Maulid Nabi Tiba, Saatnya Kita Bertanya

 

Momen Maulid adalah titik untuk bertanya: Sudah sejauh mana kita menjadikan Baginda Rasul sebagai teladan bagi setiap langkah perjalanan hidup kita?

Jika ada rindu yang tak pernah habis itulah kerinduan seorang mukmin kepada sang Nabi. Walau ribuan tahun memisahkan, mukmin sejati akan senantiasa merasa dekat dengan beliau. Kerinduan model ini biasanya akan makin bergema saat penanggalan Hijriah memasuki bulan Rabiul Awal. Sebab di bulan itulah  peringatan Maulid (kelahiran) Nabi dirayakan di mana-mana. Peringatan maulid karenanya selalu punya nuansa spiritual yang kuat. Tabligh Akbar digelar. Pengajian serta pembacaaan shalawat bergema di setiap penjuru.

Tetapi Maulid bukan hanya masalah kerinduan serta beragam seremoni itu. Maulid sejatinya menjadi titik bagi setiap mukmin untuk bertanya-tanya, sudah sejauh mana kita meneladani hidup beliau? Menjalankan sunah-sunah beliau serta menghiasi hidup dengan akhlak yang dicontohkan oleh beliau?  Bulan Maulid karenanya adalah bulan muhâsabah diri, bulan introspeksi. Menilik sirah beliau, kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan berikut.

Sudahkan kita mencintai beliau?

Ya, sudah sampai di manakah proses kita dalam mencintai Allah? Pertanyaan ini penting dilontarkan sebab Nabi pernah bersabda, “Aku adalah Habîbullâh, kekasih Allah” (HR. Imam at-Tirmidzi)

Nabi adalah sang pecinta dan sepanjang hidupnya mengajari umatnya bagaimana cara mencintai Allah dengan benar. “Kekasih Allah” bukan gelar sembarang gelar. Gelar ini adalah derajat tersendiri. Gelar inilah yang membuat Nabi membawa panji kemuliaan di akhirat kelak, menjadi manusia pertama yang syafaatnya berlaku, menjadi yang pertama mengetuk pintu surga dan memasukinya bersama orang-orang fakir sebelum para Nabi dan umat lain memasuki surga. Lalu apa yang ditunjukkan Nabi terkait gelarnya itu? Tak lain adalah Taqarrub ilallâh atau mendekatkan diri kepada-Nya.

Ya, Nabi menjadi kekasih Allah karena senantiasa terus-menerus mendekat kepada-Nya. Mughirah bin Syu’bah, seorang sahabat Nabi, pernah menceritakan bentuk pendekatan itu. Nabi menunaikan shalat sampai tumitnya bengkak-bengkak karena begitu seringnya beliau rukuk dan sujud.

Sahabat Anas bin Malik juga pernah berkata bahwa tak ada malam yang dilewatkan Nabi tanpa beribadah. Nabi juga senantiasa beristighfar setiap hari, padahal ia terpelihara dari kesalahan-kesalahan. Cinta kepada Allah juga terpercik lewat kecintaan beliau kepada sesama. Beliau memuliakan anak yatim, mengasihi keluarga, menghormati orang tua, dan tak pernah berbuat dan berkata kasar bahkan kepada musuh-musuh beliau.

Sang Nabi mengampuni orang-orang yang menzalimi beliau di Mekkah saat kota itu dibebaskan kaum Muslim, dan beliau melarang Jibril menjatuhkan bala kepada warga Thaif yang melemparinyau dengan batu. Sudahkah kita mencintai beliau, seperti beliau mencintai umat dan mengasihi orang yang memusuhinya? Sudahkan ibadah yang kita lakukan mengekspresikan kelembutan kepada orang lain?


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *