Tipu Daya Itu Bernama Mata

Tipu Daya Itu Bernama, Mata

Di sebuah tempat, jauh dari hingar-bingar kecongkakan kota, berdiri sebuah pondok sederhana, pondok tersebut berada di bantaran sebuah sungai, pohon-pohon menjulang tumbuh dengan bebas, tidak ada gerbang masuk, juga tidak ada pagar yang mengelilingi asrama santri, suasana masih sangat alami.
Terlihat di pinggiran sungai, ada sosok berkarisma sedang memancing di temani sosok santri yang duduk di belakangnya. Dari situ, kisah tersebut bermula,
“Kiyai, besok saya minta pamit”
“Kemana ?”
“Ke luar kota Kiyai, ada hajatan”
“Oh iya, tapi aku titip pesan ya, ini alamatnya tolong kamu sowan ke kiyai itu ya, sampaikan salamku, sudah itu saja”
“Iya Kiyai”
Berangkatlah santri tersebut, selepas acara, seperti yang sudah di amanahkan gurunya kepadanya, santri tersebut sowan kepada Kiyai Abdullah. Tak butuh waktu lama untuk mencari alamat Kiyai Abdullah, karena Kiyai Abdullah memang tokoh yang sangat di segani di kota tersebut, tentu semua orang pasti kenal. Setelah sampai, baru di depan gerbang santri terbuat terkagum-kagum dengan pemandangan yang ada, bukan pemandangan sungai ataupun pohon tinggi menjulang yang di tengahnya terdapat pondokan kecil sederhana seperti ditempatnya, melainkan, rumah megah bak istana, tunggangan mewah juga para pelayan yang memesona cukup membuat matanya terbelalak.
“Subhanallah, kok beda ya” gumam santri tersebut lirih
“Ada apa mas ? kok bengong” tepukan dari satpam cukup membuatnya kaget
“Eh pak, itu saya mau sowan ke kiyai Abdullah” kata santri tersebut
“Ada kepentingan apa mas ?” sahut satpam tersebut
“Itu pak, saya di……” belum selesai menyampaikan hajatnya satpam tersebut menyela,
“Sudah ada janjian dengan pak Kiyai ?”
“Belum pak !” cetus santri tersebut
“Sebentar ya, kamu tunggu, silahkan masuk”

Matanya yang tajam tak berhenti memandang, dilihat di sekelilingnya yang ada hanyalah congkak dan kemewahan, dari semua bangunan yang tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan berwarna, dalam lingkungan di kelilingi tembok terdapat rumah anggun beratap ijuk, indah bagai pemandangan di istana para raja, kelopak bunga ketangga gugur tertiup angin bertaburan di atas atap. Atap itu, bagaikan rambut ratu berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandang.
“Hoe mas, mas, kok nglamun, silahkan duduk di dalam”
“Eh, iya pak” santri tersebut terkaget-kaget dan bergegas masuk ke dalam rumah Kiyai Abdullah”
Sesampainya di dalam, lagi-lagi, pemandangan tak jauh berbeda seperti yang ada di luar, indah dan memesona, sofa-nya tak seperti di tempatnya yang hanya terbuat dari bambu, sangat empuk, membuat siapa saja betah duduk diatasnya.
“Assalamualaikum” dari jauh terdengar Kiyai Abdullah mengucap salam
“wa’alaikumsalam” jawab santri tersebut
“Silahkan duduk, dinikmati hidangannya” Kiyai Abdullah memersilahkan
“Iya Kiyai” kata santri tersebut
“Darimana? Namanya siapa ? ada keperluan apa ?” tanya Kiyai Abdullah
“Saya Ahmad kiyai, muridnya Kiyai Abdurrahman, saya sowan kesini Cuma mau menyampaikan salam dari guru saya untuk kiyai” jawab santri tersebut penuh takdzim
“Oh iya nak, wa’alaikumsalam, sampaikan juga salamku kepada gurumu, jangan mikiran dunia terus, sudah gitu saja” Kata Kiyai Abdullah singkat
Pesan Kiyai Abdullah cukup membuat dia patah, wajahnya memerah menahan amarah, bagaimana mungkin Kiyai Abdullah berucap seperti itu, sedang keadaan Kiyai Abdurrahman bertolak jauh, Kiyai Abdurrahman setiap harinya hanya memancing di sungai, apa yang di dapatnya dari hasil memancing, ya itu lah yang Kiyai Abdurrahman makan, itu berlangsung setiap hari, sedang Kiyai Abdullah hidup dalam kemewahan yang teramat sangat, tentu seharusnya yang tepat di anggap “jangan memekirkan dunia terus” adalah Kiyai Abdullah, bukan Kiyai Abdurrahman
“Iya Kiyai, saya minta pamit” Jawab santri tersebut singkat, kemudian Kiyai Abdullah pergi menuju ruangannya.
Ahmad pergi dengan hati remuk redam, sepanjang perjalanan, perkataan Kiyai Abdullah terus mengiang dalam kepala Ahmad, apa yang dia dengar dan dia lihat tidak seperti apa yang di ajarkan gurunya kepadanya, apalagi dengan pesan Kiyai Abdullah tersebut, tentu ini bukanlah perkara yang logis, bagaimana mungkin sosok Kiyai Abdullah yang hidup bergelimang harta bisa mengatakan Kiyai Abdurrahman hidupnya memikirkan dunia terus. Tidak Logis bukan ?
Sesampainya Ahmad, seperti biasa, dia menemani Kiyai Abdurrahman memancing, namun sepanjang waktu Ahmad hanya diam, menyembunyikan pesan Kiyai Abdullah kepada gurunya, tentu, itu dilakukan bukan karena Ahmad tidak amanah, melainkan karena menjaga prasangka Kiyai Abdurrahman kepada Kiyai Abdullah.
“Mad?” Kiyai Abdurrahman memulai percakapan
“Iya Kiyai” Jawab Ahmad
“Bagaimana ? kamu tidak lupa kan ? sudah sowan Kiyai Abdullah ?” Kiya Abdurrahman bertanya
“Sudah Kiyai” Jawab Ahmad
“Bagaimana ? apa pesan Kiyai Abdullah buat saya” sahut Kiyai Abdurrahman
“Tidak ada Kiyai, tidak ada !” jawab Ahmad dengan nada jutek
“Loh, tidak boleh seperti itu Mad, amanah itu harus di sampaikan, tidak boleh sambil marah-marah ! Wajib lo Mad, kalau endak kamu dosa, kamu harus ingat Surah aN-Nisa ayat 58 bahwa sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” Jawab Kiyai Abdurrahman seperti memang sudah tahu apa yang disampaikan Kiyai Abdullah kepadanya
“Maaf Kiyai, bagaimana saya tidak emosi, Kiyai Abdullah itu lo, mohon maaf dengan keadaan Kiyai yang seperti ini, kehidupannya yang setiap hari hanya memancing, kok bisanya Kiyai Abdullah bilang kalau Kiyai itu hidupnya memikirkan dunia terus” Kata Ahmad
“Sebentar mad, sebentar” Kiyai Abdurrahman tertunduk diam, tatapannya kosong, wajahnya pucat, badannya lemas tak berdaya
“Iya Mad, Kiyai Abdullah benar, Kiyai Abdullah itu seorang waliyullah” Kata Kiyai Abdurrahman terisak-isak
“Aduh, saya minta maaf Kiyai”
Tidak kalah terkejut Ahmad mendengarnya. Dia telah merasa berdosa, bagaimana mungkin dengan hanya bermodal apa yang dilihatnya dia bisa berani berprasangka buruk kepada Kiyai Abdullah. Benar Kiyai Abdullah hidup dalam kemewahan, tapi hatinya, tidak menyatu dengan kemewahan yang dia peroleh, Kiyai Abdullah tahu, bahwa apa yang beliau peroleh semata-mata karena rahmat Allah yang teramat luas. Sedang Kiyai Abdurrahman, beliau dalam hatinya terkadang merasa tidak pantas, bagaimana mungkin tokoh yang di segani seperti beliau hidup serba kekurangan. Sebuah cambukan untuk kita manusia.
TAMAT


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *