Pondok Pesantren Pecinan : Sebuah Kisah Tentang Toleransi Dalam Merawat Perbedaan

Lasem adalah sebuah daerah di Kabupaten Rembang yang memiliki kekayaan akan kemajemukan sosial baik dari segi etnis, suku, budaya hingga agama. Lasem juga memiliki sejarah panjang akan kemampuan dalam mengelola dan menjaga keberagaman etnis, budaya dan agama. Masyarakat Lasem baik dari etnis Tionghoa, Santri, Keturunan Arab, hingga warga setempat mampu menjaga hubungan dan kohesi sosial secara baik dalam realitas keberagaman yang ada. Dalam dinamika kehidupan sosial di Lasem sejauh ini nyaris tidak ada friksi ataupun konflik horizontal yang berlandaskan pada perbedaan ikatan primordial khususnya agama, etnis dan budaya. Masyarakat Lasem mampu menjadi manifestasi atau laboratorium kecil dari pada semboyan Bhineka Tunggal Ika, yakni meski dalam realitas sosio-kultural banyak perbedaan dan keberagaman namun persatuan, solidaritas, dan ikatan kohesi sosial mampu terjalin dengan baik. Nilai-nilai toleransi antar etnis dan agama mampu terjalin secara empirik di daerah yang juga sering dijuluki dengan sebutan “Tiongkok kecil” atau “Kota Beijing lama” ini.
Bahkan ikatan solidaritas dan persatuan antar etnis di Lasem telah terjalin sejak abad ke 18 silam, salah satu buktinya adalah dalam peristiwa Perang Kuning, dimana VOC menindas para pedagang Tionghoa di Lasem, kemudian kiai Baidlawi bersama Oei Ing Kiat dan Raden Pandji Margono bersatu padu menggerakkan rakyat Lasem untuk melakukan perlawanan melawan VOC. Peristiwa ini sendiri menjadi tonggak penting akan bukti solidaritas dan persatuan antar etnis di Lasem, atau lebih spesifik antara Islam dengan etnis Tionghoa yang hidup di Lasem.
Dalam berjalannya waktu, persatuan dan ikatan solidaritas sosial antara umat islam dan etnis Tionghoa yang hidup di Lasem tak pernah memudar hal ini dipengaruhi kuat oleh hadirnya pondok-pondok pesantren yang moderat dan peka akan keberagaman, salah satunya adalah pondok pesantren Kauman Lasem. Pondok Pesantren Kauman seringkali disebut sebagai pondok pesantren pecinan mengingat letak daripada Pondok Pesantren Kauman berada di tengah-tengah pemukiman warga Tionghoa tepatnya di Desa Karangturi. Bangunan dari pada pondok Pesantren Kauman sendiri juga dipenuhi oleh ornamen chinese misalnya adanya lampion bahkan cat tembok berwarna merah-emas khas warna tionghoa pun dominan mewarnai bangunan pondok pesantren. Pondok pesantren kauman telah menjadi miniatur bagaimana menjaga dan merawat kerukunan dan persaudaraan di tengah keberagaman yang ada.
Pada awal berdirinya yakni pada tahun 2003 bertepatan dengan 27 Romadhon 1424 Hijriyah, Pondok Kauman hanya memiliki 5 santri saja yakni 3 santri putra dan 2 santri putri namun dalam berjalannya waktu jumlah santri yang mondok di pondok pesantren Kauman semakin meningkat pesat. Salah satu sebab banyaknya santri yang mondok di Pondok Pesantren salah satunya karena keunikan dari pada Pondok Pesantren Kauman yang mampu menjaga kerukunan dan eksistensi diri di tengah hiruk pikuk komunitas non muslim.
Meskipun berada di lingkungan non muslim namun toleransi sosial dan rasa saling menghargai mampu dijunjung tinggi oleh para warga pesantren. Hal ini tidak terlepas dari pada didikan para pengasuh dan kiai Pondok Pesantren Kauman yang mampu menanamkan nilai-nilai dan sikap yang tasamuh kepada para santri, sehingga mampu menjaga tenun persaudaraan, kerukunan, kedewasaan dan perdamaian dalam keberagaman realitas sosial yang ada.
Menurut penututan KH. Muhammad Zaim atau Gus Zaim atau selaku pengasuh Pondok Pesantren Kauman, budaya tolong menolong juga terjalin antara para santri dengan warga sekitar yang beretnis Tionghoa (sumber : Suarapesantren.net), jika warga membutuhkan bantuan maka para santri akan dikerahkan untuk membantunya, bahkan jika ada warga yang meninggal para santri pun tak segan untuk ikut melayat dan mendoakan jenazah. Gus Zaim mengatakan bahwa persaudaraan antar sesama manusia dan satu tanah air juga merupakan ajaran Islam. Para santri pun tidak kikuk untuk berkomunikasi dan berbaur dengan warga setempat sebaliknya warga setempat juga mampu menjaga dan menghargai Pondok Pesantren sebagai sebuah organ sosial nan inklusif sebagai sumber toleransi dan perekat ikatan sosial masyarakat.
Sejalan dengan penuturan Gus Zaim maka Pondok Pesantren Kauman pun mampu memberikan contoh nyata bagaimana menjaga keberagaman dalam realitas sosial masyarakat sehingga mampu tercipta suasana dan kondisi yang damai, kondusif, dan toleran. Dalam realitas sosio-kultural antara islam dan Tionghoa Pondok Pesantren Kauman telah secara real mampu menjadi penjaga keberagaman dalam realitas sosial masyarakat Lasem secara khususnya dan kemajemukan Indonesia pada umumnya.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *