Setelah 30 hari menjalani puasa pada bulan Ramadhan, kita akan merayakan hari Idul Fitri dengan saling bermaafan antar anggota keluarga, saudara atau kerabat, teman, sahabat, tetangga serta handai taulan.
Sudah menjadi kebiasaan bagi banyak dari masyarakat kita yang melakukan mudik atau pulang kampung agar bisa berjumpa dengan keluarga dan merayakan lebaran bersama. Tradisi lainnya adalah melakukan sungkeman kepada orang tua dan keluarga yang lebih tua. Kebiasaan seperti ini tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan bahkan menjadi ciri khas bagi negara kita karena kebiasaan pulang kampung tidak dijumpai di negara lain.
Kita juga hendaknya dapat memaknai hakikat Idul Fitri sebagai tanda kemenangan dari ibadah shaum yang telah kita jalani selama satu bulan.
Berpuasa adalah tidak sekedar menahan lapar dan dahaga, namun esensinya adalah untuk mereduksi hawa nafsu kita terhadap berbagai godaan duniawi yang tidak hanya berwujud pada makanan dan minuman, melainkan niat dan perbuatan yang kurang baik, kita juga akan dilatih untuk berempati kepada kaum papa yang hidup serba kekurangan sehingga timbul kepekaan kita terhadap keadaan sosial masyarakat.
Dengan kita menahan lapar dan dahaga, kita akan sedikit banyak menyadari bahwa ada saudara-saudara kita yang kurang beruntung dan mungkin harus berpuasa setiap kali tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan. Dengan membayar zakat dan bersedekah, kita juga dilatih untuk berpartisipasi membantu saudara kita yang tak beruntung itu sehingga mereka mendapatkan bahan makanan pokok atau juga uang untuk membeli makan. Pada titik kulminasi kemenangan di hari yang Fitri, kita akan Bermaaf-maafan untuk menghapuskan segala dosa yang melekat di hati kita sehingga kita seakan terlahir kembali menjadi suci.
Pada dasarnya, jika ada istilah ‘latihan’, maka pasti ada hasil. Entah itu puasa bertujuan untuk melatih kesabaran atau melatih untuk menahan hawa nafsu, ataupun latihan mengendalikan amarah serta emosi yang merusak lainnya, maka ada hasil akhirnya, yaitu: berhasil ataupun gagal.
Keberhasilan dalam menjalani ibadah di bulan Ramadhan ditandai dengan Bermaaf-maafan antar sesama manusia. Namun apakah yang tampak secara fisik juga menandai bahwa di dalam hatinya juga merasakan keikhlasan untuk menerima dan memberikan maaf kepada orang lain, terutama apabila sebelumnya telah ada sejarah pertengkaran atau permusuhan.
Untuk itu, diperlukan pemaknaan dari setiap ibadah yang dilakukan, bukan hanya sebatas menjalani ibadah tersebut, namun meresapinya sehingga aneka kegiatan positif seyogianya dapat dilakukan untuk mengisi aktivitas di bulan Ramadhan, seperti: bersedekah, buka puasa bersama.
Dengan berinteraksi baik spiritual yang secara vertikal menghubungkan antara kita dan Allah SWT, maupun secara kontak fisik dengan manusia yang lain sehingga kita dapat memperhatikan persamaan dan perbedaan kita yang memperluas cakrawala empati kita terhadap manusia yang lain. Selama sebulan, kita dilatih untuk menang dan kemenangan dapat tercermin dari pemaknaan dan hakikat bermaafan yang keluar dari sanubari, bukan sekedar ucapan di bibir saja.
Ketika individu telah berhasil mengendalikan berbagai bentuk nafsunya, kemudian bermaafan antar sesama manusia, maka kemenangan sesungguhnya telah diraihnya karena dengan menerima atau memberi maaf, manusia akan terbebas dari segala hal mengenai penyakit hati yang dapat merusak cahaya keimanan.
Oleh karenanya, pemaknaan dan hakikat puasa dan bermaafan jangan dibuat dangkal, namun harus diresapi secara mendalam. Jangan berhenti hanya sebatas ritual yang harus dijalani tanpa makna apa-apa. Misalnya: puasa adalah tidak makan dan minum dari pagi sampai petang hari dan ketika berbuka puasa, individu jadi kalap dan memakan semua jenis makanan yang diinginkannya, seolah hidup tinggal hari itu saja. Hal ini tentunya sangat keliru karena ibadah puasa bukan untuk memupuk nafsu dengan menahannya sampai batas tertentu, segala sesuatu harus dalam takaran yang proporsional, begitu juga dengan puasa yang tidak diakhiri dengan berlebih-lebihan.
Begitu juga dengan kaidah bermaaf-maafan yang hanya bertumpu pada ritual tak bermakna, hanya bersalaman saja, disini justru banyak mengalami penumpulan karena tradisi maaf tidak menjadi sesuatu yang sakral, dalam arti: ketika bermaafan, maka permusuhan atau perselisihan dapat diselesaikan sehingga bermaaf-maafan menjadi pintu gerbang kedamaian dan karena sakral, maka tiap orang yang berselisih misalnya, akan memandang hal itu sebagai sesuatu yang harus dihormati dan dijunjung tinggi sehingga di kemudian hari akan menghindari adanya pertengkaran lagi. Mereka cenderung akan malu untuk mengulanginya.
