Tanah yang Tak Rapuh

Isak tangis itu membangunkan Nek Aci di tengah malam yang dingin karena di luar hujan rintik-rintik. Akhirnya Nek Aci menghampiri cucunya itu yang sedang menangis sesenggukkan.
Ketika sampai di depan pintu kamar Asya, Nek Aci tidak sengaja mendengarkan doa-doa cucu satu-satunya itu yang membuat renyuh hati sang nenek.
“Hikksss… Allah… engkau adalah zat yang Maha Kuasa dan Maha segala-galanya… Engkau sudah mengatur takdir untuk setiap hamba-Mu hiksss… hiksss… jadikanlah ujian yang Engkau berikan ini sebagai pelatih kekuatan untuk hamba untuk keluarga hamba Ya Allah… hamba mohon kepada-Mu, sembuhkanlah penyakit ayahku, angkatlah segala penyakit yang dideritanya. Hamba tidak tega melihat perjuangan ayah untuk sembuh dengan kondisinya yang semakin memburuk Ya Allah. Kuatkan ibu hamba dalam menjalani ujian-Mu ini serta sembuhkanlah ayahku Ya Rabbbb. Aamiin aamiin aamiin ya rabbal ‘alamiin.”
Tanpa kudengar ketukan pintu, nenek datang ke kamarku dan langsung memelukku. Nenek pun meng-aamiinkan doa-doa yang lirih kuucapkan tadi. Tanpa kami sadari air mata kami pecah yang menambah sendu suasana di kamarku pada malam yang dingin dan sunyi itu.
“Aamiin… Aamiin Aamiin ya rabbal alamiin. Allah pasti mengabulkan doamu nduk… Kita semua sedang diuji Allah dalam keadaan ini. Kita harus bersabar dan terus berdoa meminta pertolongan Allah.”
“Hikksss hiksss… Aamiin.”
“Kamu jangan menangis nduk, kasihan ayahmu di rumah sakit sedang berjuang melawan penyakitnya. Ayahmu membutuhkan doamu dan ibumu perlu kau untuk menguatkannya.” Ucap nenek.
“Asya takut nekkk.. hikksss… hiksss… keadaan ayahhhh semakin mem…” Belum sempat meneruskan kalimat yang ingin aku ucapkan tangan nenek langsung membungkam mulutku. Pertanda jika nenek tidak ingin kalau aku mengucapkan kalimat yang tidak-tidak. Karena setiap ucapan adalah doa.
“Sttttttt…”
“Allah memberikan ujian ini kepada keluarga kita bukan untuk menakut-nakuti. Allah memberikan ujian-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang saleh dan saleha untuk mendidik dan melatih iman lewat ketabahan dan kesabaran.”
Sambil memeluk dan menciumku dengan hangat, nenek kembali mengucapkan kata-kata penguatnya yang mampu menenangkan diriku, “Yakinlah jika Allah mencintai kita. Yang terpenting bersabarlah dalam menjalani ini semua. Ikhlas lah menghadapi cobaan-Nya. Tak ada kata sia-sia dalam kesabaran dan dalam hati yang ikhlas.”
“Terima kasih nek, Asya sayang nenek. Nenek selalu menjadi teman bicara Asya selain Ibu.”
“Sudah-sudah…. tidurlah besok kamu harus bangun pagi dan sekolah. Ada ujiankan besok?” tanya singkat nenek.
“Besok hari terakhir pelaksanaan ujian praktik nek.” Jawabku sambil mengusap bekas air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk mataku.
“Ya sudah tidurlah. Semoga lancar ujian mu besok.”
“Aamiin. Baik Nekk.”
Aku segera membaringkan tubuhku ke kasur yang hampir mengeras itu untuk segera tidur agar bisa bangun pagi dan tidak kelewatan waktu subuh. Nenek pun kembali ke kamarnya seraya menutup kembali pintu kamarku.

Hari itu Asya melaksanakan ujian praktiknya yang terakhir. Meskipun sebenarnya kesedihan dan kekhawatiran menyelimuti hati Asya, namun dia tetap bisa melaksanakan ujiannya dengan tenang, teliti, dan hati-hati. Asya adalah siswa di SMKN 1 Cerme Gresik kelas XII dari teknik kejuruan kimia industri. Di kelas dua belas ini kehidupan Asya diuji Allah dengan berbagai cobaan yang tentu mengacaukan pikirannya disaat-saat mendekati kelulusan seperti ini. Ayahnya menderita penyakit kanker ganas yang sudah memasuki stadium akhir.
“Assalamualaikum Syaa.”
“Waalaikum salam, ada apa Hamm?”
“Om Tino masih dirawat di rumah sakit?” Tanya Ilham, salah seorang teman sekelasku yang juga saingan prestasi di kelas, nama lengkapnya Ilham Fathony. Dia anak yang baik, dia juga partner ku dalam acara bakti sosial sekolah yang diadakan setiap awal tahun pelajaran baru. Meskipun dia adalah salah satu siswa berprestasi di sekolah, tapi dia tidak pelit ilmu. Bahkan aku sendiri sering dibantunya dalam kesulitan menerima materi pelajaran.
Ilham dan Asya termasuk siswa yang berprestasi di sekolahnya. Merekalah peraih juara pertama dan kedua di kejuruannya, yang sering kali berganti posisi juara. Ketika Asya juara pertama Ilham juara kedua, begitupun sebaliknya.
“Masih hamm, kamu tahu darimana?” jawabku sambil sedikt tersenyum kepadanya. Meskipun kami bersaing dalam prestasi, tetapi kami tidak pernah bermusuhan dalam kehidupan sehari-hari.
“Kemarin nenekmu yang menceritakannya kepadaku sewaktu aku ke rumahmu hendak meminjam bukumu tapi kau tak di rumah.”
“Maaf ya Hamm kemarin aku di rumah sakit menemani Ibu menjaga ayah. Baru jam sembilan malam aku sampai di rumah.”
“Iya ngapapa, nenekmu sudah memberitahuku kemarin. Semoga lekas sembuh ya Syaa ayahmu.”
“Aamiin. Makasih Hamm… yaudah aku pulang duluan yaa. Assalamualaikum.” Aku harus segera pulang karena aku dan nenek mau ke rumah sakit menjaga ayah. Nenek pasti sudah menungguku di rumah.
“Waalaikum salam…”
“Semoga Allah selalu menguatkanmu Syaa… kamu tak perlu khawatir, banyak yang mendoakan kebaikanmu. Kamu anak yang baik dan saleha, kamu peduli sama semua orang. Banyak yang menyayangimu dengan tulus Syaaa. Andai saja kamu tahu itu.” Ucap lirih Ilham di tempat yang sama sewaktu mengobrol dengan Asya yang kini semakin jauh dari pandangannya.

Pak Tino, ayah Asya mengidap penyakit kanker sudah beberapa tahun terakhir ini. Kondisinya memburuk semenjak bulan September 2009 lalu. Disisi lain kondisi ekonomi keluarga Asya pun juga kian memburuk, yang mengharuskan Asya untuk mencari penghasilan sendiri untuk membayar uang sekolahnya karena orang tua Asya sudah tidak mampu lagi untuk membayar uang sekolah Asya. Setiap hari ketika tidak ada ujian Asya membantu ibu kantin saat pagi, jam istirahat, dan sore ketika jam pulang sekolah di salah satu kantin sekolahnya. Uang hasil membantu di kantin cukup untuk membayar SPP tiap bulannya. Sedangkan untuk keperluan lainnya Asya mendapat hasil dari membantu neneknya berjualan makanan di depan rumahnya.
Di hari itu Asya dan Nek Aci ke rumah sakit untuk menjaga ayahnya. Sudah sepuluh hari ayahnya dirawat di rumah sakit. Sesampainya di ruangan tempat ayahnya di rawat, Asya sontak menangis karena mendapati ibunya yang tengah menangis di samping ayahnya. Di ruangan itu juga ada seorang dokter, seorang perawat, dan dua saudara ayah, paman dan bibi yang juga terlihat meneteskan air mata.
“Nenek…. hiksss hiksss…” aku melepaskan genggaman nenek sambil memandanginya dan segera berlari ke posisi dekat ayah dan ibu. Suasana di ruangan itu benar-benar sayu. Hanya terdengar tangisan ibu dan bibi, dan ringkih nafas ayah yang seolah ingin terhenti. Dokter dan perawat itu terlihat panik memeriksa keadaan ayah.
Kulihat jelas dokter laki-laki itu menggelengkan kepala dengan mimik sedih di wajahnya. Kini paman mengucapkan kalimat Laillah haillallah berulang kali di telinga ayah untuk menuntun ayah mengucapkannya. Aku semakin tak kuasa membendung tangisanku di pelukan ibu. Aku memeluk ibu yang sudah mulai lemah tubuhnya itu di kursi di dekat ayah. Aku menggenggam erat tangan ayah dengan perasaan penuh harap kepada illahi rabbi untuk menyelamatkan ayah, namun… inilah kenyataan pahit yang harus aku terima dengan penuh keikhlasan dan ketabahan.
“Laillah haillallah…” Ucap paman menuntun lafal ayah.
“Laaa…ill……lllah..”
“Laillah haillallah….” Ulang paman semakin dekat dengan telinga ayah. Tangisanku semakin pecah melihat sakaratul maut ayah di hadapanku langsung saat ini. Waktu terasa begitu lambat. Ruangan begitu penatt dan hanya piluh yang aku rasa saat ini.
“Laill….llah……ha….illa……..llah”
Innalillahi wa innailaihi roji’un… Allahuakbar… ohh Allah… mengapa semua ini terjadi kepadaku. Mengapa semua ini terjadi di saat-saat aku sangat membutuhkan ayah untuk mendampingi aku. Kuatkan aku Ya Allah kuatkan ibuku dan keluargaku menerima semua ini. Ini adalah yang terbaik untukmu ayah. Semoga ayah diterima di sisi allah yang paling mulia. Ayah adalah laki-laki terhebat dalam hidup Asya. Ayah yang selalu memberi motivasi ketika Asya menangis karena kelelahan belajar. Ayah yang selalu menjaga Asya. Ayah tak pernah mengatakan lelah untuk mendidik dan menyekolahkan Asya. Asya sangat sayang sama ayah. Terima kasih ayah telah menjadi laki-laki yang sangat berharga untuk Asya. Maaf ayah, Asya selalu merepotkan ayah selalu mengesalkan ayah selalu membuat ayah khawatir maaf ayah. Asya janji akan menjaga ibu semampu Asya. Asya janji akan menjadi anak yang sukses dan membuat bangga ayah sama ibu. Tenanglah di sana ayah.
“Mbakk… Mbak yuu bangun Mbak… Mbakk…” Ucap bibi menyadarkan lamunanku yang hanyut dalam duka atas kepergian ayah.
“Buu.. Ibu bangun Buu.. lihat Asya. Asya di sini menemani Ibu. Ibu ngaa sendirian.” Bisik ku di telinga ibu yang pingsan di pangkuan bibi.
“Ndukkk… sudah… ibumu biar nenek sama bibi yang merawat. Kau bersama pamanmu saja merawat jenazah ayahmu. Kau pasti akan merindukan ayahmu kelak.”
“Baiklah Nekk. Asya titip ibu ya Nek.” Aku bergerak ke samping jenazah ayah. Kuciumi kening ayah dan kupeluk tubuh ayah yang sudah mulai dingin itu untuk terakhir kalinya. Tangisanku pun tak kunjung hentinya. Badanku pun serasa begitu lemah dan letih. Seoalah tertancap seribu duri di dadaku, dadaku rasanya sesak…. piluhhhh menerima semua ini.
Aku dan paman menemani jenazah ayah di mobil ambulan. Sementara ibu, nenek, dan bibi serta beberapa keluarga lainnya di mobil pribadi paman. Sewaktu di dalam mobil ambulan aku hanya diam sambil menatap kosong ke arah luar jendela belakang mobil ambulan, sedangkan paman membacakan surat yasin untuk jenazah ayah sambil sesedikit mengusap tetsan air matanya yang jatuh di pipinya yang sedikit tirus itu.
“Syaaa?”
“Asyaa…”
“Asya kamu melamun Nak?” Tanya paman mengagetkanku.
“Emmmm… iii… iyaa Paman, ada apa?” Jawabku terbantah-bantah sambil mengusap air mata yang mengembang di pelupukku.
“Ayo turun Nak sudah sampai, biar jenazah ayahmu segera dimakamkan.”
Deggg… hatiku mendesir.. ohhh Allah… terimalah ayahku di sisi terbaik-Mu. Ampunilah segala dosa ayahku. Dan lancarkanlah pemakaman ayahku Ya Allah…
Waktu terasa berjalan sangat lambat, semua orang sibuk menyiapkan pemakaman ayah. Ibu masih lemah tubuhnya dan terus meneteskan air mata di samping ayah hingga ayah dibawah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Aku yang berusaha kuat di hadapan ibu meskipun sesekali air mata ini tak mau mengalah untuk tak jatuh, tapi apalah dayaku yang memang inilah ungkapan betapa besar kesedihanku.
Alhamdulillah… di pagi ini pemakaman ayah sudah selesai dan berjalan lancar. Meskipun pemakaman sudah selesai, namun sebagaian besar kerabat dan saudara masih tinggal di rumah. Nenek terus menguatkan ibu yang kini sudah mulai membaik keadaannya. Meskipun sangat berat tapi bagaimanapun juga harus tetap mengikhlaskan kepergian ayah.
Waktu terus berjalan, hari ini tepat satu bulan ayah meninggalkan kami semua. Keadaan di rumah pun sudah membaik, seringkali ada tawa diantara aku, ibu, dan nenek. Kami bertiga saling menguatkan dan memberi semangat satu sama lain untuk terus menjalani kehidupan yang lebih baik Aku harus tetap fokus untuk bisa meraih cita-citaku dan dua hari lagi adalah tiba saatnya acara wisuda purna siswa yang akan dilaksanakan di salah satu wisma milik perusahaan di Gresik kota. Semua persiapan pun sudah selesai aku siapkan, kebaya pun sudah aku pinjam dari sepupuku.

Di acara wisuda itu Asya tampil begitu cantik dan anggun membuat siapapun tak mengedipkan matanya ketika memandang Asya. Baju kebaya long dress berwarna peach berpadu merah, serta jilbab yang sangat serasi itu semakin mempercantik penampilan sederhana Asya yang anggun. Sedikit polesan make up membuat raut wajah Asya semakin terlihat nyaris sempurna. Dalam acara itu diumumkan peraih nilai UNBK terbaik se-kabupaten Gresik dengan total nilai 37,50. Semua wisudawan berdebar-debar hatinya ketika satu nama peraih prestasi itu hendak disebutkan.
“Wisudawan peraih nilai UNBK terbaik se-angkatan XX SMK Negeri 1 Cerme tahun pelajaran 2018/2019 sekaligus peraih nilai UNBK terbaik se-kabupaten Gresik adalah…”
Hatiku pun turut berdegup kencang. Peringkat ketiga se-SMK diraih oleh siswa kejuruan TITL(Teknik Instalasi Tenaga LIstrik), peringkat kedua diraih oleh Ilham… yaa Ilham saingan sekelasku itu. Dan peringkat pertama diraih oleh siapa yaa.. hatiku terus bertanya-tanya sendiri.
“Naura Asyana Shafiyah.” Deggg… namaku disebutkan oleh pembawa acara. Sungguh aku tidak percaya saat ini. Apa benar namaku yang diaebutkan oleh pembawa acara tadi?
“Dimohon kepada ananda Naura Asyana Shafiyah dari Kejuruan Teknik Kimia Industri untuk ke depan menerima penghargaan dari Kepala SMK Negeri 1 Cerme.”
Alhamdulillah terima kasih Allah Engkau memberikan anugerah ini kepadaku. Seketika air mata rasa syukurku menetes dan satu kata yang terlintas dalam benakku, Ayah.
Rangkaian acara demi acara sudah terlaksana dengan baik. Semua teman dan bapak ibu guru memberi ucapan selamat kepadaku. Tak ketinggalan, Ilham dan bundanya pun ikut memberiku ucapan selamat atas apa yang telah aku raih. Bunda Ilham pun memberiku sebuah kado dan buket bunga dengan terus menjabat tanganku sembari berbincang dengan Ibu. Tak ku sangka Bunda Ilham memelukku hangat seperti pelukan seorang ibu terhadap anak kandungnya. Ya… memang Ilham tidak mempunyai saudara kandung perempuan, dia hanya memiliki satu orang adik laki-laki jadi menurutku wajar saja jika bundanya memperlakukanku seperti itu.

Beberapa hari setelah dilaksanakannya acara wisuda ketika Asya sedang berbincang dengan ibu dan neneknya di ruang keluarga tiba-tiba dikejutkan dengan suara ketukan pintu dan ucapan salam dari luar rumah. Suara itu seperti tidak asing bagi Asya, Asya pun segera membuka pintu dan menjawab salam tersebut.
“Waalikum salam.”
Masya’allah Bu Fidah, aku terkejut ketika yang berdiri di depan pintu adalah Bu Fidah, wali kelasku di SMK. Aku bertanya-tanya dalam hati ada perlu apa Bu Fidah kemari, apa hanya sekedar bersilaturrahmi atau ada keperluan yang lain aku tidak mengetahuinya sama sekali.
“Loohh kenapa Syaa kok wajahnya kaget seperti itu?” Tanya Bu Fidah
“Emmm… ti… tidak Bu, mari masuk Bu.”
Nenek, Ibu, dan Bu Fidah duduk di tikar ruang tamu. Sementara aku di dapur untuk menyiapkan minuman dan makanan kecil untuk Bu Fidah. Mereka berbincang-bincang yang aku sendiri pun tidak mengetahui alur pembicaraannya.
“Mari Bu diminum dulu tehnya.”
“Terima kasih Nakk. Kedatangan Ibu ke sini hendak menyampaikan titipan dari sekolah untuk Asya. Mohon diterima.” Sambil tersenyum, Bu Fidah memberikan sebuah amplop berwarna putih itu kepadaku. Aku pun menerimanya dengan senyuman dan membuka isi amplop itu perlahan.
Subhanallah Allah Maha Baik kepada hamba-Nya. Aku tidak menyangka jika mendapat penghargaan sedemikian luar biasanya untuk aku dan keluarga kecilku ini. Amplop itu berisi surat undangan beasiswa dari salah satu universitas swasta di Gresik kota. Alhamdulillah Ya Allah… beasiswa ini membiayai kuliahku hingga lulus sarjara S1. Syukron jazakillah khoir wahai Allah. Aku akan berusaha sebaik mungkin menjaga amanat yang Kau berikan padaku ini Ya Rabb… aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatanku untuk mencapai kesuksesan dikemudian hari. Aku akan menjadi orang yang sukses dan membuat bangga Ibu, Nenek, dan tentunya Ayah di surga. Ayahh… Asya akan berjuang yah, Asya akan selalu ingat kata-kata ayah bahwa Allah tidak akan memberi keindahahan melebihi hati yang ikhlas dan bersabar. Aamiin…
Saat Asya membaca isi amplop itu dia sempat menangis haru bersama Ibunya. Bagaimana tidak, memang Asya sangat ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun kondisi ekonomi keluarga yang tidak stabil membuat Asya terpaksa tidak melanjutkan study nya ke perguruan tinggi dan harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Tapi berkat kesabaran, keikhlasan, dan keuletan Asya dalam menempuh pendidikan Allah mengizinkannya untuk masuk ke perguruan tinggi tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun. Masya’allah sungguh Maha Besar Allah dengan segala kehendak-Nya.
Pendidikan Asya di salah satu universitas di Gresik kota itu berlangsung selama empat tahun. Hari-harinya dijalani dengan penuh perjuangan. Meskipun uang kuliahnya telah dijamin oleh pihak perusahaan, namun Asya harus tetap mencari pekerjaan sambil kuliah karena harus membantu ekonomi keluarganya. Dia bekerja di restoran kecil dekat kampusnya. Restoran itu milik teman kampusnya yang juga telah menjadi sahabat barunya semenjak menjadi mahasiswa.
Asya tidak tinggal di kos sewaktu menjadi mahasiswa dikarenakan tidak tega meninggalkan Ibu dan Neneknya di rumah. Dia ingin selalu bisa menjaga Ibu dan Neneknya di tengah padatnya jadwal kampus. Selain itu jarak kampus dan rumahnya pun tidak terlalu jauh. Jadi setiap selesai ada kelas dan setelah selesai bekerja hingga jam 9 malam Asya selalu pulang ke rumah yang menurutnya itu adalah istana termegah dan terindah di dunia.
Seringkali Asya merasa rindu dengan seseorang yang sedari dulu dicintainya. Namun perasaan rindu itu tak pernah tersampaikan dikarenakan semenjak acara wisuda itu dia tak pernah bertemu lagi dengan pria itu. Dia mendapat kabar jika pria itu kini menetap di Surabaya bersama keluarganya. Asya pun memilih untuk tetap dia dan tidak berusaha mencari kabar tentang pria itu karena Asya tidak ingin berharap yang tidak pasti dan tidak ingin selalu memikirkan hal yang dapat menganggu belajarnya. Hingga tak terasa Asya sudah menamatkan belajarnya dan mendapat gelar sarjana S1. Asya juga telah direkurt di salah satu perusahaan besar di daerah Gresik.
Kini Asya telah menjadi pegawai tetap di perusahaan itu. Sudah hampir 3,5 tahun dia bekerja sebagai pegawai administrasi di perusahaan besar itu. Gaji yang diperolehnya ia gunakan untuk berbagai keperluan keluarga dan rumah mulai dari membangun kembali rumah sederhananya itu, membeli sebuah kendaraan pribadi, dan yang paling penting ia tidak lupa untuk mencukupi segala kebutuhan Ibu dan Nenek tercintanya. Meskipun Asya sudah menjadi wanita yang sukses Asya tetap menjadi gadis kecil lugu yang rendah hati dan ringan tangan untuk keluarganya.
Suatu hari ketika Asya telah rampung menyelesaikan pekerjaannya dan hendak keluar ruang kerjanya, Asya heran mengapa di depan pintu ruang kerjanya ada sebuah buket bunga kesukaannya yakni bunga mawar merah. Di buket itu ada sepucuk surat di kartu berwarna pink bergambar boneka taddy bear bertuliskan ‘Assalamualaikum Syaa. Ana uhibuka fillah. Wassallam.” Pesan itu begitu singkat dia pun melihat sekelilingnya tidak ada yang mencurigakan.
“Ana uhibuka fillah. Aku mencintaimu karena Allah.” Lirihku yang sedikit menggetarkan hati ketika membaca pesan singkat ini. Membuatku teringat pada seseorang yang sangat aku rindukan suaranya.
“Asya?” suara lembut yang datang dari hadapanku itu sontak membuat tubuhku bergetar tidak jelas.
“Ilham? Benarkah itu kau?”
“Benar. Asya Ana uhibuka fillah. Maukah kau menjadi makmumku? Min fadhlika Asya.”
“Maksudmu bagaimana Ilham? Kau adalah teman lamaku.” Aku bingung dengan apa yang diucapkan oleh Ilham barusan. Tubuhku bergetar seolah ingin segera mengatakan jika aku juga mencintaimu Ilham. Aku merindukanmu. Tapi entah mengapa mulut ini seolah membisu tak mampu mengucapkan hal itu.
“Aku mencintaimu Syaa, kita berada di perusahaan yang sama dan aku sudah mengetahui itu sejak pertama kali kau datang ke perusahaan ini namun aku selalu bersembunyi darimu karena aku takut jika aku akan terus mencintaimu tapi kau sudah bersama lelaki lain hingga pada akhirnya aku mencari tahu tentang dirimu secara diam-diam. Aku juga sudah menanyakan ini kepada Ibu dan Nenekmu. Semuanya tergantung pada keputusanmu Syaa. Aku tahu jika kau pun sebenarnya sangat mencintaiku tapi kau menyembunyikan itu dari semua orang kecuali Ibu dan Nenekmu. Begitupun dengan diriku yang sejak lama memendam perasaan ini kepadamu. Jawablah menurut kehendak hatimu Syaa. Aku sangat mencintaimu.”
“Datanglah ke rumahku bersama orang tuamu jika kamu benar-benar serius denganku.”
“Baiklah nanti malam aku bersama orang tuaku akan datang ke rumahmu.”
Setelah itu aku mengucap salam kepadanya. Aku harus segera pulang ini sudah terlewat 15 menit jam biasa aku pulang kerja Ibu dan Nenek pasti sudah menungguku.
Malam ini akan ada seorang laki-laki yang sangat aku cintai datang ke rumah untuk melamarku. Wahai Allah… betapa bahagianya perasaan ini dengan segala takdir indahmu. Dan sekarang tepat di ruang tamu ini keluargaku dan keluarganya berkumpul beserta Paman Hasan sebagai wali yang menggantikan ayah karena hanya beliaulah saudara laki-laki almarhum ayah.
“Bismillah dengan segenap hati saya bersedia menjadi makmum dari Ilham Fathony. Saya menerima lamaran ini.” Allahdulillah akhirnya kata-kata ini mampu aku ucapkan dengan tenang meskipun sebenarnya tubuh ini bergetar hebat saat mengucapkannya. Wallahi aku sangat bersyukur bisa dipersatukan dengan laki-laki sholeh yang aku idamkan dalam diam itu. Semua keluarga mengucap syukur atas keputusan ku itu. Ibu memelukku sambil menangis haru karena kini gadis kecilnya akan segera menjadi milik lelaki yang dicintainya.
Hari ini tanggal 24 Juni 2018 adalah hari bahagiaku bersama Ilham… ehhh maksudnya Mas Ilham. Kini aku telah sah menjadi kekasih halalnya. Semua keluarga, kerabat, dan teman ku dan teman Mas Ilham menjadi saksi janji suci akad yang diucapkan olehnya. Semua orang berbahagia dan memberi kami ucapan selamat atas pernikahan kami.
“Asya… Zaujatii, Antii habiibatii anti. Laa ajidus sa’aadah illa ma’aka. Ana uhibuka fillah zaujati…”
“Ana uhibuka fillah, habibi…”
Akhirnya kalimat itu terucap oleh Asya. Bertahun-tahun lamanya Asya memendam perasaan itu dan sekarang Asya hidup bahagia bersama Ilham suaminya, Ibu, dan Neneknya. Asya telah menepati janjinya kepada ayahnya. Asya telah berhasil menjadi orang yang sukses dan akan selalu menjaga Ibunya. Asya adalah wanita yang sangat kuat, hatinya sangat tulus dan ikhlas menjalani setiap ujian demi ujian yang menimpanya.
——-SELESAI——-


Penulis

6 COMMENTS
  • Niswatun Hasanah
    Reply

    i love it

  • Novia Lailatul Lasari
    Reply

    ceritanya lucu. hehehe :v
    terus buat karya lagi yaa

  • Anonym
    Reply

    Bagus kak ceritanya, semangat terus kak^^

  • Anita wahyuni
    Reply

    Semoga Ceritanya menjadi motivasi untuk bnyk org kak

  • syair sidney
    Reply

    wow, tulisan ini sangat menolong. ane jadi mengetahui banyak hal dari postingan ini. good job!!!

    1. Penulis
      Reply

      Terima kasih. Semoga bisa mengedukiasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *