ada hal yang membatasinya dalam berseni. Seorang seniman bebas mengekspresikan ide-ide dan nuansa hatinya dalam berbagai media.
“Awe, sore nanti kamu buka puasa di rumah, kan?” tanya Abah ketika melihat Awe keluar kamar.
“Mboten, Abah. Wonten jadwal nge-Lab ten kampus,” jawab Awe.
“Oh, ya, wes. Tadinya mau minta tolong buat ngisi kultum sebelum buka puasa sore ini,” tambah Abah.
“Ngapunten, nggih, Abah. Awe belum bisa melaksanakan amanah dari Abah,” pinta maaf Awe.
“Ndak pa-pa. lain waktu isih iso. Gek ndang berangkat,” jawab Abah.
“Inggih, Abah,” balas Awe.
Dialog Abah dan putra bungsunya di ruang tengah tertangkap oleh telinga Faris yang sedang menyaksikan siaran pertandingan badminton di ruang tengah. Ia ikut menyahuti Abah dan Awe.
“Hmmmm, anak kesayangan Abah,” sindir Faris pada adiknya.
“Kalau Awe yang pamit, diiyain, kalau Faris yang pergi disangkalin,” tambahnya.
“Abah,,,sebenarnya Faris ini anak Abah sama Umik, bukan?” imbuhnya.
Abah mendengar pertanyaan anak sulungnya sambil menarik napas panjang. Abah masih nampak tenang melihat tingkah anaknya. Lain dengan Awe yang sudah geram mendengar ucapan saudaranya yang dirasa tidak sopan dan tidak perlu dikeluarkan dari ujung bibirnya.
“Nggak sopan ngomong gitu ke Abah, Ris,” gertak Awe.
“Karena benar adanya gitu. Kalau kamu yang pamit, di-iya-in. Kamu yang ada acara di-ok-in. kamu yang jadi bener terus di depan Abah dan Umik,” gumam Faris.
“Kamu salah, Ris…,” sanggah Awe.
“Iya, memang aku yang selalu salah di mata keluarga ini,” sahut Faris.
“Awee…,” panggil Abah, “Ndak usah ngeladeni abangmu.”
“Anak nggak punya rasa terima kasih ya macam kamu ini,” Awe mulai marah.
Abah tak ambil pusing. Beliau undur diri dari hadapan dua putranya. Seolah Abah sudah paham alur pikiran Faris yang tersulut oleh ucapan Awe. Abah berjalan ke belakang menemui Umik. Beliau memberi isyarat bahwa dua putranya sedang berdebat. Umik menghentikan aktivitas di belakang dan menyusul kedua putranya di depan.
“Emang bener, kan. Seolah cuman kamu yang disayang Abah dan Umik. Yang selalu dibolehin ini dibolehin itu. Yang benar cuman kamu. Sejak kecil udah jelas banget ngebeda-bedainnya,” balas Faris.
“Justru sebaliknya. Aku yang seharusnya iri sama kamu. Kamu yang selalu dapat fasilitas dari Abah dan Umik. Kamu yang selalu dijagoin Abah dan Umik,” bantah Awe.
“Omong kosong macam apa ini!” serang Faris.
“Faris..! Awe..! suaranya kedengeran sampai luar,” sahut Umik.
“Ego kamu yang masih ketinggian, Ris,” lanjut Awe. Bersama kalimat terakhirnya, Awe menyahut jas nya dan melangkah keluar dengan begitu cepat. Ia membawa geram yang memenuhi dadanya hingga terasa sesak. Tak menyangka saudaranya bisa menyulut emosinya dengan kalimatnya yang aneh.
***
Ramadhan telah sempurna tiga puluh hari. Gema takbir bersahut-sahutan di angkasa. Bulan yang penuh kemuliaan akan meninggalkan umat muslim. Saatnya manusia kembali ke fitrah dengan saling memaafkan.
Al Hikam masih ramai lalu lalang jamaah warga kampung menunaikan sholat ied di masjid. Para santri sebagian sudah di kampung halaman masing-masing, sebagian lagi lebih memilih untuk menetap di pondok. Mereka yang berasal dari luar pulau, merayakan lebaran di pondok sambil membantu keluarga ndalem hormat tamu.
Budaya sungkem masih melekat di hati para santri. mereka yang jauh dari keluarga, hanya mampu memanjatkan doa agar sanak keluarga di sana senantiasa diberikan kekuatan dan kesehatan serta kesabaran untuk kelak bisa berkumpul kembali. biasanya para santri menggunakan fasilitas telepon pondok untuk menghubungi keluarga masing-masing. Setelah rindu tersampaikan, para santri ini melanjutkan sungkem pada kyai dan para pengasuh pesantren.
Para tamu silih berganti berdatangan memenuhi al Hikam. Ada dari kalangan jamaah pengajian, para alumni juga para jawara yang mendukung keberlangsungan al Hikam.
“Assalamu’alaikum,” sapa dua orang tamu bersamaan yang datang di sore hari ketiga lebaran.
Dua orang tamu tersebut masih nampak muda. Satu pemuda mengenakan baju taqwa biru dan celana hitam. Ada songkok menutupi mahkota rambutnya. Tinggi semampai bisa jadi seratus enam puluh lima sentimeter. Ia membawa sebuah kardus yang dijinjing dengan tangan kirinya.
Seorang pemuda lainnya mengenakan kaos bergaris putih-biru dan krah rendah. Memakai jas hitam yang dibiarkan terbuka. Kacamata bening menyertai parasnya yang mirip keturunan arab. Bersama tangan kirinya sebuah tas kertas yang agak besar.
“Wa’alaikum salam,” jawab seorang santri abdi ndalem, Rakha. Ia berasal dari Sumba. Sudah nyantri empat tahun. Ia belum pernah pulang ke kampung halaman semenjak ia mondok di al Hikam. terbayang jarak dan biaya perjalanan yang tidak sedikit. Sambil mondok, ia melanjutkan ke jenjang aliyah.
“Pak Kyai dateng ndalem ?” tanya seorang yang berkacamata.
“Wonten, monggo pinarak melbet ,” kata Rakha mempersilahkan keduanya masuk.
“Ditenggo sekedap ,” lanjutnya.
Rakha masuk ke ndalem melalui pintu samping ruang tamu. Para abdi ndalem banyak yang menggunakan pintu ini untuk kebutuhan masuk ndalem.
“Gus, ada tamu untuk Abah,” kata Rakha ketika berpapasan di balik pintu.
“Siapa, Kang?” tanya Faris.
“Dua pemuda, satu berkacamata, satunya berkopyah,” jawab Rakha.
“Ok. Terima kasih. Abah di dalam. Biar aku temui dulu tamunya,” balasnya.
Faris melangkah ke teras. Ia memandang sekilas tamu yang dimaksudkan oleh Rakha. Nampak dari samping ia hampir mengenali sosok tersebut. Ingatannya masih memutar mundur waktu untuk melihat daftar para santri yang pernah mondok di al Hikam. langkahnya masih melambat. Hampir sampai di ruang tamu, tetapi nama itu belum muncul juga. Wajah tamunya lebih dulu menoleh kepadanya. semburat senyum terlempar dari ujung bibir mereka.
“Gus Faris!” sapa keduanya bersamaan.
“Candra?” sapanya pada pemuda bersongkok hitam.
“Luqman?” sapanya pula pada pemuda berkacamata. Yang disapa menganggukkan kepala sambil mengulurkan tangan untuk salaman dengan tuan rumah.
“Bagaimana kabarnya, Gus?” tanya Candra mengawali kunjungan sore itu.
“Jangan memanggil gus, panggil Faris saja. Kita seumuran, kan,” bela dirinya.
“Gus Faris selalu seperti itu sejak dulu, hehehe, Gus Faris, kan, putra dari Kyai yang sudah mendidik saya,” balas Candra.
“Itu dulu. Santai aja,” jawabnya singkat.
Candra dan Luqman adalah santri al Hikam yang datang sudah satu dasawarsa yang lalu. Keduanya sama usia dengan putra-putranya Abah. Karena usia yang sama demikian menjadikan ketiganya akrab. Setelah empat tahun nyantri, mereka kembali ke daerah masing-masing untuk mengabdikan diri. Terhitung baru kali ini keduanya mengunjungi al Hikam.
Usia yang sepadan menjadikan Candra dan Luqman akrab dengan putra-putra Abah, terutama Faris. Mereka membuat kegiatan di pondok, patrol sahur, hingga ziarah bersama. Pada sore itu, semua kenangan lampau terungkap kembali. canda tawa menyertai nostalgia. Suasana ruang tamu benar-benar sudah hangat.
Abah mengintip kehangatan mereka bertiga dari balik tirai yang menyekat ruang tamu dan ruang keluarga. Beliau membiarkan mereka saling bertukar pengalaman. Tentu banyak hal baru dan mengejutkan di luar sana yang mereka temui setelah dari pengalaman mondok.
“Gimana kabar studinya, Candra?” tanya Faris.
“Alhamdulillah, S1 sudah selesai dua tahun lalu. Sekarang lagi konsent tesis. Mohon doanya semoga segera selesai,” jawab Candra.
“Kerennnnn,” respon Faris sambil mengangkat jari jempolnya di hadapan Candra, lalu menyambungkan kalimat, “Kalau doa, bagian Abah sama Umik aja, hehe.”
“Luqman juga sama dengan Candra?” tanyanya pada Luqman.
“Aku masih nyelesaikan S1, heheh,” jawab Luqman dengan senyuman malu.
“Bukannya jatahnya sudah selesai?” responnya.
“Waktu itu aku ambil S1 Informatika. Masuk semester lima aku pindah ke agribisnis,” Jawab Luqman.
“Kok jauh nyambungnya? Informatika ke Agribisnis?” tanya Faris keheranan.
“Jauhnya untuk saling mendukung,” jawab Luqman singkat.
“Bagaimana ceritanya?” tanya Faris ingin tahu.
Candra sebenarnya semangat untuk menceritakan perjalanan studinya. Hal itu nampak dari senyum yang dipancarkan dari urat raut wajahnya. Namun ia menyengaja membuat lawan bicaranya penasaran. Hingga pada titik nol tertinggi. Ia baru akan menceritakan semuanya. Ia mencari posisi duduk ternyaman.
Luqman adalah santrinya Abah yang telaten. Semasa di pondok, ia sering mendapat amanah sebagai tutor mata pelajaran TIK untuk santri Tsanawiyah. Setelah lulus Aliyah dan boyong dari al Hikam, ia ingin melanjutkan kuliah jurusan informatika. Saat itu ia melihat peluang kedepannya bisa membuka cabang dari usaha milik pamannya di Malang yang bergerak di bidang publikasi. Ia melihat usaha pamannya itu bisa ia kembangkan di kota sendiri.
Luqman adalah anak semata wayang orang tuanya. Ia dirundung dilema pada dua pilihan yang ditawarkan oleh ayahnya. Kondisi baru sedang menghadang bahtera keilmuwannya. Saat di pertengahan semester empat, sang ayah mendapatkan warisan sebidang tanah dari kakek di desa. Tanah yang subur itu berpotensi sebagai lahan garapan cocok tanam karena letaknya di kaki gunung. Atas pertimbangan dan musyawarah Luqman dan orang tuanya, lahan itu disewakan, mengingat tak ada yang mahir untuk mengolahnya. Ayah Luqman sendiri adalah seorang pengusaha furnitur yang usahanya mulai berkembang. Konsentrasinya masih terfokus pada satu bidang.
Seorang businessman menyewa lahan milik orang tua Luqman. Lahan itu ditanam dengan ragam jenis tamanan secara bergantian. Penyewa hanya datang saat menanam dan panen saja. Sepertinya hasil panen tersebut bukan prioritas utama. Mungkin hanya usaha sampingan. Tanah garapan yang kurang terawat menjadikan hasil panen jauh dari yang diinginkan. Sempat tanah tersebut dibiarkan tak berproduksi selama dua bulan. Ilalang sudah setinggi paha manusiaa. Bersamaan dengan itu, jatah sewa telah habis.
Luqman adalah anak yang sendiko dawuh pada orang tua. Ayah mengajaknya mengelola lahan tersebut. Awalnya mengira bahwa ilmu menanam itu mudah. Tinggal tanam, beri pupuk, penuhi irigasinya, panen, sudah. Namun, mereka harus mengakui bahwa itu semua perlu proses dan ilmu yang mumpuni. Akhirnya ayah menyarankan luqman untuk mulai mengenal, mempelajari dan mendalami ilmu baru. Ayahnya memilihkan jurusan agribisnis. Mereka juga mempekerjakan beberapa petani untuk membantu mengelola lahan.
Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sambil menekuni agribisnis dan mengelola lahan di kaki gunung, Luqman tidak meninggalkan dunia informatikanya. Ia tetap mengamalkan ketangkasan jari jemarinya di atas keyboard untuk membangun jaringan pengembangan promosi hasil panennya. Sungguh suatu proses yang tidak sedikit dan mudah. Ayahnya senantiasa mengajarkan ketekunan dan istiqomah. Di balik istiqomah ada hasil yang luar biasa tidak terduga. Hasil panennya selalu mengalami peningkatan. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Faris harus mengakui bahwa hatinya sedang tersentuh dengan cerita Luqman. Ia merasa bahwa dirinya sedang bercermin. Bayangan dirinya sudah menunjukkan lebih dulu perjalanan hidup yang mungkin akan ia lalui di masa berikutnya. Betapa Luqman dengan kepatuhannya pada orang tua sungguh seharusnya itu yang ia lakukan ada Abah dan Umiknya. Seorang pendaki yang sedang terjatuh di atas sana untuk mencapai puncak dan seorang lagi mengulurkan tangan untuk membantunya bangkit. Namun ia masih ragu untuk meraih tangannya.
***
Labbaikallohumma labbaik.
Labbaika la syariika laka labbaik.
Innal hamdah wa ni’mata laka wal mulk
La syariika lak.
Syawal yang sudah tercium aroma Ka’bah di baitulloh al mukarrom. Lantunan talbiyah memenuhi atmosfer al Hikam. Abah kembali dipanggil sebagai tamu Alloh untuk kedua kalinya. Yang pertama, Abah berangkat bersama Umik saat Faris masih berusia dua belas tahun. Yang kedua kalinya ini Abah sendirian.
Ba’da sholat subuh, jamaah masih lengkap. Biasanya ada pengajian Kitab Taisirul Kholaq. Kali itu langsung diisi dengan walimatus safar keberangkatan haji keluarga ndalem. Semua pengisi acara dari santri al Hikam. Haru biru merangkul hati setiap jamaah yang hadir. Semua memberikan pangestu agar perjalanan ibadah Abah di tanah suci senantiasa diberikan kemudahan dan barokah.
Butiran bening tak terbendungkan. mengalir membasahi pipi. Umik sesenggukan terus menerus. Awe di sampingnya merangkul Umik. Faris bertahan sebagai sopir yang akan mengantarkan Abah ke kantor pemerintahan kabupaten sudah siap di belakang kemudi. Abah masuk mobil disusul Umik dan Awe. Satu mobil lagi di belakang membawakan koper Abah.
“Ris, jagain Umik selama Abah tidak di rumah. Kamu anak sulung, jangan meweli sama nasihat Umik,” pesan Abah.
“Inggih, Bah,” jawabnya singkat. Ia masih mengondisikan konsentrasi pada jalanan di hadapannya.
“We, selama Abah tidak di rumah, paling malam jam 9 kamu harus sudah di rumah. biar Umik ndak khawatir,” pesan Abah pada si Bungsu.
“Inggih, Bah,” jawab si Bungsu yang ikut memandang ke jalanan di depannya. Sesekali ia menengok pada Umik, memastikan bahwa beliau sedang tidak semakin kalut. Karena menurutnya, ini kali pertama Abah jauh dari Umik untuk beberapa waktu.
***
Terbitlah purnama di atas kita
Dari arah tsaniyyah al Wada`
Wajiblah berseru atas kita
Ketika seorang penyeru mengajak kepada Alloh
Demikianlah sari dari thola’al badru yang di senandungkan di bumi al Hikam saat kedatangan Abah di tanah air. Para santriwan, jamaah laki-laki dan handai taulan salim dan peluk Abah. Haru bahagia perasaan Umik diwakili air matanya. Betapa bersyukurnya, Abah sampai di tanah air dengan selamat.
Hari itu sudah memasuki bulan Dzulhijjah. Tamu yang datang untuk ngalab barokah doa seorang hajj sangat dirindukan. Semoga kelak disegerakan hajat untuk menunaikan rukun islam yang kelima. Tujuan dari setiap muslim yang taat.
***
Kemarau datang, hujan menghilang. Kemarau diawali pagi yang dingin. Dinginnya menembus selimut yang tebal sekalipun. Di pagi hari, suhu bisa menyentuh angka dua puluh lima. Namun menjelang siang, orang-orang lebih memilih beraktivitas di dalam rumah. Panas yang mulai ganas. Di sore hari, gerimis datang tipis-tipis seminggu sekali.
Faris lebih banyak beraktivitas di rumah. saat pagi belajar. Agak siang ia melukis. Bakda dhuhur ia berangkat kuliah. Event-event seni yang dulu kerap ia ikuti, akhir-akhir ini nampak ia lirik semata. Bahkan Erwin yang sudah meluangkan waktu menjemput dan merayunya untuk datang ke stand Fiber Castelango, tidak ia indahkan.
“Ris, kenapa Erwin dibiarkan pergi sendiri?” tanya Umik padanya ketika mengantar kepulangan Erwin di teras rumah.
“Ndak pa-pa, Umik. Faris sedang ingin di rumah mawon,” jawabnya singkat.
“Ada masalah sama anggota yang lain?” tanya Umik mulai menginterogasi.
“Mboten,” jawabnya singkat kembali.
Faris berjalan menuju kamarnya. Ia menutup pintu dari dalam. Suara pintu tidak terdengar namun suara hari Faris sangat keras dan ingin sekali mengekspresikan kegundahan hatinya.
Umik menyaksikan acara TV. Seringkali ia memandang pintu kamar Faris. Nihil. Tak sekalipun Faris terlihat keluar kamar. Beliau mulai resah. Namun beliau tetap percaya pada putranya bahwa ia bisa menyelesaikan problemanya dan mungkin ia akan kembali pada Umiknya untuk menangis atau meresah sejenak jikau beban itu terlalu berat di pundaknya.
Sehari. Dua hari. Faris belum menyapa kembali canvas yang ia letakkan di ruang keseniannya. Goresan kuas nya masih sama dengan kemarin lusa. Umik tersadar akan hal itu. Artinya, ia belum keluar kamar sejak dua hari. Atau mungkin ia keluar kamar sekedar ambil air wudhu.
Pintu kamar itu tertutup. Daun pintu yang gagah itu didorong Umik. Dan benar saja pintu sedang tidak terkunci. Beliau mengintip sejenak kondisi di dalamnya. Kemudian beliau memutuskan untuk masuk. Pandangan matanya tertuju pada putra sulungnya yang sedang berdiri di depan sebuah rak buku. Sebuah buku terbuka di antara kedua telapak tangannya.
Baru saja Umik akan menyapanya. Ia merasa ada yang sedang datang. Untuk meyakinkan hal itu, ia menolehkan kepalanya sejenak ke belakang. Hanya sekian detik pandanganya kembali pada buku yang terbuka yang sebenarnya sedang tidak ia baca.
“Kamu mau membuktikan pada Umik kalau kamu sedang baik-baik saja, Ris?” tanya Umik mengawali keheningan siang itu.
Faris hanya menganggukkan kepala.
Umik tersenyum bimbang. Tetapi ia tak akan memaksa putranya untuk mengakui yang sebenarnya. Beliau berbalik badan dan menuju keluar kamar. Namun langkahnya terhenti.
“Umik …,” panggilnya.
“Bisakah Umik di sini sebentar,” pintanya.
Umik hanya tersenyum. Ia sedang melihat putranya yang masih sama saat berumur sembilan tahun dulu. Meskipun anak pambarep , suka seenaknya sendiri, susah diatur, tapi ia tetap anak Umik, anaknya yang selalu ingin diperhatikan dan ngalem pada orang tua. Beliau mengurungkan niat untuk meninggalkan kamar Faris. Beliau masuk kembali dan duduk di pinggir kasur.
Faris meletakkan buku pada tempatnya. Ia mengikuti duduk di samping Umiknya. Ada sesak yang tiba-tiba ia rasakan ketika melihat wajah wanita yang telah melahirkannya itu. Ia menatap Umiknya. Mata keduanya bertemu. Bulir bening sebentar lagi akan mengalir deras dari sana melewati pipinya. Sebelum Umiknya tahu, ia menelungkupkan kepala dan menyandarkannya pada pangkuan ibunya.
“Faris belum bisa menjadi anak yang patuh,” ucapnya pelan dengan mulai terisak-isak.
“Semua harapan Umik, Faris abaikan, demi kesenangan dunia,” tambahnya lagi.
“Umik dan Abah memang punya harapan. Tapi Umik juga percaya bahwa yang terjadi mungkin sudah menjadi takdir terbaik, atau mungkin jalan menuju itu,” sahut Umik.
“Faris benar-benar tak pernah berterima kasih pada Abah dan Umik. Faris sadar bahwa sudah terlalu dalam Faris menyakiti perasaan Abah dan Umik,” sesalnya.
“Abah dan Umik tak pernah serius mendengarkan celotehanmu, Nak,” hibur Umik.
“Umik pernah bilang, sedikit ilmu yang kita miliki akan lebih berkah bila diamalkan,” ucapnya.
“Benar,” jawab Umik singkat.
“Tapi mengapa semakin diamalkan, Faris merasa semakin dimanfaatkan oleh mereka,” sanggahnya.
“Karena Umik ndak restu, Nak,” sahut Umik dengan intonasi meringan.
“Apa yang harus Faris lakukan agar mendapat restu Umik?” tanyanya.
“Seperti yang selalu diminta Abah. Kamu masuk Ushuluddin, bukan seni,” kata Umik menghiburnya.
“Umik pirsa bahwa Faris dan seni sudah menyatu,” bantahnya dengan pelan.
“Nak, sapa wonge ngeramut agama, Gusti Kang Kuwasa bakal ngeramut kawulane. kamu tak perlu meninggalkan senimu. Kamu akan tetap bersamanya. Kamu bisa menggunakan seni untuk syiar agama. Kamu lupa? Bahwa dulu saat masa kecilmu, Mbah Kyai selalu menceritakan perjuangan walisanga yang mensyiarkan islam dengan seni dan budaya nusantara,” kata Umik semakin meyakinkannya.
“Umik yakin Faris bisa?” pintanya.
Umik mengangguk dengan sangat yakin. Senyum lembut seorang ibu yang menjadi semangat besar untuk putranya.
“Sebelum kamu yakin, Umik sudah yakin sejak lama,” tambah Umik.
Seorang pendaki yang sedang terjatuh di atas sana untuk mencapai puncak dan seorang lagi mengulurkan tangan untuk membantunya bangkit. Dulu ia masih ragu untuk meraih tangannya. kini ia sudah yakin dan bangkit kembali. Terbersit sambaran kilat semangat yang menyala-nyala pada diri Faris. Ia meraih tangan Umik, mencium punggung tangannya untuk meminta terus bahwa ia nawaitu mengabdi pada Abah dan Umiknya dan al Hikam. Hati seorang ibu mana yang tak terenyuh ketika asa dan harapan yang lama menggantung kini perlahan nyata adanya.
“Sudah. Jangan nangis. Laki-laki kok nangis,” hibur Umiknya. Setelah Umik menenangkan putranya, beliau berjalan keluar kamar hendak melanjutkan aktivitas di belakang. Ketika melewati ruang tengah, beliau menemui Abah yang sedang membuka kitab. Dengan suara mengendap-endap beliau menceritakan semuanya pada Abah.
“Alhamdulillah,” respon Abah, kemudian beliau melanjutkan, “Di tanah suci Abah selalu mendoakan ia dituntun menuju takdir terbaik. Doa Abah semoga keduanya dapat melanjutkan perjuangan di pesantren. Semoga ini menjadi isyarah doa Abah diijabahi oleh Yang Kuasa.”
Umik di sampingnya mengamini sambil memejamkan mata dan senyum bahagia terpancar di sana.

BIOGRAFI PENULIS
Zahrotur Rohmah adalah nama yang diberikan oleh orang tuanya tiga puluh tahun yang lalu. Teman-teman dan orang di sekitarku lebih akrab memanggil dengan sebutan Kak Zahloe. tak pernah tahu sebelumnya bahwa aku gemar menorehkan pena ke kanan dan menjadi sebuah karya. Karena awalnya aku hanya menyenangi petualangan di alam bebas dan menjadi seorang filatelis. Kini sudah belasan antologi yang ku ikuti sejak tiga tahun terakhir dan sedang melanjutkan bakal buku solonya. Motto hidupku = hadapi segala tantangan hidup dengan hati terbuka.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *