Sang Baginda Nabi S.A.W

Hari ini akan di mulai lomba-lomba yang asik terdengar di telinga, hati akan tersentuh jika mendengarnya, kelopak mata akan menggenang hingga megalir karena tak kuat menahan air mata, kerinduan yang mendalam akan memancarkan gelombang cinta yang sebenarnya, manusia pendosa akan terkejut di buai oleh lisannya, batu dan kerikil akan bersaksi atas kemuliannya, tanahpun menangis karna lukanya, hingga malaikat penjaga gunungpun murka kepada orang-orang yang menyakitnya.
Setelah pak Solahudin memberikan sambutannya itu, kini berganti Ustadz Bukhori yang mengambil alih acara. Ia guru sejarah kebudayaan Islam yang sangat galak, tidak ada satu murid yang berani berbicara jika ia sudah berdiri mengajar maupun menyampaikan suatu tausiyahnya. Eza pernah sekali di cubit dengan jari kecilnya itu, terasa sakit perih jika di rasakan dan memar memerah setelahnya.

“Assalamu’alaikum anak-anakku, hari pertama ini akan diadakan suatu perlombaan yang akan membawa kita bagaikan terasa hidup di zaman-Nya. Acara pembuka ini akan di mulai dengan lomba membacakan puisi tentang Baginda besar Nabi Muhammad S.A.W setiap perwakilan kelas wajib mengikutinya yaaa, saya beri waktu 20 menit untuk mengumpulkan data namanya” kata ustadz Bukhori.
Setiap ketua kelas langsung bersedia menyiapkan nama siswa yang akan mewakilkan kelasnya seperti Farid yang menjadi ketua kelas sedang sibuk-sibuknya mendata tiap perlombaan untuk kelas VIII-1.
“Za, siapa yang akan siap untuk mewakilkan kelas kita” kata Farid.
“Yang pasti bukan aku ya hehee…” jawab Eza.
“Aku lagi serius! engga liat keringatku bercucuran seperti ini, panik yang berlebihan” kata Farid.
“Hehe..iya iya Rid, tunggu aku ingat-ingat dulu. sepertinya ada anak kelas kita yang lihai dalam mengolah kata-kata puisi, oiyaaa Mutoharoh!” balas Eza.
“Yasudah, langsung kita catat saja namanya” balasan penutup dari Farid.

Setelah mencatat nama itu, Farid dan Eza langsung segera menemui Mutoharoh untuk membahas perihal puisi itu. Secepat kaki melangkah, air keringat tak henti mengalir dalam kening dan dada, baju pun membasahi atas keringatnya, akhirnya dari kejauhan terlihat wanita kecil berkacamata yang sedang berbincang dengan dua orang temannya.
“Itu si Mut!” kata Eza.
“Mut siapa Za?” balas Farid dengan ekspresi muka membingungkan.
“Mut panggilan terkenalnya, nama aslinya Siti Mutoharoh” kata Eza.
Mereka pun akhirnya menghampiri Mutoharoh yang sedang berdiskusi dengan Iik dan Umi di pelantaran belakang masjid.
“Hey Mut, apa kabar?” kata Eza.
“Alhamdulillah baik, ada apa ya kok tumben datang dengan tergesah-gesah seperti itu?” balas Mutoharoh.
“Dari tadi aku nyariin kamu Mut, ini loh kelas kita kan mau ada perwakilan untuk lomba puisi tentang Nabi Muhammad S.A.W, Farid sudah mencantumkan nama kamu untuk ikut serta” kata Eza.
“Waduh…kok kamu dadakan si! aku butuh persiapan untuk merangkai kata-katanya, karna tidak boleh sembarangan, yang mau kita tulis dan kita bacakan ini adalah sesosok manusia yang amat mulia di seluruh alam” balas teguran dari Mutoharoh.
“Hehe maaf Mut, aku melihat Farid yang panik jadi teringat namamu, langsung saja namamu terukir di kertas putih itu” balas tertawa Eza.

Mendengar hal itu, salah satu dari dua orang teman Mutoharoh langsung angkat bicara.
“Za, seharusnya kamu tuh engga boleh sembarangan asal tulis tanpa seizin orangnya, bagaimana nantinya kalau Mutoharoh tidak ikhlas untuk menjalankannya? ingatlah akhlak Nabi Muhammad S.A.W yang sangat sopan dan santun, sang Nabi dalam hidupnya tidak berani membuka barang-barang pribadi dari istri tercinta untuk mengetahuinya. Bahkan jikalau lautan dijadikan sebuah tinta untuk menuliskan namanya, maka tak akan sanggup air itu menuliskan keagungan nama Sayydina Muhammad S.A.W itulah akhlak yang patut kita contoh sebagai umatnya untuk kehidupan kita” kata bijak yang dilontarkan dari Iik untuk Eza.
“Iya aku minta maaf, aku begini karna terpaksa juga sudah jalan buntu” jawab Eza dengan muka bersalah.
“Yasudah Za, tak perlu risau, namun lain kali kamu harus izin dulu ya, biarkan kata-katanya aku rangkai dulu hingga waktu dzuhur tiba” balasan penutup dari Mutoharoh.

Waktu adzan dzuhur pun tiba, seluruh kelas VII hingga IX bersiap-siap mengambil air wudhu dan sholat berjama’ah di masjid Al-Hidyah. Suara iqomah Ustadz Bukhori sangatlah merdu terdengar hingga menyentuh bagaikan panggilan hati, lantas indah karna Ustadz Bukhori adalah seorang Qori yang handal melantunkan suara yang indah di kemas di hati pendengarnya dan yang menjadi imam sholat adalah Ustadz Luthfi guru Bahasa Arab di Madrasah ini.
Setelah sholat dzuhur selesai, Ustadz Bukhori langsung membacakan nama-nama yang mengikuti lomba puisi lalu setiap siswa langsung membacakannya di depan siswa-siwa lainnya. Sistem undian berupa kocokan arisan, yang keluar dialah yang akan maju pertama hingga seterusnya. Begitu dikocokan gelas itu, lalu keluar lah gulungan kertas yang berisi nama ‘Mutoharoh’, lalu ia adalah orang yang pertama maju kedepan masjid dan membacakan puisi itu.

Sang Baginda Besar

Wahai Sang Baginda…
Besar namamu untuk di kenangnya.
Indah namamu untuk di ukirnya.
Mulia namamu untuk di ingatnya.

Tak terlupakan perjuanganmu yang begitu sulit.
Tak terlupakan pengorbananmu yang begitu berat.
Tak terlupakan amanahmu yang kau jalankan.
Tak terlupakan dakwahmu yang kau ikhlaskan.

Tak terbayang sebuah baktimu yang besar itu.
Tak terbayang sebuah jasamu yang baik itu.
Tak terbayang sebuah harapan untuk mereka itu.
Tak terbayang sebuah tangisan untuk umatmu itu.

Darah yang menetes melukaikmu, kau balas dengan kesabaran.
Cacian yang mehantam kanmu, kau balas dengan senyuman.
Orang yang bertaubat kepadamu, kau balas dengan memafkan.
Orang yang bershalawat kepadmu, kau balas dengan mensyafaatkan.

Kini kau hadir di tengah gelapnya dunia.
Kini kau hadir bagikan pelita di alam jagat raya.
Kini kau hadir bagikan rembulan menyinari gelapnya hampa.
Kini kau hadir bagikan penolong umat yang tak berdaya.

Yaa Sayydi Yaa Rasulullah…
Begitu indah akhlakmu di kenang umat.
Yaa Sayydi Yaa Habiballah…
Begitu mulia namamu di kenang umat.

Prok…prok…prokk suara tepuk tangan yang menggema dalam masjid bertanda puisi itu telah selesai di bacakan. Seluruh siswa menggenangkan air mata yang mengalir di pipinya, kelopak mata yang basah karena rindu ingin berjumpa, guru-guru bergembira riang karna mendengarkannya, hati-hati membuai karna kecintaannya, burung-burung masjid berkicau karna mensaksikannya.
“MasyaAllah, begitu indah puisi awalan ini dibacakan, bagaimana dengan puisi-puisi lain yang belum di baca?, pasti akan lebih menarik di dengarnya oleh banyak orang” kata Ustadz Bukhori sebagai salah satu juri perlombaan.
“Tentu Stad, anak-anak didik kita hebat-hebat ya pak, kaya bapak Bukhori ini hehe” balas Ustadz Luthfi.
“Ah kamu Stad, bisa aja. Memang anak-anaknya saja yang cerdas” kata Ustadz Bukhori.
“Semoga dengan adanya acara ini, anak-anak bisa bertambah kecintaannya kepada Baginda besar Sayydina Muhammad S.A.W dan kelak bisa mengamalkan ajaran yang telah beliau ajarkan kepada umatnya dahulu” balas Ustadz Luthfi.
“Amin pak, kita kini sudah berada di zaman yang sudah modern, zaman yang sudah berkembang, terbilang zaman jahiliyah kembali datang, karna banyak anak-anak kita yang akhlaknya jauh dari ajaran Nabi Muhammad S.A.W” kalimat penutup dari Ustadz Bukhori.

Begitu keseluruhan siswa sudah memaparkan bacaan puisinya, kini waktu penjuarian telah tiba. Ustadz Bukhori sedang membaca berulang-ulang naskah itu sedangkan Ustadz Luthfi mencatat teks naskah yang kurang sempurna. Mereka berdua sedang ekstra dalam menilai naskah puisi itu, karena jika sampai salah nilai, urusannya tak hanya di dunia saja melainkan pertanggung jawaban di akhirat pun tak luput dari pekerjaannya.
“Anak-anakku berdirinya bapak disini, bapak akan mengumumkan pemenang juara lomba puisi program pesantren kilat hari ini, juaranya adalah………..” seluruh siswa terdiam mendengar pengumuman dari Ustadz Bukhori.
“Kok jantungku deg-degan ya, bagaikan roda kereta api yang memutar untuk berjalan” kata Eza.
“Iya sama nih Za” balas Farid.
“Pemanangnya adalah………………..semua kelas yang mengikuti lomba puisi ini!” kata Ustadz Bukhori yang membuat para murid kebingungan dan bertanya-tanya.
“Kok semuanya si yang menang Stad?” “kok bisa begitu si Stad?” “kenapa tidak salah satu saja yang di menangkan Stad?” timbulnya pertanyaan dari para siswa-siswi yang menyaksikan pengumuman itu.

“Hey anak-anakku, kalian perlu ketahui! seluruh naskah yang sudah kalian tulis ini, kata-kata isinya sangatlah indah semua, ya jelas! karena puisi yang kalian perlombakan ini adalah membawa nama manusia yang sangat indah di dengar, tidak ada nama Nabi Muhammad S.A.W yang tak indah, semuanya indah, bagus, menyetuh hati seperti puisi kalian. Bapak membuat lomba ini bermaksud untuk mensadarkan anak-anak zaman sekarang yang banyak tidak lagi mengenal sejarah Nabi kita. Banyak umat-umat Nabi yang sudah tidak mengenal siapa nama Rasul-Nya. Padahal kelak nanti di padang masyar Nabi Muhammad S.A.W lah yang akan menyelamatkan kita, yang akan menangisi kita, yang akan sujud hingga lamanya demi memikirkan kita nantinya, semoga kita semua terus mencitai Baginda besar Penghulu Alam Sayydina Muhammad S.A.W” pidato penutup dari Ustadz Bukhori untuk seluruh para murid.
Seluruh siswa menangis terbanjiri air mata yang deras keluar dari matanya, ada yang menahan rindu hingga terpingsan tak sadarkan diri, ada yang hanya menundukan kepala karna menahan rasa malu kepada-Nya. Mendengar perkataan dari Ustadz Bukhori itu Eza langsung berbicara dalam hatinya.


Penulis

1 COMMENT
  • https://perry98spence.page.tl/BitCoin-For-Newcomers-d--Bitcoin-Could-Reach-10000-Or-Even-Increased-ar-.htm?forceVersion=desktop
    Reply

    JP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *