Sebuah Arti dari Memberi

Jika kau bilang kepadaku bahwa gadis kecil ini akan menjungkirbalikkan hidupku, maka aku akan mengatakan kau gila. Maksudku, siapa sangka, bukan? Ia tidak terlihat seperti seorang super hero di mataku, tidak ada yang spesial. Hanya seorang gadis kecil bertubuh kurus ringkih dengan berbalut jilbab dan pakaian yang kumal dan lusuh. Lubang-lubang kecil menghiasi sekujur bajunya, bagaikan imitasi murahan dari bintang-bintang di langit malam. Tangannya yang penuh dengan goresan dan luka menjulur ke arahku, sebungkus tisu berada di dalam genggamannya.

“Kak, mau beli tisu?” suaranya terdengar serak, namun masih ada seulas senyum ramah di wajahnya.

Aku menggeleng pelan. “Maaf, enggak dek.”

Wajahnya menunjukkan raut kecewa, namun ia tetap mencoba lagi. “Ayo kak, tolong beli tisunya dong kak …. Uangnya buat beli makanan buka puasa, kak,” pintanya.

Aku tetap menggelengkan kepala. Setelah memakai kedua sepatu, aku bersegera melangkah keluar dari pelataran masjid. Di tempat ini memang sudah biasa banyak anak-anak kecil penjual tisu yang berlalu-lalang. Jadi, bukanlah suatu hal yang mengejutkan saat gadis kecil itu menghampiriku ketika aku sedang mengenakan sepatu.

***

Aku hanya tinggal selangkah lagi sebelum mengalami peledakan kepala jika harus berhadapan dengan angka-angka mengerikan itu. Untungnya, dosen yang bersangkutan harus ikut rapat jurusan sehingga mata kuliah diselesaikan lebih awal. Ah, hari keberuntunganku, aku pikir. Kurapikan peralatan tulis dan kertas-kertas yang berserakan di meja untuk bersiap-siap pindah ke kelas berikutnya.

“Hey Mira! Buru-buru banget, nih?” sapa salah satu teman sekelasku, Husna. Kulihat ia berjalan ke arahku sambil mendekap sebuah buku di depan dadanya yang terlapisi jilbab biru muda panjang.

“Enggak kok,” sahutku singkat, “ada apa, Na?”

Husna tersenyum ramah. “Ah iya, aku mau ngajakin kamu ikut kepanitiaan buka puasa bersama. Mau gak? Acaranya in syaa Allah di hari Jum’at pekan ini. Ikut, yuk, Mir!” ajaknya.

“Husna, Husna …. Kamu ngajakin aku ikut acara begituan? Kamu kan tau sendiri aku itu orangnya males ikut acara yang kayak begitu. Apalagi jadi panitianya. Ih, males banget.” Kugelengkan kepala seraya mulai melangkah keluar kelas.

Husna pun berjalan menyamai langkahku. Suaranya yang lembut terdengar lagi setelah beberapa detik berselang. “Ah, kenapa enggak? Kamu gak sibuk, kan?”

“Emang enggak sibuk. Tapi itu dia masalahnya. Aku gak mau waktu luang yang kupunya jadi kepake buat acara yang gak ada hubungannya dengan kuliah. Bagiku itu gak penting,” tukasku.

Kulirik Husna dari sudut mataku, wajahnya terlihat sedikit kecewa. Saat ia membuka mulutnya, tak salah lagi pasti untuk mencoba merayuku, aku selak dia sebelum ada suara yang keluar dari mulutnya. “Ah, ah, ah, Husna …. Gak ada gunanya ngebujuk lagi. Kamu ajakin aku sampe beribu kali pun untuk jadi panitia, jawabanku akan tetep sama. Maaf maaf yak, keputusanku gak bisa diganggu gugat. Titik.”

“Ah, payah kau,” gerutunya sambil cemberut pura-pura marah denganku. Pundaknya mendorong pelan pundakku. Aku hanya membalasnya dengan cengiran kecil.

Setelah beberapa saat kami berjalan dalam hening, kudengar Husna bicara lagi. “Gapapa deh, ga usah jadi panitia. Tapi kalau ikut menyumbang makanan untuk takjil buka puasa mau gak, Mir?” tanyanya dengan suara penuh harap.

Aku mengangkat bahu. “Emang kenapa dah, Na? Kok tumben banget, sih, kau tetep berusaha keras supaya aku ikut berpartisipasi dalam acara bukber itu? Kekurangan dana, ya, buat beli makanannya?” ucapku sambil sedikit meledeknya di akhir kalimat.

“Eh? Enggak, enggak. Bukan gitu ….” jawabannya menggantung di akhir kalimat, seolah-olah sedang mencari kata yang tepat untuk disampaikan berikutnya. Dan benar saja, ia bergumam lagi melanjutkan, “hanya saja, sayang banget, Mir.”

Kukerutkan dahiku, bingung. “Hmm? Sayang kenapa?”

“Sayang banget kalo kamu sampe melewatkan kesempatan ini, Mir. Karena ini adalah kesempatan kita untuk bisa melakukan salah satu amalan utama dalam bulan Ramadhan,” jelasnya.

Aku memutar mataku. “Aku puasa di bulan Ramadhan. Bukankah itu juga termasuk amalan utama di bulan Ramadhan?”

“Iya sih …. Tapi memangnya kamu ga mau dapet ‘poin tambahan’ dengan melakukan amalan utama lainnya?” sahutnya.

“Mau aja, sih. Memang amalan apaan yang kamu maksud dari tadi? Dan apa hebatnya amalan itu sampe bisa disebut salah satu amalan utama di bulan Ramadhan?” tanyaku sedikit ingin tahu.

Husna tersenyum lalu menjawab singkat, “memberi makan orang yang berbuka puasa.”

Keningku berkerut sambil menengok ke arah Husna. “Kau bercanda.”

“Aku serius!” Husna tertawa kecil saat melihat ekspresiku, kemudian ia menjelaskan, “orang yang memberi makanan berbuka untuk orang yang puasa akan mendapatkan pahala seperti pahala orang berpuasa tadi tanpa dikurangi dari pahalanya. Tak hanya itu! Memberi makan berbuka juga termasuk salah satu bentuk shadaqah bukan? Nah, disebutkan dalam sebuah hadits bahwa shadaqah yang paling utama adalah shadaqah pada bulan Ramadhan.”

Aku mengangguk pelan. Menarik. Tapi, repot-repot banget mikirin makanan buka puasa orang lain, buat buka puasa sendiri aja dulu dipikirin. Toh diri kita sendiri juga puasa, berarti kalau kita memberi makan buka puasa untuk diri sendiri sama saja dengan memberi makan orang yang puasa, bukan? Pikirku, tapi tentu saja aku tidak menjawab seperti itu ke Husna. “Hmm … oke. Aku akan pikirkan lagi nanti. Mungkin kalo aku punya sisa uang lebih,” jawabku masih mengambang.

Kurasa jawabanku masih belum terlalu memuaskan bagi Husna, tapi ia hanya tersenyum sambil berkata, “oke deh. Nanti kabari aku lagi ya. Kamu ke kelas aja duluan, aku mau ketemu kakak tingkat dulu.” Lalu ia pun berjalan menjauh sambil melambaikan tangannya ke arahku.

Kubalas lambaian tangannya seraya mepercepat langkahku ke arah kelas yang kutuju. Percakapanku dengan Husna kutaruh di balik pikiranku.

***

Akibat adanya beberapa tambahan mata kuliah, aku jadi pulang lebih telat dari biasanya. Langit terlihat merah keunguan tanda hari akan segera menggelap, dan jam tanganku menunjukkan waktu yang hanya tinggal beberapa menit lagi menuju maghrib. Kupercepat langkahku menuju sebuah warung padang di depan kampus, dengan niat ingin membeli es teh manis untuk buka di angkutan umum (karena kutahu pasti aku akan buka puasa di jalan hari ini) dan nasi padang sebungkus untuk dimakan di rumah.

Saat sedang menunggu pesananku di depan warung padang tersebut, kudengar suara serak dari sebelah kiriku, “bu, beli rotinya satu bungkus.” Sontak, kutengokkan kepala ke arah sumber suara dan kudapati seorang gadis kecil yang tak asing lagi bagiku di depan warung kecil yang letaknya tepat bersebelahan dengan warung padang ini. Ah, gadis kecil penjual tisu yang tadi siang.

Aku pasti sempat melamun saat memperhatikan gadis kecil itu, karena tarikan halus pada lengan bajuku membuyarkan lamunan tersebut. Ketika aku berbalik badan, seorang nenek bertubuh bungkuk berdiri di hadapanku. Tangan kirinya memegang tongkat penumpu, sementara tangan kanannya menengadah terjulurkan ke arahku. Suara seraknya melirih, “Mba, lapar, Mba. Belum punya makanan untuk buka puasa, Mbak ….”

Hatiku iba mendengarnya. Saat kurogoh kantung bajuku, hanya ada selembar uang seribu dan selembar uang lima puluh ribu. Tentunya aku hanya memberikan selembar uang seribuku kepada nenek tersebut. Dengan ucapan pelan, “terima kasih, Mbak,” nenek itu berjalan ke arah warung sebelah.

Tepat sesudah nenek itu pergi, pesananku telah jadi dan besamaan dengan itu terdengar suara adzan maghrib. Setelah membaca do’a terlebih dahulu, aku berbuka puasa dengan es teh manis sambil menunggu angkutan umum yang sesuai. Dari sudut mataku, terlihat gadis kecil penjual tisu masih berada di depan warung yang sama bersama nenek pengemis tadi. Ia tampak sedang memberikan sesuatu kepada nenek tersebut. Mungkin tisu? Who knows, pikirku.

Gadis kecil itu lalu berlari ke pinggir jalan tak jauh dariku, tepatnya menemui seorang anak kecil laki-laki yang tampaknya masih berumur beberapa tahun lebih muda darinya. Mungkin itu temannya, atau mungkin saja adiknya. Keduanya duduk lemas di pinggiran jalan seolah-olah itu adalah tempat yang paling tepat untuk beristirahat. Aku yang berada tak jauh dari keduanya tak sengaja mendengar percakapan mereka.

“Kak, aku lapar, udah boleh buka puasa belum?” tanya bocah laki-laki itu. Ah, ternyata mereka berdua kakak beradik.

“Udah boleh kok dek,” sahut kakaknya singkat. Suaranya terdengar lelah.

“Mana makanannya kak?”

“Maaf dek, uang hasil penjualannya cuma cukup buat beli roti satu. Tapi tadi rotinya udah aku kasih ke nenek-nenek pengemis, soalnya dia kelaperan dek.”

“Yaah kakak, aku kan juga laper,” adiknya merengek tak sabar.

“Iya kakak tau, tapi kan ibu pernah bilang, sedekahkanlah apa yang kita punya kepada orang yang lebih membutuhkan, walaupun keadaan kita sedang kesulitan juga. Karena, apa pun yang kita sedekahkan nantinya akan dibalas dengan yang berlipat ganda oleh Allah.”

“Mana balasannya kak? Udah dateng belum? Aku laper!” jerit sang adik.

“Nanti dek. Sekarang, kita bukanya pake permen dulu aja ya. Nih aku ada permen.”

“Yah permen, mah, ga ngenyangin kak ….” Adiknya terdengar kecewa.

“Gapapa, makan aja dulu permennya buat sekedar mengganjal perut sama buat buka puasa karena kita harus bersegera dalam berbuka puasa. Nanti siapa tau di jalan kita nemu sisa sisa makanan. Nih permennya aku bagi dua ya, separo buat kamu dan separo buat aku.”

Di sana aku sudah tak kuat lagi rasanya mendengarkan percakapan mereka. Ah, hatiku ngilu. Perkataan gadis kecil itu sungguh menusuk hati. Seolah habis dibangunkan dari tidur lelap dengan air es, perkataannya sungguh telah menyadarkanku atas kekeliruanku selama ini. Ah, ironisnya dunia ini. Aku yang punya uang, namun saat diajak menyumbang makanan buka puasa masih merasa enggan. Sementara itu, gadis kecil ini yang hanya punya sebuah roti kecil yang sebenarnya untuk dia dan adiknya buka puasa, tanpa ragu langsung menyedekahkannya untuk nenek pengemis. Ah, betapa memalukannya. Malu rasanya diri ini.

Maka, dengan tekad bulat, aku kembali ke warung padang untuk membeli dua bungkus nasi padang beserta lauknya. Lalu kuhampiri kedua kakak beradik yang masih duduk di pinggiran jalan tersebut.

“Dek, masih ada tisunya ga? Aku mau beli dong,” ucapku lembut.

Gadis kecil itu terlihat kaget. Seketika, matanya berbinar penuh harapan. “Masih, Kak. Mau beli berapa?”

“Satu aja. Nih uangnya.” Aku berikan uang sekaligus kantung plastik yang berisi dua bungkus nasi padang kepada gadis kecil penjual tisu. Gadis kecil itu bingung menerimanya.

“Apa ini kak? Buat apa?”

“Ini ada sedikit makanan buat kamu sama adik kamu buka puasa. Ambilah.”

“Wah beneran kak? Makasih ya, kak!” ia berteriak karena saking gembiranya. Dipeluknya sang adik sambil berbisik kencang, “kita makan nasi, dek, hari ini!” Keduanya tertawa bahagia. Ah, kebahagiaan yang begitu polos.

“Iya sama-sama. Yaudah, aku pulang dulu, ya. Angkotnya yang aku tunggu udah ada tuh. Dimakan, ya, nasinya. Dah!”

Dan hari itu aku belajar sesuatu yang begitu berharga dari sesosok gadis kecil penjual tisu. Sebuah arti dari berbagi. Sebuah arti dari memberi. Dan sebuah kebahagiaan sederhana yang didapat saat melihat wajah bahagia mereka yang telah kau beri sesuatu, sekecil apa pun hal tersebut.

***

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah manusia paling dermawan. Dan beliau lebih demawan ketika di bulan Ramadhan. Beliau menjadi lebih pemurah dengan kebaikan daripada angin yang berhembus dengan lembut. Beliau bersabda, “Shadaqah yang paling utama adalah shadaqah pada bulan Ramadhan.” (HR. Al-Tirmidzi dari Anas)

***

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa yang memberi berbuka orang puasa, baginya pahala seperti pahala orang berpuasa tadi tanpa dikurangi dari pahalanya sedikitpun.” (HR. Ahmad, Nasai, dan dishahihkan Al-Albani)

***


Penulis

1 COMMENT
  • Widyati
    Reply

    Suka Ceritanya ? kerennnn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *