Sepasang Mentari yang Beranjak Pergi

Gaza,Desember 2002
Deruan ombak memecah lamunan Musa Baihaqi, diingatnya lagi kejadian dua minggu yang lalu. Ketika saat itu, peluru para tentara Israel membombardir daerah pinggiran kota Gaza di setiap sudutnya.
Musa mencoba menahan isak tangisnya ketika untaian memori itu kembali menghantui dirinya, lagi dan lagi kenangan buruk itu terlintas dibenaknya. Musa mencoba mengikhlaskan kejadian saat itu, ia yakin bahwa keluarganya mati dalam keadaan berjihad, dan surgalah ganjarannya bagi orang-orang yang berjihad.
Dua minggu yang lalu, setelah sholat shubuh dan hendak beranjak pulang ke rumah masing-masing dari Masjid terdekat. Sebuah gas air mata berbentuk kaleng jatuh tepat di depan para jamaah yang baru saja pulang menunaikan ibadah itu.
Salah seorang pemuda menyilangkan sorban merahnya untuk menutupi wajahnya agar tidak terkena gas tersebut, pemuda itu maju ke barisan terdepan untuk menghadang para Zionis itu mengambil tanah tumpah darah mereka.
Pemuda itu maju menutupi muncung senapan para kaum Zionis yang mencoba mengambil sisa-sisa wilayah Palestina yang saat ini masih bertahan, dan tekadnya itu sudah menjadi prinsip yang ia pegang teguh hingga akhir hayatnya.
“Apa maumu?!” teriak pemuda itu sembari menutup muncung senjata itu dengan telapak tangannya.
Para tentara Israel terkaget, mereka tak menyangka bahwa seorang pemuda Palestina yang tidak dilengkapi peralatan apapun dan tanpa senjata, dengan beraninya menghadang para lawan mereka tanpa tergoyahkan sedikitpun.
“Dalam hitungan kelima pergilah dari sini!” salah seorang tentara Israel itu berteriak kencang ke arah jajaran para pemuda itu.
Para pemuda dan jamaah lainnya bukannya kembali ke rumah masing-masing, mereka semakin maju ke depan dan bergandengan tangan untuk membuat para tentara tak berperi kemanusiaan itu menarik kembali pasukan mereka dan menjauhi wilayah Gaza.
“Kalian pikir, kalian ini siapa?! kalian hanya penumpang yang tak tahu diri, kalian memberontak seakan-akan bis yang menerima tumpangan kalian pikir ini adalah milik kalian! sehingga dengan bangganya kalian menghancurkan tempat tinggal kami!” seorang pemuda lainnya beretiak kencang.
Musa berada diantara mereka, merangkul dengan penuh percaya diri tanpa bergeming dan siap melaksanakan aksi jihad jika memang itu yang diperlukan oleh para penduduk Palestina.
Para kaum Zionis menepati janji mereka, tak sampai dalam hhitungan kelima, peluru-peluru dari senjata mereka dimuntahkan dengan cepat menuju tubuh para pemuda Palestina yang gagah berani itu. Darah berceceran dan jubah mereka dibanjiri cairan merah yang tergelinang hingga bawah membuat sebuah kolam kecil penuh darah.
Musa terkena tembakan itu, namun tidak mengenai alat vitalnya karena saat itu dirinya berada di barisan ketiga, barisan yang sedikit dihujami oleh peluru-peluru yang berasal dai senjata para tentara yang tak berbelas kasih itu.
Musa dan para pemuda lainnya tergeletak, tak sadarkan diri.
Ketika terbangun, Musa sudah terkulai lemas diatas sebuah kasur kecil dan ditutupi oleh kain tcoklat tebal. Tubuhnya penuh dengan perban dimana-mana, masih terasa sedikit rasa sakit akibat tembakan peluru-peluru itu.
Musa sadar, saat itu ia berada di posisi yang sangat beruntung, Allah masih memberikannya waktu untuk berjihad dengan teman-temannya yang lain, dan tetap memperjuangkan hak rakyat Palestina.
Di bawah tenda pengungsian berwarna hijau kelabu itu, Musa melihat ke seluruh pengungsi. Nasib mereka sama dengan dirinya, kehilangan keluarga, tempat tinggal dan masa-masa bahagia mereka. Musa melihat ke wajah salah seorang anak yang seharusnya saat ini ia duduk dengan teman-temannya, menikmati masa kecil dan mengejar mimpinya yang hebat itu.
Musa berjalan dengan susah payah menuju anak kecil yang berada di ujung tenda pengungsian. Anak itu terkulai lemas tak berdaya, tanpa orangtua dan tanpa orang yang ia kenal di sekitarnya.
Anak itu balas memeluknya dengan hangat, meskipun ia tidak begitu tahu wajah orang yang barusan saja memeluknya dengan erat, seakan-akan orang itu telah mengenal dengan pasti dirinya. Anak itu menitikkan air matanya, mengingat kembali kenangan masa lalunya.
Musa menggendong anak itu keluar tenda pengungsian dan duduk di bawah sinar mentari pagi yang tertutupi oleh awan kelabu di sepanjang langit kota Gaza. Musa menurunkan anak itu, mereka saling menatap dan kembali memeluk.
Anak laki-laki itu seperti bertemu dengan seorang kakaknya yang sudah sepuluh tahun tidak bertemu, dengan rasa yang begitu dalam, tidak ingin kehilangan orang lain lagi. Anak itu kemudian menatap wajah Musa yang putih dan berjanggut itu, hidungnya mancung dan punya senyuman yang luar biasa meskipun sudah tertimpa masalah hebat.
“Tenanglah dik, kita punya masa-masa kelam yang serupa. Aku tidak akan membiarkan kamu merasakan hal semacam itu lagi, aku tahu rasa sakit yang kau alami.” Musa kembali memeluk erat anak lelaki itu.
“Kakak, aku ingin punya masa kecil yang sama dengan anak-anak di Negara dan benua lainnya,” ujar anak kecil itu pelan di dalam pelukan dari Musa.
Musa mengangguk dengan cepatnya dan berusaha meyakinkan anak itu bahwa dirinya akan mendapatkan pengalaman dan masa kecil yang bahagia, seperti yang ia harapkan.
Sebuah helikopter merendah ke tanah di tengah-tengah area pengungsian yang saat itu ditempati oleh Musa dan anak kecil itu. Tak berapa lama kemudian, tempat itu dipadati oleh banyak orang. Mereka saling bertanya tentang seseorang yang berada di dalam helikopter itu.
Musa maju terdepan, sebagai seorang sarjana pendidikan dari Universitas terkenal di negeri Paman Sam, ia tahu bahwa lambang burung yang ada di helikopter itu milik orang-orang yang berasal dari Amerika.
Seorang gadis keturunan Amerika menuruni dek helikopter itu diikuti oleh beberapa orang yang lain. Musa memerhatikan gadis itu, ia berumur sama dengan Musa, ia mengenakan kain berbendera Palestina untuk menutupi rambut dan kepalanya. Sedetik kemudian, gadis itu memeluk anak laki-laki yang tadinya bersama dengan Musa.
Gadis itu menitikkan air mata, satu persatu anak lainnya ia peluk dengan erat. Gadis itu merasa bahwa dirinya memiliki hubungan khusus dengan setiap anak yang menderita di tanah Palestina.
Gadis itu berhenti setelah memeluk seluruh anak yang berada di tenda pengungsian, berdiri tegap dan memandangi seluruh pengungsi yang saat itu berkumpul membentuk lingkaran dengan dirinya yang berada di tengah.
Salah seorang relawan dari negara lain membantu gadis itu ke sebuah podium yang berada tak jauh dari sana, lima puluh meter ke arah barat daya. Gadis itu menaiki podium yang hanya berbentuk kubus itu dan berdiri menghadap semuanya. Semua orang yang berada disana menunggu gadis itu menyebutkan beberapa patah kata yang mungkin dapat memotivasi para pengungsi disana.
“Selamat pagi semuanya, izinkan saya memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Saya Rachel Corrie, seorang pejuang hak asasi di tanah Amerika. Saya telah memperjuangkan kesetaraan hak antara kulit putih dan kulit hitam disana. Dan saya berjanji kepada kalian semua, sampai titik darah penghabisan saya, sampai hembusan nafas terakhir saya, dan sampai detakan jantung terakhir saya, saya tidak akan goyah dalam memperjuangkan hak kalian!” gadis itu berteriak kencang.
Para relawan dan pengungsi yang ada di lapangan utama bersorak-sorak mendengar janji yang diucapkan oleh Corrie. Kini mereka tahu, bahwa gadis yang barusan keluar dari helikopter itu bukanlah gadis sembarangan, ia adalah orang yang akan memperjuangkan hak-hak warga Palestina di tanah mereka sendiri.
Beberapa minggu kemudian, area pengungsian sudah beroperasi maksimal. Tenda-tenda untuk konsumsi sudah dibangun di beberapa bagian. Tak lupa pula, tenda untuk sekolah darurat para pengungsi telah dibangun.
“Pagi semua,” salam Musa untuk kelas yang ada di tenda pengungsian itu.
Para murid yang ada disana menjawab serempak, mereka dengan semangatnya menghadiri sekolah darurat yang diadakan di tengah-tengah para pengungsi itu. Musa menepati janjinya, jika bukan karena gagasannya yang ajaib itu, sekolah darurat tidak akan pernah dibangun. Bahkan Musa adalah salah satu tenaga pendidik untuk sekolah itu, dengan hanya bermodalkan gelar sarjana pendidikan yang ia sandang.
Kelas pagi itu usai, Musa merapikan kursi yang mereka gunakan ketika sekolah darurat. Seorang anak membantu Musa melakukan semua pekerjaan itu, membuat Musa lebih cepat menyelesaikan tugas dan kewajibannya.
“Kakak, terima kasih karena telah membantuku. Aku percaya bahwa kakak adalah seorang malaikat yang dikirimkan oleh Allah untuk membantu kami, para anak-anak disini,” ujar anak lelaki itu dengan pelannya.
Musa hanya tersenyum lebar, menurutnya perkataan anak itu terlalu dilebihkan.
“Tidak, Salim. Kakak dengan ikhlas hati membantu kalian semua dalam menerima pendidikan yang seharusnya memang kalian dapatkan ketika di masa-masa kalian ini.” Musa duduk di salah satu tiang yang menyangga tenda itu.
Salim memegang erat tangan Musa dan berjalan menuju ke tenda konsumsi untuk membantu memberikan makanan kepada para pengungsi setelah melakukan pekerjaan mereka masing-masing.
“Kau, guru baru yang kini beralih profesi menjadi penyaji makanan?” suara gadis yang sangat dikenal Musa itu terdengar di telinganya.
Musa membalikkan badannya, melihat wajah gadis Amerika itu namun masih terus memberikan sekotak makanan untuk para pengungsi dan relawan yang bertugas di area pengungsian.
“Kau tahu, Corrie. Tidak selamanya seorang guru, akan tetap menjadi seorang guru. Ketika ia dibutuhkan, maka akan banyak hal yang dapat ia kerjakan untuk membantu kelangsungan hidup banyak orang,” jawab Musa cepat.
Corrie membantunya membagi-bagikan makanan kepada yang lainnya. Wajah Corrie tampak tidak begitu bahagia hari ini.
“Dan kau, Corrie. Apa yang membuatmu tampak sedih hari ini?” Musa bertanya ke temannya itu.
“Area pengungsian lain telah dibombardir oleh para Zionis itu. Kemarin, aku mendatangi pengungsian itu dan tidak ada satupun orang yang masih hidup,” jelas Corrie.
Musa terdiam, ia berhenti membagi-bagikan makanan itu dan menatap ke wajah Corrie dengan begitu dalam.
“Dimana itu?” Tanya Musa cepat.
“Tiga belas kilometer dari tempat ini, di arah utara kota Gaza.” Corrie kembali melanjutkan kegiatannya membagi-bagikan makanan ke yang lainnya.
“Tidak, Corrie! Kita harus bergegas! pasukan Zionis itu akan kembali menginvasi area pemukiman ini,” Musa berteriak.
Musa meletakkan tumpukan kotak makanan itu di atas meja kecil yang ada di tiang penyangga tenda itu. Ia berlari meninggalkan Corrie dan menuju ke tenda utama yang diisi oleh para relawan dan petuah kota Gaza.
Musa memberi tahu keberadaan para Zionis itu kepada para petinggi di area pengungsian yang saat itu kebetulan sedang melaksanakan rapat untuk memindahkan lokasi pengungsian ke tempat yang lebih aman.
Corrie tiba di tepat lima belas menit setelah Musa memberikan penjelasan dengan rincian yang jelas kepada para orang penting di sana.
“Corrie, kebetulan sekali kau hadir disini. Kita harus segera memindahkan area pengungsian besok. Beritahu kepada seluruh pengungsi yang ada agar segera mengemas barang mereka dan bersiap-siap untuk pindah,” ujar salah seorang relawan dari Indonesia.
Corrie mengangguk dan menatap mata Musa dengan tatapan puas, ia tahu bahwa temannya itu akan melakukan tindakan yang dapat menolong banyak orang. Bagi Corrie, Musa adalah tipe pejuang yang sama dengan dirinya, bahkan lebih dua kali lebih hebat. Musa bisa mempertimbangkan keputusan yang harus ia buat demi kepentingan banyak orang.
Keesokan harinya, Musa selesai memberikan arahan kepada beberapa pengungsi di sekolah darurat. Mereka memeluk erat Musa, meskipun mereka baru bertemu dengan guru mereka itu selama empat minggu, akan tetapi hubungan antara guru dan murid tidak dapat terbantahkan. Mereka mengakui bahwa Musa merupakan orang yang sangat berjasa bagi diri mereka.
Sekolah darurat saat itu sepi, begitu juga dengan tenda-tenda pengungsian lainnya. Musa duduk di depan tenda sekolah darurat yang ia bangun dengan susah payah dan dengan semangat yang tinggi. Ia tak kuasa meninggalkan sekolah darurat itu, karena bermula dari sana lah para pengungsi dari kota Gaza dapat menjadi orang-orang yang berbakti bagi bangsa dan negara mereka.
Hingga larut malam, Musa masih tetap duduk di depan tenda sekolah darurat itu. Musa menatap ke langit malam yang penuh dengan bintang yang menerangi malam itu. Awan kelabu telah meninggali langit kota Gaza dan menyisakan kecerahan yang akan kekal menyinari seluruh penduduk Gaza.
Suara dentuman terdengar dari jauh, Musa menunggu suara itu sedari tadi dan dengan cepat berlari ke arah sumber suara tersebut. Musa menghapuskan semua rasa sedihnya terhadap kematian keluarganya yang telah tiada beberapa bulan yang lalu. Ia telah siap menghadapi para tentara Israel dengan gagah berani, tepat seperti yang dilakukan keluarganya di jauh-jauh hari.
Setibanya Musa disana, ia berhenti. Posisinya ternyata sudah ada yang menggantikan, ia terlambat beberapa menit. Rachel Corrie tengah berdiri menghadang bulldozer yang hendak menghancurkan tenda pengungsian itu.
“Silahkan maju! tapi aku tetap tidak bergeming!” Corrie berteriak kencang ke arah para tentara Zionis itu dan menunjuk ke pengemudi bulldozer yang duduk tenang di atas sana.
Mesin buldozer itu bergetar dan siap menghancurkan apa saja yang diinginkan oleh sang pengendara. Corrie benar, ia tetap tidak bergeming mendengar suara deru mesin yang besar itu. Dirinya tetap berdiri tegak menghadang mesin berat yang ada di depannya itu.
Mesin itu bergerak maju, melindas Corrie sang pejuang hak warga Palestina yang telah banyak memberikan pengorbanan kepada para pengungsi. Palestina kini telah kehilangan orang yang telah banyak berkontribusi dalam dunia mereka.
“Kak Corrie!” suara teriakan itu terdengar kuat di telinga Musa.
Musa melihat ke arah sekeliling, ternyata Salim tengah terkulai lemas melihat seorang pejuang Palestina itu terlindas mesin berat. Keberadaan Salim menjadi santapan bagi peluru para tentara Israel, dengan cepat para tentara Israel mengarahkan peluru-peluru mereka ke tubuya Salim.
Salim memejamkan mata, berharap ketika ia membuka matanya ia telah bertemu dengan keluarganya yang dulu. Namun semua jauh dari bayangan Salim, anak laki-laki itu kini masih hidup dalam pelukan seorang lelaki bertubuh besar yang punggungnya terdapat bekas tembakan.
Salim menitikkan air mata melihat kakak angkatnya, Musa sudah hampir tidak bernyawa lagi.
“Ingatlah Salim. Corrie dan Musa yang lama telah tiada, namun beribu-ribu Corrie dan Musa yang baru akan menggantikan posisi kami di kemudian hari.” itulah kata-kata terakhir yang diucapkan dari mulutnya Musa sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Salim menangis keras, ia berlari meninggalkan jasad kedua orang pejuang yang begitu berjasa kepada Palestina. Ia dikejar oleh para tentara Zionis itu, namun larinya masih lebih cepat dari pada para tentara yang dilengkapi senjata berat itu.
Salim masih mengingat kata-kata yang diucapkan oleh Musa, bahwa aka nada para pengganti Rachel Corrie dan Musa Baihaqi di masa depan. Sehingga Salim dikemudian hari menjadi seorang penggagas hak azasi bagi banyak orang di negaranya dan berjuang melawan para kaum Zionis.

TAMAT


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *