Mencintai-Mu Dalam Debu
Ada apa dengan malam,,,,
Ada apa dengan kesunyian,,,
Ada apa dengan kenangan,,,
Ada apa dengan penyesalan,,,
Laki-laki setengah baya itu masih di sana, duduk di balkon lantai dua kamarnya, menatap langit malam dengan mata sayu, seolah ada luka disana, seolah ada sebesit penyesalan disana, rasa sesal yang pekat. Sejurus kemudian mata sayu itu terpejam, menyesap udara seolah menyesap luka yang tak berujung, seperti langit malam, kelam tanpa sekat, pekat tak berrongga.
Hatiku mencintaimu sepanjang hidupku,
dan ketika aku mati, maka tulang-tulangku kendati hancur,
mencintaiMu dalam debu
“ Jalaludin rumi ”
Entah mengapa ia ingin menulis itu, sesuatu yang sudah lama ada di fikirannya yang tiba-tiba kembali mencuat, menambah rasa hingar bingar di hatinya semakin runyam. Ia bukan sebongkah batu, ia adalah sebutir debu yang mudah tersapu angin, dan dengan bodohnya ia yang hanya sebutir debu ini dulu memetik sebuah tangkai mawar. Laki-laki sepuh itu tersenyum, senyum indah namun sendu penuh dengan kerinduan. Masalalunya kembali hadir, bayangan-bayangan yang masih sangat jelas di pelupuk matanya yang seolah barusaja terjadi. Di hari yang gelap itu, di saksikan oleh bola-bola lampu temparam masjid pondok. Tangan kakunya menjabat, bibirnya bergetar kelu mengucapkan sumpah atas nama Allah untuk menjaga setangkai mawar yang baru saja ia petik, mawar yang selalu ia artikan dengan sebuah keindahan suci yang tulus, mawar yang akan selalu ada di sampingnya, mengikuti langkahnya yang terseok melewati dunia fana, menghangatkan hati kelabu miliknya dengan mendendangkan puisi-puisi cinta dari Rab-Nya, Rab seluruh alam. Dialah setangkai mawar itu, ibu dari anak-anaknya yang masing-masing kini telah tumbuh dewasa.
Laki-laki itu masih di sana, duduk terdiam di balkon lantai dua rumahnya, menatap sayu setiap sudut depan rumahnya yang dulu masih berupa anyaman bambu bertikar pandan. Kini bangunan itu semakin kokoh, anyaman bambu telah di gantikan dengan tembok-tembok kuat, tikar pandan telah di ganti dengan kramik berkilauan, namun tikar pandan itulah yang saat ini ia rindukan, kesayuan sederhana yang riang menghiasi hatinya, pancaran dari kelopak mata indah istrinya yang terlihat dari balik tembok bambu itu, pancaran yang kini meredup begitusaja, hilang dari wajah bunga mawarnya yang tersenyum pucat.
“Bah,,, umik sampun menunggu di bawah.”
Laki-laki itu menatap sayu seseorang yang berbicara kepadanya, dia adalah gadis cantik anak pertama dari perkawinannya. Laki-laki itu mengangguk kecil, segera beranjak dari duduknya.
Entah untuk kesekian kalinya bunga mawar itu kembali terbaring lemah di sini, di kamar tertutup penuh denga alat medis dan bau obat-obatan. Laki-laki itu tak ingin tau, tapi dokter mengatakan kalau bunga mawarnya mengidap kangker payudara sejak mengandung anak ragilnya, hatinya tersayat, laki-laki itu mengenggam erat tangan istrinya, menatap dalam-dalam mata redup bunga mawar yang seharusnya berbinar riang karena baru saja mendapat kabar bahwa cucu pertama mereka akan segera lahir. Namun, senyum bunga mawar itu merekah di antara rasa sakitnya, senyum bahagia yang semakin membuat hati laki-laki itu mengilu.
“Bah,,,!” Laki-laki itu mendekatkan telinganya, mendengarkan dengan seksama suara istrinya yang melemah.
“Kulo pengen sanget mendampingi gendok melahirkan, nangeng kadose wekdal kulo mboten dangu meleh, kulo titipaken genduk lan lare-lare dateng jenengan. (saya ingin sekali menemani genduk melahirkan, tapi sepertinya waktu saya tidak akan lama lagi, saya titipkan anak-anak kepada jenengan)” Mata laki-laki itu tersayat, tangannya semakin kuat menggemgam jemari layu istrinya, terdiam, saling menatap, mengartikan masa yang telah mereka lewati bersama.
Dan ketika matahari bersinar cerah di atas langit dhuhur, bunga layu itu terkuali, melepaskan kelopak-kelopak bunganya satu persatu. Laki-laki itu tak bergeming menatap bujur kaku tubuh istrinya yang telah terbungkus kain putih, matanya sembab, namun taksedikitpun mengeluarkan air mata, ia hanya bergeming mengabaikan ribuan jamaah yang memenui masjid berdesakan dengan ribuan santri yang ingin mengucapkan salam terakhir untuk ibunyai yang kelembutan dan kasih sayangnya tak akan pernah lekang dari memori.
Laki-laki itu masih di sana, duduk di balkon lantai dua kamarnya, menatap guratan langit malam yang selalu saja terlihat kelam. Sesaat laki-laki itu melepas tatapannya dari langit, menyentuh guratan-guratan pena yang dulu ia tulis.
Hatiku mencintaimu sepanjang hidupku,
dan ketika aku mati, maka tulang-tulangku kendati hancur,
mencintaiMu dalam debu
“ Jalaludin rumi ”
Makna dari sebuah kata cinta yang sederhana. Laki-laki itu menghembuskan nafas berat, melepas lelah kerinduannya yang terus melilit hati. “Ia ada di sini, cinta itu.” Tapi kerinduannya semakin merapat, meski langkahnya terus berjalan, meski fikirannya terpaut dengan beberapa permasalahan. Namun sedetikpun tak dapat memalingkannya dari wajah ayu bunga mawar yang dulu di petiknya, hatinya selalu mengerucut rindu, ia terikat, ia terperangkap, dan tanpa lelah menumpuk kerinduan itu hingga menggunung tak terbendung, menyita seluruh sinar matanya hingga meredup dan terkatup. Hari itu datang, di mana laki-laki itu melepas kerinduannya tuntas, setuntas-tuntasnya.
Ketika angina berhenti berhembus
Ketika daun taklagi bergerak
Ketika ruh taklagi mendiami raga
Dan ketika semuanya berhenti, kembali kepada ke hampaan yang haqiqi
Saat itulah aku kembali kepada-Mu
Saat itulah ku pekikkan keras-keras asma-Mu
Ditengah-tengah kehampaan luas yang hening, dingin, dan tak terampuni