ramadhan bertaubat

Ramadhan Bertaubat

Kampungku hari ini begitu ramai. Banyak orang berkumpul sekarang entah, dari mana aku tak tahu asal mereka, yang jelas mereka sangat asing bagiku. asing karena aku jarang melihat mereka. Asing karena aku tak pernah tegur sapa dengannya. Asing bagiku karena tak ada cakap sepatah dua pun dengan mereka. Mereka mendatangi kampungku dengan roda empat, brand terbaru. mataku terbelak-belak melihat mobil semewah itu. Aku hanya mematung seperti tunggul (batang mati) di tengah kebun. Hanya menatap takjub. Maha besar Allah SWT dengan kekayaannya, memberikan kesempatan bagi orang beriman merasakan memiliki itu.
Beberapa orang keluar dari mobil yang aku tak mengenali mereka. Apalagi mereka pastinya tak akan mengenaliku. karena aku dekil dengan rupa blepotan bercampur tanah dan keringat. ditambah baju bekas yang aku kenakan pun, rasanya sulit sekali membuat mereka kenal terhadapku. Aku pergi meninggal roda empat yang sempat membuatku kagum.
aku pergi bukan berarti aku tak suka. tapi karena aku harus membawa getah karet yang kubawah dari perkebunan menuju rumah. jika terlambat akan naas akibatnya. getah karet tak laku. aku kena semprot oleh ayah, dan dipastikan tak ada THR untukku.
“Kau ni, lambat betul. “ujar ayahku sedikit kesal dengan raut wajah datar. “kau jangan sibuk memperhatikan orang. Kau ada tugas penting yang harus kau selesaikan” sergahnya lagi padaku.
“iya, Ayah. Maaf, tadi aku melihat kendaraan roda empat bagus sekali. Entah, kenapa aku tertegun melihatnya.” jawabku pada Ayah dengan polos.
Ayah tertegun sejenak menatapku. mungkin seribu pertanyaan, di balik bola matanya yang coklat. Apa anak ini tak waras, mengingkan sebuah mobil. Dia tak sadar diri, kalau Ayahnya seorang petani pas-pas. Atau dia membayangkan memiliki sebuah mobil dengan menjual perkebunan karet. Harta satu-satu yang kumiliki. Tapi tak mungkin anakku remaja masjid. Kegiatannya selalu diliputi nilai-nilai spritual.
Tapi wajar jika dia memiliki keinginan seperti itu. Dia kan anak muda punya cita-cita dan impian. jika memang itu impiannya aku tak akan menghalangi itu.
kemudian ayah tersebnyum padaku. “Suatu saat kau akan memiliki kendaraan roda empat Nak” ujarnya padaku.
Aku sedikit terkejut mendengar itu. selesei kubantu Ayah membuat getah karet jadi. Aku pun merasa lega, tugas utamaku sebagai anak petani karet, rampung dengan cepat.
“Ayah,.. aku pamit untuk ke masjid!” mintaku padaku Ayah.
Dia hanya menganggukkan kepalanya padaku. Aku bergegas merapikan seluruh badanku yang berlumuran keringat dan debu. Aku ingin jika masuk masjid aku menjadi yang terbaik. Entah, dari sikapku yang harus ramah, bajuku yang harus bersih walaupun itu tak baru. Badanku yang harum terkena minyak wangi. Rasanya itu cukup membuatku sangat bahagia. Oh iya, aku hampir lupa rambutku harus tertata rapi. Jujur aku tak mau kalah dengan bintang iklan yang selalu memamerkan rambut mereka yang hitam dan gagah. Aku pun membuat rambut tebalku tersesir rapi ke samping kanan. Model rambut ini sering aku lihat di film Tom Crus. Dan tak kalah penting. Kuku harus terlihat putih. Walaupun awalnya hitam terkena lumpur tapi setelah disikat akhirnya bersih seperti bulu beruang kutub.
Kulangkahkan kakiku dengan mantap menuju masjid. Dari balik jendela rumahku, ketika aku akan berjalan menuju masjid. Aku merasakan ada orang yang menatapku dibalik itu. Adikku tak mungkin. Dia sudah pergi jauh dariku. Ibuku tak mungkin pula. Karena ia sibuk di dapur sedang membuat kreasi menu berbuka seperti apa. Aku sendiri apa lagi. Ah…mungkin hanya banyanganku saja. Maklum rumahk terletak di hutan belantara. Jadi wajar jika ada hal yang aneh-aneh. Jika hari sudah lewat jam 5 sore maka gelap mulai menyapa. Jika tidak menuju masjid yang jauh dari rumahku. Aku akan terlambat untuk samaai di masjid. Tanpa memperdulikan semua itu. Bergegas pergi.
“Bu aku berangkat ya”seruku sambil berjalan.
Aku tak tahu ibuku mendengar perkataanku atau tidak. Yang jelas suaraku terdengar keras dari ujung ruang tamu sampai dapur. Setelah 10 meter kelalui langkahku. Aku coba menatap ke belakang. Aku masih penasaran yang berada di balik jendela itu. Kuamati secara perlahan dengan mataku. Ternyata sosok di balik jendela itu adalah Ayahku sendiri. Jika aku urutkan dari mulai aku akan pergi berarti Ayahku sudah memperhatikanku sejak tadi. Tapi yang jadi pertanyaanku buat apa. Sambil berjalan pelan aku coba mencari jawaban itu di dalam hatiku. Kemudian aku tersenyum. Apa mungkin ayahku merasa senang melihat anaknya pergi ke sebuah masjid dengan begitu rapi dan nyentrik. Apalagi aku pernah mendengar dari tetua (kepala suku) kampong yang mengatakan, “Anakmu calon penerus bagi tetua di desa kita ini.” Tetua kampung yang mengatakan itu di depan Ayahku. Atau Ayah merasa malu karena ia tidak seperti anaknya. Sering ke masjid untuk melakukan shalat dan terlibat berapa kegiatan untuk pemberdayaan masjid. Sedangkan dirinya hanya sibuk dengan pertanian dan harga karet yang pasang surut. Atau yang lebih parah lagi sibuk dengan asap rokok yang ada di mulutrnya.
Kuarahkan mataku ke langit dan kuucapkan sebuah doa. Ya Allah sayangilah kedua orang tuaku. Sebagaimana kau menyangiku. Jika kau memberiku pentunjuk berilah ia pentunjuk. Aku hanya orang yang meminta belas kasihmu. Terutama untuk kedua orang tuaku.
Kupenjampkan mataku beberapa detik setelah itu kubuka kembali.
Kemudian aku berlari menuju masjid. Aku sampai di depan gerbang masjid dengan nafas terngenga-ngengah. Anak-anak yang melihatku, menatap heran.
Kulihat mereka sangat antusias menunggu acara buka puasa di masjid.
“Kakak, mengapa Kakak seperti orang lomba lari?” Tanya seorang muridku yang mengenakan jilbab ungu.
Dengan tersenyum aku menyahut. “rumah kakak jauh dekat hutan. Kakak tak mau terlambat datang ke masjid. Oleh sebab itu berlari.” Jawabku padanya yang melihat penuh tanda tanya.
“Horeeeee.. kakak Ian datang!.”sahut mereka berbarengangan.
Aku pun terkejut dan terharu. Dengan sambutan seperti itu.
“Kakak kok terlambat si?” Tanya dengan manja.
“Kan, Kakak Ian rumahnya jauh maka dia terlambat ke masjid.” Teman yang berjilbab menimpali.
“Oh,rumah Kak jauh.” Sahut murid laki-laki mufid.
“Ia.Ia. Kakak terlmabt maaf ya, Kak akan beri kabar kalau terlambat.
Mereka sudah menungguku sejak tadi. Oleh sebab itu mereka menggerutukiku.
“Kakak, Kakak. Tadi ada yang mencari Kakak. Katanya orang itu kenal baik dengan kakak.” Ujar Hani member tahuku sambil mengingat sesuatu.
“Ah..masa sih? Kakak kan bukan artis.“ godaku padanya untuk menyankinku.
“Benaran Kakak. Sumpah dengan nama Allah dan Nabi Muhammad.” jawabnya tegas walaupun sedikit kesel karena meresa kuremehkan.
“Ia. Ia. Kakak percaya deh.”
“Sebenarnya kakak Ian ini. Punya adik tidak sih?”dia bertanya lagi.
“Soalnya orang yang mencari Kakak tadi. Wajahnya agak mirip dengan Kakak. Kulitnya putih bahkan matanya coklat seperti kakak. Tapi dia seperti orang kaya gitu, Kak.” jelasnya detail padaku.
Aku terpelongo bukan main dengan ujaran Hani. Hani salah satu muridku yang cerdas. Pengalamanku mengajarinya cukup sekali dikasih perintah ia langsung mengerti. Aku pernah mengatakan kepada seluruh muridku. Jangan bercakap-cakap dengan orang asing dan Jika ada orang asing tiba-tiba memberi sesuatu jangan diterima sebelum, bicara dengan Ayah dan Bunda kalian.
Benar-benar semua itu membuatku penasaran. Tapi karena hari sudah hampir magrib aku coba menyelesaikan kegiatan dengan anak-anak dulu.
Aku simpan dahulu berita dari Hani tadi.
Kami tutup acara buka puasa bersama ini dengan berbuka puas Allahumma laka stumtu wabika amantu wa’ala rizqika aftthortu birahmatika yaa arhama roohimin. Dengan namamu kami berbuka ya Allah dan atas riskimu kami membatalkan puasa kami. Wahai Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang.

Anak-anak yang hadir, seperti kilat menyambar makanan yang telah dibagikan sejak tadi. Mereka tersenyum dengan makanan yang masuk ke mulut mereka. Wajah puas tergambar jelas di wajah mereka. Sebagai anak-anak mereka telah belajar menaklukan hawa nasfu mereka sendiri. Maka tak salah jika orang yang berpuasa dengan sungguh-sungguh akan berakhir dengan sikap taqwa. Sikap yang sangat diimpi-impikan oleh seorang muslim. Hanya Allah yang akan membalasnya sendiri kebaikan puasa itu.
Ketika aku menenguk minuman manis setengah kelas. Hani menghampiriku.
“Kakak, ini ada kue buat Kakak”tawarnya padaku.
Kusambut pelan kue yang ia sodorkan ke hadapanklu. Kutatap kue manis yang bertestur lembut.
“Jangan lupa baca bissmillah ya, Kak. Supaya makanannya lebih enak.”dengan senyuman sambil bergegas pergi menuju kerumunan temannya.

??
Beberapa jam setelah aku shalat di masjid. Aku kembali bergegas pulang. Rumahku jauh dari perkampungan jadi aku segera sampai supaya tidak larut malam berada di jalan.
Aku tiba-tiba terkejut di penghujung kampong, sebuah mobil berhenti. Jarak antara diriku dan mobil itu sekitar 30 meter. Mataku sangat jelas mengingat mbobil itu pernah aku liaht beberap hari yang lalui.
Keluarlah dua yang satu lebih muda dariku. Satunya lagi mungkin sangat jauh dari usiaku. Tapi lagi-lagi aku tak peduli. Mungkin saja mereka sedang menunggu seseorang di ujung kampong ini.
Semakin dekat aku melihatnya semkain jelas siapa pria yang sangat jauh usianya dariku tadi.
Tanpa kusapa ia menyahut namaku kecilku. “Bujang!..”sebutnya.
Mataku tajam menatapnya. Walaupun masih ditutupi cahaya lampu rumah kampung yang tidak begitu terang.
“Ayah..!”timpalku.
“Mengapa ayah di sini.”tanyaku padanya setelah beberapa meter sambil dihantui rasa penasaran.
Ayah sengaja menunggumu di sini. Agar kau aman dalam perjalanan menujumu rumah.’ Sahut ayah padaku.
“Ayah tidak usah khawatir aku sudah dewasa. Orang di kampung kita juga sudah sangat mengenal kita jadi. Mana mungkin ada orang berbuat macam-macam.”jawabku padanya.
“Ayah ingin jaga-jaga saja”timplanya singkat.
“Lalu yang di samping Ayah ini siapa?mengapa wajahnya tak jelas Ayah.”tanyaku lagi padanya
“Kau lihat saja sendiri siapa dia.”jawadnya datar
Aku tatap kembali wajah itu. Setelahku tatap terdengar suara lirihnya. “Kakak!” Ungkapnya.
“Aku heran bukan main. Tadi aku dikejutkan oleh Ayah yang tiba-tiba menjemputku. Sekarang Adikku datang. Apa benar. Setelah kuperhatikan dia benar-benar Adikku. Sejak 25 tahun aku tak bertemu dengannya.
Dia memelukku dan aku hanya tertegun. Aku merasakan badanya berisi. Baunya harum wajahnya putih pakiain yang ia kenakan berbahas halus. “Kakak maaf aku.”ungkapnya. Lagi-lagi aku tediam. Soal apa. Dalam hatiku bertanya sendiri. Bukankah aku hampir lupa jika kau memiliki adik laki-laki
Mungkin orang ini yang diceritakan Hani ketika aku di masjid sore tadi.
Pada bulan yang suci ini ia membuat moment yang membuatku akan mengenangnya selamanya. “Aku melakukan kesalahan Kak, meninggalkan Ayah, Ibu dan Kakak. Ingin minta maaf dan bertaubat.” ujar lagi dengan lirih.
“Aku sengaja berhenti di masjid itu untuk menanyakan Ayah dan keluarga kita.” Ucapnya lagi.
Lagi-lagi bibirku kaku. Aku tak dapat bicara apa-apa. “Sudahlah Dik. Ayo kita pulang kasihan Ayah menunggu kita di sini dan Ayah hanya dapat melihat kita. Ia pasti lelah.” ucapku padanya yang tak henti-hentinya memohon.
Ayah menatap kami berdua ketika kami saling merangkul.

BIOGRAFI
Al firdaus lahir di Banyuasin, Sumatra Selatan. Masa muda Al firdaus dihabiskan menuntut ilmu di Jogja, Magelang dan Solo. Pernah nyantri di pondok tahfidz Muhammadiyah Muntilan sampai mendapatkan beasiswa tahfidz untuk kuliah di IAIN SURAKARTA. Ketika di Madrasah Aliyah Muhammadiyah setingkat SMA pernah juara 3 kategori hafalan Al-Qura’n 5 juz tingkat kabupaten. Di Kampus pernah mengikuti lomba debat antar mahasiswa mendapat juara 1. Tetap aktif di IMM untuk memberikan masukan melalui sosmed di organisasi kampus IAIN Surakarta. Sekarang aktif mengajar di SDS ISLAM Jakarta Barta.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *