Pengganti Sahur yang Gagal

Pengalaman ini saya alami pada hari ke-8 bulan ramadhan. Nama saya Mutakim, saya adalah salah satu santri di salah satu pesantren di kota Jombang.

Bulan ramadhan telah tiba, pesantren sudah libur dan banyak teman-teman yang sudah pulang ke kampong halamannya masing-masing. Ingin juga rasanya segera pulang dan menikmati bulan puasa bersam keluarga di rumah. Tapi apa boleh buat, saya sudah tidak mempunyai uang sepeserpun untuk ongkos pulang.

Di sana saya mempunyai teman yang bernama Eko. Ia menyuruh saya untuk pergi ke kontrakannya, tidak terlalu jauh dari pesantren. Kebetulan di sekitar sana sedang membutuhkan orang untuk mengajar anak-anak mengaji setelah ashar. Saya pun menuruti permintaanya. Hari-hari disana cukup menyenangkan. Ada satu hal yang menarik, Eko juga sedang tidak mempunyai uang sama sekali sehingga setiap sahur kami harus berjalan kaki sejauh 1 km untuk pergi ke warung Bu Tin. Di warung itu buka setiap sahur dan menjelang buka. Disana kami diperbolehkan mengutang dan membayarnya ketika kiriman dari orangtua datang.

Tanggal ke-8 bulan ramadhan. Waktu itu kami akan pergi untuk santap sahur. Jarak yang relatif jauh membuat kami harus berangkat lebih awal. Tepat pukul 03.30 WIB kami sampai di tempat tujuan. Warung belum buka, padahal biasanya jam-jam segitu warung sudah ramai oleh para anak muda. Sepuluh, duapuluh, sampai tigapuluh menit kami menunggu namun warung belum juga buka. Para pengantri di warung itupun sudah banyak yang pergi. Tinggal kami berdua serta dua orang lainya yang masih menunggu.

Hingga waktu imsak tiba, warung belum juga buka sehingga kami memutuskan untuk pulang dengan hati yang kecewa. Puasa hari itu dilalui tanpa santap sahur. Mungkin itu salah satu ujian di bulan ramadhan. Selesai sholat shubuh serta membaca Al-Qur’an sebentar di mushola tengah perjalanan, kami bergegas menuju ke kontrakan Eko dan langsung tidur.

Waktu menunjukan pukul 11.00 WIB, Eko membangunkan saya dari kamarnya. Ia mengajak saya menuju ke dapur, disana terlihat sepiring penuh singkong goreng. Eko baru saja mengambilnya di kebun belakang kontrakan lalu memasaknya. Kami tidak ingat sama sekali bahwa pada saat itu adalah bulan puasa, segera saja kami menyantap singkong goreng yang masih hangat itu. Tanpa ragu kami memakanya dengan lahap hingga kami kenyang. Uniknya, kami masih belum ingat kalau waktu itu kami puasa.

Beberapa menit kemudian adzan di mushola terdekat berkumandang. Saya mengambil air wudhu dan menuju mushola. Baru beberapa langkah keluar dari pintu, terdengar suara sang muadzin sedang melantunkan puji-pujian tentang bulan suci ramadhan. Alangkah terkejutnya saya, saya yang tadinya mau ke mushola justru berbalik arah dan kembali ke kontrakan. Segera saya menghampiri Eko yang sedang mandi. Saya mengetok pintu kamar mandi keras-keras sambil memanggil-manggil Eko. Mungkin karena panik, ia lantas membuka pintu kamar mandinya dengan keadaan tubuh masih berlumuran sabun. Saya menceritakan apa yang terjadi, bahwa saat itu adalah bulan ramadhan dan kami berpuasa. Kami tertawa terbahak-bahak. Namun yang lebih menggelikan lagi, Eko tertawa dan tak menyadari sepenuhnya bahwa pintu kamar mandi terbuka. Saya terus mengejeknya, lalu ia tersipu malu sambil menutup pintu kamar mandinya. Sungguh pengalaman yang luar biasa.

Sebagaimana kita ketahui, seseorang yang makan atau minum di waktu puasa tanpa disengaja maka tidak membatalkan puasa. Mungkin itu adalah kiriman sahur dari Tuhan sebagai pengganti gagalnya santap sahur kami tadi pagi. Sungguh pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.

Saya kemudian bergegas menuju mushola, Eko mengikutinya di belakang.

Oleh: Mutakim Wonosobo

Dari: Kec. Watumalang, Kab. Wonosobo

mutakim wonosobo


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *