Menurut sebagian orang, masa putih abu-abu adalah masa yang paling berkesan. Masa-masa paling indah. Dimana kita mulai beranjak dewasa, bebas menentukan pilihan sendiri. Masa putih abu-abu juga masa dimana tanggung jawab kita bertambah. Namun sayang, karena keadaan, aku tidak bisa melewati masa putih abu-abu itu. Sebenarnya, sejak kelas 2 SMP, ibu sudah memberikan sinyal padaku, jika setelah lulus SMP aku tidak akan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya yaitu SMA. Namun saat itu aku tak terlalu memperhatikan pertanda dari Ibu.
***
Sejak usia enam tahun aku sudah terlihat berbeda. Tapi jangan kau sebut aku berbeda di depan ibuku, karena ibu tidak suka dengan sebutan itu. Sebab ia lebih senang menyebutku dengan kata istimewa. Ya, aku ini memang istimewa. Saat usia enam tahun, ketika teman-teman sebayaku bisa berlari-lari dengan riang gembira. Namun aku hanya bisa memandangi mereka saja. Duduk di bawah rindangnya pohon beringin melihat mereka asyik bermain. Jika aku memaksakan diri untuk bergabung, hal buruk akan menimpaku. Pernah suatu hari karena saking inginnya bermain bersama teman-teman bermain petak umpet, dan lompat tali, aku terjatuh. Darah mengucur deras dari dagu. Aku masih ingat saat hal itu terjadi, ibu langsung menyusulku ke lapangan setelah salah satu temanku mengabari ibu. Ibu khawatir. Aku melihatnya menangis. Meski begitu aku tak kapok untuk bermain permainan yang sama. Meski harus terjatuh dan terjatuh lagi. Hingga suatu hari aku terjatuh dan kepalaku terantuk batu. Dijahit sebanyak 20 jahitan. Dengan kondisi setengah sadar, aku melihat ibu tak berhenti menitikkan airmata.
“Ya Allah, sembuhkanlah anakku. Kenapa ini semua terjadi pada anakku? Biar aku saja yang menggantikan posisi anakku. Aku tak tega melihat anakku terbaring tak sadarkan diri.”
Aku menyesal, karena kebandelanku membuat ibu bersedih. Sejak saat itu aku berjanji tidak akan lagi membuat ibu menangis. Maka saat teman-temanku bermain permainan yang tak bisa kumainkan, aku memilih untuk melihat mereka saja daripada membuat luka di hati ibu untuk kesekian kalinya. Beruntung, aku memiliki teman-teman yang sangat pengertian. Demi aku, mereka rela mengalah untuk tidak bermain permainan yang tidak bisa aku ikuti. Mengganti dengan permainan lain seperti bekel, monopoli ataupun halma. Dimana dalam permainan itu, aku bisa bermain dengan mereka. Atau jika mereka ingin bermain lompat tali misalnya. Mereka akan meminta persetujuanku.
“Apa kita bisa main lompat tali Nur? Nggak apa-apa kan kalau kita mau lompat tali? Soalnya kita udah lama nggak main lompat tali.”
“Tentu saja.” Aku mengangguk mantap.
Aku tidak boleh menjadi anak egois, yang mementingkan kepentingan sendiri. Aku harus memiliki sikap toleransi, karena teman-temanku juga memikirkan keadaanku yang istimewa. Begitu petuah bunda yang selalu kuingat.
Sebenarnya ibu sudah menaruh rasa curiga atas kondisiku yang istimewa. Aku baru bisa berjalan saat usia tiga tahun. Aku juga tidak bisa berlari, yang bisa kulakukan hanyalah berjalan cepat. Selain itu aku juga sering terjatuh tanpa sebab, berjalan dua sampai tiga meter aku sudah tidak kuat.
Akhirnya ibu memeriksakanku ke dokter spesialis saraf. Kecurigaan ibu terbukti. Setelah melakukan pemeriksaan menyeluruh. Dari semua hasil test yang sudah dilakukan. Aku memiliki penyakit langka bernama Distrophy Muscullar Progressive atau DMP.
Distrophy Muscullar Progressive adalah suatu penyakit genetik berupa kelemahan dan degenerasi otot rangka yang berubah menjadi jaringan ikat dan lemak, hal ini karena kelainan pada kromosom X, yang berfungsi untuk pembentukan protein dystrophin. Kelainan tersebut berupa mutasi pada gen untuk protein dystrophin dan menyebabkan suatu kelebihan pada enzyme creatine kinase.
***
Kelulusan SD, tinggal menghitung bulan. Aku hanya tinggal menunggu, apakah aku dinyatakan lulus atau tidak? Jika dinyatakan lulus itu artinya ibu tinggal mencari SMP untukku. Rasanya aku tak sabar untuk segera memasuki jenjang pendidikan SMP. Aku ingin segera punya teman baru, dengan begitu aku bisa punya banyak teman. Aku juga ingin segera melihat bangunan sekolahku yang baru.
“SMP itu berbeda dengan SD Put?” kata mbak Dian, tetanggaku yang usianya hanya berjarak satu tahun. Yang tahun lalu mulai merasakan belajar di bangku SMP.
“Bedanya gimana mbak?” tanyaku penasaran.
“Waktu SD ruang kelasnya sedikit. Kelas 1 sampai 6 saja hanya ada dua kelas yaitu A dan B. Kalau SMP, 1 kelas ada banyak ruangan. Di SMPku saja kelas 1 sampai 3-nya ada 7 kelas yaitu A sampai G. Belum lagi ditambah ruang perpustakaan, laboratorium, ruang komputer dan lain-lain.”
“Wah, luas banget berarti ya mbak?”
“Iya. Dan mata pelajarannya juga banyak. Setiap mata pelajaran mempunyai satu orang guru yang mengajar.”
Aku mengangguk mengerti dan semakin tak sabar menunggu pengumuman kelulusan. Dimanakah ibu akan mendaftrakanku sekolah nanti?
***
“Apa kamu sudah yakin, kalau Nur bakal ngelanjutin sekolah ke SMP?” tanya Pakde Ratno, kakak pertama dari almarhum ayahku. Aku tak sengaja mendengar obrolan antara ibu dan Pakde Ratno di ruang tamu. Aku bukan sengaja menguping pembicaraan mereka. Tapi rumahku yang berdinding bilik bambu membuat obrolan mereka bisa kudengar. Seolah tanpa sekat.
“Iya, Nur sangat antusias sekali ingin sekolah. Aku tak tega jika harus mematahkan semangatnya.”
“Sudah dipikirkan dengan matang? Biaya yang harus dikeluarkan dan siapa yang akan mengantar dan menjemputnya nanti?”
Suasana hening seketika. Tak lagi terdengar kudengar suara Ibu. Aku takut ibu mulai ragu dengan semua pertanyaan yang Pakde berikan.
“Insya Allah untuk biaya masuk sekolah, aku sudah mempersiapkannya. Untuk kebutuhan sekolahnya yang lain, Allah pasti akan memberi rezeki padaku, melalui usahaku menjahit dan membuat kue. Aku sendiri yang akan menjemput dan mengantarnya sekolah,” kata Ibu tegas
“Lalu mau kau sekolahkan ke mana? Ke SLB?”
“Kenapa ke SLB? Nur akan aku sekolahkan di SMP Umum seperti anak-anak seusianya.” nada ibu bicara agak meninggi.
“Anakmu itu kan berbeda. Jalan beberapa meter saja sudah capek dan sering terjatuh sendiri tanpa sebab? Bersekolah di SMP Umum? Apa kau tidak khawatir jika ia akan di-bully teman-temannya?”
“Nur itu anak pintar! Aku yakin dia bisa mengimbangi teman-temannya di bidang akademik di sekolah barunya nanti. Nilai ujiannya pasti memuaskan dan bisa sekolah di SMP Negeri favorit pilihannya,” ucap ibu mantap.
Keyakinan ibu terbukti. Aku bisa menjadi siswi di SMP Negeri favorit pilihanku. Begitu aku diterima, ibu langsung menghadap ke kepala sekolah untuk memberi tahu kondisi fisikku sebenarnya. Tanpa ditutup-tutupi.
“Sekolah kami tidak masalah dengan keterbatasan fisik yang anak ibu miliki. Asal mampu mengikuti materi yang diberikan. Untuk kegiatan yang memerlukan aktivitas fisik seperti olahraga ataupun kegiatan lainnya. Saya sebagai kepala sekolah akan membicarakannya pada guru-guru lainnya, untuk mendapatkan solusi terbaik untuk semua pihak.”
Aku dan ibu lega mendengar ucapan kepala sekolah. Hati kami menjadi tenang. Aku bisa tenang belajar dan ibu bisa tenang neninggalkanku di sekolah tanpa rasa khawatir aku akan di-bully.
Proses belajar mengajar selama tiga tahun aku lalui tanpa kendali berarti. Untuk mata pelajaran yang tidak bisa aku ikuti, olahraga misalnya. Guru memberiku tugas lain seperti membuat kliping atau mengerjakan lembar kerja siswa. Dengan begitu, aku tetap mendapat nilai. Meski selalu mendapat nilai 6 dari awal masuk kelas 1 hingga semester akhir kelas 3. Namun itu tak masalah. Aku bisa mengimbangi nilai 6 itu dengan nilai mata pelajaran lainnya yang selalu mendapat nilai di atas 8.
Saat kelulusan SMP, aku mendapat nilai yang sangat memuaskan. Aku mendapat ranking 3 besar seantero sekolah. Fotoku bersama dua temanku terpampang di majalah dinding sekolah. Siapa yang tidak berbangga hati? Jika aku yang memiliki keterbatasan fisik mampu bersaing dalam bidang akademik dengan teman-temanku yang berfisik sempurna.
Aku sudah merancang, SMA mana yang akan menjadi tempatku menuntut ilmu. Juga hal-hal apa saja yang akan aku lakukan. Namun saat pendaftaran penerimaan siswa baru, Ibu terlihat santai. Tidak seperti saat akan mendaftarkanku ke SMP tiga tahun yang lalu. Aku bertanya-tanya dalam hati, tapi belum memiliki keberanian untuk bertanya pada Ibu.
“Mungkin ibu masih sibuk menjahit baju pesanan orang.” Pikirku dalam hati.
Kulihat beberapa lembar kain masih tergeletak di meja.
***
“Nak, maaf ya. Kamu nggak bisa melanjutkan sekolah ke SMA”
“Kenapa bu?”
“Ibu udah nggak sanggup Nak. Ibu udah nggak kuat.”
“Mahalnya ya bu biayanya. Jadi ibu nggak sanggup buat bayar?”
“Bukan itu masalahnya Nak.”
“Lalu apa bu?”
“Kalau untuk biaya sekolah. Berapapun biayanya, ibu bisa mencarinya dengan bekerja lebih keras. Bahkan ibu juga rela jika harus cari pekerjaan sampingan selain menjahit dan membuat kue. Tapi …,” Ibu menghentikan perkataannya.
“Tapi apa bu?”
“Ibu udah nggak kuat buat gendong kamu, kalau kamu kecapekan dan nggak kuat jalan lagi. Badan ibu udah nggak kuat Nak. Ibu sudah survei SMA-SMA terdekat dan lokasi gedungnya bertangga-tangga. Tidak akses buat kamu. Andai saja bapakmu masih ada.” Airmata ibu mulai menetas, begitu juga aku.
***
Hari pertama masuk sekolah pelajaran baru, kulihat teman-teman melewati depan rumah dengan gembira memakai seragam baru mereka. Sementara aku hanya bisa menatap dari balik jendela. Ingin rasanya aku bergabung dengan mereka. Namun apa daya, aku harus berbesar hati menerima kenyataan yang ada.
Ujian dari Allah kembali datang, seminggu sebelum usiaku 17 tahun, aku dilarikan ke rumah sakit karena kesehatanku mendadak drop. Keringat dingin sebesar bulir-bulir jagung keluar dari sekujur tubuh. Kakiku mendadak tidak bisa digerakkan.
“Nur yang sabar ya dan tetap semangat. Mulai hari ini, untuk membantu mobilitas harus menggunakan kursi roda,” ucap dokter di ruang rawat.
“Maksudnya apa dok?” Ibu meminta penjelasan lebih lanjut.
“Setelah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyakit langka yang anak ibu miliki yaitu Dystrophy Muscullar Progressive sudah menyerang motorik kakinya. Jadi harus dibantu kursi roda untuk kegiatan sehari-harinya.”
“Apa tidak ada cara lain untuk menyembuhkan penyakit anak saya? Paling tidak anak saya bisa berjalan lagi.”
“Maaf ibu, sampai saat ini belum ada obat untuk menyembuhkannya.” Dokter meninggalkan ruangan tempatku dirawat, setelah memberitahu jika besok aku sudah boleh pulang. Aku hanya diam dan menangis. Berharap semua ini hanya mimpi dan aku segera terbangun.
“Yang sabar dan tabah ya, Nak. Ibu yakin, kamu pasti kuat dan mampu menghadapi semua ujian ini. Tidak ada penyakit di dunia ini yang Allah turunkan dan memberikan penawarnya.” Ibu menguatkanku dan memelukku erat.
“Ya Allah kenapa harus aku yang Kau beri cobaan ini? Bukan orang lain?” rutukku dalam hati.
***
Dua hari sekali, aku harus ke rumah sakit untuk melakukan terapi, tapi karena keterbatasan biaya. Ibu hanya bisa membawaku ke rumah sakit saat beliau memiliki uang. Untuk mobilitas di rumah, aku menggunakan kursi kayu atau dingklik yang diberi roda keempat sisinya. Dingklik itu dibuat oleh tetanggaku. Ia merasa iba, karena melihatku harus ngesot untuk pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Sementara untuk aktivitas di luar ruangan, aku menggunakan kursi roda bekas milik pak Heru, yang beberapa bulan lalu terkena stroke. Kursi roda itu pak Heru berikan padaku, karena ia sudah dibelikan kursi roda baru. Meski bekas, kursi roda itu masih layak untuk digunakan.
***
Meski aku tak melanjutkan sekolah, bukan berarti aku berhenti belajar. Aku belajar pelajaran SMA dari buku yang Rima pinjamkan padaku. Buku itu ia pinjami di akhir semester.
Suatu hari, tanpa sengaja aku menemukan folder gambarku saat aku SMP. Aku buka satu persatu gambar demi gambar yang pernah kubuat. Hingga hampir sampai di lembar terakhir, masih tersisa beberapa lembar kosong. Aku mulai menggambar kembali menggunakan pensil. Menggambar sketsa wajah ibu.
“Sketsamu, bagus Put. Gimana kalau kamu menjual jasamu untuk menghasilkan uang,” usul Rima saat bermain ke rumahku.
“Maksudnya?”
“Kamu jual hasil lukisanmu.”
“Tapi aku tidak tahu caranya dan apa ada orang yang akan membeli lukisanku nanti?”
“Kamu bisa memanfaatkan media sosial seperti Facebook atau IG. Kamu unggah hasil lukisanmu. Aku yakin pasti banyak yang tertarik,” ucap Rima antusias.
“Nanti aku bantuin buat promosi,” imbuh Rima.
Aku setuju dengan ide Rima. Aku memang tidak bisa mandiri secara fisik, tapi paling tidak aku bisa mandiri secara finansial. Seiring berjalannya waktu, aku mendapat beberapa orderan lukisan. Dari orderan itu, aku bisa sedikit membantu ekonomi keluarga.
***
Setelah tidak bisa lagi berjalan, terbersit keinginan dalam hati untuk mempunyai teman yang ‘senasib’. Setelah mencari dari dari internet, akhirnya aku tergabung dalam sebuah Komunitas Difabel Semarang. Dari komunitas difabel itulah aku memiliki teman-teman difabel dari seluruh Indonesia. Meski berteman sebatas maya, tapi aku bersyukur bisa mengenal mereka. Bahwa aku tidak sendiri.
Dari komunitas difabel, aku juga mengenal ibu Lestari atau kerap disapa bunda Tari. Beliau adalah ibu dari para difabel. Saat ada lomba melukis di daerah Bandung dan aku ingin mengikutinya, namun terkendala alat-alat untuk melukis. Aku mencoba mengirimkan pesan ke Bunda Tari melalui Facebook untuk meminta bantuannya. Tidak menunggu lama, pesanku langsung dibalas.
“Silakan Nur datang ke halaman balaikota Semarang, hari Minggu besok ya saat acara buka bersama. Bunda akan coba bantu untuk mencarikan donasi. Jangan lupa hasil karya lukisanmu dibawa ya.”
Di balaikota, bunda Tari mengadakan penggalangan dana untukku. Dua lukisanku bertema ibu laku terjual. Untuk kali pertama aku melukis secara on the spot. Seorang pejabat teras memintaku melukis sketsa wajahnya. Dalam waktu kurang dari setengah jam aku bisa menyelesaikannya. Lalu sketsa wajah itu dibeli dengan nominal tinggi. Beberapa donatur memberikan donasi agar aku bisa membeli peralatan melukis. Pertemuanku dengan Bunda Tari di bulan Ramadhan memberikan banyak berkah untukku. Allah memberikan pertolongan-Nya melalui Bunda Tari.
Bunda Tari dengan totalitas membantuku. Beliau memperkenalkan hasil lukisanku pada relasinya. Dari beliaulah aku mendapat banyak orderan dan membuatku jadi sedikit kewalahan. Penjualan lukisan melonjak drastis. Meski lelah, tapi aku bersyukur. Namun di dalam hati timbul pertanyaan, apakah mereka yang membeli lukisanku benar-benar membelinya sebagai penikmat seni? Atau hanya sekedar menolong, kasihan padaku karena aku seorang difabel?
***
Dari hasil lomba melukis di Bandung, aku berhasil meraih juara 3. Atas keberhasilanku, panitia mengundangku untuk datang ke Bandung. Semua biaya ditanggung oleh panitia. Dari keberhasilan lomba inilah, mulai timbul kepercayaan diriku dan mampu menepis semua prasangka yang ada. Bahwa orang-orang yang membeli lukisanku bukan karena kasihan. Tapi karena lukisanku berkualitas. Jika tidak mana mungkin aku bisa meraih juara 3? Apalagi perlombaan ini diikuti oleh peserta dari seluruh Indonesia dan aku adalah peserta difabel satu-satunya. Sungguh hal yang tak pernah kuduga sebelumnya. Bermimpi pun aku tidak berani.
Aku ingin fokus, menekuni passion-ku. Kelak aku ingin memiliki galeri seni. Kan kurangkul teman-teman difabel untuk bergabung. Bergandeng tangan untuk meraih mimpi. Menunjukkan pada dunia, bahwa memiliki keterbatasan bukanlah halangan untuk berkarya. Tidak ada makhluk ciptaan Allah yang diciptakan di dunia ini dalam keadaan sia-sia. Begitu pula diriku. Allah tak akan mengubah nasib hamba-Nya yang tak mau berusaha. Aku akan terus berjuang melukis mimpi-mimpiku meski dalam keterbatasan. Hingga suatu hari nanti kanvas yang saat ini masih kosong akan dipenuhi warna-warni indah dari hasil goresan tanganku dari atas kursi roda.