Hakikat bermaaf-maafan juga untuk mensucikan diri dari penyakit hati. Bukan dipandang sebagai rutinitas setelah Ramadhan berakhir. Karena ada semacam kekeliruan yang dianut anak-anak zaman sekarang, bahkan lebih parah lagi. Misalnya: seseorang yang melakukan kesalahan kepada orang lain, kemudian bermaafan dengan orang yang telah dizholiminya, padahal si korban tidak tahu atau tidak menyadari apa perbuatan yang dilakukan si peminta maaf, hanya ucapan ‘mohon maaf lahir dan batin’ seolah menjadi kata pamungkas untuk mencuci dan menghapus semua dosa yang diketahui maupun tidak, yang terlihat maupun tidak atau yang disadari maupun tidak.
Lebih parah lagi, apabila individu menganggap bahwa bermaafan adalah kelaziman untuk menghapus dosanya, ia bisa kapan saja melakukan perbuatan-perbuatan yang berdosa kepada orang lain dan datang untuk meminta maaf pada saat momen lebaran tersebut. Di kemudian hari, ia lakukan lagi dan lagi. Inilah yang disebut bermaafan yang luput dari pemaknaan dan tumpul akan hakikatnya.
Meminta maaf sesungguhnya adalah jiwa seorang ksatria yang mau berlapang dada untuk mengakui kesalahannya dan merendahkan dirinya untuk meminta kata maaf tersebut. Oleh sebab itu, bermaaf-maafan disimpan sebagai akhir dari bulan Ramadhan dan penanda sebuah kemenangan. Karena hal ini adalah yang tersulit.
Meminta atau memberi maaf kepada orang lain, terutama dengan pihak yang memiliki sejarah pertikaian adalah tidak mudah dan bahkan sulit untuk dilakukan karena sifat dasar manusia yang egois serta rasa gengsi individu yang dapat menghambat.
Selain itu, hakikat bermaafan adalah mengakui perbuatan khilafnya sebagai dosa sehingga kejelasan persoalan antar kedua pihak sebaiknya saling diketahui, bukan hanya bersikap samar dengan meminta maaf saja, tanpa mengakui apa kesalahannya itu.
Karena tiap individu itu tentunya memiliki sikap dan perilaku yang berbeda-beda, begitu pula dengan tingkat emosinya, ia mungkin bisa memaafkan suatu perbuatan, namun belum tentu dengan perbuatan yang lain sehingga untuk memperoleh keiklasan, individu yang bertikai hendaknya mau berterus-terang mengenai duduk persoalan sehingga keduanya dapat menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mengejawantahkan maaf bukan hanya dalam omongan semata, namun juga perbuatan nyata.
Tentunya pengakuan dosa adalah penting untuk mencapai ikhlas dalam memaafkan karena pengertian yang setengah-setengah akan mengaburkan keikhlasan dalam bermaafan itu. Masing-masing pihak harus bisa mengetahui persoalan, bukan samar-samar sehingga mencapai objektivitas.
Sekali lagi, kata maaf menjadi kata yang sakral dan harus dihormati, bukan dijual murah di bibir semata, maaf adalah komunikasi antar kalbu yang berasal dari hati yang tulus dan disambut dengan keikhlasan hati untuk memaafkan sehingga kata maaf hanya digunakan sebagai penanda kemenangan untuk meraih segala pahala yang telah dilakukan di bulan suci, maaf bukan obralan yang mengalami repetisi berkali-kali untuk mengulangi dosa-dosa yang diperbuat kepada orang lain.
Bahkan bukan sebagai waktu tunggu untuk pendosa mencuci dosa-dosanya dengan meminta maaf karena hakikatnya pemberian maaf adalah masing-masing pihak mengetahui perbuatannya. Kecuali misalnya, ia tak sengaja berbuat dosa dan mendzolimi pihak lain, ia meminta maaf, tentu dapat dimahfumi.
Namun jika ia tahu dosanya dan tak mau memberitahu karena takut dan lain sebagainya, hendaknya ia berdoa kepada Allah SWT dan tetaplah menceritakan suatu kebenaran meskipun itu pahit daripada menyimpan busuknya sampah. Allah SWT akan memberi petunjuk atau bahkan akan membukakan hati pihak yang terdzolimi untuk memaafkan perbuatannya. Maka dari itu, sebagai seorang muslim hendaknya kita dapat bermaaf-maafan dengan memberi pemaknaan dan hakikatnya agar tercapai objektivitas sehingga muncul keikhlasan untuk saling menerima dan memberi maaf. Itulah kemenangan yang hakiki.
Selamat hari Idul Fitri. Minal Aidin Wal Faidzin. Mohon Maaf Lahir dan Batin. Semoga kita dapat meminta dan menerima maaf dengan keikhlasan serta amal ibadah kita selama di bulan suci bisa diterima oleh Allah SWT. Aamiin.
********