Media Islam Anti Jualan Hoax

Saya menyenangi semua takdir yang Allah berikan. Meyakini bahwa semua adalah yang terbaik, terlepas mungkin awalnya ada beberapa yang membuat saya bertanya-tanya, kenapa ini terjadi? Namun pada akhirnya semua bermuara pada keyakinan awal, Allah tidak pernah salah menentukan takdir dan takdir bagi hamba Nya pasti yang terbaik.

Ada satu takdir yang tidak pernah saya pertanyakan, takdir yang satu ini membuat lisan dan pikiran saya bersyukur tanpa putus. Tahun 2012 lalu Ia takdirkan saya untuk menjadi bagian dari radio dakwah Islam terbesar di Jogjakarta.

Radio kami adalah radio berjaringan. Pusatnya ada di Bandung, didirikan oleh ulama kharismatik asal kota kembang itu. Beliau dikenal dengan upayanya menyemarakkan tauhid melalui istilah Manajemen Qolbu.

Saya mengikuti audisi untuk menjadi penyiar di radio tersebut. Alhamdulillah lolos. Selain menjadi penyiar, saya juga masuk ke tim kamar berita. Di sana saya diajari untuk mencari, membuat, maupun mengolah berita yang sudah ada. Sebuah pengalaman baru yang seru terlebih menguji keimanan.

Di era ini, keteguhan kita sebagai jurnalis muslim benar-benar diuji. Berita kami bersaing dengan hujan hoax, dan click bait dengan judul misleading yang sayangnya begitu digemari, sedangkan kami dilarang untuk berdusta dan berlebih-lebihan.

Prinsip jurnalistik yang kami pegang adalah, berpihak pada kebenaran, anti hoax dan anti membenarkan hoax walaupun mungkin menguntungkan pihak kami. Berita yang kami sajikan haruslah kesejukan meskipun isinya mengelus dada. Kadang saya gerah, saya merasa berita kami terlalu landai, kurang provokatif, terlalu main aman. Di luar sana media lain sudah gembar-gembor dengan judul dan narasi fantastis. Sedangkan kami di sini adem ayem saja. Kadang saya sengaja membuat judul click bait, tapi sayangnya tidak lulus sensor, padahal dengan judul click bait yang dibacakan oleh penyiar, saya yakin pendengar akan lebih tertarik. Kenapa sih? Kenapa tidak seperti yang lainnya?

Dan sebuah pemahaman dari pendiri radio kami membuat saya menginsyafi satu hal, beliau bilang, “Tidak penting berapa jumlah pendengar kita, yang terpenting adalah dakwah kita disampaikan dengan cara benar, dan kita menyampaikan kebenaran. Yang Allah nilai bukan banyaknya jumlah pendengar, yang Allah nilai adalah amanah atau tidaknya kita dalam bekerja.”

Belakangan kita disibukkan dengan urusan politik, dan bukan rahasia lagi bahwa tidak ada media netral, semua media menjalankan kepentingan pemiliknya. Pun dengan media kami, kami tidak netral, kami berpihak. Walaupun begitu, tetap saja news director kami memberi larangan memanfaatkan media untuk menyuarakan kepentingan politik. Jika ada sebuah isu, dua belah pihak selalu dilibatkan agar memenuhi unsur cover both side.

Pedoman kami dalam menyiarkan berita adalah BALM: Benar, Akurat, Lengkap, Manfaat. Semua unsur tersebut harus terpenuhi baru bisa naik siar. Dicek berlapis, apakah berita ini benar? Akurat? Sudah lengkap atau belum? Kalau sudah, apakah bermanfaat untuk ummat?

Lama-lama saya terbiasa, perlahan saya tak lagi mencari simpati pendengar lewat provokasi. Media Islam harus jadi garda terdepan jurnalisme yang memegang teguh kode etik jurnalistik. Kita harus bahu membahu melawan hoax yang kini bisa disebarkan hanya dalam waktu sedetik dalam sekali klik. Amanah jurnalis itu besar, ketik dan ucapnya bisa jadi surga bisa pula neraka.

Setahun sudah saya tak lagi berada di barisan para jurnalis. Sebagai ibu saya menikmati produk jurnalistik dari rumah lewat media sosial, radio ataupun layar kaca. Saya selalu berdoa agar orang-orang yang menjadi pemburu warta selalu jujur dan mewartakan semua dari hati, selalu ingat dan sadar bahwa ada Allah yang lebih patut ditakuti daripada sekadar jumlah klik berita yang tak memenuhi ekspektasi.


Penulis

1 COMMENT
  • Prima Agus Setiyawan
    Reply

    Semangat Sahaba Dhita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *