Kisah Singkat dari Brussels

Kisah Singkat dari Brussels

Cuaca di luar masih sangat dingin, padahal ini sudah memasuki Bulan April, yang harusnya matahari sudah mampu untuk memberikan kehangatan bagi negara dingin ini. Ya, aku menyebutnya negara dingin, tidak hanya cuaca sekitarnya saja tapi juga masyarakat di dalamnya. Rasis ? Aku rasa tidak, membangun opini boleh saja bukan ? Mungkin, karena berasal dari negara yang terkenal dengan keramahannya, aku merasa sangat asing dengan budaya masyarakat di sini.
Namaku Dewi, saat ini aku sedang berada jauh dari tempat asalku, Indonesia. Selama 6 bulan aku akan tinggal disini, di negara yang termasuk dalam kawasan Eropa Timur, Polandia. Selain untuk melanjutkan pendidikanku disini, aku akan membuktikan satu hal yang selama ini masih menjadi misteri dalam pikiranku, Islamphobia.
Pemberitaan bahwa orang islam didiskriminasi ataupun diperlakukan secara tidak baik di sini, itu keadaan yang aku baca di media. Menurutku, sebagian anggapan itu benar dan sebagian juga mungkin salah. Sebagian anggapan itu benar, karena aku mengalami sendiri bagaimana mata-mata mereka memandangku dengan tatapan sinis, meneriakiku dengan label teroris, serta perlakuan lainnya. Namun, aku berkata dalam hati, bahwa akan aku tunjukan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin.
Pembuktian ini aku tunjukan dengan rencana perjalananku selama satu minggu ke negara-negara Eropa Barat. Aku ingin menelusuri jejak muslim disana yang bisa survive dan membawa dampak positif bagi masyarakat di sekitarnya. H-2 sebelum trip dimulai, kabar buruk pun terjadi. Bom mengguncang di salah satu stasiun kereta di Belgia. Negara yang merupakan salah satu destinasi perjalananku kali ini. Sempat keinginan membatalkan perjalanan ini terbersit dalam hatiku. Terlebih saat pemberitaan menyebutkan bahwa lagi –lagi pelaku pemboman adalah seorang muslim. Keluargaku di Indonesia pun sempat melarangku untuk melakukan perjalanan kesana, karena situasi yang tidak aman katanya.
Namun , seluruh pikiran itu berusaha aku hilangkan, berusaha meyakinkan diri bahwa Allah akan menjagaku dimanapun aku berada. Bahwa selama niatku baik, Allah pasti akan membimbing setiap langkah. Maka aku memulai perjalanan ini dari Paris lalu lanjut ke Belgia menggunakan bus malam. Aku sampai di Bruessels, Belgia sekitar pukul 5 pagi.
Suasana di Brussels tampak sangat lengang. Pukul 5 pagi tentu saja orang –orang belum memulai aktifitasnya. Aku putuskan untuk menunggu matahari terbit di terminal bus. Namun hingga pukul 7 pagi, matahari seakan tak ingin menunjukan dirinya. Aku pun memutuskan untuk keluar dari terminal dan mengunjungi tempat wisata yang telah aku tulis dalam listku. Mulailah aku menuju stasiun kereta bawah tanah terdekat, mengambil peta wisata dan membeli tiket untuk satu kali perjalanan. Cukup lama aku menunggu kereta sampai saatnya ia tiba. Aku langkahkan kaki masuk menuju gerbong kereta, lengang, ya hanya 1-2 orang di dalam gerbong kereta yang cukup panjang ini. Aku pun memilih duduk di salah satu kursi dekat pintu, untuk memudahkanku keluar masuk nantinya.
Namun, karena serangan bom di stasiun kereta 2 hari lalu membuat kereta tidak berhenti di stasiun pusat kota, namun memutar ke arah yang berlawanan. Aku pun dilingkupi kepanikan, karena tak tahu kemana jalur kereta ini pergi. Jaringan internet pun mati, dan tak ada orang yang bisa aku tanyai. Segera aku memutuskan keluar stasiun agar tak lebih jauh tersasar ke tempat lain. Berhentilah aku di salah satu stasiun, sambil terus menajamkan mataku mencari seseorang yang bisa aku tanyai jalan saat itu. Lalu salah satu suara memanggilku dari belakang, seorang pria bule, tinggi, dan berperawakan kurus bertanya padaku apa ada yang bisa ia bantu ? Bagai menemukan secercah cahaya, aku pun menyambut itu dengan bertanya dimana akses terdekat ke pusat kota. Lalu ia pun mengantarku keluar stasiun hingga sampai daerah terdekat pusat kota, sebelum aku sempat mengucap terimakasih padanya, ia pun telah berlalu pergi.
Keadaan di pusat kota juga tak beda adanya. Sepi, namun masih ada beberapa orang yang lalu lalang. Aku pun bertanya kepada setiap yang aku temui dimana letak salah satu destinasi wisata yang ingin aku tuju, namun semua menghindar, menolak bahkan menjawab dengan nada sinis. Karena tak kunjung menemukannya, aku pun memutuskan menyerah dan mencari tempat makan untuk mengisi perutku yang kosong sedari tadi.
Saat pencarian tempat makan itulah, aku melewati bagian depan sebuah gerja yang penuh dengan karangan bunga, serta orang-orang yang terus menerus datang dan meletakkan bunga di depan gereja itu. Ternyata, mereka membawa bunga sebagai rasa duka akan korban bom di Stasiun Brussels kemarin. Beberapa menit aku sempat tertegun mengamati apa yang terlihat di depan mataku. Hingga akhirnya akupun tersadar bahwa ada beberapa mata yang memandang ke arahku dengan perasaan tidak suka, bahkan marah sepertinya. Menghindari hal yang tidak diinginkan, aku pun menjauh dari sana. Aku memutuskan untuk masuk ke sebuah tempat makan di seberang gereja tersebut.
Dari dalam tempat makan ini, pandanganku masih kea rah gereja itu. Mengamati karangan bunga, orang – orang yang berlinang air mata karena kehilangan orang-orang terkasihnya. Maka sekali lagi, Islam tersudutkan, Islam terpojokkan. Karena ulah oknum yang menganggap dirinya muslim dan mungkin keyakinan berjihad dengan membunuh jiwa yang tak berdosa. Lalu kuamati pandangan mata sinis itu dan bergumam kapankah aku bisa membuktikan bahwa Islam adalah agama yang Rahmatan Lil Alamin. Agama yang kasih dan penuh cinta. Bahwa kami mencintai umat manusia seperti mencintai diri kami. Semoga hal ini bisa cepat terjadi, karena ini adalah tugasku, tugas umat muslim untuk menebarkan cinta dan kasih di seluruh penjuru dunia.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *