Terlahir dalam keluarga yang kurang paham agama, membuat aku kesusahan. Setiap kali berhubungan dengan religi aku selalu ditertawakan. Hal itu terjadi saat aku beranjak SMA. Aku seorang muslim, tetapi aku tak pernah menjalankan ajarannya. Orang tuaku tak bisa mengaji, tidak pernah shalat dan pergi ke masjid hanya waktu Hari Raya. Saat mata pelajaran agama berlangsung, aku selalu merasa sedih dan tersudut. Semua teman-temanku bisa mengaji sedangkan aku tidak sama sekali. Pernah suatu ketika ada ujian mengaji dan test hafalan Al-Qur’an. Kami maju satu persatu hingga tiba giliranku. Guru agamaku membuka salah satu halaman Al-Qur’an. Dipersilahkannya aku untuk membaca. Jantungku sudah tidak seperti biasanya, terbesit rasa takut dan malu pada teman-teman. Aku hanya terdiam menatap tulisan Arab yang sambung-menyambung.
“Ayo silahkan dibaca jangan diam saja.” Ucap Pak Udin, guru agamaku.
Mulutku masih terbungkam untuk beberapa saat. Aku benar-benar tidak bisa, dipaksa bagaimanapun aku tidak bisa. Aku menatap wajah Pak Udin, sangat menyeramkan. Matanya melebar menatapku tajam.
“Dia nggak bisa ngaji, Pak!” teriak Geri teman sekelasku. Diikuti gelak tawa oleh semua teman-temanku. Sungguh aku sangat malu, termasuk malu kepada Tuhan. Aku menundukkan kepalaku dan menatap bawah meja yang penuh debu.
“Apa benar?” tanya Pak Udin. Aku menganggukkan kepala. Ingin rasanya aku menangis, rasanya sungguh sakit dipermalukan di depan banyak orang.
“Kalau hafalan, ada surah yang kamu hafal Bitha?”
“Ada!” jawabku kembali bersemangat.
“Apa?” terlihat senyum di wajah Pak Udin. Teman-temanku seketika terdiam. Aku menarik nafasku pelan-pelan.
“Al-Fatihah!”
“Hahaha…” suara tawa teman-temanku kembali meletus. Memang hanya itu yang aku hafal karena surah itu sering aku dengar ketika ada acara tahlilan di speaker masjid. Mungkin hafalan teman-temanku sudah banyak, seperti Fatimah. Dia sudah hafal 16 juz Al-Quran dan sudah banyak mengikuti lomba hafidz sampai ke Turki. Memang benar Al-Quran adalah mukjizat. Al-Quran adalah penolong umat manusia. Yang semula tidak pernah ke luar negeri jadi pernah. Fatimah anak orang kurang mampu, tapi berkat Al-Quran Fatimah bisa membawa Emak dan Bapaknya ke tanah suci. Tidak seperti aku yang hanya bisa menyusahkan Papa dan Mama.
***
Setelah lulus SMA, aku menjadi seorang dosen. Aku mengajar di Universitas Budi Utomo. Dan disanalah aku bertemu dengan seorang teman sesama dosen namanya Akmal. Dua tahun mengajar bersama disana ternyata Akmal menaruh hati padaku. Dikenalkannya aku kepada orang tuanya. Sungguh disana aku merasa sangat rendah karena keluarga Akmal adalah keluarga yang agamis dan religius. Abahnya adalah seorang dokter sekaligus pengasuh pondok pesantren Darul Quran. Ku pandangi seluruh anggota keluarganya. Uminya, kakaknya, juga adiknya semua mengenakan hijab. Hanya aku yang memperlihatkan gerai rambut panjangku.
“Kenalkan namanya Dizabitha Marunesia Aurora. Dipanggil Bitha.” Kata Akmal memperkenalkanku.
“Muslim?” tanya Umi Akmal. Pertanyaan itu langsung membuat aku tercengang. Bagaimana tidak, aku berada pada lingkungan orang-orang alim tetapi aku sendiri tak memakai hijab yang menutup aurat.
“Mus..mus..limm, Tante.” Kataku terbata-bata.
“Hafal berapa juz?” tanya Umi Akmal lagi. Dia seperti sedang mengintrogasi aku.
Aku menelan salivaku dengan paksa. Tenggorokanku terasa kering dan mulutku serasa dibungkam. Aku melirik Akmal dan dia tersenyum. Itu cukup membangkitkan semangatku untuk menghadapi Uminya.
“Maaf Tante, saya belum bisa mengaji.”
Semua orang disana nampak terkejut, termasuk Akmal. Dia tidak pernah tau kalau aku tidak bisa mengaji. Istighfar dari mulut umi Akmal terngiang di telingaku. Aku tertunduk lesu, tak seharusnya aku disatukan dengan orang shaleh seperti Akmal.
“Mungkin saya akan menyetujui hubungan kalian kalau kamu berhijab, belajar membaca Al-Quran dan menghafal Al-Quran!” kata umi Akmal kepadaku lantas ia pergi. Disusul oleh kakak dan adik Akmal.
“Maafkan umi Akmal, Nak Bitha?” ucap Abah Akmal. Lalu dia menyusul istrinya ke belakang.
Di ruang tamu itu tinggal aku dan Akmal. Lantas aku menangis di depannya. Tangisku adalah kesedihan, betapa ruginya aku karena kenapa dari dulu aku tidak belajar agama. Kenapa aku dulu tidak minta untuk dimasukkan pondok pesantren agar aku bisa mengaji. Hal ini sudah terjadi dan semuanya sudah terlambat. Aku tidak akan bisa memiliki Akmal. Mungkin cukup sampai disini hubunganku dengannya.
“Maafkan umiku, Bitha.” Kata Akmal setelah sekian lama dia membiarkanku menangis. Akmal anak baik, dia penyabar dan tidak pernah marah ketika aku bersikap dingin terhadapnya. Hal itu yang membuat aku suka pada Akmal.
“Aku tak marah pada umimu. Aku malu pada diriku sendiri, Akmal.”
“Mungkin hubungan kita cukup sampai disini saja. Aku tau mau mempermalukan umimu dan keluargamu. Cari wanita lain yang lebih sholeh, yang bisa mengaji dan hafal Al-Quran. Jangan aku!” lanjutku.
Akmal terdiam. Dia masih menatapku yang masih menangis. Mungkin aku terlihat cengeng di depannya. Terlihat seperti wanita lemah dan rendah yang tak mengerti agama.
“Jangan begitu. Aku akan mengajarimu mengaji.” Ucapnya
Ucapan Akmal membuat semangatku terkumpul. Aku menatapnya lekat, dia selalu membuat aku bangkit ketika aku merasa terpuruk. Andaikan boleh, aku akan memeluknya dan menangis dalam dekapannya.
Setelah itu ketika di sela-sela mengajar, Akmal mengajariku mengaji di masjid mulai dari nol. Mulai dari iqro’. Dia juga mengajarkan ilmu tajwid, fiqih, aqidah, taharah, hadist dan aku mulai menghafal Al-Quran. Aku mulai lancar membaca dan terus menambah hafalan. Satu bulan kemudian, aku memutuskan untuk berhijab. Menutup auratku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penampilanku benar-benar berubah hingga membuat Papa dan Mamaku tertegun. Mereka tidak melarang ku, malahan Mama juga ingin seperti aku. Alhamdulillah. Aku bersyukur kepada Allah. Allah telah memberikan hidayah kepada keluargaku. Ini berkat Allah, juga suamiku Akmal.