Sebuah Pesan Untuk Perdamaian

Ketika umurku 15 tahun , papa memberikanku sebuah petuah yang sampai sekarang kudambakan hingga relung hatiku yang paling dalam. “Penyebab kepicikan adalah keanekaragaman, semua indra ditujukan kesegenap jurusan. Ketahuilah bahwa alam tauhid terletak di balik indra. Jika kalian mendambakan persatuan, berbarislah ke arah itu”. Setiap katanya memiliki arti dan definisi sederhana yang luas. Yeah, bisa dibilang sejak lama aku menginginkan sebuah persatuan—juga kedamaian.

Bangunan-bangunan yang telah hancur berkeping-keping, bekas bom yang berserakan, kepulan asap tebal, anak-anak yang malang karena kehilangan orangtuanya, ibu-ibu yang kehilangan asa untuk hidup, wanita-wanita yang selalu menangis sebab jodohnya telah dijemput maut, darah para syuhada yang berceceran, dan masih banyak lagi. Hal itu menjadi “makananku” setiap hari. Siang-malam. Diriku yang telah kehilangan teman-teman seperjuangan. Menyaksikan sendiri kematian teman-teman lebih menyakitkan daripada menghadapi kematian itu sendiri. Teman-temanku sudah tenang di dunia sana, tidak ada tangis dan kegelisahan mereka. Sementara aku, setiap kali mengingat memori kejam itu, lebih menyakitkan daripada kematian itu sendiri. Mereka yang ditembak tanpa ampun dan ditusuk tanpa iba, suara teriakan mereka, tak ada sedikitpun yang hilang di memoriku. Tapi aku percaya satu hal. Mereka yang gugur itu adalah mereka yang hatinya berlandaskan lafaz paling dahsyat di jagat raya ini. Laa Ilahaa Illallah.
***
“Lapor, kapten. Kami menemukan seorang anak di bawah puing markas A1. Anak itu dalam keadaan selamat total. Tak ada luka yang serius. Hanya kakinya saja yang keseleo. Kami sudah membawanya ke tenda pengungsian”. Seru prajuritku. “Baik, aku segera kesana”.

Akhir-akhir ini, konflik sedang panas-panasnya. Lawan kami memborbardir semua kawasan di negeri kami. Tanpa ampun. Senjata paling canggih dan mutakhir mereka letuskan. Sudah berapa banyak manusia tak berdosa yang menjadi korban oleh mereka sejak 70 tahun terakhir? Seratus juta? Lima ratus juta?. Entahlah, dunia kami hanya dipenuhi oleh darah dan air mata. Tidak ada hari libur ataukah piknik-piknik yang seperti dilakukan oleh penduduk negeri seberang. Yang kami lakukan hanyalah berlindung, berlindung, dan berlindung. Memastikan sesuatu yang sangat penting bagi kami terlindungi. Hei, ketahuilah orang-orang akan sangat kuat ketika melindungi sesuatu yang sangat penting bagi mereka. Masing-masing individu memang punya. Namun, kami sepakat bahwa kepentingan pribadi bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan di sini. Sesuatu yang lebih berharga dan harganya sangat mahal. Tanah di negeri ini. Yang telah diwariskan oleh pendahulu kami. Tanah “suci” yang dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa.

Aku memasuki tenda pengungsian. Banyak sekali korban yang ditemukan. Kondisi mereka mengenaskan. Mataku terarah menuju gadis kecil. Malang sekali kelihatannya. Kondisi fisiknya memang sehat, tapi psiokologinya telah rusak. Aku bertanya-tanya kepada petugas medis tentang gadis kecil itu.

Katanya, sejak dievakuasi ke tenda pengungsian ini ia hanya diam saja. Tak pernah sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Hanya boneka panda itu yang menemaninya. Kasihan sekali, ia juga belum pernah mengunyah sesuap makanan pun.

“Assalamualaikum, Gadis Cantik” sapaku dengan senyuman.
Namun gadis kecil itu hanya melirikku sedikit, setelah itu ia hanya melihat kedepan. Entahlah apa yang ia lihat.

“Hei, Nak. Apakah kamu tahu bahwa perempuan itu adalah manusia yang istimewa. Maksudku ada hal-hal yang tak bisa dilakukan oleh laki-laki bisa dilakukan oleh perempuan. Melahirkan misalnya. Tanpa seorang perempuan, aku, petugas-petugas medis disini, para prajurit, bahkan orang-orang yang meneror kita selama 70 tahun terakhir ini, tidak akan ada. Karena itu nak, ada banyak hal yang patut disyukuri bagi seorang perempuan. Tanpa asuhan mereka, kita bukan siapa-siapa”.

Gadis kecil itu melihatku lamat-lamat. Lantas membuka mulutnya. Ia akan bicara untuk pertama kalinya. “Be… be… berarti ibuku itu istimewa?”. Ucap gadis kecil itu dengan terbata-bata. Umur gadis kecil ini kira-kira 13 tahun—dari perawakannya. “Benar sekali. Semua ibu di dunia ini istimewa. Kaupun juga akan menjadi istimewa suatu hari nanti. Jadi, nak bersemangatlah untuk hidup dengan harapan-harapan yang kau impikan”.

Mata gadis kecil itu berbinar-binar seperti telah menemukan harapan untuk hidup. Seketika ia menangis. Entahlah apakah ia menangis karena telah menemukan harapan untuk hidup. Tapi syukurlah jika demikian.

“Hei, Nak. Apakah kau mau makan roti terlezat negeri ini bersamaku? Aku menawarinya sambil tersenyum kepadanya. Gadis kecil itu terdiam.
“Ini Shifa. Kuyakin kau bakal senang memakannya. Anak-anak disimi menyukainya”. Aku mengulurkan roti itu kepadanya.
“Terima kasih, Tuan”. Jawabnya sambil tersenyum sendu.

Gadis kecil itu lahap sekali memakannya. Aku ingin tertawa melihatnya yang berlepotan tapi kubatalkan. Aku tidak ingin merubah moodnya menjadi buruk lagi. Lantas, aku tersenyum melihatnya. Menyenangkan sekali bercengkerama dengan anak-anak. Sudah lama sekali semenjak aku kehilangan anak perempuan semata wayangku. Sedih sekali jika mengingatnya. Aku tidak bisa menyelamatkannya. Itu adalah penyesalan seumur hidupku. Selalu terbayang-bayang ketika sedang sendiri. Aku—

“Tuan… tuan” Panggil gadis kecil itu.”Iya, ada apa nak?”.
”Kenapa tuan melamun saja dari tadi. Aku sudah panggil berkali-kali tapi tuan tak kunjung dengar. Ada apa, Tuan?”.
“Astagfirullah. Maaf nak. Tidak ada apa-apa, Nak. Aku hanya kelelahan saja” Ujarku.
“Syukurlah jika demikian, Tuan.” Balas gadis kecil itu.

Tiba-tiba datang seorang prajuritku. “Lapor, Kapten. Pihak musuh menyerang lagi. Kini dengan persenjataan yang lengkap sekali. Senapan M192, bahkan dikabarkan senapan jarak jauh mereka yaitu senapan DSR 50. Itu berbahaya sekali. Jumlah mereka juga banyak sekali. Mungkin 200 personel. Dibanding jumlah kita yang hanya 50, ditambah ada yang belum pulih. Kita kalah jumlah, Kapten”.

Aku menghela napas panjang.”Berapa sisa prajurit yang fit untuk menghadapi mereka?” Tanyaku. “Tiga puluh, kapten”. “Baiklah, kita akan melawan mereka dengan jumlah kita yang sekarang. Segera bawa perintah untuk melawan sekarang juga!” Perintahku tegas.

Aku langsung menuju tenda rapat untuk merancang strategi yang untuk melawan jumlah musuh yang enam kali lipat dari kami. Kami harus menggunakan strategi yang tentunya berisiko. Melawan 200 personel dengan 30 personel adalah sesuatu yang mustahil untuk bisa memenangkannya. Pihak musuh memiliki persenjataan paling mutakhir. Bagaimana bisa?

“Baiklah. Ini strategi yang cocok untuk saat ini. Masing-masing dibagi enam regu. Lokasi kali ini strategis. Banyak bangunan yang bisa kita gunakan untuk bersembunyi. Masing-masing regu mempunyai penembak jitu. Itu berarti empat yang lainnya harus bisa mengalihkan perhatian sebaik mungkin. Ingat, jangan gegabah. Harus sabar dan tentunya optimis menang. Kita semua adalah para mujtahid yang terpilih. Allahu Akbar!!!” Seruku.
“Allahu Akbarrr!!!” Teriak mereka dengan begitu lantangnya.

Awan-awan kelihatan merinding mendengarkan seruan itu.
***
Area pertempuran.

Kami sigap memasuki bangunan-bangunan yang bisa menutupi kami dari pihak musuh. Sementara aku seorang diri berada di luar—mendekati pimpinan musuh.

“Bisakah kita berdamai?” Itu kalimat perdamaian yang selalu kuucapkan ketika hendak memulai pertempuran.

Pimpinan musuh maju hendak bicara.”Berdamai, katamu? Mudah saja, serahkan semua tanah di negeri ini. Tidak ada perlawanan. Maka kami pasti akan mengakhiri perang ini. Kalian bisa mencari pulau lain untuk bertahan hidup ataukah melayani kami seumur hidup. Hidup kalian akan bahagia” Kata pimpinan mereka dengan santainya.
Aura kemarahanku seketika ingin keluar dari tubuh ini. Tapi kutahan. Enak saja bilang ingin negeri kami dengan begitu santainya. Aku tahu, langkah awal mereka jika telah menguasai negeri ini seutuhnya mereka akan membongkar habis-habisan apa isi di bawah masjid agung kami. Kiblat pertama kaum muslim. Tentu saja kami tidak ingin menyerahkannya begitu saja. Lebih baik kami mati karena mempertahankan negeri “suci” ini daripada harus melayani mereka seumur hidup.

“Kalau begitu kau memang tidak menginginkan perdamaian, Tuan. Sampai jumpa.” Aku melambaikan tangan sambil balik kanan. Sedetik setelah aku belok kanan, pimpinan itu melemparkanku sebuah kertas—kertas ini membungkus batu. Ah, kau pasti tahu maksudnya. Aku mengambil kertas itu. Ada sebuah tulisan bertinta hitam. MOESLIM : DIE OR LEAVE.

Wahai Rabbku, sungguh tega makhluk ciptaanmu ini. Kami hanya menginginkan kedamaian bukan peperangan. Kami hanya ingin saling mencintai bukan saling membenci ataupun membunuh seperti ini. Wahai Rabbku, datangkanlah pertolonganmu.

Lima menit kemudian setelah usai negoisasi yang gagal, serangan dimulai. Kubu lawan melesatkan pelurunya namun hanya mengenai dinding-dinding yang terjatuh. Mereka berpikir kami ada disana. Kami telah memasang boneka manusia beserta jika ditembaki akan mengeluarkan darah padahal itu hanya saus tomat yang telah dimanipulasi seperti darah.

Mereka kebingunan bagai anak kecil yang kehilangan ibunya. Sekejap kami langsung menembaki pistol kami ke arah mereka. Bodoh sekali mereka secara bergerombolan menyerang. Kami menembaki mereka dari berbagai penjuru, dari atas gedung, dari bawah puing-puing ada yang bertiarap, ada yang membidik dari bekas supermarket, dan banyak sekali yang kami manfaatkan. Kami menyertakan gas air mata pada peluru kami sehingga mereka pun cepat terkelabui dan dilumpuhkan. Satu kali timpuk, dua masalah selesai. Mungkin sudah separuh dari jumlah mereka. Memang jihad yang dilakukan dengan berada di jalan Allah selalu membuahkan kemenangan. Banyak dari mereka yang memutuskan untuk mundur.

Namun, musuh selalu punya cara. Hal yang tidak terduga datang dari atas langit. Pesawat-pesawat tempur itu mengeluarkan bom mematikan. Tepat mengenai kami yang keluar dari persembunyian setelah mengklaim kemenangan. Wuss… duarrr…. Suara bom itu memekikkan telinga, terlebih mengenai mereka. Tak ada kesempatan untuk menghindar. Boomm… kami terkena serangan telak. Kami terpental sejauh mungkin. Tubuhku terkena reruntuhan. Kakiku tertindih oleh beton-beton. Namun, aku cepat untuk mengangkat kakiku sekuat tenaga. Apa kabar prajuritku?. Apakah mereka semua sigap untuk menyelamatkan diri?.

Nahas, bangunan tinggi itu hancur lebur menimpa para prajuritku. Entah kenapa aku tidak tertimpa oleh bangunan itu. Kulihat kiri kanan semua prajuritku tertindih beton-beton dari bangunan itu. Darah mengalir keluar. Banjir darah. Menyakitkan sekali melihatnya. Kenapa Rabb?. Kenapa harus seperti ini?. Kenapa mereka yang tidak berada di jalanmu bisa berkuasa sepenuhnya di bumi ini?.

Sekejap, pasukan-pasukan itu menuju ke arah medan pertempuran yang telah diporak-porandakan oleh bom-bom itu. Mereka memastikan adakah yang masih hidup. Dan mereka tentunya mengarah kepadaku. Kapten dari skuad ini. Skuad Fisabilillah.

Pimpinan itu mendatangiku. “Angkat dia, lalu ikat di tiang itu. Kita harus cepat-cepat mengeksekusi orang ini. Berbahaya sekali orang ini jika dibiarkan hidup”.

Wahai Rabbku, inikah akhir hidupku?. Jika memang mati di jalanmu. Aku ikhlas Wahai rabbku.
Aku diikat ditiang itu. Tiang bendera negeri ini. Diatasnya masih berkibar bendera itu. Kutengok ke atas, oh indanya. Aku akan menemui ajalku—sama seperti teman-temanku dahulu.

Senapan DSR 50 mengeluarkan moncongnya. Dari jarak sejauh 20 meter penembak jitu mereka akan menambakku dengan posisi lurus sekali denganku. Ah, beginikah akhir perjuanganku. Maafkan aku papa, pepatahmu 25 tahun yang lalu aku tidak memenuhinya. Aku akan segera menyusulmu.
Pelatuk pistol itu telah ditekan. Wuss… aku melihat peluru yang keluar itu bergerak cepat sekali. Bersiap menghantam jantungku.

Namun, sepersekian detik sebelum mengenai tubuhku, seorang gadis kecil berlarian menuju kearahku. Membusungkan badannya dengan merentangkan tangannya. Hei, apa yang dia lakukan?. Peluru itu menyambar tubuh gadis kecil itu. Menusuk bagian jantungnya. Hei hei, apakah?

Sekejap gerombolan pasukan datang dari arah belakang menembakkan gas air mata ke arah musuh. Bala bantuan telah tiba. Mereka langsung menembakkan peluru ke arah mereka. Pihak musuh berteriak : MUNDUR. Alhasil, pertempuran hari ini usai. Namun harganya mahal sekali. Prajuritku semuanya telah gugur dengan gagahnya tapi yang lebih menyakitkan gadis kecil yang bersamaku bercengkeram beberapa jam lalu mengobarkan nyawanya untukku. Prajurit-prajurit itu melepaskan ikatan di tanganku. Aku telah terbebas.

Aku langsung menuju ke arah gadis itu. Mengangkat tubuhnya yang berlumuran darah. Mengenaskan sekali. Peluru itu menembus tubuhnya. Untung saja tidak mengenai organ vitalnya. Aku langsung menggendongnya dan berlari secepat mungkin menuju tenda pengungsian untuk mendapatkan pertolongan pertama.

“Tidak perlu, Tuan. Lepaskan aku.” Ucap gadis kecil itu dengan suara yang terbata-bata. “Tidak, kau harus segera dirawat.” Kataku tegas.
“Hi…hidupku tak lama lagi, Tuan. Sekalipun kau berhasil membawaku ke tenda pengungsian. Aku akan segera mati. Peluru itu mengenai sedikit jantungku. Sebentar lagi akan berhenti berdetak. Maka… maka dari itu aku ingin menyampaikan kata-kata terakhirku, Tuan.”

Aku menganga melihat gadis kecil itu. Aku pun menghentikan langkahku. Duduk di tempat. Gadis kecil ini hendak melanjutkan kata-katanya. Aku melentangkan tubuhnya dan kepalanya berada diatas pangkuanku. Prajurit-prajurit itu mendatangiku. Kenapa kapten menghentikan pergerakannya. Begitulah maksud beberapa dari raut wajah prajurit-prajurit itu.

“Tuan, terima kasih telah memberikanku harapan untuk hidup. Terima kasih telah memotivasiku untuk terus menggapai impianku. Kau tahu tuan, aku yang memberi tahu para prajurit ini bahwa pesawat-pesawat tempur itu pasti akan mendatangimu. Degan cepat mereka langsung menuju medan pertempuran. Tanpa pikir dua kali, aku langsung mengikuti mereka. Kau tahu tuan, aku selalu berharap perang ini segera berakhir. Tidak ada pertumpahan darah lagi. Tidak ada anak-anak yang kehilangan orangtuanya lagi. Ibu selalu bilang padaku bahwa Allah pasti mendatangkan pertolongannya. Akan ada hari dimana perdamaian itu ada. Akan ada hari dimana semua orang bisa saling memahami. Ibu juga selalu berpesan padaku untuk selalu mengucapkan Laa Ilahaa Illallah.” Gadis kecil itu terdiam sebentar.

“Maka dari itu tuan, aku ingin mati dengan mengucap lafaz itu. Lafaz paling dahsyat di jagad raya ini. Tuan, aku ingin kaumembantuku mengucapkannya.”
Mataku meneteskan air mata. Wahai Rabb, anak sekecil ini ingin mati dengan mengucapkan lafaz paling dahsyat ini. Wahai Rabb…

“Laa…. Ila….Haa….Illal…Lah.” Lafaz itu tercekat di tenggorokanku. Indah sekali.
“Laa…. Ila….Haa….Illal…Lah.” Gadis itu tersenyum. “Terima kasih, Tuan. Sekarang aku bisa pergi dengan tenang. Menyusul para syuhada lainnya. Berjuanglah, Tuan.” Kata itu yang terakhir kali terucap dari lisannya. Jantungnya berhenti berdetak. Mukanya pucat pasi. Gadis kecil itu telah pergi selama-lamanya.

Wahai Rabbku, ampuni aku yang kadang lupa mengucapkan lafaz itu. Ampuni aku yang kadang lalai mengerjakan perintahmu. Ampuni aku yang pernah melupakan namamu. Ampuni aku yang lebih mementingkan kehidupan dunia ini. Wahai Rabbku, aku cemburu pada gadis kecil ini yang mati dengan mengingatmu terus. Wahai Rabbku, dengarkanlah doa-doaku.

Mataku telah mengeluarkan air mata sederas-derasnya. Juga para prajurit yang lainnya. Peperangan ini telah berakhir dengan harga yang mahal sekali. Menyaksikan sendiri kematian teman-teman lebih menyakitkan daripada menghadapi kematian itu sendiri. Wahai Rabbku, akan sungguh menyakitkan sekali jika melupakanmu dalam setiap jalan hidupku. Aku berharap suatu saat perdamaian itu akan segera tiba. Entah apakah aku sudah tak ada lagi di dunia ini. Aku langsung menyeru mengucap “LAA ILAHAA ILLALLAH”. Semua serempak mengkuti dengan linangan air mata yang tulus—juga melepas kepergian gadis kecil yang pemberani ini. Terima kasih, Rabbku. Tanpamu kami bukan apa-apa di bumi ini.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *