Lapar, Haus, Masih Disuruh Hormat !

( Opini Hijriah dalam Narasi Masehi )

Lombok, pulau ribuan masjid ini mempertemukanku sekali lagi. Pada romadhon dengan suasana yang paling kontras, sepanjang langkahku mengenal islam. Berita di tivi begitu saja terlewat, namun aku tetap masih bisa mengaksesnya melalui portal internet. Ada cerita tentang peraturan daerah yang hendak tercabut pun aku hanya memantaunya dari mesin pencari. Beruntung, logika hormat pada yang tak harus dihormati itu kini kian menjamur bagai tiram di antara belati. Sama-sama pahit, bila tak dibumbui rempah penyedapnya.

Ibarat kau mencampuri segenggam asin pada ikan di laut. Makin tak enak lah lidah menyantap yang tersisa di pesisir. Itulah tepian dahaga, kala tenggorokan teramat kering dan tercampur dengan keringat asammu, maka yang paling dirindukan adalah pukulan bedug maghrib. Semenit, lima menit pun terasa lama sekali jika haus terlanjur mencuri perhatian.

Ah, manisnya kurma di pandangan tidak pernah sama dengan kerontangnya liur di ujung kerongkongan. Ya! Dinginnya es campur tak lagi mendamaikan perut, lezatnya hanya muncul di bayangan. Kupikir, merah saga di langit senja itu adalah sirup ceri. Sirine ambulan kukira penanda datangnya waktu ifthor. Lucunya negeri hatiku, sebentar menghabiskan sisa tilawah di atas dzuhur dianggap terlambat menyantap hidangan berbuka puasa.

Kecap hitamnya kedelai, kulihat bagaikan kurma ajwa. Semua itu enak di langit lidah, sayangnya hanya mimpi di siang bolong. Baru saja dzuhur berlalu sedetik, kroket di atas panggangan kuanggap sudah gosong, saking lamanya matahari membenamkan cahayanya. Semua di depan retina tampak seperti santapan saat lapar dan kehausan makin mengempiskan pencernaan.

Trali iman mulai tersisihkan, besi penyangga kebaikan menipis tidak juga menebal. Justru, onak duri di pikiran melambungkan lemas dan malas. Apes, pepes teri di pasar ikan saja benar-benar mengalihkan benteng imanku. Padahal Indonesia dengan tiga waktunya, meringankan siapa saja yang hendak memotong shoum lebih cepat. Bila di bagian barat gedung istana kau mulai menelan air mineral saat ayam berkokok, mungkin kau bisa langsung mengepakkan sayap menuju bagian timur bumi pertiwi, sama saja pahalanya. Waktu berpuasa jadi lebih pendek, indahnya menikmati keragaman bumi maritim kita.

Jika di bagian barat kau sudah lepas suapan saat adzan shubuh, beberapa jam berikutnya kau bisa terbang ke bagian tengah Indonesia, lalu rasakanlah waktu berbukamu sedikit lebih dicepatkan. Permainan ini biasa dilakukan oleh orang-orang sibuk, dengan jam terbang sangat tinggi, bahkan mereka kadang lupa cara mendarat. Terbang dengan ketinggian bermil-mil di atas permukaan laut, mereka sering tak ingat caranya berpijak di atas tanah. Jangan terlalu asik melayang, nanti kau lupa menjabat tangan orang dibawahmu.

Mereka inilah, orang-orang yang biasa kita kenali sebagai inteleknya konglomerat. Ingat, jangan salah menyebutnya jadi kolong-melarat. Ilmu adalah jalan hidupnya, bukan semisal jalan menuju warung remang-remang. Payah kau, saat pejabat menyuruh rakyat agar hormat pada yang buka lapak, kau membantah, melawan, meremehkan, tunggu cambukan belati nanti akan melebamkan persendianmu. Membebek saja, masa bodoh penting atau tidak keputusan itu bagi nuranimu yang lapar. Ikut apa kata kepala, jangan sekali-kali membalikkan logika mereka, atau kalau mencoba, siapkan saja kekuatan bajamu untuk terusir dengan tidak hormat.

Kehormatan, harga mahal yang harus dibayarkan setelah ada kejadian terhormat di negeri bebek. Negerinya para bebek ingin dihormati, disantuni, mau selalu ditengok pangkat kecerdasannya. Kalaulah berpangkat kecil, semoga yang tinggi bintangnya itu memberikan ia sebutir beras – bukan pasir. Bilalah besar pangkatnya, semoga yang kelihatan kecil dibawah langit itu mendapat segelas anggur – tidak memabukkan. Paling-paling  cuma setengah mati suri ketika anggur sampai di ujung lidah, toh cuma mencicipi setitik saja sudah kena getahnya kemana-mana. Menyoal anggur, lebih matang memilih sebiji beras meskipun keras dan keropos gigi dibuatnya. Mempersoal beras, anggur lebih manis meskipun selesai meneguk akan menewaskan, itu resikonya. Pilih saja sendiri jalan kematian kita, dengan atau tanpa membalas, atau dibelaskasihani, sama saja di hadapan wajah Tuhan.

Biar malaikat yang tentukan, kemana hendak mengistirahatkan sayapnya. Biarkan Tuhan bekerja, kemana hendak melabuhkan nikmatNya. Ukuran manusia tetap sama sampai kiamat, diukur dari derajat taqwa mereka. Rajin berilmu, jalan pasti menuju takwa. Malas berilmu, jalan pasti yang menyesatkan. Maka, ilmu saja tak akan pernah cukup menghiasai puasamu. Bersahabat dengan konglomerat, yang dengan ilmunya bisa mengakali akal dan toleransi, bermusuhan dengan kolong melarat, yang dengan imannya bisa bersujud didepan kehormatan palsu, keduanya bukan jadi tandingan Tuhan. Kita, kamu, aku, saya, mereka, kau, kalian, dia, siapapun subjeknya, Tuhan hanya memandang orang yang berpuasa atau sama sekali tidak berpuasa. Berpuasalah karna DIA, bukan mencari hormat dan membatal puasa karna dia, lalu kau takut menutup lapak saat senja pun masih malu-malu menampakkan ronanya. Marilah kita meneropong dengan kacamata rindu, merindu kaki-kaki ini melangkah mulus memasuki pintu Arroyan, syurga-nya para subjek yang berpuasa mencari ridha dan pahala, tak gila hormat ! Sampai akhir . . .

Oleh: Baiq Dwi Suci Anggraini, S.Psi

Dari: Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat

Baiq Dwi Suci Anggrani


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *