Sophia Madina Kahsyaf

Sophia Madina Kahsyaf, gadis cantik keturunan Arab ini, adalah seorang gadis Muslimah. Ayahnya adalah seorang Imam di pesantren Al-Wadud. Ibunya, seorang aktivis Muslimah. Kakeknya adalah seorang ulama besar. Ia adalah cucu satu-satunya ulama besar Al-Wadud, Abdul Halim Al-Ghaffar. Ia dibina sejak kecil tentang akhlak, Al- Qur’an, Hadits, Tarikh. Ia dibina oleh kakeknya, santri-santri Al-Wadud, dan tentunya Ayah dan Ibunya.
%%%%%%%%%%%%%%%%%%

Hotman Tambung Siahaan, seorang uskup besar di gereja St. Michaella Erguet. Abdul Halim dan Hotman Tambung adalah sahabat. Sahabat karib yang sudah bersahabat sejak kecil. Mereka saling menghormati agama sahabatnya. Tak pernah ada rusuh. Bagi mereka, sahabatlah yang terpenting, soal keyakinan, itu urusan masing-masing.
Sudah lama, semenjak kakek Sophia dan kakek Gerhan berkeluarga, mereka selalu berkunjung ke rumah. Entah itu, kakek Hotman berkunjung ke rumah kakek Abdul. Dibawa lah makanan-makanan halal jika kakek Hotman berkunjung ke rumah kakek Abdul. Atau pun, kakek Abdul sering membawa kurma atau makanan-makanan khas Arab pada kakek Hotman.
Sejak kecil juga, Gerhan dan Sophia sudah saling mengenal. Terlebih, Yovanca Jani Siahaan, kakak Gerhan Davideca Siahaan, sering bermain bersama. Entah itu bermain petak umpet, masak-masakan, lompat tali, atau tidur sekali pun. Orangtua Sophia dan Gerhan pun sudah saling akrab, sudah saling mengenal. Mereka juga sering membantu, antara satu sama lain. Mereka seperti sudah bersaudara. Tapi bagi mereka, satu hal yang tidak bisa diubah, tidak bisa dilakukan, pernikahan antara Sophia dengan Gerhan. Karena mereka tahu betul, itu tidak diperbolehkan.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Semuanya berubah. Sophia, Jani dan Gerhan pun tumbuh dewasa. Makin besar, makin berjarak hubungan antara Sophia dengan Gerhan. Yang awalnya, sering tidur bersama dengan Gerhan dan Jani, tapi sekarang tidak. Karena mereka, bukan anak kecil lagi. Dalam berjabat tangan pun, Sophia kini mengatupkan kedua tangannya ke depan dadanya, berlaku pada Gerhan, kakek Hotman, dan seluruh keluarga laki-laki Gerhan, terkecuali Jani dan keluarga perempuan Gerhan.
Sophia dewasa, sering bermain dengan Jani. Entah itu menonton film, tidur atau pun berphoto. Tapi tidak dengan Gerhan. Kadang Gerhan merasa bersedih. Mengapa harus tumbuh dewasa, bila menjadi anak kecil yang polos pun lebih menyenangkan? Kata Jani, itu adalah yang seharusnya dan sikap Sophia sekarang yang dewasa, adalah yang seharusnya. Yang seharusnya dari agamanya. Kita harus bersikap toleransi. Kita harus saling menghargai.
Memandang wajah Gerhan saat mengobrol, Sophia enggan. Susah sekali bagi dirinya untuk mengobrol dengan Sophia. Dengan bebas, dengan gembira. Kata kakek Hotman, lebih baik pakai surat saja. Ya, walau lama di balasnya, tapi tentu lebih mengasyikkan. Seperti kakek Hotman, yang menyurati nenek Yaren, kekasih hatinya, yang kini adalah istrinya. Tapi ia rasa, itu akan lebih sulit. Ia merasa, sahabat kecilnya itu telah hilang. Telah pergi. Sudah tak menemani lagi kesehariannya bersama Jani.
“Selamat siang Pia! Nanti kita nonton film yuk bareng Kak Jani. Terserah, kamu mau nonton apa, dan nanti bakal aku bayarin. Kalau kamu mau, bales ya surat ini. Oh ya, maaf kalau aku pake surat. Soalnya, kalau kita ngobrol kamu nggak pernah liat muka aku sih. Jawab ya Pia!” Itu yang Gerhan tulis pada selembar kertas putih. Ia berikan pada Mbah Mina, pembantu yang sudah mengabdikan dirinya berpuluh-puluh tahun pada pesantren Al-Wadud, untuk diberikan pada Sophia.
Mbah Mina melihat Sophia sedang ada di taman sambil menyiram bunga, tepat di belakang pesantren, sambil bershalawat. Jilbabnya berwarna hijau muda, panjang menutupi dada dan perutnya, bajunya gamis, berwarna hijau tua dan bermotif bunga-bunga. Dia cantik. Wajahnya bagai rembulan di malam hari. Matanya tajam, indah dan besar. Hidungnya mancung. Alisnya tebal. Bulu matanya tebal dan lentik. Bibirnya merah bagai delima dan senyumnya indah. Kulitnya putih bersih dan manis, terbalut jilbab. Sungguh cantik. Percis umminya.
“Assalamu’alaikum, Neng Pia!” Sapa Mbah Mina.
“Wa’alaikumussalam, Mbah Mina. Ada apa Mbah?” Jawab Sophia sembari tersenyum, senyumnya menambah manis wajahnya. Ia menurunkan selang berwarna biru yang tadi ia gunakan untuk menyiram bunga.
“Ini Neng, ada surat dari Kang Gerhan!” Mbah Mina menyerahkan sepucuk surat. Wajah Sophia kebingungan, tak biasanya Gerhan mengirimkan surat pada dirinya.
“Hatur nuhun, Mbah!” Ucap Sophia. Mbah Mina pun pergi meninggalkan Sophia. Sophia membolak-balikkan surat itu. Dilihat tidak ada tulisan apa pun, ia langsung membuka surat itu. Dia membaca surat itu sampai habis. Dia tersenyum. Gerhan yang ia kenal, masih tetap sama seperti Gerhan dua puluh dua tahun lalu. Ia tak berubah. Sophia pun menyelesaikan tugas menyiram bunga terlebih dahulu. Dan ia, berencana untuk menemui Gerhan, sahabat kecilnya itu.
Sementara di sisi lain, Gerhan menunggu balasan Sophia. Ia lupa, tidak menyuruh Mbah Mina untuk mengirim lagi balasan atas surat yang ia berikan pada Sophia. Ia bingung, juga penasaran. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi menemui Mbah Mina, saat membalikkan badan, BRAAKK! Dia bertabrakan dengan seorang wanita memakai baju gamis hijau tua.
“Aduh, maaf Ummi Aisyah. Gerhan nggak sengaja nabrak Ummi. Ntar Gerhan hati-hati deh. Sumpah Ummi, maaf!” kata Gerhan sembari hanya melihat bagian bawah gamis yang berwarna hijau tua. Sesudah itu, dia pergi dan berlari tanpa melihat ke belakang.
“Ummi Aisyah?” kata Sophia kebingungan
“Gerhan, ini aku Pia. Gerhan!” teriak Sophia pada Gerhan.
Dari kejauhan Gerhan mendengar, ada yang memanggil-manggil namanya. Ketika dia berhenti berlari dan menengok ke belakang, dia lihat ada Sophia, sahabat kecilnya. Gerhan pun berlari kecil menghampiri Sophia. Pipinya memerah karena malu. Sophia tertawa kecil.
“Hehe. Kamu Pia, kirain Ummi Aisyah!” kata Gerhan sambil menggaruk-garuk kepalanya. Pipinya masih merah, menahan malu.
“Haha. Ada-ada aja kamu. Ini kan siang, Han. Jam segini Ummi lagi ngaji di masjid Al-Mughniy. Pake takut segala lagi kamu. Kan Ummi udah anggep kamu sebagai anaknya juga!” terang Sophia sambil memandang wajah Gerhan.
Gerhan terpaku. Baru kali ini, di usia yang se-dewasa ini, Sophia memandang wajahnya sambil tersenyum. Ia tak menyangka, Sophia begitu cantik. Ia tak menyadari itu. Kemana saja ia, pikirnya. Kini, ia hanya terpaku melihat wajah cantik Sophia. Tanpa berkedip. Tanpa bersuara.
“Hei! Ngapain kamu? Liatin muka aku segitunya banget!” tanya Sophia sembari menjetikkan jarinya ke depan wajah Gerhan.
“Eh.. Hmm.. Maaf Pia. Aku kira kamu Ummi Aisyah. Ya aku takut aja, terus ngerasa bersalah. Udah nabrak Ummi!” jawab Gerhan sembari tersenyum.
Ia lupa, bahwa tujuan ia mendatangi Gerhan untuk menyampaikan perihal surat yang diberikan Gerhan padanya. Lalu, ia menyampaikannya.
“Oh iya Han. Ini surat yang tadi kamu kasih lewat Mbah Mina. Belum aku bales. Nih suratnya aku balikin!” Sophia memberikan surat tersebut kepada Gerhan.
“Lah, kenapa di balikin? Kalau udah di bales boleh di balikin ke aku. Orang belum di bales, udah mau di balikin aja!” serungut Gerhan sembari mengambil surat tersebut.
“Idih marah gitu aja. Aneh ya kamu. Mana mungkin aku akan bales surat itu, kalau kamunya sebagai orang yang kasih surat, ada di hadapan aku!” terang Sophia.
Gerhan terdiam.
“Aku nggak tertarik tuh sama ajakan nonton film. Mau itu di bayarin atau film-nya aku yang pilih. Aku nggak mau berduaan sama yang bukan muhrim. Itu juga alesan, kenapa aku jarang liat muka kamu!” terang Sophia.
“Oh gitu Pia. Aku ngerti sekarang. Maaf ya. Tentang urusan film ya udah kalau nggak mau sama aku. Bisa kok nonton bareng Kak Jani, kalau kamu mau. Aku traktir juga!” bujuk Gerhan sembari tersenyum.
“Aku nggak bisa, Han. Seminggu ini aku ada jadwal padat. Sore nanti aku dateng ke kajian Ustadz Syahril di Jalan Ramadiptu, selasa belajar Tahsin bareng Denna, Olva, Cia dan Arum, rabu belajar Matematika di sekolah bareng Kak Nesha dan Kak Alam, kam..,” belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Gerhan bertanya.
“Berarti hari Ahad bisa dong?” tanyanya. Matanya berbinar-binar.
“Aku kan udah bilang. Seminggu ini padat. Hari Ahad aja aku mau ziarah ke kuburan almarhumah nenek Rifshah di Jamburatu. Maaf banget, Han. In shaa Allah, nanti aku luangin waktu untuk nonton. Tapi inget, harus ada Kak Jani!” terang Sophia.
“Iya bawel!” Gerhan mendekati Sophia, ingin menyubit pipinya. Tapi, Sophia langsung mundur dan mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya. Sophia hari ini berbeda dengan Sophia dua puluh dua tahun yang lalu, yang bisa ia cubit pipi tembamnya. Sophia melihat ke bawah. Sesudah itu, Sophia pergi.
Hatinya sedih. Mengapa Sophia seperti itu? Ia pun pulang ke rumahnya dengan membawa sepucuk surat yang ia dapatkan kembali dari Sophia.
Di sisi lain, Sophia juga merasa bersalah, telah meninggalkan Gerhan. Ia seharusnya izin terlebih dahulu. Tapi sudahlah, itu sudah berlalu.
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%

Malam sudah menghampiri bumi. Dingin menjadi teman yang setia bagi malam. Sophia melihat ponselnya, barangkali ada pesan masuk dari Gerhan atau dari Kak Jani. Lima belas menit ia menunggu. Lima belas menit pula, dia belum tidur. Kegundahan dan kerisauan hatinya pada Gerhan mengalahkan rasa kantuknya. Ia bingung harus berbuat apa. Hingga ia ingat, bahwa Gerhan biasanya tidak akan langsung tidur. Gerhan selalu memandang langit malam yang tenang. Sophia punya ide, Sophia ingin menghubungi Gerhan.
“Selamat malam Gerhan. Aku minta maaf soal tadi siang. Aku ngerasa canggung kalau kamu deket sama aku. Dan seharusnya kamu juga ngerti, kalau kamu gak bisa nyubit pipiku lagi, kaya waktu aku kecil. Karena kamu bukan mahram aku. Makannya, tadi siang aku pergi ninggalin kamu tanpa izin. Aku harap kamu ngerti, Han!” Pesan yang Sophia kirimkan pada Gerhan lewat ponsel putihnya.
Sophia penasaran. Ia menunggu balasan dari Gerhan. Ia khawatir sahabatnya itu sudah tidur. Ternyata, ia merasakan bagaimana rasa penasaran itu membuncah dengan dahsyat lebih dari apa yang ia rasakan sebelumnya. Ia teringat Gerhan yang menanti balasan suratnya di siang tadi. Malam ini benar-benar membuatnya kehabisan akal, mana mungkin hanya menunggu balasan dari SMS Gerhan bisa membuatnya penasaran dengan sebegitu dahsyatnya. Bahkan rasa kantuk pun enggan untuk menyapa.
Di sisi lain, Abi Kahsyaf, Ayahanda Sophia, bangun dari tempat tidurnya dan pergi menuju dapur untuk minum segelas air es. Saat Abi Kahsyaf akan pergi ke dapur, ia melewati kamar putrinya, Sophia. Ia mendengar ada suara.
“Astaghfirullah. Mungkin itu dari hp-nya Pia!” Abi Kahsyaf terkejut mendengar suara tersebut. Mengingat malam itu sedang hening-heningnya. Abi Kahsyaf pun pergi ke dalam kamar Sophia. Biasanya Abi Kahsyaf memang sering memainkan ponsel putrinya. Bahkan, Abi Kahsyaf pun tahu akan rahasia-rahasia putrinya, tak terkecuali Ummi Aisyah dan kakek Abdul.
Saat memasuki kamar putrinya, Abi Kahsyaf tak mendapati putrinya. Mungkin ia sedang pergi ke kamar mandi, pikirnya. Di ambillah ponsel putih milik putrinya. Ia begitu terkejut. Bukan dengan adanya SMS dari Gerhan seperti biasanya, melainkan pesan yang isinya:
“Iya udah aku maafin. Lain kali jangan kaya gitu deh Pia. Nggak suka aku. Oh iya, sering-sering senyum dong. Kalau senyum kamu itu jadi lebih cantik. Dan, aku suka tuh sama wajah kamu. Kebayang-bayang terus tau!” pesan yang dikirim Gerhan.
Abi Kahsyaf tak menyangka. Gerhan yang ia kenal dua puluh dua tahun lalu berbeda dengan Gerhan yang sekarang. Ia kira, Gerhan tak akan menggoda putrinya. Ia kira, Gerhan akan benar-benar menganggap putrinya sebagai sahabat. Tidak lebih. Padahal, Gerhan sendiri sudah di jodohkan dengan putri uskup besar di kota seberang, rekan kakek Hotman. Lidiya, gadis cantik yang baik. Ia tak habis pikir.
“Abi!” Tegur Sophia, ketika sudah berada di kamarnya. Baru saja.
“Putriku. Jangan sampai kamu terbuai oleh rayuan Gerhan!” Ia marah. Mukanya memerah.
“Ada apa Abi? Abi harus tenang dulu!”
“Bagaimana Abi bisa tenang? Coba kamu baca!” Ia menyerahkan ponsel putih tersebut kepada Sophia.
Setelah membaca pesan tersebut, Sophia terkejut bukan main. Gerhan yang ia kenal, kini telah berubah. Ia tahu, ini bahaya. Jika Gerhan terus merayunya dan Sophia terbawa oleh rayuannya, ini jelas bahaya. Mengingat mereka berbeda agama. Gerhan beragama Kristen Protestan, sementara Sophia beragama Islam. Dan mengingat, bahwa Gerhan telah dijodohkan dengan Lidiya. Ia termenung.
Abinya merebut ponsel yang di pegang Sophia. Dan mengetik beberapa kata, sepertinya membalas pesan dari Gerhan.
“Gerhan. Jangan melewati batas kamu! Ingat!” Ketik Abi Kahsyaf dan langsung mengirimkannya pada Gerhan.
“Sayang. Kamu harus ingat. Kita itu Muslim, dia itu umat Kristiani. Tak ada saling suka. Tak ada saling kagum. Jauhi Gerhan itu. Jangan sampai kamu saling mengirim pesan yang tidak-tidak dengan dia. Bila bersahabat, Abi izinkan. Abi tak ingin lihat kamu berdekatan dengan dia. Bila dengan Jani, silahkan. Tapi jangan sampai berlebihan!” Nasihat Abinya itu membekas pada hatinya. Abinya pun keluar kamarnya dan segera pergi ke dapur.
Sophia menghela napas. Tanpa memikirkan apa pun lagi, Sophia langsung tidur.
%%%%%%%%%%%%%%%%%%

“Assalamu’alaikum, Sayang!” Sapa Ummi Aisyah sambil mengetuk pintu Sophia yang bercat merah muda.
“Wa’alaikumussalam Ummi!” Jawab Sophia sambil membuka pintu.
“Ayo Ummi masuk!”
“Tidak Sayang, Ummi disini saja. Hmm.. Ayo siap-siap. Kakek dan Abi menunggu kamu di taman. Ada yang ingin dibicarakan!” Terang Ummi Aisyah.
“Masalah apa Ummi?”
“Udah. Kamu akan tahu, kalau kamu udah ada disana!”
“Ya udah, yuk kita kesana. Lagi pula, Pia udah siap-siap!”
Ummi Aisyah mengangguk. Mereka berdua pun berjalan. Hati Sophia berdesir. Ia penasaran. Cemas. Gelisah. Semua bersatu. Tiba lah Sophia dan Ummi Aisyah di taman.
“Assalamu’alaikum, Abi, Kek!” Sapa Sophia.
“Wa’alaikumussalam, Pia!” Jawab kakek Abdul.
Sebenarnya, Abi Kahsyaf memberi tahu kepada kakek Abdul, bahwa Gerhan telah merayu Sophia. Maka daripada itu, Abi Kahsyaf, kakek Abdul dan Ummi Aisyah berencana menjodohkan Sophia dengan Ustadz Syahril, seperti halnya di pagi hari ini.
Mereka hanya terdiam. Inilah tradisi keluarga Sophia. Diam saat menunggu kedatangan tamu. Berdebar jantung Sophia. Satu menit Sophia dan keluarganya menunggu. Datanglah Ustadz Bahar dan Ummi Fitri, diikuti putranya yang tampan, Ustadz Syahril.
Sophia terpukau. Ustadz Syahril sungguh tampan. Ia mencintai Ustadz Syahril sejak lama. Saat pertama kali Ustadz Syahril berkunjung ke rumahnya. Tepat ketika Sophia berusia tujuh belas tahun. Ia bersyukur, kecemasannya berakhir indah. Ia begitu senang. Ummi Aisyah tahu akan perasaan putrinya itu.
Tanpa mengobrol lebih lama, keluarga Abi Kahsyaf dan keluarga Ustadz Bahar ingin mejodohkan Sophia dengan Syahril. Sungguh, jantung Sophia berdebar bukan main. Ia tak menyangka. Doa-doa yang ia panjatkan di sepertiga malam kepada Allah Swt. Untuk berjodoh dengan Ustadz Syahril terkabul. Ia bersyukur. Air matanya deras mengalir. Begitu juga Ummi Aisyah.
Di sisi lain, air mata Ustadz Syahril juga mengalir deras. Ia juga telah memendam rasa cinta pada Sophia. Sama seperti ia pertama kali berkunjung ke rumah Sophia.
Tanpa berpikir lama, tepat dua minggu lagi. Tepat dimana Sophia berumur dua puluh tiga tahun. Utadz Syahril berumur dua puluh lima tahun. Sophia dan Ustadz Syahril akan menikah. Keduanya menunggu dengan penuh suka cita.
%%%%%%%%%%%%%%%%%

Kabar pertunangan dan surat undangan Sophia dengan Ustadz Syahril sampai pada keluarga Gerhan. Semua keluarga Gerhan sangat senang. Sophia kecil yang cantik nan manis itu, kini sudah dewasa, pikir nenek Yaren. Tapi, Gerhan tidak senang. Hatinya rapuh. Dia kebingungan. Mengapa ia kini menyukai sahabatnya? Padahal, dua hari lagi berlangsung pernikahan Gerhan dengan Lidiya. Sementara pernikahan Sophia dengan Ustadz Syahril, enam hari lagi akan berlangsung.
Ia menceritakan segala gundahnya pada kakaknya, Jani. Walau pun Jani kini sudah berkeluarga dengan Roman dan Gerhan akan menikah, Gerhan tetap bercerita pada kakaknya. Jani pun tetap bersedia, walau ia sibuk mengurus kedua anak kembarnya yang masih kecil. Gerhan selalu nyaman jika bercerita pada kakaknya itu.
“Menikahlah dengan Lidiya. Dia itu gadis yang baik, cantik dan cerdas. Dia perhatian pada keluarganya. Dia mencintaimu. Lagi pula, jika kamu tetap mencintai Pia, itu tak akan berlangsung. Karena kita itu berbeda agama dengan Pia dan keluarganya!” nasihat Jani membekas pada Gerhan.
Ia berpikir. Betul juga perkataan kakaknya itu. Maka semenjak hari itu, ia menjadi lebih dekat dengan Lidiya dan keluarga Lidiya. Dia kini mencintai Lidiya, calon pasangan hidupnya.
%%%%%%%%%%%%%%%%%

Gerhan dan istrinya Lidiya, Jani beserta keluarga besar Gerhan dan keluarga besar Lidiya turut hadir di pernikahan Sophia dengan Ustadz Syahril. Nuansa putih. Semuanya bahagia. Sophia tampak cantik dengan pakaian pernikahannya yang sederhana namun indah. Begitu juga Ustadz Syahril. Aura Sophia dan Ustadz Syharil terpancar.
Gerhan tidak menyangka, Pia kecilnya kini menjadi pengantin yang cantik. Ia turut bahagia dengan kebahagiaan Sophia. Ia kini sadar, bahwa dia dan Sophia itu memang hanya bisa sebagai sahabat dan saudara saja. Tidak lebih. Dan di hari ini adalah Sophia, sahabat terbaiknya untuk hari ini dan untuk selamanya.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *