Pintaku dan Tuhanku

Pintaku dan Tuhanku
By : Muezzalova

Sudah satu tahun lamanya, aku berpisah dengan kedua orang tuaku. Aku memilih tinggal bersama nenek. Padahal jarak antara keduanya hanya berkisar seratus meter. Aku melakukan itu untuk menghindari perdebatan, khususnya dengan orang tuaku.

“Bila, Ayah ingin setelah lulus kamu langsung kerja,” ucap Ayah saat aku masih duduk dibangku kelas dua SMA.

“Tapi, Yah. Bila mau lanjut kuliah,” jawabku bersikeras.

“Kamu masih bisa kuliah, Nak. Tapi, setelah kamu berhasil mendapatkan pekerjaan,” jawab Ayah lagi.

“Kenapa, Yah? Apa ini semua karena masalah ekonomi? Bila akan berusaha untuk meraih beasiswa. Bagaimanapun caranya. Bila nggak akan merepotkan Ayah lagi. Bila janji,” jawabku yang tetap ngotot.

“Bukan karena itu, Nak. Ayah sanggup menyekolahkan kamu setinggi mungkin. Kamu anak satu-satunya, kelak kamu yang akan menggantikan posisi Ayah sebagai tulang punggung keluarga kita. Pendidikan itu hukumnya sunnah bagi seorang perempuan. Lihat Ibumu, Nak! Belajar hingga menempuh gelar sarjana, tapi sekarang ia hanya disibukkan dengan pekerjaan rumah. Karena itu kodrat seorang wanita,” jelas Ayah panjang lebar — yang membuat darahku mendidih.

Kenapa masih ada orang yang berpikiran dangkal seperti itu? Di tengah zaman modern seperti ini? Terlebih lagi orang tersebut adalah orang tuaku sendiri, yang pengalamannya di dunia pendidikan lebih unggul dariku.

Aku mendatangi Ibu. Berharap menemukan solusi yang terbaik darinya. Ternyata kali ini aku salah. Ibu tidak bisa memenangi aku. Ibu mendukung penuh keputusan Ayah. Semua impian yang aku bangun tiba-tiba roboh. Hancur berkeping-keping.

Aku tahu kenapa Ibu melakukan itu. Ya, aku tahu. Ibu tidak ingin menyandang gelar Istri durhaka. Ini salah besar menurutku. Aku pernah mendengar ceramah ustadz bahwa orang tua juga bisa durhaka terhadap anaknya. Mungkin, ini salah satunya.

Aku punya alasan sendiri kenapa tetap bersikeras ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang Universitas. Pertama, aku ingin mewujudkan cita-citaku sebagai tenaga pendidik. Aku ingin terjun dan mengabdi dalam dunia pendidikan. Kedua, aku akan menjadi lulusan SMA — yang terbilang sulit untuk mendapatkan pekerjaan.

“Bila bukan anak SMK yang mudah mendapatkan pekerjaan, Yah. Bila perlu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi,” ucapku, saat tengah menikmati waktu bersama orang tuaku.

“Kamu salah, Nak. Rezeki itu Allah yang mengatur, bukan karena sejarah pendidikan orang tersebut,” jawab Ayah yang selalu mampu mematahkan argumenku.

“Tapi, Yah…” jawabku yang sudah kehabisan kata-kata.

“Bila kalau bicara seperti itu, berarti nggak percaya sama Allah. Lihat, Nak! Di luar sana banyak sarjana yang hingga saat ini masih belum mendapatkan pekerjaan. Ayah bukan melarang Bila menggapai cita-cita. Tapi, Ayah hanya menunda waktunya saja. Ya, setelah Bila mendapatkan pekerjaan tentunya,” ucap Ibu yang membantu menguatkan pernyataan Ayah.

“Pekerjaan apa yang akan menerima Bila nantinya, Bu? SPG (Sales Of Girl)?” jawabku lemah. Kali ini aku benar-benar kalah.

“Apa salahnya mencoba? Itu bukan pekerjaan yang buruk,” jawab Ayah.

Aku mati kutu. Rasanya sakit sekali. Mimpi yang seharusnya menjadi indah, kini berbalik menjadi mimpi buruk. Membuat mata enggan terpejam. Aku ingin waktu terhenti saat ini juga. Kuharap, kali ini waktu berpihak kepadaku. Bodoh! Mana mungkin semua itu terjadi.

Setahun bukan waktu yang terbilang lama. Akhirnya aku memutuskan untuk tinggal bersama nenek. Tentunya dengan meminta izin terlebih dahulu kepada orang tuaku.

Selama setahun, aku berjuang keras demi mendapatkan keinginan terbesar dalam hidupku — mungkin yang terakhir. Aku berkutat dengan lembaran tebal yang berisikan ilmu. Tak hanya itu, aku semakin giat mendekati Sang Pencipta. Bukan hanya di saat aku butuh seperti ini. Hanya saja saat ini, Allah adalah pilihan yang tepat untukku bersandar.

Aku hidup dalam keluarga yang sedikit tahu tentang agama. Dari kecil, aku sudah dididik untuk beribadah. Semua berawal dari keterpaksaan, lamban laun berubah menjadi sebuah kebiasaan. Aku bersyukur karenanya. Terima kasih, Ayah, Ibu! Telah mengajariku bahwa hidup hanyalah tempat singgah untuk mengais bekal — untuk akhirat, tujuan akhir suatu perjalanan kehidupan.

Tidak ada yang mengubah hubunganku dengan mereka. Aku tetap darah daging mereka. Mereka tetap orang tuaku. Di waktu luangnya, Ibu mengunjungiku dan memberikan beberapa lembar uang untuk membantuku memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aku bukan tipikal orang yang suka jajan. Bukan berarti aku orang yang hemat. Hanya saja, menabung adalah kesukaanku yang sudah tertanam dari kecil. Kurasa tabunganku cocok untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Berbeda dengan Ayah. Ayah punya caranya sendiri untuk mencari tahu kondisi terbaruku. Ayah selalu meluangkan waktu untuk menelponku. Aku tahu kenapa ia melakukannya? Semua demi meminimalisir perdebatan yang biasa terjadi antara aku dengannya. Bagaimana pun juga, aku tetap menyayangi mereka. Lebih dari apapun.

Ayah dan Ibu seperti memberiku ruang. Bukan berarti mereka melupakan keinginannya untuk melihatku mendapatkan pekerjaan setelah lulus nanti. Hanya saja, mereka sudah sangat jarang membahas masalah itu — untuk saat ini. Saat aku mulai disibukkan dengan persiapan menjelang ujian. Tanpa terasa, waktuku menimba ilmu hanya tinggal hitungan bulan.

“Bil, kamu sudah punya rencana mau lanjut kemana?” tanya Sisi, teman sebangku yang kini sudah aku anggap seperti keluargaku sendiri.

“Insya allah sudah, Si. Aku ingin mewujudkan impianku menjadi seorang guru. Aku sudah memilih satu Universitas yang nanti akan menjadi pilihanku,” jawabku mantap.

“Satu? Hanya satu?” tanya Sisi yang seakan heran dengan jawabanku.

“Ya. Kurasa itu sudah cukup,” jawabku lagi.

“Bil, kamu punya potensi yang sangat besar. Kenapa nggak coba daftar di Universitas lainnya? Di luar kota misalnya. Indonesia punya banyak Universitas terbaik di luar sana,” jawab Sisi memberiku saran.

Ya, aku ingin mencobanya. Hanya saja — masalah “pekerjaan” yang membelitku — membuat imanku sedikit goyah. Kurasa satu itu cukup.

Aku hanya tersenyum menjawab saran yang diberikan Sisi. Setelahnya, ia mengerti apa yang harus dilakukannya. Tak ada lagi pembahasan lebih lanjut mengenai ini. Kami sibuk dengan semangkuk bakso yang begitu menggugah selera.

Hari yang penuh dengan tantangan akhirnya tiba. Ujian Nasional — agenda tahunan — penentu kelulusan — menjadi momok di kalangan pelajar. Digelar selama tiga hari. Bagiku itu tidak semenakutkan yang dipikirkan pelajar pada umumnya. Kuncinya ya satu. Belajar, belajar dan terus belajar.

Setelah itu, para siswa disibukkan dengan pendaftaran Universitas. Tak terkecuali aku dan Sisi. Kami melakukannya bersama. Sisi punya lebih banyak pilihan daripada aku. Di Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Ya, mungkin saja Sisi ingin mencicipi tour ke beberapa kota. Tidak ada yang salah menurutku. Malah itu sangat bagus.

Aku punya waktu kosong menjelang hari kelulusan tiba. Seharusnya itu waktu yang bisa kugunakan untuk tinggal bersama Ayah dan Ibu. Jujur, aku kangen sekali dengan suasana rumah. Terutama kamarku yang menjadi tempat favoritku.

Aku belum siap. Hatiku belum siap. Jika pada akhirnya kehadiranku hanya membawa perdebatan seperti yang sudah-sudah. Kurasa ini belum waktu yang tepat. Mungkin, suatu saat nanti. Ya, saat aku mampu membuktikannya kepada orang tuaku. Saat aku berkata Ayah, Ibu, Bila berhasil. Ini semua Bila persembahkan untuk Ayah dan Ibu.

Aku menghabiskan waktuku dengan membantu bibi berjualan. Bi Fitri sendiri adalah adik ibuku yang sampai saat ini tinggal bersama nenek. Bi Fitri membantu ibu merawat nenek. Bukan berarti Ibu lepas tangan. Ibu bukan orang seperti itu. Ada atau tanpaku di rumah nenek, Ibu selalu meluangkan waktunya mengunjungi nenek.

Bi Fitri membuka usaha cattering di rumah ini. Kuakui ia sangat terampil dalam urusan dapur. Bahkan Ibuku saja belajar darinya. Makanan kesukaanku adalah opor ayam buatannya. Rasanya tak kalah jauh dari makanan restoran berbintang lima. Lagi dan ingin lagi mencicipinya.

“Makasih ya, Bila,” ucap Bi Fitri sambil membawa semangkuk opor ayam khusus untukku.

“Iya, Bi. Sama-sama. Demi opor ayam ini, apa sih yang nggak?” jawabku menggoda.

Bi Fitri hanya tersenyum mendengar jawabanku dan meninggalkanku dengan semangkuk makanan kesukaanku. Tunggu apa lagi? Aku langsung menyantap makanan terlezat itu. Yang mungkin akan menjadi makanan keseharianku. Bagaimana tidak? Bi Fitri menawariku hadiah karena telah membantunya. Lantas, aku langsung menjawab opor ayam sebagai hadiahnya. Sepertinya itu tidak terlalu berat baginya, karena pesanan opor ayam selalu ada setiap hari. Berbeda dengan menu lainnya.

Hari ini adalah hari yang sangat aku tunggu-tunggu. Hari kelulusan sekolah serta pengumuman kelulusan dari Universitas. Tak bisa kupungkiri, aku takut. Bagaimana jika hasilnya mengecewakan? Bagaimana jika aku gagal? Dan masih banyak bagaimana yang lainnya. Sekuat mungkin aku menepis semua yang mengganggu pikiranku. Aku mengambil wudhu dan mencari ketenangan dalam shalat.

Pukul 14.00 WIB pengumuman digelar. Di lapangan sekolah, para murid dikumpulkan. Berbaris membentuk sebuah susunan yang rapi. Sedikit riuh, tapi hanya sesaat. Wajah tegang, keringat dingin dan bahkan depresi terpancar dari setiap wajah mereka. Tak terkecuali aku dan juga Sisi. Kami saling menggandeng tangan untuk menguatkan.

“Bapak bangga kepada kalian semua. Tahun ini, Alhamdulillah anak-anak bapak dinyatakan lulus 100%” salah satu isi pidato Kepala Sekolah.

Sorak sorai bergemuruh memecah keheningan, sekaligus mengusir rasa takut, tegang dan bahkan depresi itu. Akhirnya usahaku mendekati dan merayu Sang Pencipta di akhir shalatku membuahkan hasil. Setelahnya, kami diarahkan untuk memasuki ruang kelas.

Ini bukan lagi kelasku. Nuansa cat yang berbeda dengan atribut kelas yang kini sudah diisi oleh juniorku. Aku harus ikhlas melepas kelas tercinta ini. Beberapa menit kemudian, Bu Era memasuki ruangan. Bu Era sendiri adalah wali kelasku. Yang membantu proses belajar selama beberapa bulan terakhir.

Satu per satu beliau memanggil anak didiknya. Aku hanya perlu menunggu setelah dua orang temanku dipanggil. Aku mendapatkan dua buah amplop. Satu untuk hasil akhir ujianku dan satu lagi hasil pengumuman dari Universitas. Aku menunggu Sisi di luar kelas. Kami sudah sepakat untuk membuka hasilnya secara bersamaan. Aku menunggu kurang lebih sepuluh menit.

“Ayo, buka!” ucap Sisi yang sudah tidak sabar melihat hasil yang ia dapat.

“Ayo!” jawabku tak kalah semangat darinya.

Nilaiku dan Sisi tak jauh berbeda. Hanya beda 0,5 saja. Sisi berada di atasku. Aku yakin, nilaiku bisa membuat orang tuaku bangga. Setidaknya, nilai ini bisa mengeluarkanku dari masalah “pekerjaan” itu. Ya, semoga saja.

Kini, saatnya membuka amplop yang satu lagi. Amplop yang berisi diterima atau tidaknya di Universitas yang dipilih. Aku benar-benar kaget. Universitas yang awalnya hanya satu, ntah kenapa berkembang biak. Ajaibnya, mereka semua menerimaku. Aku lulus.

“Ada apa sih? Kok tegang gitu? Banyak yang nerima kamu ya?” tanya Sisi sambil menyembunyikan tawanya.

“Iya, Si. Kamu kok tahu?” tanyaku lebih kaget lagi.

“Sisi gitu lho! Apa sih yang nggak tahu?” jawab Sisi bercanda.

“Aku serius lho, Si. Atau jangan-jangan ini semua ulah kamu ya?” jawabku menerka-nerka.

“Kalau nggak ada bukti jatuhnya fitnah lho,” jawab Sisi.

“Astagfirullah. Bukan itu maksudku,” jawabku yang buru-buru istigfar.

“Haha. Ya, itu karena aku. Aku nggak bohong, kan? Kamu punya potensi yang besar. Sayang aja kalau disia-siain,” jawab Sisi jujur.

“Makasih ya, Si,” jawabku sambil memeluknya.

Aku langsung merogoh ponsel dan berniat untuk mengabari orang tuaku. Ayah, Ibu, tunggu aku. Aku pulang. Aku kalah cepat. Ibu terlebih dahulu menelponku.

“Pulang, Nak,” ucap ibu sambil menangis.

“Bila akan pulang, Bu,” jawabku singkat.

Ada apa dengan Ibu? Kenapa menangis?

Selama di perjalanan, hatiku kacau. Benar-benar kacau. Tanda tanya besar mengusir kebahagiaanku. Aku tiba di rumah pukul 15.30 WIB. Bendera putih menyambut kedatanganku. Berkibar berlawanan dengan arah angin. Hatiku terasa sakit. Kuharap ini bukan sesuatu yang mengerikan.

Aku melihat begitu banyak orang keluar masuk dari rumahku. Kuberanikan diri untuk memasuki rumah itu. Aku merasa asing dengan rumah itu. Sangat asing. Kemana aroma yang kurindukan selama ini? Siapa yang tega melakukannya?

Aku melihat Ibu tengah menangis di samping Ayah — yang kini sedang tertidur pulas. Berbungkus kain putih yang membuat rona wajahnya begitu tenang. Sangat tenang. Aku berlari menghampiri Ayah. Aku peluk tubuhnya. Aku cium berkali-kali. Ingin rasanya aku culik ia saat itu juga. Izinkan aku yang merawatnya. Tangisku pecah. Benar-benar pecah.

“Maafin Bila, Yah!” ucapku histeris. Kuulang berkali-kali.

Ibu memelukku erat dan berbisik, “Ikhlaskan Ayah, Nak. Dia sudah pergi,” ucap Ibu. Kali ini aku tahu, Ibu sedang berbohong. Bagaimana dia bisa bilang seperti itu, sementara hatinya lebih sakit daripada aku.

Bi Fitri turut membantu menenangkanku, menyadarkan bahwa ini semua suratan takdir yang Maha Kuasa. Berat. Sungguh berat menerima semua ini. Lembaran kertas yang tadinya membuatku bahagia, kini hanya sampah di mataku. Sudah tidak ada gunanya lagi.

Ibu cerita bahwa Ayah terkena serangan jantung. Itu terjadi pukul 14.00 WIB, waktu dimana aku menunggu hasil kelulusan. Ibu berusaha membawanya ke rumah sakit, namun Allah berkehendak lain. Allah menjemputnya ketika Ayah menginjakkan kaki di rumah sakit. Hatiku terasa disayat oleh pedang tumpul.

Aku sadar, kenapa Ayah memintaku mencari pekerjaan setelah lulus. Ayah sadar bahwa waktunya di dunia tak akan lama lagi. Tapi, kenapa? Kenapa Ayah menyembunyikan itu semua dariku dan Ibu?

Aku kembali meratapi kertas berharga yang kudapat hari ini setelah pulang dari pemakaman Ayah. Kucoba mencari kebahagiaan yang hanya bertahan beberapa menit itu. Aku tersesat. Aku terjebak dalam kegelapan. Gelap gulita. Tidak ada satu pun cahaya yang kulihat.

“Kamu anak satu-satunya, kelak kamu yang akan menggantikan posisi Ayah sebagai tulang punggung keluarga kita,” suara Ayah sangat jelas terdengar olehku.

Aku bodoh! Keegoisan lah yang membuat aku tidak mampu membaca ucapan Ayah. Aku kembali sadar dengan menatap kertas berharga itu. Allah benar telah mengabulkan permintaanku. Tetapi Allah juga meminta sesuatu dariku sebagai ucapan terima kasihku. Ini tidak adil bagiku! Ini bukan sesuatu yang kuharapkan!

Maafkan Bila, Yah! Kuucapkan di dalam sujud. Berharap mendapat jawaban maaf dari Ayah.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *