Terlantar

Wajah ibu membayang di celah kemarau. Senyumnya adalah api di tengah salju yang haha-hihi meledekku. Suaranya kalah telak dari Nabi Daud, tapi menginclongkan wartel yang makin renta.
Apa kabar, Bu? Barangkali talbiah usai menggema dan rambut telah diceraikan gunting.
Tapi aku bagai bola basket yang mendekati tanah lapang—terpental di tanah suci.
“Sayangku, kau tak bisa menipu-Nya.”
Suara ibu terus menggema.
Bu, Muharram membawaku pulang tanpa haji mabrur. Juga tak ada air zam-zam yang dirindukan. Tapi pagi begitu ramah menyambutku. Katanya, Arafah masih menungguku.
Maka kuputuskan menyelami “mesin cuci” itu.
Lalu ibu menjelma bidadari, tersenyum dalam sel sunyi.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *