Biarlah malam ini kubasahi sajadah dengan air mata
Agar Sang Pemilik Semesta tahu betapa menyesalnya diriku karena kalah dari hawa nafsuku sendiri
****
Hari itu ada yang aneh dengan debaran jantungku. Seperti berlari ketakutan. Seperti kancil yang berhadapan dengan serigala. Reaksinya tentu berimbas pada tanganku yang tiba-tiba dingin membeku ditambah dengan keringat dingin yang menenpel di dahiku.
“Naura, ini hanya kompetisi! Sadarlah!” batinku.
Bagi sebagian orang yang memiliki tingkat percaya diri yang kurang, inilah yang akan terjadi. Aku menarik napas dalam berharap mampu mengontrol debaran jantung ini hingga saat namaku disebutkan. Hingga saat aku berhasil menyelesaikan tugasku.
Aku Naura, seorang gadis 22 tahun yang dengan nekatnya mengikuti kontes qari tingkat kota. Aku bukan alumni pesantren manapun, bukan anggota taklim manapun. Aku memang guru mengaji, tapi ilmuku tak seberapa dari mereka yang bertahun-tahun mondok di pesantren. Ya, aku hanya ottodidak. Menonton video belajar tajwid melalui youtube atau tayangan televisi. Dan kali ini, aku dengan sok tahunya berada di tengah-tengah peserta yang merupakan imam mesjid, alumni pesantren dan alumni universitas timur tengah, bahkan ada qari yang sudah menjuarai kompetisi seperti ini di tingkat yang lebih tinggi.
Berjam-jam aku menunggu. Kudengarkan lantunan ayat suci yang tentu menyejukkan qalbu. Dan yang pasti menyadarkan diriku betapa kurangnya diriku. Hingga tiba saatnya namaku disebutkan oleh dewan juri. Saat itu aliran darahku seakan mengalir deras. Aku berdiri. Membawa kitab suci Alquran lalu duduk di depan.
Saat mulai membacakan Qalamullah, bulu kuduk di lenganku entah mengapa berdiri sendiri. Aku bergetar. Suaraku tentu saja juga bergetar. Bukan karena bacaanku. Tapi karena aku sedang di hadapan orang-orang yang menurutku hebat. Dan hal itulah yang kusesali hingga saat ini.
Setelah selesai menyelesaikan tugas, beberapa peserta perempuan atau biasa disebut akhwat menjabat tanganku yang berangsur menghangat. Mereka tersenyum padaku dan mengungkapkan rasa kagumnya dengan suaraku tadi. Aku tersenyum. Alhamdulillah, kalau orang lain berpikiran seperti itu. kemungkinan untuk menang ternyata masih ada.
Matahari beranjak turun. Para pengendara mulai memadati ibukota. Berharap dapat berbuka puasa bersama keluarga. Aku juga mempercepat laju motorku. Semoga aku bisa bertemu dengan adik-adik santriku yang kini sedang menungguku di rumah.
“Kak Naura kenapa? Kakak suka bacaan quranku kan?” tanya seorang anak perempuan berjilbab berusia 8 tahun yang kini duduk di hadapanku membacakan Alquran.
Aku mengangguk setuju. Tersenyum padanya. Sebenarnya aku masih memikirkan hal tadi. Melawan rasa tidak percaya diriku kemudian maju di hadapan banyak orang memperlihatkan kemampuanku. Ah, itu adalah hal yang langka yang setidaknya membuatku merasa senang.
“Tapi kata ustadz yang disana, aku gak boleh terlalu seneng dengan pujian kakak. Soalnya yang dicari itu bukan baik di mata manusia tapi di mata Allah swt.”
Aku terhenyak mendengar ucapan itu. rasanya kata-kata itu langsung mengenai jantungku. Membuatku ingin sekali menutup wajahku dan menangis. Kuingat kembali apa sebenarnya niatku mengikuti kontes itu. Yaa Allah, apa yang kulakukan? Aku melakukan hal tadi hanya karena ingin dilihat baik oleh orang lain. jantungku yang berdegup kencang bukan karena aku membaca Qalam Allah, tapi karena aku gugup mengaji di hadapan orang-orang yang menurutku lebih baik dariku.
Saat itu aku sadar, aku telah salah dari awal. Niat yang salah tak akan mendapat apa-apa. Harusnya aku mengikuti kompetisi seperti itu dengan niat ingin mengharap ridha Allah swt, ingin bertemu dengan teman-teman sesama muslim yang bisa membuatku berjalan bersama mencari ilmu Allah. Sungguh, ini adalah perbuatan Riya’. Syirik kecil yang nanti akan aku pertanggung jawabkan di akhirat kelak.
Yaa Allah, Semoga bulir bening yang terjun dari sepasang mataku ini mampu menjadi saksi akan penyesalanku. Mampu menjadi cahaya kelak saat aku dihisab.