RAMADAN BERNAS 3088
Kami kelompok pecinta alam dan pendaki gunung Wilderness Lali Jiwo mempunyai tradisi unik. Tradisi yang boleh dikatakan ekstrem dan menantang yaitu pendakian gunung di bulan Ramadan. Tentunya tradisi ini tidak lahir begitu saja. Tradisi ini mempunyai riwayat dan perjalanan panjang. Sebab tanpa persiapan serta trial and error tradisi ekstrem ini tentu tak akan maksimal. Sedikit kesalahan dan kecerobohan akan membahayakan jiwa dan puasa itu sendiri.
Gunung bagi kami adalah istimewa. Di dalam al Quran disebut berkali-kali kata jibaalu, syadda dan rowaasiya yang berarti gunung-gunung. Kata-kata tersebut sudah mengendap dalam-dalam di jiwa kami. Begitu banyak keistimewaan gunung di dalam al Quran dan al Hadis. Tentang gunung-gunung sebagai pasak penguat bumi. Tentang gunung sebagai tempat tinggal hewan dan manusia. Hingga tentang gunung yang aktif bergerak dan berzikir.
Mendaki gunung bukanlah kegiatan alam bebas yang mudah. Apalagi tujuan kami waktu itu adalah gunung Argopuro. Gunung yang ketinggian 3.088 meter dan pemegang rekor trek pendakian gunung terpanjang di Pulau Jawa. Dengan jarak tempuh kurang lebih 63 kilometer. Sedang rata-rata waktu pendakian di hari biasa adalah selama 5-6 hari. Gunung Argopuro ini terbentang hingga lima kabupaten yaitu Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, dan Situbondo.
Untuk mengawalinya saya sebagai ketua tim harus dapat mendongkrak semangat teman-teman dengan sesuatu yang bernilai sangat istimewa. Kalau hanya mengandalkan semangat dasar kepecintaalaman ataupun mountaineering tidaklah cukup. Konsep-konsep tadabur alam dan fikih al bi’ah (lingkungan) sudah biasa bagi kami. Saatnya melangkah ke level berikutnya. Tentang kekuatan dan ketabahan.
Hal yang paling membuat jiwa menjadi kuat adalah wilayah ketuhanan. Disinilah saya memilih ayat yang mengandung unsur Quwwatul ihtimal (daya tahan yang besar) dan Asy Syaja’ah (keberanian). Maka kupilihlah ayat di bawah ini sebagai pendorong semangat teman-teman.
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al Baqarah 155)
Dan untuk kekuatan operasionalnya saya pilih ayat di bawah ini agar tidak tergolong ghuluw (hal berlebihan).
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al Baqarah 286).
Itulah dua ayat al Quran sebagai pendorong untuk naik ke level selanjutnya. Sebuah level kekuatan dan ketabahan mengarungi Ramadan di sebuah ketinggian yang dingin dan beku. Jauh dari hiruk-pikuk peradaban. Keberangkatan tim diawali dengan berbagai persiapan. Tipe minimalis adalah pilihan kami. Gaya pendakian ini dikenal dengan Light Hiking. Artinya kami harus mampu bertahan di alam bebas dengan peralatan minimal. Dengan beban bawaan seringan mungkin agar dapat bergerak cepat. Dari durasi normal pendakian gunung Argopuro di hari biasa yang 5-6 hari, kita pangkas menjadi dua hari di bulan Ramadan. Sesuatu yang berat kawan!
Bertolak dari base camp di wilayah Pasuruan, kami berempat akhirnya sampai di kota Besuki. Setelah makan sahur dan menyelesaikan sholat Subuh, kamipun melanjutkan perjalanan menuju titik awal pendakian di desa Baderan. Ini adalah pintu masuk populer untuk pendakian Gunung Argopuro. Disamping pintu masuk lainnya di desa Bremi yang teletak di kecamatan Krucil, Probolinggo. Tak ada kendaraan umum dari dan menuju desa Baderan. Inilah cobaan pertama kami. Harus menunggu berjam-jam hingga mendapatkan mobil pribadi dengan ongkos yang sedikit mahal tentunya. Cobaan lainnya tentang sinyal telepon seluler. Provider apa pun lumpuh begitu masuk desa Baderan. Pun bea masuk pendakian yang tergolong Suaka Margasatwa ini lumayan mahal kawan!
Sebelum berangkat tim berdoa. Kami kembali memantapkan misi dan pemahaman pendakian Ramadan ini. Tentang latihan kekuatan jiwa dalam menjalani al-mihan yang bisa berupa cobaan, bencana, musibah, kesengsaraan, serta kemalangan.
Tepat pada pukul sembilan pagi tim berangkat. Tak ada yang istimewa selama dua jam di awal perjalanan. Seperti biasa yang ditemui adalah ladang-ladang penduduk yang luas. Hingga pada pukul dua belas siang barulah terasa begitu berat. Tanjakan makin curam. Rasa haus mencekik walau suasananya berkabut. Apalagi melihat beberapa pendaki lainnya yang menyewa motor untuk sampai di pintu rimba. Sedang kami harus melewatinya dengan jalan kaki. Tabahkan hati kami!
Di bawah rindang pohon kamipun kembali menata niat. Harus kuat! Jangan balik kanan! Jangan jadi al jubn atau pengecut! Inilah resiko sebuah kemauan. Akan ada banyak al-khathar atau bahaya. Akan selalu ada resiko dan kesulitan yang harus dihadapi. Beberapa kali kami berhenti karena lemas. Tentu bibir-bibir kami kering kerontang. Tanda sebuah dehidrasi akut. Sementara rombongan tadi beberapa kali saling kejar dengan langkah kami. Mereka adalah kelompok pecinta alam ibu kota. Dan kebetulan beragama Nasrani. Mereka sempat heran ketika beberapa kali berbarengan istirahat kok kami tidak minum atau makan.
“Kalian puasa….?”
“Iya…. ” jawab khas kami sambil nyengir dari para pemalu dan introvert ini.
Cukup terkaget juga mendapat jawaban kami. Gila puasa mendaki gunung Argopuro! Mungkin dalam pikiran mereka. Sepertinya kagum dan simpatik atas usaha kami.
Mereka tahu bahwa kami berjibaku mempertahankan puasa dari mimik-mimik wajah kami yang pucat pasi. Mereka paham bahwa kami mempertahankan puasa dari kelupasan kulit epidermis bibir kami yang mulai kering membiru kehitaman. Mereka pun tahu bahwa kami tetap bersemangat mempertahankan puasa Ramadan kami dari kulit kelopak bola mata yang kami yang mulai turun akibat kelelahan dan mengantuk. Tanpa ayat-ayat sedikitpun kami mampu membuat mereka terkesan! Inilah ciri khas dakwah al qudwa wal uswah, dakwah dengan suri tauladan.
Pendakian gunung Argopuro di bulan Ramadan memanglah sepi. Hanya kami dan tim ibu kota itu yang setia menapaki jalur-jalur panjangnya. Hingga mendekati titik HM 67, atau Pos mata air II saatnya tiba waktu berbuka. Dengan berdisiplin atas hadis tentang “segerakan berbuka” (‘ajaluhum fitron), kami pun hentikan langkah. Dengan semangat mempersiapkan ifthor jama’i istilah kerennya. Ini adalah kebahagiaan tersendiri yang tidak bisa tergantikan oleh apapun bagi setiap muslim yang berpuasa ketika berbuka. Kudapan sederhana kami lahap dengan nikmat. Sesuatu yang sangat berkesan berbuka di atas ketinggian. Mengingatkan lintasan perjuangan para pembawa risalah yang menggunakan media gunung dan ketinggian sebagai penguat dakwah. Kita ingat Jabal Tsur, Jabal Rahma, Jabal Qubais, Jabal Nur, dan Jabal Sinai.
Di gunung kita akan merasakannya semua. Tentang al-mujahadatu ‘alal khauf atau menaklukkan rasa takut. Tentang fikih-fikih perjalanan. Tentang konsep al-inshafu min ad dzati (bersikap obyektif pada diri sendiri). Tentang pelajaran al milku an nafsi ‘inda al ghadhabi (menguasai diri di saat marah). Kami benar-benar diuji disana. Hal dominan ketika di gunung adalah manajemen rasa takut. Pada dasarnya rasa takut adalah sesuatu yang manusiawi (thabi’i). Seperti takut tersesat, terjatuh, dimangsa binatang buas dan lain sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di bawah khauf syar’i yakni takut kepada Allah.
Dengan terus berjalan melahap trek pendakian yang gelap gulita kami tetap mempunyai hamasah (semangat) dan himayah (daya tahan) menjaga kecintaan kami terhadap bulan Ramadan. Itulah hubbur ramadan. Walaupun tidak sesuai target dua hari menjadi tiga hari, kami sangat bersyukur. Menjadi sebuah pelajaran bahwa jikalau di ketinggian yang serba terbatas kita mampu berpuasa, kenapa tidak jika di dataran rendah. Itulah kami para penempuh rimba yang belajar dari pesantren alam. Hingga kamipun bertilawah dengan penuh perasaan.
Ya jibalu awwibi ma’ahuu watthoiru
Hai gunung-gunung dan burung-burung bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud.
Rabbaniyyatul mashdar wal rabbaniyyatul ghayah…..
Tercurahlah dari Allooh dan berakhir karena Allooh…..