Aku dan Stigma Muslimah Bercadar

Tak terhitung sudah berapa kali Aku mudik mengisi waktu liburan ke kampung halaman tempat orang yang mengandungku dilahirkan. Namun semua tetap sama, tak pernah ada yang berubah. Semuanya tentang sesuatu yang telah beribu-ribu kali tertangkap dengan mata kepalaku sendiri.
Mata ini benar-benar tak pernah mendapat suguhan pemandangan lain. wanita dengan pakaian hitam-hitam, semuanya bersembunyi dibalik sebuah kain hitam penutup wajah yang ku ketahui bernama niqab. Aturan pakaian ninja ini hanya memperbolehkan aku mengenal tak lebih dari sepasang bola mata. Aku merasa jiwaku, badanku tak lagi ada ketenangan saat harus dekat-dekat dengan mereka.
Dulu semua tidak seperti itu, sampai semua berubah seiring bertambahnya usiaku, segalanya semakin menjadi-jadi manakala bangku Madrasah Tsanawiyah telah aku tamatkan. Jiwa ini tak pernah berhenti memberontak, kenapa harus memakai cadar ditempat multikultural ini.
“Mengapa harus cadar, padahal baju syar’i, jilbab menutupi dada itu sudah cukup, ” sebuah bisikan kuat yang membuat keyakinanku semakin berkobar-kobar memenuhi jiwa.
***
Sesusai reformasi ninja saat aku hanya boleh berinteraksi dengan bola mata. Cerita liburanku hanya terisi kebersamaan dengan nenek di dapur, selebihnya kamar menjadi tempat terbaik menghabiskan waktu.
Bersama sebuah Al Quran bersampul merah muda sebesar buku quarto hari-hariku berjalan dengan tanpa memberi celah singgahnya kemalasan, hadirnya kejenuhan. Kehidupan berbalik 180 derajat dari Surabaya kota kelahiranku berhasil berjalan tanpa hambatan. Walupun ini bukan yang menjadi keinginan hati, tapi keterpaksaan akan menjelma kebiasaan ditempat ini.
Tentang aku yang mengurung diri, bukan sebab diri ini anti sosial. Sungguh keinginan mengenal lebih dalam lingkungan tinggal kakek masih saja tak lepas dari benakku. Namun menerima kenyataan mengabaikan kengerian, ketakutan akan wanita bercadar sedikitpun aku belum berhasil.
“Kreeeek, ” deritan engsel tua membuat aku berhenti membaca Ayat Qur’an, sebuah kebiasaan setelah aku gagal berusaha bergaul dengan para tetangga Abah Dimyati kakekku dari jalur Ibu. Menanggapi kejadian itu secepatnya mushaf ku letakkan di atas ranjang tidur, pandangan dengan kilat beralih fokus.
“Afifah, kamu kok gak keluar kamar sama sekali, ” tanya Abah yang berbicara sembari bertolak dari tirai melangkah mendekatiku.
“Enggak abah, ” tanggapanku ringan, dan begitu cepat.
“Kamu ingat Sofi enggak, anaknya Paman Rofiq yang dulu sering main sama kamu sewaktu kecil. Kamu gak pengen main ke rumah mereka. ”
Sebuah pertanyaan yang hanya ku tanggapi dengan gelengan kepala . Membuat Abah kembali bertanya, mengungkapkan rasa penasarannya.
“Kenapa? ” ujar abah kembali mengintrogasi dengan gerak bibir tanpa suara.
“Afifah nggak mau, Bah. Bergaul dengan ninja itu. Mengobrol dengan mereka itu kayak hanya bicara sama mata, ” terangku dengan ucapan lugas tanpa filtrasi.
“Sssttt…. Jangan bilang gitu, gini ya, Nak. Di negeri ini memang tidak wajib pakai cadar. Tapi, bukan berarti gak boleh, juga bukan berarti yang gak pakai cadar boleh mendeskriminasi mereka. Wanita golongan kita memang tak pakai cadar cukup dengam baju yang biasa kamu pakai. Kamu tahu kenapa, ya itu karena tuntutan dakwah di negeri yang beragam agama ini. ” tukas abah dengan pancaran kharisma seorang kiyai yang gejolaknya kian terasa.
Telingaku terus menangkap petuah-petuah Abah Dimyati, seorang tokoh agama yang merupakan kakekku sendiri. Kepala ini mengangguk-angguk setuju, meski hati perlu waktu untuk lebih memahami.
***
Seusai menempuh jarak 500 meter dengan menunggangi kereta angin danau buatan berfasilitas perpustakaan dan masjid itu berhasil aku datangi. Keindahan ornamen-ornamen klasik yang terawat membuat mataku tak jemu-jemu memgamatinya.
Berdua dengan Sofi, gadis yang sempat membuat aku ngeri untuk sekian lama. Aku merasa menjadi turis di danau itu untuk beberapa waktu.
Semenjak petuah Abah Dimyati bersarang diotaknya, wanita bercadar bukan lagi menjadi masalahku. Berjalan berdua bulu kudukku tak lagi merinding, rasa cemas berkombinasi was-was tak lagi menyinggahi.
Diatas sebuah tempat duduk permanen di tepi danau, dalam kesempatan curi-curi pandang ku amati dalam-dalam teman yang sempat membuat diri ini dibelengu rasa ngeri. Bibirku menyungging, sementara benak terus memberi penilaian mengambil pengajaran.
“Aku memang bukan gadis bercadar, tapi bukan berarti harus memusuhi yang bercadar. Wanita berniqab itu bukan ninja, bukan teroris. Mereka hanya wanita yang berupaya keras menutup aurat, menghindari fitnah yang kian bertebaran. ” sebuah pemahaman yang kini mengakar dalam sendi-sendi jiwaku, membuatku tak nyaman mendengar julukan ninja untuk sang penjaga aurat.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *